Oleh: Fullah Jumaynah*
Selama kurang lebih seratus lima
tahun yang lalu, sejarah hari perempuan ini lahir dari pergolakan yang besar
yang mengubah arah sejarah. Muncul sebagai gejolak dari kaum perempun kelas
pekerja di pabrik-pabrik yang mendapat perlakuan tidak layak dan diskriminatif.
Sehingga, menjadi penting diketahui oleh massa luas bahwa HPI
bukanlah sekedar tradisi tahunan untuk memperingati kemenangan atas perjuangan
kaum perempuan di masa lalu, namun sekaligus mengingatkan kita bahwa hingga
hari ini kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan kaum perempuan khususnya kaum
pekerja atau kelas perempuan miskin belumlah kita raih. Perjuangan pembebasan
perempuan masih harus diperjuangkan.
Sekilas,
Mengingat Kembali Sejarah HPI
Pada
pergantian abad menuju abad 20, sebelum tahun 1910, di negara-negara sedang
mengalami masa industrialisasi dan mulai memasuki adanya kerja upahan. Dalam pekerjaan
mereka dipisahkan menurut jenis kelamin, dan umumnya kaum perempuan ditempatkan
di bagian industri tekstil, manufaktur, dan layanan-layanan domestik.
Mulai
dari Amerika Serikat pada tahun 1903, melalui Liga Serikat Buruh perempuan yang
terdiri dari serikat buruh perempuan dan perempuan profesional liberal
berkampanye untuk hak pilih bagi perempuan. Ini adalah alat untuk
memperjuangkan kepentingan politik dan kesejahteraan ekonomi mereka. Dimana
memang tahun-tahun tersebut merupakan masa-masa pahit bagi banyak kaum
perempuan yang berada dalam kondisi kerja yang parah dan tinggal di pemukiman
kumuh.
Tahun
1908, minggu terakhir di Februari, dalam rangkaian pendirian Partai Sosialis
Amerika, kaum perempuan sosialis di AS menyelenggarakan Hari Perempuan Nasional
yang pertama dengan melancarkan demonstrasi besar untuk menuntut hak pilih bagi
perempuan serta hak-hak ekonomi dan politiknya sekaligus. Tahun berikutnya
(1909) sebanyak 2.000 orang turut menghadiri peringatan Hari Perempuan Nasional
di Manhattan. Di tahun 1909 tersebut, pekerja garmen perempuan melancarkan
pemogokan massal. Dimana sebanyak 20.000 hingga 30.000 buruh perempuan mogok
selama 13 minggu di suatu musim dingin demi menuntut upah yang lebih besar dan
kondisi kerja yang lebih baik. Liga Serikat Buruh perempuan menyediakan dana
bantuan bagi para demonstran baik untuk mendanai pemogokan massa itu sendiri
maupun untuk membebaskan para demonstran yang ditangkap polisi.
Di
tahun 1910, ada pertemuan kelompok sosialis internasional di Copenhagen, Denmark.
Pertemuan ini dimaksudkan untuk menjadikan hari perempuan sebagai hari
perempuan internasional. Pada saat itu penggagas utama adalah dari Partai Sosialis
Jerman yang sering memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak perempuan, yaitu Clara
Zetkin. Clara Zetkin sebagai salah satu pejuang kongres pada saat itu, menawarkan
proposal kerangka kerja untuk mengadakan konferensi perempuan sosialis dimana
perempuan sedunia harus memfokuskan diri untuk memperjuangkan satu hari khusus
untuk peringatan hari perempuan internasional demi menuntut hak-hak
mereka. Konferensi dihadiri lebih dari
100 perempuan dari 17 negara yang mewakili serikat-serikat buruh, partai-partai
sosialis, kelompok-kelompok perempuan pekerja, dan tiga perempuan pertama
yang terpilih dalam Parlemen Finlandia.
Selanjutnya
tahun 1911 pada tanggal 19 Maret di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss, lebih
dari satu juta perempuan dan laki-laki bersama-sama turun ke jalan. Mereka
menuntut hak untuk ikut serta dalam pemilu, berpasrtisipasi dalam pemerintahan,
hak bekerja seperti kenaikan upah, penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan, dll.
Dan berlanjut sampai tahun-tahun
berikutnya.
Dan
pada tahun 1913-1914, perempuan Rusia memperngati HPI untuk pertama kalinya paa
hari minggu terahir di bulan Februari. Ini juga merupakan upaya perdamaian
selama berlangsungnya Perang Dunia I.
Tahun
1917 bertepatan dengan Revolusi 1917, dua juta tentara Rusia terbunuh dalam
Perang Dunia I dan rakyat Rusia mengalami kesengsaraan akibat perang. Maka,
perempuan Rusia sekali lagi turun ke jalan pada hari minggu terahir di bulan
Februari dengan menyerukan “Roti dan Perdamaian” sebagai bentuk perlawanan
mereka. Catatan sejarah menunjukan empat hari setelah perlawanan ini, Tsar
(kaisar Rusia) turun tahta, sehingga dikenal dengan Revolusi Februari. Revolusi
ini adalah jalan menuju Revolusi Oktober 1917. Rakyat Rusia ini menggunakan
kalender Julian yang pada saat itu adalah tanggal 23 Februari, sementara dalam
kalender Gregorian (kalender Masehi) adalah tanggal 8 Maret. Pada saat itulah
peringatan hari perempuan diperingati setiap tanggal 8 Maret di seluruh dunia,
sebagai jalan pembuka Revolusi Oktober.
Melihat
kronologi di atas, gerakan perempuan saat itu jelas sekali watak kelasnya,
yakni berwatak proletar, jadi perjuangan sampai mencapai hari perempuan
internasional tidak lepas dari perjuangan kelas proletar. Sudah jelas, Hari
Perempuan Internasional merupakan satu momentum perlawanan kaum perempuan untuk
membebaskan kaum perempuan dari penghisapan, sekaligus perjuangan pembebasan
rakyat tertindas untuk membentuk tatanan masyarakat baru yang adil, makmur dan
bebas dari penghisapan dan penindasan. Menjadi jelas juga, bahwa perjuangan
pembebasan kaum perempuan yang sejati bukanlah sekedar menuntut hak dan
kesetaraan bagi perempuan, tetapi juga menuntut kesetaraan dan keadilan bagi
semua rakyat. Slogan “Roti dan Perdamaian” menjadi tuntutan utama dari
gerakan perempuan pada 8 Maret saat itu.
Kondisi sekarang untuk menentukan perubahan
Abad 21 ini
system ekonomi capital masih langgeng berkuasa. Pada saat ini kaum perempuan
dan rakyat Indonesia, serta seluruh rakyat di belahan dunia belumlah terbebas
dari penghisapan dan penindasan. Semakin hari penindasan-penindasan itu semakin
terlihat jelas. Di Indonesia kita ambil realita, tahun 2015 ini akan dihadapkan
dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau yang dikenal dengan pasar bebas
Asean. Apa yang akan terjadi dengan rakyat kelas Proletar di tengah medan
pertempuran dunia kapital?
Pasar bebas,
perdagangan bebas dan ditambah pencabutan subdisi yang mengakibatkan naiknya
harga-harga kebutuhan pokok saat ini, serta investasi modal sebagai kekuatan
yang berakibat pada buruh upah murah, berlakunya pasar tenaga kerja yang
fleksibel (PHK dipermudah, sistem kerja kontrak dan outsourcing) mengakibatkan
rakyat tak lagi memiliki kepastian kerja. Kesabaran seperti apa yang harus
dilakukan rakyat.
Dalam system
ini tentu saja kaum perempuan akan semakin menanggung beban terberat. Jika
banyak persaingan tenaga kerja, perempuan yang akan lebih dulu disingkirkan
atau di PHK dengan dalih tak layak menjadi tenaga produksi. Sementara masih
dalam system pertalian keluarga dimana laki-laki sebagai kepala rumah tangga
yang harus mencari nafkah. Namun, karena politik upah murah maka perempuan yang
harus bertanggung-jawab agar seluruh keluarga dapat hidup tercukupi. Untuk
menambah penghasilan agar cukup untuk membiayai keluarganya, baik pekerja
laki-laki dan perempuan memaksakan diri untuk bekerja lebih. Seperti lembur,
tidak menggunakan hak cuti haid atau hamil karena takut kehilangan upah,
sementara tenaga mereka ditukarkan dengan upah lembur yang tidak sebanding
dengan tenaganya. Belum lagi tidak adanya jaminan keamanan dan keselamatan
kerja ketika lembur malam. Sementara buruh perempuan bekerja di dunia kapitalis
yang memanfaatkan patriarki untuk semakin menindas. Maka tidak sedikit
perempuan yang mengalami bentuk kekerasan di tempat kerja.
Masih dengan
perempuan dijadikan sebagai boneka mainannya kapital. Tubuh perempuan semakin
masif dijadikan obyek dari barang dagangan: sebagai iklan, sebagai pajangan di
pameran-pameran, dll. Juga perempuan desa yang jauh dari hiruk pikuk industri
juga turut dalam penindasan. Tidak adanya lapangan kerja di desa dan tanah
untuk pertanian yang semakin hari hilang digantikan dengan pabrik-pabrik
tambang dll, memaksa mereka harus bekerja di luar negeri menjadi Buruh Migran
atau jika tetap di desa ya sebagai buruh tambang.
Lebih
menjengkelkan lagi, Negaralah yang memobilisasi perempuan desa untuk dijadikan
tenaga kerja di negeri lain yang mayoritas sebagai pembatu rumah tangga sebagai
pemasukan kas negara. Terlihat jelas bahwa adanya Negara hanya semakin
memperkuat penindasan. Di Negara Indonesia yang saat ini didalamnya dikuasai
oleh pemerintah Jokowi-JK, tentu tidak akan sanggup membebaskan kaum perempuan
dari penghisapan dan penindasan. Mereka juga menghamba pada capital. Demikian
pula elite-elite dan partai-partai politik yang duduk di parlemen yang
merupakan antek-anteknya. Termasuk juga elite perempuan.
Perjuangan Perempuan adalah Perjuangan
Pembebasan Nasional
Hari ini
banyak dari kaum perempuan yang memperingati hari perempuan internasional.
Namun, perjuangan seperti apa yang harus dilakukan hari ini dan hari depan?
Apakah dengan mereka yang saat ini sedang melaksanakan konferensi pers dengan
wajib mengenakan kebaya atau batik? Atau mengandalkan kuota 30% perempuan di
parlemen? Dan gerakan perempuan seperti apa yang diperluakan?
Jika
mengingat sejarah hari perempuan internasional, maka perlu adanya refleksi
kembali bagi gerakan-gerakan perempuan. Gerakan perempuan hari ini terlihat
asik dengan isu-isu yang parsial: relasi suami-istri, kekerasan rumah tangga,
dan masalah-masalah yang terkait dengan aktifitas seksual. Padahal, dahulu
begitu terlihat militansi perjuangan perempuan untuk cita-cita perubahan
besar, yakni penghancuran kapitalisme dan terbebasnya perempuan dari penindasan
karena proses modal. Ini menunjukkan
watak kontras antara gerakan perempuan masa lalu dengan gerakan perempuan
(feminisme patriarkal) hari ini.
Gerakan-gerakan
perempuan yang bermunculan hari ini dengan isu-isu parsial sulit untuk mencapai
cita-cita pembebasan perempuan. Bahkan bisa saja justru semakin memperkuat
posisi kapitalis untuk terus mengeksploitasi perempuan. Kesalahan fatal adalah
isu perlawanan perempuan terhadap laki-laki sebagai orang yang paling disalahkan
yang berwatak patriarki. Ini sangat menggelikan, yang pada ahirnya muncul;
penindasan terhadap perempuan terjadi di atas kasur. Jika itu menjadi masalah,
yang semestinya dilakukan adalah mencari basic dari permasalah tersebut.
Lenin
menjelaskan bahwa yang perlu ditegaskan adalah kecermatan dalam
mengidentifikasikan faktor penindasan perempuan berdasarkan latar belakang
situasi yang objektif. Yakni berdasarkan logika materialisme yang historis.
Kerangka ini diterapkan untuk menghindari pemanfaatan ideologi feminisme
sebagai kesadaran palsu atau bayangan realita yang terbalik dalam rangka
penyamaran kenyataan dari tatanan yang menindas. Lenin juga pernah menyerukan
kepada gerakan perempuan internasional untuk memberi kejelasan pada teori dan
programnya. Karena, menurut Lenin, tidak ada praktik yang revolusioner
(termasuk praktik dalam gerakan perempuan) tanpa teori Marxis – teori yang
mendasarkan pada perjuangan kelas.
Untuk menuju
pada masyarakat tanpa kelas maka musuh kita yang harus dilawan saat ini adalah
system ekonomi capital yang menindas, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Jelas,
kekuatan modallah yang telah memenjarakan kebebasan dan kesetaraan. Sehingga,
kebebasan perempuan bisa dicapai jika sistem kapitalis dihancurkan, diganti
dengan sistem yang membebaskan dan menghargai peran perempuan, yakni masyarakat
tanpa kelas. Menuju pada tataran sosialisme yang menjadi perjuangan jangka
pendek kita.
Maka, mulai
saat ini masukan butir-butir sosialisme sebagai sebagai kiblat dari semua
kegiatan kita. Agar kata “perempuan yang melawan” tidak kehilangan makna
revolusionekarnya dan tidak hanya menjadi gelas kosong yang diulang-ulang
sebagai penghilang haus semata. Artinya, selama kepemilikan pribadi
(kapitalisme) masih berdiri tegak, maka setiap peringatan hari perempuan
internasional hanya akan menjadi pengulangan cerita lama penindasan kapitalisme
seperti dongeng sebelum tidur.
*Kompartemen Pembebasan Perempuan Kolektif Kota Sleman.
Sumber Referensi:
- http://koranpembebasan.org/2015/03/menyingkirkan-perempuan.html
- http://www.militanindonesia.org/berita/perlawanan-buruh/8053-hari-perempuan-sedunia.html
- http://pembebasan.org/sisterhood-dan-sekerat-roti.html
- Feminis Untuk Pemula, Resist Book.
Gambar:
http://www.pesada.org/home/wp-content/uploads/2012/03/logo-HPI-8maret.png
Tidak ada komentar:
Posting Komentar