Tidak hanya patriarki yang menindas perempuan,
tidak hanya kapitalis yang menghambat perkembangan perempuan, dan tidak hanya
Neoliberalisme yang menyulitkan perempuan, militerisme juga melanggengkan
penindasan perempuan. Selain watak militerisme yang menghalalkan segala cara
dan menggunakan senjatanya sebagai alat penindas rakyat untuk mendapatkan apa
yang diinginkan, tetapi militerisme juga menghambat perkembangan perempuan. Di
Indonesia kaum borjuisnya bergantung kepada militerisme sehingga bisa tumbuh
dan berkembang melalui berbagai kebijakan dan struktur kekuasaan tak hanya itu
di Indonesia, struktur-struktur militer bisa ditemukan di kota-kota, di
desa-desa maupun di kampus (melalui MENWA). Sedangkan Di eropa, tempat
bagi militer adalah di daerah-daerah perbatasan untuk menjaga batas-batas
kekuasaan Negara Borjuis.
Mengapa militerisme
?
Militerisme menghambat perkembangan perempuan
karena militerisme menutup ruang demokrasi bagi perempuan dan masyarakat.
Sebaliknya, militerisme yang menopang kekuasaan Orde Baru menutup ruang
demokrasi bagi rakyat untuk berpartisipasi. Pada masa awal kekuasaannya Orde
Baru menghancurkan partisipasi perempuan dengan membubarkan
organisasi-organisasi perempuan, salah satunya adalah Gerakan Wanita Indonesia
(GERWANI). Setelah menghancurkan Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI), rejim
orde baru kemudian menciptakan organisasi-organisasi perempuan yang baru,
Dharwa Wanita– bagi istri pegawai negeri sipil, Dharma Pertiwi –bagi istri yang
suaminya bekerja di salah satu cabang angkatan bersenjata. Satu organisasi lagi
adalah untuk program kesejahteraan keluarga, yaitu PKK (Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga)—di luar organisasi perempuan bikinan pemerintah ada juga organisasi
perempuan yang berbasis keagaman seperti Aisiyah dan Fatayat.
Semua organisasi ini, digunakan sebagai alat
bagi rezim Orde Baru untuk mengontrol kehidupan kaum perempuan. Agar mudah dikontrol, ketua dari organisasi-organisasi ciptaan Orde Baru itu dipegang oleh
birokrat kaki tangannya. Di tingkat desa, ketua PKK adalah istri kepada desa, di
tingkat kecamatan ketuanya istri camat, di tingkat kabupaten diketuai istri
bupati, di tingkat provinsi diketuai oleh istri gubernur.
Aktivitas-aktivitas organisasi perempuan hanya
dibatasi dalam aktivitas yang non politis, seperti membuat taman, masak
memasak, jahit menjahit, merawat anak tanpa isian politis. Bahkan paradigma
yang dibangun bahwa fungsi organisasi perempuan (misalnya: Dharma wanita)
adalah menyokong karier suaminya. Wanita dianggap berguna dan bermartabat
apabila bisa menyokong kesuksesan suaminya. Maka, munculah pandangan kolot,
yang sampai saat ini melekat di masyarakat: "setiap kesuksesan pria ada
wanita yang menyokongnya." Miris!
"Orde Baru juga menghancurkan kesempatan
perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas, bahkan dihancurkan
ingatannya pada sejarah perjuangan pembebasan perempuan sebelumnya melalui
pembakaran buku-buku, materi-materi kiri maupun pemutarbalikan sejarah.
Perempuan dan organisasi perempuan yang ada kehilangan kekuatan intelektualnya
karena dihilangkan kaitannya dengan sejarah masa lalu dan pasokan materi
ideologi-politiknya. Negara melalui berbagai aparatusnya telah melakukan tindakan
pelanggaran hak asasi manusia kepada kaum perempuan." (commission)
"Militerisme melakukan penindasan lebih
keji kepada kaum perempuan, mereka juga memerlihatkan kejahatan HAM dari
apa yang dilakukan tentara di negeri ini, sebut saja tragedi 1965, Poso, Aceh,
Timor-Timur, Talangsari, Kedung Ombo, Nipah, Marsinah, Tanjung Priok,
Belangguhan, Kaca Piring, Pandega, Semanggi, Trisakti, penculikan aktivis,
Tasikmalaya, Situbondo, Haur Koneng, Papua Barat, Semanggi II, Lampung, Mozes
Gatotkoco, 27 Juli 1996, kerusuhan 1998 dll –biang keladinya dari semuanya
hanya satu yaitu tentara. Kaum perempuan menjadi korban keganasan
militer, banyak perempuan menjadi korban pembunuhan, pemukulan, pelecehan
seksual, ataupun pemerkosaan. Militerisme memperlihatkan bahwa Negara melakukan
kekerasan struktural yang dilegitimasi atas nama Daerah Otonomi Militer (DOM),
Daerah Operasi Militer, Status Darurat, dll. Dan negara membiarkan kekerasan
ini berlangsung."
(Commision) Hingga saat ini pelaku-pelaku
kekerasan tersebut masih bercokol dan ikut dalam pemilu 2014 ini.
Jika Militerisme dibiarkan menguasai negeri ini
maka tak hanya demokrasi yang dibungkam tapi perempuan akan sangat tertindas
dan terdomestifikasi. Tetapi, keberpihakan perempuan sekarang sangat minim
dalam memerjuangkan negeri ini tanpa militerisme, berbeda dengan zamannya
Soekarno ada sosok perempuan revolusioner yang berjuang sampai akhir hayatnya
untuk bangsa yaitu Fransisca Fanggidaej.
Siapa Fransisca Fanggidaej? Fransisca adalah perempuan
revolusioner yang ikut memperjuangkan bangsa ini yang berlatar
belakang borjuis birokrat, ayahnya adalah seorang pegawai tinggi pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, secara keberpihakan, ia memilih berpihak
pada posisi klas tertindas yang dalam hal ini adalah bangsa jajahan kolonial
Hindia Belanda, yaitu Indonesia. Awalnya memang dari diskusi yang mencerahkan
di rumah Geit Siwanbessy. Setelah itu Fransisca memilih bergabung dengan
PESINDO, salah satu organisasi pemuda revolusioner yang berideologi kerakyatan.
Jalan revolusioner yang dipilih Fransisca memang
berliku, dari mulai pengejaran terhadap dirinya dan kawan-kawan seperjuangannya
pasca peristiwa Madiun oleh tentara dan para aktivis Murba. Peristiwa Madiun
juga membuat dia harus kehilangan suami pertamanya yang dieksekusi mati oleh
tentara. Sampai peristiwa G30S/1965, yang berakibat terpisahnya dirinya dan
keluarga yang disayanginya (suami kedua dan ketujuh anaknya). Walaupun demikian,
Fransisca tetap konsisten di garis perjuangan anti imperialisme, pasca G30S,
dia juga sempat menghadiri sebuah konferensi di Kuba, yang resolusinya mengutuk
pembantaian massal yang terjadi pasca peristiwa G30S.
Perjuangan Fransisca untuk memperjuangkan bangsa
ini sangat panjang, terlihat
ketika Fransisca dalam keadan
hamil pun dia masih berjuang dalam peristiwa madiun, dan karena dalam keadan
hamil itu juga Fransisca kemudian dibebaskan dari penjara Gladak oleh
sekelompok anggota PESINDO yang berhasil selamat dari “teror putih” peristiwa
Madiun dan ia juga tidak dieksekusi mati oleh tentara.
Begitupun di Kuba, ada sosok perempuan
revolusioner yaitu Vilma Espin, dia mengabdikan hidupnya untuk
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, ketika di Kuba banyak perempuan
terdiskriminasi sebagai manusia, seperti di tempat lain di seluruh dunia,
dengan hanya pengecualian terhadap sejumlah perempuan revolusioner yang
terhormat. Dia juga mahasiswa pada saat itu yang menentang Batista melakukan
kudeta. Sejak itu ia mulai bersentuhan dengan gerakan politik. Ia berkenalan
dengan seorang aktivis kiri bernama Frank PaÃs. Sampai 1 Januari 1959,
kediktatoran Batista berakhir. Sejak itu, Negara revolusioner Kuba berdiri. Di
bawah Kuba yang baru, Vilma mendedikasikan tenaga dan keahliannya untuk
kemajuan negerinya. Vilma EspÃn Dia adalah salah satu perempuan Kuba yang
terjun dalam Revolusi Kuba.
Hal ini membuktikan bahwa perempuan juga bisa
ikut berperang dan memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas bahkan memimpin
revolusi, kita ketahui perempuan di Indonesia dari zaman feodalisme sampai
sekarang selalu mengalami penindasan. Terlihat ketika Orde Baru berkuasa
perjuangan perempuan sangat alot, bahkan di masa itu perempuan mengalami dua
kali penindasan yang sangat keji, di mana milterisme memerlakukan perempuan
dengan semana-mena. Sampai sekarang pun watak militerisme yang selalu
menghalalkan segala cara dan menggunakan senjatanya untuk melakukan apa yang
dia inginkan masih kerap dilakukan, terbukti ketika mahasiswa berdemonstrasi
direpresif oleh polisi, tak hanya itu ketika kaum buruh memperjuangkan
hak-haknya dihadang dan dihantam oleh militerisme, ini membuktikan sisa-sisa
watak Orde Baru masi melekat di miterisme sekarang.
Apa lagi dengan ditambah Narsisme politik yang
sangat membosankan, di samping partai-partai yang bertarung sebagai kontestan
pemilu 2014 adalah partai-partai pro modal, yang paling berbahaya adalah
ancaman dari partai-partai militeristik. Sudah saya katakan di atas bagaimana
watak militerisme ini, dan apa jadinya jika militerisme itu yang memimpin
negeri ini? Tentu hal ini akan sangat melanggengkan penindasan perempuan. Maka
dari itu sebagai perempuan yang sadar, mengajak perempuan-perempuan di manapun
berada untuk menolak dan melawan militerisme sebagai jalan yang harus ditempuh,
demi menjaga kebebasan!
Pena: Dwi Marta,
(Saat ini aktif di PEMBEBASAN, sebagai pengurus KPP Yogyakarta).
Daftar Rujukan:
- http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130914/vilma-espin-pejuang-perempuan-revolusioner-kuba.html
- http://www.berdikarionline.com/sisi-lain/20140216/olga-benario-kisah-hidup-seorang-perempuan-revolusioner.html
- http://koranpembebasan.wordpress.com/?s=perempuan
- http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/04/tolak-pemilu-borjuis-2014-lawan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar