Mahasiswa Menolak Militer Masuk Kampus



Yogyakarta (22/08/17) - waktu menunjukan pukul 10.00 WIB, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Anti Militerisme - Rebut Demokrasi (FAMRED) berpakaian serba hitam telah memenuhi jalan tepat di depan GOR UNY. puluhan mahasiswa tersebut bukan tanpa tujuan untuk berkumpul dan berpakaian layaknya menghadiri kematian manusia, serba hitam. Namun, mereka adalah massa aksi yang telah meneguhkan niatnya untuk menyuarakan hati dan pikirannya yang bergejolak akibat hadirnya militer di dalam lembaga pendidikan kampus UNY.

Kampus UNY dengan birokrasinya yang tidak demokratis, mendatangkan pihak militer untuk menjadi pembicara dalam acara Ospek. Sebagaimana sosok kampusnya yang tidak demokratis, pemanggilan militer tersebut tanpa melibatkan suara mahasiswa yang ternyata banyak mahasiswa menolak kedatangan militer di dalam lembaga pendidikan.


Sejarah mencatat, banyak kisah berdarah yang dilakukan oleh militer. Kisah-kisah kelam yang berisikan matinya banyak manusia. Kisah-kisah hitam yang menceritakan kebrutalan militer terhadap banyak manusia. Banyak kisah, peristiwa yang penuh darah; Peristiwa Malari (1974) yang mengisahkan belasan orang terbunuh, Penembakan 600-an lebih mahasiswa Trisakti (1998), tindakan represif militer terhadap 127 orang pada peristiwa Semanggi I (1998) dan 228 orang pada Semanggi II (1999), kemudian tertulis juga didalam sejarah tentang kasus penculikan dan penghilangan paksa terhadap puluhan mahasiswa ditahun 1998, bahkan hingga sampai saat ini beberapa di antaranya tidak diketahui keberadaanya.


Selain menjadikan mahasiswa sebagai korban, militer juga menyasar kalangan aktivis, pegiat demokrasi dan perjuang HAM. Kasus Marsinah di tahun 1995, kasus wartawan Udin yang dianiaya militer hingga tewas di tahun 1996, kasus Munir di tahun 2004, dan masih banyak tumpukan kasus lainnya yang tidak pernah dalam sejarahnya korban mendapatkan keadilan, yang bahkan pelaku pembunuhan masih dapat menghirup udara segar, bebas tanpa diadili.


Kita juga tidak akan melupakan pembantaian yang dilakukan militer terhadap 3 juta manusia, yang terjadi di sekitar tahun 1965. Manusia yang komunis, mati. Manusia yang bukan komunis dianggap komunis, pun harus mati. Manusia, rakyat Indonesia, yang menjadi sasaran pembunuhan militer yang dilakukan secara brutal. Mereka dipenggal, dibunuh, dan disiksa. Militer juga tak luput menyasar kaum perempuan, menghabisi kaum perempuan. Perempuan-perempuan itu adalah aktivis GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) dan bahkan yang bukan GERWANI, pun harus mengalami pelecehan fisik, psikologis maupun mental. Para perempuan dipermainkan alat kelaminnya, dipermalukan dan diperkosa oleh militer Indonesia. Pembunuhan dan pembantaian juga harus diterima oleh anak cucu dari keturunannya.


Kitu juga tidak akan melupakan betapa bangsa west papua dipenuhi sejarah kelam sejak pengumandangan TRIKORA pada 19 Desember 1961 oleh Ir. soekarno, dimana hal itu adalah aneksasi pemerintah Indonesia terhadap West Papua yang sebelumnya telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. Pengumandangan TRIKORA diikuti dengan berbagai gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi, seperti; Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatuyu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Force, Operasi Cakra, Operasi Lumba-Lumba dan lain-lain.


Kejamnya dan kejinya militer harus dilawan sebagaimana juga kawan-kawan massa aksi  Front Mahasiswa Anti Militerisme - Rebut Demokrasi (FAMRED) melawan dan menolak kehadiran militer di dalam Kampus UNY. Mereka yang berpakaian hitam membentangkan spanduk yang bertuliskan TOLAK MILITER MASUK KAMPUS. Massa aksi berjumlah puluhan mahasiswa terdiri dari berbagai organisasi mahasiswa yakni : PPRI (Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia) Jogja, SIEMPRE (Serikat Pembebasan Perempuan), Pembebasan kolektif Jogja, PMD (Peejuangan Mahasiswa untuk Demokrasi), Cakra, SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia), BEM UNY (Badan Eksekutif Mahasiswa), LSS (Lingkar Studi Sosialis), LMND PRD dan individu-individu lainnya.


Orasi untuk menyemangati kawan-kawan massa aksi dibuka oleh Oppan (PMD) yang terus meneriakan "Lawan Militerisme" dan menyampaikan pentingnya melawan militerisme yang telah membunuh rakyat Indonesia dan West Papua. Kemudian dilanjutkan dengan orasi politik dari Fitri Lestari dari SIEMPRE yang juga menjelaskan kepada massa aksi dan rakyat disekitarnya mengenai betapa kejamnya militerisme. menghabisi rakyat dan bahkan membungkam ruang-ruang demokrasi. Kawan-kawan dari SMI dan organ-organ lain pun juga menyampaikan orasi politik "menolak militerisme masuk kampus, kembalikan militer ke barak!!!"


Tak luput, Deven mewakili anggota Pembebasan kolektif Jogja menyampaikan bahkan juga mengkritik LMND PRD yang pernah bekerjasama dengan militer, "kita juga harus konsisten menolak militerisme terutama organisasi yang kita naungi, apabila organisasi kita menyuarakan tolak militerisme maka kerjakanlah, janganlah sampai bekerjasama dengan militerisme yang telah melukiskan sejarah kelam rakyat indonesia dan rakyat west papua".


Berkali-kali massa aksi berteriak dengan penuh semangat, "Hidup mahasiswa, hidup buruh, hidup perempuan yang melawan, lawan militerisme, kembalikan militer ke barak!!".


Front Mahasiswa Anti Militerisme - Rebut Demokrasi (FAMRED) menyatakan sikap sebagai berikut :

1. Tolak militer masuk kampus.
2. Tolak militerisme dalam dunia pendidikan.
3. Wujudkan Demokrasi seutuh-utuhnya serta berikan kebesan untuk berorganisasi, berekspresi, dan berpendapat.
4. Cabut Perpu Ormas dan tolak RUU Kamnas.
5. Tolak represifitas serta kriminalisasi mahasiswa dan rakyat.
6. Tuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu,  terutama di wilayah Papua.

Aksi pun ditutup dengan menyanyikan lagu Totalitas Perjuangan dan Internasionale.


..."Dan Internasionale pasti jaya di dunia !!!".


-FL-


Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar