Pendidikan Mahal dan Membodohkan.





Perlu kita ketahui, bahwasannya pendidikan bukan untuk diperjual-belikan seperti barang dagangan (komoditi). Tetapi kita harus melakukan antropologi terhadap pendidikan pada saat ini yang berubah fungsinya. Seharusnya pendidikan untuk semua anak bangsa tanpa terkecuali. Tapi saat ini kenyataannya hanya orang mampu yang dapat menikmati pendidikan.


Pada masa penjajahan Belanda masyarakat tidak memahami bagaimana cara menulis dan membaca, berlandaskan kelemahan tenaga produktif, Belanda akhirnya mendirikan sekolah, agar Belanda dapat menekan biaya produksi pabrik untuk memajukan pendapatan pabrik-pabrik Belanda yang ber-operasi di Indonesia, (Dengan mendirikan sekolah, yang dapat menghasilkan juru tulis, Belanda tak perlu lagi mendatangkan juru tulis dari negerinya yang menelan biaya tinggi). Kebijakan Belanda mendirikan sekolah dikenal dengan politik etis (Politik balas budi). Dalam perjalanannya pendidikan di jaman penjajahan Belanda masih bersifat diskriminasi, di mana anak-anak yang dapat menikmati pendidikan hanya golongan tertentu saja, seperti para bangsawan pribumi, anak-anak pejabat, dan orang-orang Belanda itu sendiri.


Penjajahan Belanda sudah hilang di Bumi Nusantara, namun tidak untuk pendidikan yang diskriminasi. Saat ini kita masih dapat menyaksikan sejumlah anak dari kalangan akar rumput tak dapat menikmati pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi, sebab pendidikan di negeri ini sudah dijadikan komoditi, yang bagi siapa saja ingin menikmatinya harus menggelontorkan dana sebanyak mungkin, semakin banyak uang yang dikeluarkan maka semakin berkualitaslah pendidikan yang didapat.


Tak sampai di situ saja, selain pendidikan di Indonesia yang terbilang sangat mahal, pendidikan yang ada di Indonesia juga memakai pandangan yang membodohkan para peserta didik. Sebab teori pendidikan di Indonesia menggunakan pandangan Tradisional Konservatif. Pandangan ini berisikan pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi sekaligus teruji oleh waktu, pandangan ini disebut Esensialisme, pendidikan harus berupaya mengembangkan akal budi manusia semaksimal mungkin.


Pendidikan juga harus berpusat pada pendidik, pandangan ini disebut Perenialisme, kedua pandangan ini berada pada teori Tradisional Konservatif yang mana teori ini menekankan manusia menjadi mahluk budaya, sehingga keberadaan manusia dianggap memiliki peranan sebagai penghayat, pelaksana dan sebagai pengembang kehidupan, dan pendidik sebagai subyek pembawa nilai dan norma budaya menduduki posisi sentral dalam proses pendidikan (barnadid 1996; 62-63), pandangan tentang pendidikan semacam ini pada perakteknya cenderung bersifat otoriter dan menghalangi peserta didik untuk berkembang dan kritis melihat situasi masyarakat di sekitarnya. Aktivitas pendidikan kemudian dibelokan menjadi tindakan menundukan peserta didik.


Dalam teori ini kita bisa melihat contohnya di Indonesia; Pendidik seperti malaikat yang tak bisa dibantah ketika dia berbicara, padahal dari sekian banyak yang dibicarakannya sangat jauh dari realitas masyarakat. Lenin pernah berkata; "Kita tak dapat mempercayai pengajaran, pelatihan dan pendidikan apabila mereka membatasi hanya pada ruang sekolah dan dipisahkan dari proses kehidupan."


Pandangan yang membuat peserta didik menjadi pendengar setia, mempengaruhi metode belajar yang ada, semisalnya; metode belajar yang diterapkan oleh para guru dan dosen di Indonesia sangat monoton, seorang guru dan dosen hanya menjelaskan materi mata kuliahnya tanpa meminta peserta didik untuk berbicara sesuai dengan isi kepalanya, di dalam prakteknya metode belajar di Indonesia cenderung membatasi peserta didik untuk mengeluarkan pendapatnya di dalam kelas, hasilnya peserta didik hanya diam dan terus setia menjadi pendengar malaikat berbicara di depan kelas.



Akibatnya?

Para peserta didik saat ini menjadi apatis (tak peduli) terhadap lingkungan sosialnya, sebab di dalam kelas, para dosen tak pernah bicara tentang realitas yang ada, sementara para peserta didik tak dapat berpikir bebas. Akhirnya pandangan para peserta didik terhadap ruang kelas hanya sebagai tempat untuk dia mendapatkan ijazah, yang nantinya akan membuat orang tua peserta didik bangga dengan anaknya.


Selain mendapatkan pengakuan dari orang tuanya, motto para peserta didik belajar juga untuk menjaga gengsi peserta didik dan para orang tuanya, yang nantinya ijazah yang ia punya, akan dipajang di dalam ruang tamu rumahnya.


Tidak hanya sebatas menjaga gengsi, hasil pendidikan yang membodohkan itu juga membuat peserta didik terlatih sebagai penipu di dalam kelas, tak berani jujur, (mencotek saat lagi ujian), akibat dari pendidikan yang tidak melatih peserta didiknya untuk berpikir mandiri.


Dan yang paling parah, hasil dari pendidikan yang membodohkan membuat para peserta didik, menjadi calon-calon pekerja yang dibayar murah oleh perusahaan, dengan gaji rendah, mereka tak merontah, itu akibat tak adanya daya kritis yang didapat semasa para peserta didik di dalam ruang kelas.




Pandangan Alternatif untuk Pendidikan di Indonesia?

Kalau menurut saya teori yang paling baik untuk keberlansungan dunia pendidikan di Indonesia adalah teori yang juga disepakati oleh Paulo Freire yaitu; Kritis dan Progresif. Dalam teori ini dipaparkan aliran pandangannya mengenai apa itu pendidikan. Aliran Progesivisme pada prinsipnya meletakan kebebasan sebagai motif utama pengembangan kebudayaan. Garis besarnya di sini menunjuk toleransi, keterbukaan, rasa ingin tau serta menyelidiki.


Faham ini menyakini manusia sebagai subyek mampu menghadapi dunianya dalam berbagai masalah yang mengancam, dan Paulo Freire berada dalam kubu Kritis dan Progresif. Metode pendidikannya berpola dialog sebab ketika anti terhadap dialog maka tak bedanya peserta didik seperti binatang yang bergerak tanpa kesadaran. Garis besar pendekatan Kritis Progresif menekankan tumbuhnya sikap kritis peserta didik, dan peserta didik tidak difahami sebagai objek melainkan harus diterima menjadi subyek yang dilengkapi kemampuan untuk merubah realitas yang dihadapinya ke arah yang lebih baik.   


Seperti dikatakan Paulo Freire bahwa pendidikan yang mengobjektifikasi peserta didik sama dengan memperbodohnya, sehingga tidak terjadi pengembangan kesadaran, dan dalam teori ini juga ditekankan ke peserta didik, pengetahuan tidak hanya didapat dari pendidik saja, melainkan hasil keterlibatan secara terus menerus dari realitas yang dihadapi.


Paulo Freire berpesan; Pendidikan adalah alat perlawanan,! karena hakikatnya pendidikan ialah membebaskan manusia, pendidikan harus mengambil posisi kritis terhadap tatanan sosial yang tak berkeadilan.



Salam Pembebasan Nasional.
Lawan Kapitalis Pendidikan Yang Membodohkan.





Penulis: Muklis ( Kader Pembebasan Kolektif Utara).


Rujukan:
  • Buku (Pendidikan Alat Perlawanan).

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar