TUTUP FREEPORT DAN BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BAGI BANGSA WEST PAPUA

Kehadiran PT. Freeport Indonesia di tanah Papua merupakan malapetaka bagi Rakyat Papua. Kehadiran Freeport sejalan dengan kehadiran pelanggaran terhadap hak kemanusiaan dan lingkungan di tanah Papua. Ambisi Freeport yang ingin keluar dari keterpurukannya setelah disepak keluar dari Kuba setelah Revolusi 1959, menimbulkan persoalan baru di tanah Papua. Kehadiran Freeport yang secara langsung melibatkan Pemerintahan Indonesia dan militer di bawah komando Soeharto yang identic dengan kekerasan melahirkan masifnya kekereasan terhadap kemanusiaan di Papua.

Berbagai kekerasan dan operasi dilakukan demi penguasaan terhadap wilayah Papua demi kenyamanan pengamanan terhadap proses penanaman modal. Secara umum di Papua kekuasaan militer berkembang setelah Pengumandangan TRIKORA 19 Desember 1961, oleh Ir. Soekarno di Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta. Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi, seperti; Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan, pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus [Opsus]. Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki dan dapat dipastikan banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.

Kekerasan demi kekerasan pun dialami oleh masyarakat Amugme di bumi Amungsa Papua, dengan misi penetralan situasi di wilayah pertambangan yang mulai sejak awal kontrak karya pada tahun 1967. Konflik diperburuk ketika seluruh wilayah Amungsa seusai perlawanan rakyat suku Amungme terhadap Freeport tahun 1977 dan Papua secara umum dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya, acap kali suku Amungme menjadi objek kekerasan oleh aparat keamanan yang melindungi perusahaan pertambangan itu.

Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun 1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya.
Sejarah kekerasan aparat keamanan khususnya terhadap rakyat Papua Barat telah dimulai sejak Papua Barat tahun 1963. Pada tahun 2000, ELS-HAM Papua melaporkan korban kekerasan aparat keamanan di sebagai wilayah di Papua Barat. Kabupaten Paniai antara tahun (1968-1998) tercatat meninggal 614, hilang 13, diperkosa 94; Kabupaten Biak (1962-1972 dan 1998) meninggal 102, hilang 3, dianiaya 37, ditahan 150; Kabupaten Wamena (1977), Kecamatan Kelila 201 orang tewas, Kecamatan Asologaima 126 orang tewas, Kecematan Wosi 148 orang tewas; Kabupaten Sorong (1965-1999) meninggal 60 orang, hilang 5 orang, diperkosa 7 orang; dan Kabupaten Jayawijaya (1996-1998) meninggal 137 orang, hilang 2 orang, diperkosa 10 orang, diniaya 3 orang, di bakar 13 gereja, 13 kampung, 166 rumah dan 29 rumah bujang serta kabupaten lainnya masih belum terdata dengan baik.

Selain kekerasan yang terhadap kemanusiaan pengrusakan terhadap alam pun massif dilakukan tanpa pertanggungjawaban terhadap parbaikan alam dan lingkungan. Freeport telah mematikan  23.000  ha  hutan  di  wilayah pengendapan  tailing. Meluapnya  sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing.  Freeport  telah membuang  tailing dengan  kategori  limbah  B3  (Bahan Beracun  Berbahaya)  melalui  Sungai Ajkwa yang berdampak langsung bagi masyarakat setempat yang mendiaminya. Limbah  ini  telah  mencapai  pesisir  laut Arafura. Tailing  yang  dibuang  Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui  baku mutu  total suspend  solid  (TSS)  yang  diperbolehkan menurut  hukum  Indonesia.  Limbah tailing Freeport  mencemari  perairan  di muara  sungai  Ajkwa  dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar.  Tailing  yang dibuang  Freeport  merupakan  bahan  yang mampu  menghasilkan cairan asam berbahaya bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di  sungai Ajkwa  telah punah akibat  tailing Freeport.

Dalam hal keamanan Detik Finance oktober 2011 melaporkan, Freeport-McMoRan Copper & Gold, yang merupakan induk dari PT Freeport Indonesia menganggarkan uang keamanan untuk operasionalnya di sejumlah negara. Di Indonesia, uang keamanan Freeport mencapai US$ 14 juta atau sekitar Rp 126 miliar, terbesar setelah setoran keamanan ke AS. Berdasarkan laporan keuangan Freeport-McMoRan Copper & Gold, disebutkan anggaran keamanan untuk di Indonesia mencapai US$ 14 juta. Angka itu lebih rendah dibandingkan uang keamanan di AS yang mencapai US$ 81 juta. Dengan total dana keamanan sebanyak US$ 97 miliar, bila dijumlah dengan dana dana yang digelontarkan ke beberapa negara seperti Chili, Peru, dan Republik Demokratik Kongo. Hal ini berdampak langsung terhadap seluruh kebijakan segala bidang kehidupan rakyat Papua yang dikontrol secara langsung oleh militer.

PT. Freeport dan Imperialisme Amerika serta kolonialisme dan militerisme Indonesia di Papua merupakan satu kesatuan yang menjunjung rangkaian penindasan yang tersistematis di Papua. Negara digunakan sebagai alat kelompok pemodal yang sedang berkuasa untuk melegalkan penindasan di bumi Papua. Freeport merupakan dalang di balik New York Agreement yang tidak melibatkan orang Papua dan pratek Penentuan Pendapat Rakyat [PEPERA] yang manipulative serta tidak demokratis dan pembantaian terhadap seluruh aktivitas perlawanan yang dilakukan dari tahun 1963-2000 dan hingga kini dalam skala tertentu. PEPERA dilakukan pada tahun 1969 dan kontrak karya pertama PT. Freeport dan Indonesia pada tahun 1967, dua tahun sebelum Papua Barat sah menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Hal tersebut merupakan sebuah cerminan daripada kolaborasi Kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme yang diaplikasikan melalui praktik politik penggabungan paksa (aneksasi) Papua ke dalam bingkai Republik Indonesia tanpa memberikan kebebasan bagi Rakyat Papua untuk menentukan nasibnya.


Maka dari itu, kami Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, bersama Aliansi Mahasiswa Papua menuntut kepada Rezim Jokowi-JK untuk;
1. Usir dan Tutup Freeport
2. Audit kekayaan dan kembalikan freeport dan serta berikan pesagon untuk buruh
3. Audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan
4. Tarik Tni/Polri Organik dan Non organik dari tanah papua
5. Berikan hak menentukan nasib sendiri solusi demokratik bagi bangsa west papua
6. Usut,,tangkap,adili dan penjarakan pelanggaran ham selama keberadaan freeport di papua
7. Biarkan rakyat dan bangsa west papua menentukan masa depan pertambangan Freeport di Tanah West papua
8. Freeport wajib merehabilitasi lingkungan akibat ekspotasi tambang
Sekian salam juang panjang umur perlawanan

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP JOGJA)
aliansi Mahasiswa Papua (AMP)

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar