KOTA JOGJA ISTIMEWA RASISNYA

Kota Jogja Istimewa Rasisnya

Yogyakarta, Kamis (27/7/17) - Pagi itu aktivis pro demokrasi telah berkumpul di Asrama Papua Kamasan yakni sekitar pukul 7 pagi. Semangat terus membara di setiap jiwa para insan pro demokrasi, berkumpul dan menyiapkan seperangkat alat aksi, spanduk dan ikat kepala tak lupa dibawa, tentu bertuliskan "Bebaskan Obby Kogoya". Merekapun berangkat dari asrama kamasan menuju Pengadilan Negeri Jogja, sebagian naik kendaraan pribadi, sebagian berjalan kaki. Solidaritas itu dilakukan oleh banyak kawan-kawan West Paapua maupun kawan-kawan dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP).

Sekitar pukul 09.00 WIB massa aksi telah sampai di depan ruangan pengadilan negeri jogja, puluhan massa aksi berkumpul dan melakukan aksi sebelum dimulai persidangan. Aksi dihadiri oleh Front Anti Kriminalisasi yang terdiri dari LBH Jogja, IPMAPA, AMP dan FRI-WP.

Tentu, kota yang dibilang istimewa ini yang sudah tak lagi istimewa telah menciderai ruang demokrasi di Jogja. Faktanya, saat aksi tersebut berlangsung banyak berkeliaran aparat militer di setiap sudut ruang dan halaman PN Jogja. Pun juga itu terjadi di aksi-aksi solidaritas sebelumnya, banyak aparat militer berkeliaran.

"Bebaskan Obby Kogoya, Bebaskan Obby Kogoya, Lawan Kriminalisasi", teriak salah seorang kawan pro demokrasi saat ia mengawali penyampaian orasi politiknya.

Obby Kogoya, adalah mahasiswa Papua yang menimba ilmu di kota yang selama ini banyak orang bilang "Kota Istimewa Yogyakarta". Kota yang tak lagi istimewa karena tahun lalu tepatnya pada 15 Juli 2016 Obby Kogoya dan kawan-kawan dikepung oleh ratusan aparat militer dan bahkan juga sipil reaksioner.

Pada satu tahun lalu, Obby Kogoya dan kawan-kawan Papua berkumpul di Asrama Papua Kamasan Yogyakarta untuk memberikan dukungan kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) agar menjadi anggota tetap dalam organisasi regional negara-negara Melanesia, Melanesian Spearhead Group (MSG).

Sayangnya, kota istimewa tak ada lagi ada keistimewaannya barang sekecilpun. Nyatanya, kawan-kawan Papua dikepung oleh sekiitar 800 aparat militer dan juga sipil reaksioner. Obby yang waktu itu akan masuk ke asrama kamasan lewat pintu belakang mendapat represifitas dari anggota kepolisian yang katanya sedang bertugas. Obby dikriminalisasi oleh aparat kepolisian dan ia harus menghadapi sidang-siang pengadilan ditemani oleh Penasihat Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta dan didukung oleh kawan-kawan pro demokrasi dengan melakukan aksi solidaritas di setiap sidangnya.

Sidang demi sidang dijalani oleh Obby Kogoya dan kawan-kawan pro demokrasi pun tak surut untuk terus memberikan dukungan dengan melakukan aksi-aksi massa. Tepat pada kamis 27 Juli 2017, ialah pembacaan putusan Pengadilan Negeri terhadap kasus Obby Kogoya. Pengadilan Negeri Jogja memutuskan bahwa Obby bersalah dan dijatuhi 1 tahun masa percobaan dengan hukuman 4 bulan penahanan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jogja menyatakan Obby diputus bersalah karena melanggar pasal 212 KUHAP. Obby dinyatakan melawan dan menganiaya polisi.


Penasehat Hukum Obby Kogoya, Emanuel Gobay (LBH Jogja), menyampaikan bahwa persidangan tidak melihat fakta-fakta yang ada. Padahal, fakta sudah jelas bahwa semua saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut tidak mampu menunjukkan bukti-bukti yang jelas. Bahkan saksi tersebut juga ada yang tidak jelas kesaksiannya, karena menunjukkan bahwa oknum polisi terkait yang dianggap menjadi korban dari kekerasan Obby, berada di 3 tempat yang berbeda dalam satu waktu.

Emanuel Gobay juga menyampaikan bahwa LBH Jogja kemungkinan besar akan mengajukan banding, "negara ini negara demokrasi dan hal seperti ini tidak baik bila dibiarkan,” ujarnya yang juga terus memberikan semangat dan dorongan pada massa luas untuk membuka seluas-luasnya ruang demokrasi.

Dengan dikeluarkannya putusan pengadilan tersebut maka terlihat bagaimana aparatur hukum di Kota Jogjakarta tidak memberikan keadilan kepada rakyatnya. Pembelaan yang dilakukan oleh LBH Jogja dengan berbagai dasar-dasar hukumnya tidak dipertimbangkan seluruhnya, pelaku yang justru melakukan represifitas dan kriminalisasi kepada Obby Kogoya tidak ditangkap dan diadili, ia bebas. Veronica Koman, salah satu aktivis hukum dan HAM di Jakarta, menilai bahwa tindakan menyatakan Obby bersalah melalui pengadilan adalah sebuah keputusan yang diskriminatif dan rasial.

Fitri Lestari.

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar