Soekarno pernah mengatakan di dalam Sarinah bahwa, soal wanita adalah soal masyarakat, dan itu
terbukti adanya dengan kondisi saat ini. Bagaimana kondisi bumi dengan keadaan
kaum perempuan saat ini. Jumlah kaum perempuan Indonesia misalnya, diperkirakan
mencapai 49,7% dari 237.641.326 total penduduk, atau dengan perbandingan
1000:986 antara laki-laki dan perempuan. Dari data tersebut menunjukan adanya
kondisi di mana perempuan tidak menjadi jumlah minoritas di negara ini, hampir
ada keseimbangan jumlah. Namun, melihat realitanya bisa dikatakan ada
ketimpangan antara kuantitas dengan kualitas. Bagaimana negara membangun
konstruk perempuan yang di dalamnya terselip bentuk-bentuk diskriminasi,
bentuk-bentuk penjajahan terhadap seks.
Semestinya perempuan sebagai individu maupun kolektif
adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kolekif sosial masyarakat,
karena melihat dari sejarahnya apabila tidak ada perempuan maka tidak ada
peradaban manusia. Bagaimana dengan abad saat ini? Teringat apa yang
disampaikan oleh Pramoedya Ananta Tour tentang Perempuan adalah lautan kehidupan maka hormatilah ia.
Ini merupakan himbauan Pram atas kenyataan bahwa perempuan tidak berada dalam
posisi setara sebagai manusia dengan manusia lainnya yang berbeda jenis
seksualnya dalam masyarakat. Hal-hal yang berbau diskriminasi begitu banyak
dialami perempuan.
Seperti apa perempuan mengalami
diskriminasi?
Banyak hal yang dapat dengan mudah dilihat dari
bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Mencoba melihat dari segi
perekonomian, di mana sistem perekonomian yang menganut sistem Kapitalisme, membawa
dampak besar terhadap kesejahteraan ekonomi perempuan. Persoalan mendesak kaum
perempuan di seluruh dunia saat ini adalah kemiskinan. Lagi-lagi kondisi
ini tak lepas dari adanya sistem Kapitalisme dalam ekonomi
politik yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat khususnya perempuan. Ini
menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri apabila melihat data dari jumlah
kependudukan yang sudah disebut sebelumnya. Dari data yang ada
diperkirakan 70% diantaranya adalah kaum tani, dan dari total penduduk yang
ada. Dari jumlah tersebut kaum perempuan merupakan bagian penduduk yang
terbesar di pedesaan, yaitu sekitar 58%.
Melihat data tersebut secara logika semestinya
perempuan sebagai penyumbang proses produksi terbesar, karena memang menjadi
buruh tani satu-satunya cara untuk mempertahankan hidup. Namun, tetap saja
perempuan tidak diperkenankan menjalankan pertanian mulai dari penyiapan
produksinya seperti benih, bibit, pupuk dan obat-obatannya sampai pada
pengolahan. Memang masih ada perempuan-perempuan desa yang ikut mengolah lahan
meskipun hanya 5% dari jumlah yang ada, dan mereka hanya sebatas tukang gepyok. Benih, pupuk dan pestisida diambil paksa oleh perusahaan-perusahaan
besar penyedia input produksi seperti Monzanto, Zingenta dll. Dan proses
pengolahannya diambil oleh mesin-mesin pemilik modal, dan dengan dalih
mesin-mesin itu maka dibangunlah konstruk perempuan tidak dapat menggunakan
mesin tersebut.
Selain itu dalam sektor industri, dalam hal ini
adalah buruh perempuan dimana buruh perempuan seringkali menjadi korban
diskriminasi. Bisa dilihat di Indonesia misalnya, mayoritas buruh dalam sektor
industri adalah kaum perempuan, mereka dibayar murah, tidak adanya hak cuti
haid dan melahirkan, serta tunjangan yang semestinya menjadi hak para buruh
tidak mereka terima. Ditambah dengan pemberlakukan sistem kerja kontrak yang
disahkan oleh negara melalui UU Ketenagakerjaan No. 13/2001, ini semakin
merugikan buruh perempuan.
Misalnya kewajiban pengusaha untuk memberikan cuti
dan tunjangan melahirkan bagi perempuan buruh yang sedang hamil, dengan
pemberlakuan sistem kontrak maka para perempuan buruh yang hamil malahan di-PHK
sebelum waktu mereka melahirkan dengan alasan sudah habis kontrak. Ini hanya
menjadi alasan bagi pengusaha agar mereka dapat mangkir dari kewajibannya untuk
memenuhi hak-hak sosial ekonomi para buruhnya, khususnya buruh perempuan yang
hari ini menjadi mayoritas di dunia industri di Indonesia.
Dan sangat disayangkan sekali ketika melihat
kondisi yang ada, masih banyak perempuan yang tertidur lelap dan berpura-pura
nyaman. Baik dari kalangan buruh perempuan ataupun mahasiswa perempuan. Padahal
masih banyak hal yang bisa dilihat dan dirasakan adanya ketertindasan perempuan
selain akibat dari adanya sistem ekonomi Kapitalisme.
Meskipun Kapitalisme lahir
mempunyai kepentingan penyebaran budaya liberal untuk menyokong produksinya,
tapi tetap saja budaya patriarki dan sisa-sisa feodal masih bercokol di Bumi
Manusia ini dan masih menjadi penjara bagi perempuan. Apalagi di Indonesia
merupakan tempat di mana feodalisme belum tuntas, budaya patriarki masih
mengakar kuat di dalamnya, disini sisa-sisa feodal dalam lapangan budaya
menyokong dan membenarkan pandangan patriarki. Bagaimana perempuan diposisikan
sebagai seorang yang lemah dan tidak mendapat akses dilapangan produksi.
Pekerjaan perempuan hanyalah di dapur, kasur dan sumur. Apalagi di pedesaan
yang mana budaya patriarki feodal ini masih sangat kental, yang paling banyak
menanggung adalah perempuan miskin pedesaan.
Begitu kuatnya budaya patriarki dan sisa feodal
sangat menghambat perkembangan tenaga produktif yang salah satunya adalah
perempuan, karena ada batasan-batasan dalam perkembangan perempuan. Batasan-batasan
itu seperti pembatasan pengembangan kapasitas intelektualnya dalam hal ini
adalah pendidikan, pembatasan terhadap keterlibatan dalam proses produksi, dan
lainnya. Yang semuanya merupakan bagian penting untuk peningkatan kualitas
tenaga produktif.
Diskriminasi pendidikan yang juga merupakan dampak
dari budaya patriarki, menganggap pendidikan untuk kaum perempuan tidaklah
penting, karena setelah perempuan menikah dia hanya sebagai ibu rumah tangga,
yang pekerjaannya hanya di domestik. Sehingga presentase perempuan dalam
pendidikan sangat rendah. Misalnya untuk tingkat SLTA presentase perempuan yang
mengenyam pendidikan pada jenjang tersebut hanya mencapai 12,4%, lebih rendah
dari laki-laki yang mencapai 16,9%. Hal serupa juga terjadi pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, yaitu tingkat akademi dan S1 hingga S3. Untuk tingkat
akademi dan S1-S3, persentase perempuan yang mengenyam jenjang pendidikan
tinggi ialah 2,8%, lebih rendah dari laki-laki yang mencapai 3,7%.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Masalah-masalah yang dihadapi perempuan saat ini
sebenarnya adalah masalah yang sudah tumbuh sejak lama, namun tidak kunjung
tumbang. Sudah banyak pula kalangan yang mencoba mencari jalan keluar dari
permasalahan yang ada, namun sampai saat ini masih tetap saja perempuan
terpenjarakan. Begitu kuatnya akar-akar kapitalis, patriarki dan feodal
tertancap di tanah ini, sehigga perlu perjuangan keras untuk pembebasan
perempuan. Akan tetapi, semua ini bukanlah takdir Tuhan yang tidak bisa
dirubah, Kapitalisme bisa dilawan dan dikalahkan dengan
persatuan massa.
Sudah saatnya kaum perempuan bangkit dan melawan segala bentuk penindasan yang dialaminya. Kita tidak bisa melupakan sejarah kita, bagaimana perempuan juga terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional. Ketika sebelum Orde Baru ada Gerwani, satu-satunya organisasi perempuan pada masa itu. Organisasi sebagai alat para perempuan ikut berjuang melawan penjajahan. Dengan mewarisi semangat Clara Zetkin dalam merintis perjuangan perempuan, Gerwani melakukan banyak kegiatan pendidikan dan pencerahan bagi perempuan, semua itu tidak terpisahkan dari perjuangan demi kamajuan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Namun sayangnya perjuangan perempuan melalui organisasi hilang ketika orde baru. Perempuan dibungkam dengan dibentuknya organisasi perempuan yang hanya sekedar mengkampanyekan perempuan yang baik dengan dia pandai merias dirinya, pandai memasak, yang dibentuk karena suaminya sebagai aparatur negara, dan lainnya yang justru semakin mengentalkan penindasan terhadap perempuan.
Selain melihat sejarah perjuangan perempuan pada
masa sebelum Orde Baru, kita bisa melihat perjuangan perempuan di salah satu
Negara di Amerika selatan, misalnya di Bolivia, ketika privatisasi air
digalakkan, perempuan menjadi unsur paling dinamis dan paling maju dari gerakan
sosial. Justru bukan dengan diam dengan keadaan ini semua, perempuan perlu
adanya ketegasan sikap terkait kondisi yang sedang terjajah.
Menghancurkan dan merombak sistem yang ada, perlu
alat perjuangan dalam hal ini adalah organisasi. Semoga bisa menjadi
kesepakatan bersama bahwa adanya organisasi selain sebagai alat perlawanan,
juga sebagai wujud dari kesadaran politik suatu masyarakat. Kesadaran massa
untuk berorganisasi di negeri yang tanpa sadar sedang dijajah memang masih
minim, apalagi kaum perempuan sebagai objek jajahan yang dominan. Dalam
organisasi, kaum perempuan akan secara bersama memperjuangkan kepentngan
sosial, ekonomi, dan politiknya yang selama ini selalu diabaikan dan
direpresif. Apabila selama ini propaganda feodal menempatkan kaum perempuan
sebagai mahluk yang lemah, tidak rasional, dan tidak mampu memimpin. Maka dalam
organisasi Revolusioner, perempuan akan menemukan ruang untuk
belajar, melatih diri dan berjuang bersama barisan rakyat yang tertindas.
Namun, jangan menelan mentah organisasi ini. Karena
sekarang begitu banyak organisasi yang mempropagandakan perjuangan pembebasan
perempuan, akan tetapi terjebak pada satu persoalan yang subjektif. Penggalian
sebab-musabab penindasan perempuan yang tidak objektif dan berdampak pada
penyalahan salah satu pihak. Ahirnya timbul organisasi gerakan perempuan yang
berdiri karena kesadaran palsu atau tidak tepat dengan realita dan salah
mengangkat senjata perjuangan.
Memang butuh ketelitian dalam memilih alat perlawanan
agar tidak salah angkat senjata. Organisasi gerakan perempuan yang mampu
menyadari dengan cermat landasan munculnya persoalan spesifik perempuan melihat
dari latar belakang sejarah kehidupan manusia yang objektif. Karena esensi
persoalan perempuan juga persoalan manusia seluruhnya. Maka Organisasi yang
berkarakter kerakyatan, mandiri, demokratis, ekologis dan feminis, yang
mempunyai program perjuangan yang jelas, program ideologi yang tepat, program
ekonomi politik yang dapat menjawab persoalan rakyat dan organisasi yang mampu
mewadahi gerak kondisi objektiflah yang perlu dibangun sebagai alat perlawanan.
Penulis: Fullah Jumaynah (Perempuan baik ini selain
aktif membuat berbagai macam artikel, dia juga terlibat dalam perjuangan
pembebasan perempuan, dan menjadi Kader PEMBEBASAN Kolektif Utara Sleman).
Sumber
referensi:
http://dedisyaputra.wordpress.com/2009/04/08/keadaan-umum-kaum-perempuan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar