Oleh: Ziwenk.
Malam terasa
hangat dengan suasana riuh di antara
kerumunan muda-mudi, sedang berpikir tentang rakyat yang menjerit tangis, para
perempuan bernyayi dengan sembunyi, budaya diasingkan dari rakyat, sejarah dimanipulasi,
semuanya renyah dibahas malam itu.
Masih melekat diingatan tentang orang-orang yang melingkari api unggun di kaki gunung dengan balutan dingin yang mengikat. Tak banyak aku mengerti kenyataan yang mereka bicarakan, walau begitu, aku masih mengingat kata perkata yang keluar dari bibir mereka.
Para peserta nampaknya begitu senang mengikuti Sekolah Jurnalis yang diadakan PEMBEBASAN (Pusat Perjuangan Mahasiswa Untuk Pembebasan Nasional), terselenggara pada tanggal 25-26 Januari 2014, di Kaliurang, Yogyakarta. Acara seperti ini sangat jarang aku ikuti, tak salah aku berteman dengan X yang tetap sabar mengajakku untuk mengikuti acara organisasinya. Walaupun baru kali ini aku mengikuti ajakannya dan berkumpul dengan kawan-kawanya yang tak pernah aku lihat sebelumnya wajah mereka, namun berada di tengah mereka aku merasa seperti manusia seutuhnya, berkata jujur, sepahit apapun itu, seperti yang diucapkan fasilitator diskusi tadi sore, yang mengatakan keluhannya tentang pendidikan di negeri ini. “Dari sejarah bangsa ini, pendidikan yang ada hanya dapat dinikmati oleh mereka yang tergolong ningrat, bahkan sampai hari ini, si miskin tak dapat duduk di ruang kelas mendengar dosen bicara, yang tak pernah dilihat anak didiknya.” Begitulah yang dikatakan fasilitator tadi sore, saat mengisi materi tentang sejarah dan situasi pendidikan di Indonesia.
“Salam
pembebasan.” Ucap si pria ganteng memakai behel.
“Salam.” Serentak
para peserta menjawab salam pembukaan yang diucapkan pria ganteng itu.
“Malam kawan-kawan,
setelah diskusi tadi sore, selanjutnya
acara Sekolah Jurnalis dilanjut dengan diskusi budaya sambil (accoustican) dan
duduk melingkari api unggun. Selamat datang kawan-kawan SEBUMI yang sudah meluangkan
waktunya untuk Sekolah Jurnalis.” Ucap pria ganteng itu,
disambut senyum oleh dua pemuda yang mewakili SEBUMI (Serikat Kebudayaan
Masyarakat Indonesia). Penutup kepala ala pendaki gunung (Kopluk) menutupi salah satu kepala pemuda itu, dengan sepatu boot yang ia pakai, menambah
estetika tersendiri saat gitar berada di pelukannya. Pemuda yang ada di
sebelahnya menggunakan topi hitam dengan tindik berwarna hitam melekat di
telinga kanannya, dua pemuda ini sepertinya seorang seniman.
“Diskusi kita
kali ini membicarakan budaya yang ada di Indonesia, beragam wacana akan kita
tuangkan di malam ini, sambil nanti menikmati jagung yang disediakan panitia,
sebelum memakannya kawan-kawan jangan lupa membakarnya di atas tumpukan barra
yang sudah disiapkan oleh panitia. Acara diskusi santai ini akan dibuka dengan
lagu-lagu perlawanan dari kawan-kawan SEBUMI. Untuk menghemat waktu, kami persilahkan
kawan-kawan SEBUMI memainkan satu tembang lagunya di malam ini, sebagai
pengantar diskusi budaya.” Lanjut pria ganteng itu bicara.
“Salam Budaya
Kerakyatan.” Ucapan salam dari salah satu pemuda yang memakai penutup kepala
ala pendaki gunung, membuka diskusi malam ini.
“Salam.” Seperti
biasa peserta yang berjumlah lebih dari tiga puluh orang, mayoritas
laki-laki dan empat orang perempuan, menjawab ucapan salam dari pemuda itu.
“Terima kasih kawan-kawan PEMBEBASAN yang sudah mengundang SEBUMI untuk bersolidaritas
di Sekolah Jurnalis yang diadakan kawan-kawan. Sebelum kita
memasuki rana diskusi budaya, kami dari SEBUMI akan membuka diskusi dengan
melantunkan lagu Mars SEBUMI, semoga lagu ini dapat memikat kawan-kawan.” Ucap pemuda yang memakai penutup kepala ala
pendaki gunung.
Semua peserta
larut dalam malam api unggun yang diiringin lagu Mars SEBUMI dibawakan dua
pemuda itu.
Dengan santai
pemuda yang mengenakan penutup kepala ala pendaki gunung itu bicara tentang
budaya yang ia ketahui, mulai dari maraknya seni yang dikomersilkan, hingga
seni menjauh dari rakyat, sampai Boy Band yang
mengasingkan rakyat di dalam seni juga menjadi pembahasan di malam itu. Di
akhir pembicaraannya pemuda itu mengatakan. “Politik adalah panglima.” Kata-kata terakhir dari pemuda itu.
Bingung? Bila
pembaca bingung dengan kata-kata pemuda itu, apalagi aku yang baru saja
mengikuti diskusi ini, sangat jauh berbeda dari diskusi yang aku dapatkan dalam
ruang kelas, keluar dari bibir manis seorang dosen.
Tapi pembaca tak
perlu khawatir, di kalimat selanjutnya akan terjawab kebingungan aku dan para
pembaca. Kalau pembaca menanyakan siapa nama dua pemuda itu, dan pria ganteng memakai
behel, maka kalimat di bawah tidak akan bisa menjawab, sebab dari awal
dimulainya diskusi ini, tidak ada sesi perkenalan sesama peserta, jadi maaf
apabila aku tak bisa menjawab pertanyaan pembaca, ceritaku bukan sebuah
karangan yang imajinatif masuk ke ubun-ubun pembaca, lalu klimaks di kepala,
tidur, lelah lunglai dalam kebohongan, dengan singkat aku katakan cerita ini,
hasil dari apa yang dilihat mataku dan terdengar oleh telingaku. Kita lanjut
ceritanya di kalimat selanjutnya.
Setelah pemuda
itu menyampaikan materi diskusi yang ia punya, suasana berubah menjadi hening,
semua peserta kagum, mendengar perkataan pemuda itu yang ramah dan
tidak membosankan cara penyampaian materinya. “Bagi kawan-kawan yang ingin
menambahkan diskusi ini , waktu dan tempat saya persilahkan.” Ucap pria
ganteng memakai behel yang bertindak selaku moderator.
Suasana masih
tetap hening, tak ada yang berniat menambahkan diskusi ini, sepertinya masih
malu berpendapat, atau lagi merasa lapar di dinginnya malam, semoga jagung bakar
dapat menuntaskannya.
“Bila tidak ada
yang ingin menambahkan, maka kawan-kawan SEBUMI akan melantunkan satu tembang
lagunya lagi, setelah itu kawan-kawan dipersilahkan membakar jagung, diskusi
akan kita lanjutkan nanti.” Lanjut pria ganteng itu bicara.
“Mari kawan-kawan
kita nyanyikan sama-sama, sebuah lagu yang mengingatkan kita untuk tidak
percaya mulut manisnya penguasa, lagu ini berjudul: Kenalilah Tiga Setan.” Ucap salah satu pemuda dari SEBUMI yang mengenakan topi hitam.
Kenalilah tiga
setan, setan penindas rakyat
Kenalilah tiga
setan, setan penghisap rakyat
Kenalilah tiga
setan, setan penindas rakyat
Yang pertama
Kapitalisme (ARB, JK, HT ) kemakmuran milik segelintir orang
Yang kedua
Militerisme (Prabowo, Wiranto, Hanura dan Gerindra) punya senjata siap
mengamankan modal”
Yang ketiga sisa
Feodal (Tuan tanah dan Sultan Jogja) watak kolot memasung demokrasi
Kenalilah tiga
setan, setan penindas Rakyat!
Itulah lirik dari lagu yang dibawakan dua pemuda itu, hentak membuat para peserta mengikutinya bernyanyi, suasana kembali ramai dengan lagu Tiga Setan, hingga sampai akhir lagu, para peserta tetap menyanyikannya bersama. Lagu yang bermakna sangat dalam dan mudah diingat.
“Silakan
kawan-kawan membakar jagung yang disediakan panitia, untuk dimakan. Setelah
bakar jagung, diskusi akan kita lanjuti. Ingat kenalilah Tiga Setan.” Kata pria ganteng yang memakai behel, menutup diskusi sementara.
Tak mau
ketinggalan, aku ikut membakar jagung yang dibagikan panitia. Kenapa mereka kasih jagung mentah? Kenapa
tidak yang matang saja? Apakah mereka ingin mengajarkan arti dari lagu yang
dinyanyikan SEBUMI saat membakar jagung, liriknya belajar sama-sama, bekerja
sama-sama, senang sama-sama, mungkin ini yang mau diajarkan kawan-kawan x. Ucapku di hati.
Malam semakin
larut, api unggun berubah menjadi barra yang kami gunakan untuk membakar jagung,
hasil dari kerja keras petani di desa. Semua peserta dan juga panitia asyik
dalam canda tawa sambil membakar jagung mereka masing-masing, tak terlihat ada
tua dan muda, hitam, putih, kuning, coklat, timur, tenggara, selatan , barat
daya (hahaha), agama E dan agama F, Perempuan, Laki-laki semua diperlakukan sama
malam ini. Mungkin ini keluarga suci yang mereka katakan.
Jagung sudah
habis, diskusi di mulai dengan kata pembukaan. “Salam pembebasan nasional, diskusi
santainya kita mulai lagi kawan-kawan, bagi kawan-kawan yang ingin menambahkan,
saya persilahkan dengan sangat.” Ucap pria memakai behel itu.
Lagi-lagi
semuanya terdiam, masih pada malu bicara, hingga malam menurunkan kabut, baru
terdengar suara dari depan barisanku. Pria memakai topi hitam, dengan mata
sembabnya bicara. “Selamat malam kawan-kawan, menarik dalam dinginnya malam
kita bicara “kenyataan” yang ada
dimana-mana, kali ini aku ingin bicara kenyataan tentang budaya yang menindas
perempuan, menganggap perempuan makhluk lemah, sampai pada tak adanya kebebasan
untuk perempuan, negeri yang sial, budaya ikut terlibat mempertahankan rantai
belenggu yang mengikat perempuan, tentu itu bukan budaya kita, Soeharto lah
yang menciptakan ini, merebut kekuasaan dengan membantai jutaan orang,
mengurung perempuan di dalam rumah. Tentu dengan bantuan Amerika, yang
mengerahkan anjingnya (CIA). Lalu anak sekolah putih abu-abu berkata, tak ada tercatat di dalam
sejarah, ada pembantaian massal. Anak sekolah itu lupa sejarah bangsanya. Ulah Soeharto yang menyesatkan
sejarah kita, sampai menumpas ilmu pengetahuan, hingga kita generasi muda, buta
pada sejarah.” Tangkas pria memakai topi hitam itu, matanya begitu sembab, mungkin
pengaruh dinginnya malam.
Usai pria bermata sembab itu bicara, moderator kembali memberi waktu untuk para peserta diskusi yang ingin menyampaikan pendapatnya tentang budaya, tentunya bukan hanya budaya penindasan perempuan, walaupun akhirnya lingkaran api unggun ini lebih banyak menceritakan persoalan perempuan, aku tetap menikmati pembicaraan mereka malam ini.
“Makasih
kawan-kawan sudah memberi waktu untuk aku menyampaikan pendapatku mengenai
budaya yang menindas perempuan. Dalam sejarah kehidupan manusia, masa lampau
pernah mencerminkan hidup rukun tanpa saling menindih, semua punya hak sama,
tak ada perbedaan jenis kelamin, semua sama dan punya hak, masa itu di sebut Masa Gotong-royong (Komunal primitif). Mungkin
kawan-kawan pernah mendengar dari guru SMA kawan-kawan, bahwa peradaban manusia
dulu, mencerminkan hidup manusia yang luhur, saling membantu, hidup berbagi,
keterbatasan alam mereka hadapi, namun itu sudah menjadi masa
lalu, kini perempuan dikurung dalam rumah, kasur, dapur, sumur, perempuan di
kerangkeng oleh ayat-ayat kaku yang
dibenarkan agama maupun adat dan orang tua, tragis bukan kawan-kawan? Disaat
perempuan ingin bertindak seperti layaknya manusia, maka perempuan itu dianggap
aneh, perempuan aneh, mau tidak kawan-kawan di sini menjadi
perempuan aneh? Perempuan aneh itu yang merebut kemerdekaan dirinya, tentu
dari lilitan ayat-ayat kaku yang direkayasa." Kata dari perempuan kerudung merah yang mengenakan kaca
mata, menyampaikan pendapat yang begitu panjang, namun jelas dan dekat dengan
kenyataan yang aku lihat, bahkan terkadang aku berpikir bahwa perempuan itu di
bawah laki-laki, ettss jangan marah dulu para pembaca, itu kan masa laluku,
keluarnya cerpen ini sebagai langkah awal yang baik untukku, menghargai perempuan sejajar, tanpa ada yang dibelakangi.
Diskusi malam ini
semakin seru, semua ingin memberi pendapat, hingga moderator kali ini yang
kebingungan memberi siapa duluan bicara. Dengan tanggap moderator
mempersilahkan peserta yang duduknya tak jauh dari dia untuk memberi pendapat. “Malam kawan-kawan,” mendengar perkataan itu, lelah ngatukku hilang, mata yang
berat, terbuka terang melihat api unggun, karena dibaliknya sumber suara itu berasal.
“Betul sebagian
besar yang disampaikan kawan-kawan tadi, bahwa budaya juga ikut terlibat dalam menindas perempuan, budaya memutarbalikan yang seharusnya
perempuan lakukan, berjalan serentak merebut derajat sama dengan laki-laki, bukan berebut siapa yang cantik. Memakai baju seberapa
gaul, hingga tak ke salon dibilang bukan
perempuan, apakah itu sudah takdir? Apakah perempuan menjadi makhluk perayu itu
sudah takdir? Hingga saya dapati sejarah di sekolah, bahwa perempuan yang
tergabung dalam Gerwani adalah seorang perayu tentara demi sekeping koin? Betul
kata teman tadi, bahwa sejarah direkayasa, sampai kita tak tau ada dimana, budayanya bagaimana?" Suara yang berlantun lembut dari
balik api unggun lagi-lagi mengusir ngantuk di mataku, telingaku hanyut dengan
kata perkata yang menggugat, tapi sampai detik ini aku belum tau siapa orang
yang memliki suara itu. Api unggun yang menyala terang, menutupi pandaganku
dari sumber suara itu.
Malam sudah
larut, dan para panitia menyadari itu, pria ganteng memakai behel,
mempersilahkan pemuda yang mengenakan penutup kepala ala pendaki gunung, untuk memberi
pendapat sebagai tanda memasuki akhir diskusi.
“Kawan-kawan aku
ingin membahas sedikit yang tadi aku katakan, Politik adalah panglima.
Ada sebagian besar orang di luar kita, yang anti dengan politik, bicara politik
adalah bicara kebohongan, mereka lupa, nasi yang ia makan itu hasil dari
politik, politiknya petani yang mengangkat parang mempertahankan tanahnya,
politik tuan tanah, yang merampas sawah hijau di ujung desa, orang-orang sepertinya
lupa budaya yang memaksa untuk tunduk mengikutinya, itu juga hasil dari
politik, aku ingin katakan, semua yang kita lihat, di dalam pergulatan kehidupan adalah hasil dari politik, yang kali
ini dikuasai oleh mereka yang mengadopsi politik kotor, merekalah yang
mencemari jernihnya medan tarung di politik, merekalah yang merubah budaya
persatuan di antara muda-mudi bangsa, merekalah yang menanamkan perkelahian
individu di atas segalanya. Mereka itu
pecundang yang sedang menguasai politik di Indonesia. Dengan politik kita bisa
merubah kebencian di masa lalu, masa sekarang, masa depan. Kita hanya batu di bawah air terjun tanpa berpolitik, tua di jaman yang membosankan, air akan menghanyutkan kita, dari pasir putih yang elok bertemankan mentari, senyuman nelayan di ujung timur, semua terbalut dari
ujung ke ujung keindahan negeri kita, harus kita rebut dengan politik persatuan
rakyat. Mungkin itu saja kawan kawan terima kasih sudah mendengar dengan sabar.
Salam Budaya Kerakyatan." Pemuda memakai penutup kepala ala pendaki gunung itu
menyampaikan dengan tenang, namun memaksa kami untuk saling mengadu tapak
tangan, menganggumi hasutan indah yang dia keluarkan.
Di ujung acara
pria ganteng memakai behel itu memberi ucapan terakhir untuk menutup acara diskusi ini. “Acara kita tutup dengan kawan-kawan SEBUMI menyanyikan lagu
terakhirnya. Yang berjudul Inodonesia mengadu."
Gitar dimainkan dua pemuda itu, tepuk tangan mengalir dari peserta yang terpaut lantunan senar, sampai suara yang terdengar dari dua pemuda itu tak jelas, terbenam dalam sorak ramai para peserta, yang mencoba menyanyikan lagu penutup diskusi ini.
Begitu cepat gelap mengantarkan embun, barra api tadi, perlahan-lahan berubah menjadi debu kayu, yang kehilangan merah dan panasnya, hemm, embun sudah menghampiri kepalaku, malam mengajakku untuk berlabuh ke pulau kapuk, di sana aku bebas menerka suara lembut yang lugas dari belakang api unggun itu, semoga lantunan suara dan isian pendapatnya sebuah pelajaran di masa depan.
“Don kamu ngapain masih di situ,” ucap temanku X, yang menegurku saat melamun melihat lampu-lampu jalan terhampar di hadapanku, sambil angan menari-nari membayangkan sosok perempuan itu. “Bentar lagi aku masuk,” jawabku dengan sederhana.
Dasar panitia! Temanku
tak mau berkompromi, dia tetap mengajakku istirahat, agar
esok bisa mengikuti materi-materi yang sangat jarang aku dengarkan.
“Mari Don, esok
kita akan mulai lagi diskusinya, masih banyak yang harus kita ketahui,
kenyataan di Bumi manusia.” Kata terakhir dari temanku yang coba meyakinkanku,
di sana ada pelangi indah yang tak bisa kita gapai, bila hidup menjadi
batu di bawa air terjun.
* Kader PEMBEBASAN.
Sumber cerita: Kisah seorang peserta, yang mengikuti Sekolah Jurnalis. Di selenggarakan PEMBEBASAN Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar