Oleh: Asrul
Pramoedya Ananta Toer atau
yang lebih akrab disapa Pram
adalah salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh
Indonesia. Putra sulung dari seorang kepala sekolah Institut Budi Oetomo ini
telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.
Pram yang pernah bekerja sebagai juru ketik dan
korektor di kantor berita Domei (LKBN ANTARA semasa pendudukan
Jepang) memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis. Ia
telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel
sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia.
Karya Pram yang penuh dengan kritik sosial
membuatnya sering keluar masuk penjara. Pram pernah ditahan selama 3 tahun
pada masa Kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama. Kemudian
selama Orde Baru ia ditahan 14 tahun sebagai tahanan
politik tanpa proses pengadilan.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti
kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir
perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang
karier militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan
1949. Pada 1950-an ia kemudian tinggal di Belanda sebagai
bagian program pertukaran budaya, dan saat kembali ia menjadi anggota
Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia.
Beberapa karya Pram dilarang untuk
dipublikasikan karena dianggap mengganggu keamanan negara pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno maupun Soeharto. Bukunya
yang berjudul Hoakiau di Indonesia dicabut dari peredaran, dan ia ditahan
tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di
pulau Buru di kawasan timur Indonesia. (ketika ia dinyatakan turut mendukung partai kiri yang diharamkan di Indoneisia namun tuduhan itu tak terbukti sampai saat ini). Meskipun demikian, Pram mendapatkan
banyak penghargaan dari lembaga-lembaga di luar negeri.
Potret kehidupan Pram yang dibenci di negeri sendiri tetapi
dihargai dunia membuatnya tetap optimis dan tidak pernah
berhenti berkarya.
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay
Award pada 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis
surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Beberapa dari
tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, dan
HB Jassin. Tokoh-tokoh tersebut protes karena Pram dianggap
tidak pantas untuk menerima penghargaan Ramon Magsaysay.
Dalam berbagai opini-opini di media, para penandatangan petisi 26
ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965.
Mereka
menuntut pertanggungjawaban Pram untuk mengakui dan meminta maaf
akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap
bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Semenjak Orde Baru Pram memang tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan
suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan
dikeroyok secara terbuka di koran.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun
kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan
kegemarannya merokok. Tepatnya pada 27 April 2006 kesehatan Pram memburuk.
Ia didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama
ini tidak pernah dijangkitnya, ditambah komplikasi ginjal,
jantung, dan diabetes. Upaya keluarga untuk merujuknya ke rumah
sakit tidak membawa banyak hasil, malah kondisinya semakin
memburuk dan akhirnya meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta.
Bergerak dalam aliran realisme soaialis telah melahirkan banyak karya-karya
yang mendunia dan telah memberikan sumbangan positif dalam perjuangan
sosialisme. Aliran ini merupakan salah aliran dalam sosialisme yang bergerak
dalam dunia sastra atau kesenian. Semangat realisme sosialis ialah untuk memenangkan
sosialisme ditengah masyarakat. Maka didalam sastra aliran realisme sosialis,
realitas masyarakat adalah inspirasi untuk membuat karya, yang dimaksud dengan
realitas masyarakat ialah kaum proletar, dan diatas pundak kaum sastrawan
tertanam jiwa tanggung jawab yang tidak ringan yaitu memberi penyadaran kepada
masyarakat yang tertindas sehingga masyarakat tersebut berjuang melawan sistem
yang menindas tersebut.
Demikianlah yang terdapat dalam novel tetralogi karya pram yang terdiri
empat jilid dengan judul yang pertama “bumi manusia, anak semua bangsa, jejak
langkah, dan yang terahir rumah kaca” keempat novel tersebut berisikan
perjuangan orang bangsa indonesia yang terjajah untuk memperebutkan kembali
haknya yang terampas. Yang menjadi tokoh sentral dalam novel tetralogi adalah Minke, yang sebenarnya bernama Tirto Adhi Suryo, maka tidaklah mengherankan jika
penglihatannya lewat kaca mata seorang jurnalis.
Hal tersebut untuk menjaga ke objektifan sebuah tulisan yang didalamnya
berisikan lahirnya organisasi-organisasi yang ada di indonesia. Novel tetralogi
juga menggambarkan penindasan yang dilakukan oleh kaum feodal dan kolonial yaitu para bangsawan dan penjajah Belanda yang membuat kemiskinan pada masyarakat indonesia.
Belanda juga melakukan berbagai cara untuk melanggengkan sistem feodal,
salah satu caranya adalah membangun kesadaran tahyul seperti Nyai Roro Kidul dan lain
sebagainya, agar daya kritisme mayarakat tidak ada. Sehingga Belanda dapat
melakukan penghisapan terhadap kekayaan yang dimiliki oeh bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu Minke sadar untuk membuat masyarakat berani melawan penjajah
adalah dengan mendirikan organisasi-organisasi dan untuk memudahkan
penyebarluasan ideologi organisasi tersebut dibutuhkan media jurnalistik, sebab
dengan media tersebut maka akan memudahkan tersebarnya sebuah berita yang ada.
*Petugas Politik PEMBEBASAN UMBY.
RefrensiGambar:
https://www.google.co.id/search?q=gambar+pramoedya+ananta+toer&client=firefox-a&hs=Fjd&rls=org.mozilla:en-US:official&channel=fflb&tbm=i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar