Oleh: Danial Indrakusuma
Bila budaya juga bisa dipahami
sebagai nilai-nilai (values) positif yang menjadi pegangan kemanusiaan dalam
bertindak maka, di dalam sejarahnya, bangsa yang maju adalah yang bisa memiliki
semangat nilai-nilai positif, baik yang dipertahankan dari warisan masa lalunya
ataupun hasil dari kreativitas penemuan masa yang sedang dijalaninya. Dan
dengan adanya perluasan/pemerataan teknologi komunikasi dan transportasi maka
nilai-nilai positif cenderung menjadi tak berkebangsaan, bangsa-bangsa saling
menyempurnakan, dunia menjadi satu—sehingga, secara budaya, status “bangsa”
cendrung bertransformasi menjadi “warga” (dunia) (nikmati lagu John Lennon,
Imagine) yang, kini, kadar kebaikannya masih berupa tuntuan keadilan global.
Namun nilai-nilai positif yang disumbangkan warga negara juga bisa dihambat,
dimanipulasi, oleh (salah satunya) administrasi negaranya.
Bila saja bangsa-bangsa Eropa
bisa mempertahankan nilai positif kehendak bebasnya, sebagai hasil introspeksi
atas perang saling-jajah di antara mereka, maka mereka bisa menenggang rasa
sejarahnya—tak akan ada imperium Romawi, merkantilisme Spanyol dan Portugis,
serta kolonialisme (terutama) Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda; bila saja
Amerika Serikat (AS) bisa menjadi takzim terhadap perjuangan kemerdekaannya
(melawan kolonialisme Inggris), atau khusuk terhadap serangan Jepang atas Pearl
Harbour, maka tak akan ada invasi-invasi militer, ultimatum-ultimatum (baca:
tarik-ulur) utang guna memaksakan cara-cara perdagangan, investasi dan keuangan
internasional yang tak adil, yang menyengsarakan dan merendahkan martabat
(dignity) negeri-negeri berkembang; bila saja negeri-negeri Barat geram akan
apartheid Afrika Selatan—yang sedemikian lama dipertahankan karena menyangkut
kepentingan dagang New York, Paris, London—maka mereka tak akan berlama-lama
mengunci kemerdekaan bangsa Palestina dan membiarkan apartheid Israel terus
menerus mengoyak-ngoyak martabat dan menyengsarakan ekonomi rakyat Palestina;
dan bila saja bangsa Israel hatinya pedih saat mengingat holokus Nazi, mereka
akan menghormati rakyat Palestina dan kembali (paling tidak) pada kesepakatan
tahun 1967.
Selain itu, ada beberapa
nilai-nilai positif lain yang sangat berguna dalam memajukan satu bangsa,
misalnya: kita lihat AS—kepeloporan (pioneer), yang diwariskan oleh masa
pergerakan penduduk AS dari Timur ke Barat untuk mencari kehidupan yang lebih
baik; kehendak unggul melebihi Inggris dalam manajemen (Division of Labour)
produksi massal, atau fordisme; gairah swasta menyerap inovasi dan invensi yang
dihasilkan dari badan penelitian dan pengembangan komplek-komplek militer;
pertaruhan martabat bangsa dalam kedigjayaan teknologi ruang angkasa dan
komputerisasi, melebihi Uni Sovyet; haru biru perjuangan kaum hitam menentang
diskriminasi rasial dan kenikmatan mereka saat meningkatkan kreativitas
musik-musiknya; kita lihat negeri-negeri lainnya—kebanggaan Uni sovyet dan
Jepang, yang bisa mencapai teknologi maju dalam hitungan waktu puluhan tahun,
ketimbang ratusan tahun yang dibutuhkan Inggris dan Amerika; namun, rakyat
Inggris tetap saja bisa berbusung dada sebagai satu negeri pencetus revolusi
industri dan yang bisa bertahan dari gempuran habis-habisan Jerman; sedangkan
Prancis merasa memiliki hak sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya karena
memiliki tradisi politik yang matang, terutama revolusi borjuisnya, yang
menghasilkan konsep demokrasi, negeri Republik dan Trias Politika; militansi
tanpa batas dalam bentuk perlawanan tak henti-hentinya (sampai sekarang) dari
rakyat Amerika Latin terhadap campur tangan asing; sukses bangsa Yahudi
mempertahankan identitas kebudayaannya walau sebelum memiliki negara, sukses
memajukan setiap negeri yang dihuninya, dan sukses sebagai penjual teknologi
maju sesudah bernegara Israel; kecintaan akan buku dan teknologi bangsa Jepang,
dalam rangka mengungguli Barat—(dahulu) secara militer, (sekarang) secara
teknologi dan pasar.
Namun, sering sekali
kebijaksanaan administrasi satu negara, yang menyakiti rakyat dan bangsa negeri
lain, bertentangan dengan nilai positif (welas asih) yang dimiliki rakyatnya;
rakyat Rusia menetang perang antar para penjajah yang diputuskan administrasi
T’sar; rakyat Belanda yang berpemaham sosial-demokrat dan komunis menentang
kebijaksanaan administrasi monarki (konstitusional) untuk tetap menjajah Hindia
Belanda; rakyat Prancis menentang administrasi Republiknya dalam menjajah
Alzazair dan Indocina; rakyat Amerika, terutama generasi mudanya (salah satu
generasi muda Barat, generasi bunga tahun 60-an, yang menentang kemapanan dan
kemunafikan gernerasi tuanya), menolak keputusan adiministrasi negaranya
terlibat dalam perang Vietnam. Bahkan, hingga sekarang, generasi muda Barat,
dimulai dengan perlawanan Seatle, mengutuk campur tangan Barat dalam urusan
ekonomi-politik-militer negeri-negeri lain dan kerakusan memperkaya
negeri-negerinya (terutama pengusaha-pengusaha Amerika) dengan memaksakan
kebijaksanaan perdagangan, keuangan, dan investasi dalam skala internasional.
Bangsa dan rakyat Indonesia punya
nilai-nilai positif apa? Dan bisa kah bangsa serta rakyat Indonesia mengambil
hikmah dari sejarahnya sendiri dan dunia? Coba kita lihat nilai-nilai positif
apa yang bisa diambil hikmahnya dari masa sebelum dan sesudah bangsa-negara
Indonesia terbentuk:
Sentralisasi tenaga produktif,
nyaris universal, merupakan landasan bagi peningkatan kuantitas dan kualitas
produksi material (serta, bila memang diinginkan, bisa dijadikan landasan
kemajuan mental), seperti yang dicoba dicapai Majapahit, yang bahkan terus maju
mengemban proyek sentralisasi Nusantara—mulai nampak, memang, bahwa kemajuan
bergerak dari Selatan ke Utara, diangkut layar-kemudi Majapahit. (Sayang, cara
sentralisasi tersebut sering dilakukan dengan paksaan dan distribusi wewenang
serta material yang tidak adil.) Dan perang menuntut kemandirian serta blokade
merkantilis Spanyol, Portugis, Inggris, kemudian Belanda, menggagalkan proyek
Nusantara, mengerdilkannya menjadi enklave-enklave (kedaerahan)—dengan
demikian, juga mengkerdilkan budayanya, mengarus-balik kemajuan menjadi dari
Utara ke Selatan, hingga sekarang belum bisa disembuhkan; keniscayaan
sentralisasi tenaga produktif pula yang mengharuskan belanda menyatukan Hindia
Belanda, dan mengajarinya baca-tulis—hingga mengerti dan mau dipimpin Soekarno
untuk memperjuangkan martabat agung (great dignity) menjadi suatu bangsa,
merdeka serta bernegara. Baca-tulis, menjadi landasan untuk gairah
berorganisasi, aksi, rapat akbar (vergadering), menyebarluaskan media cetak dan
elektronik, berdebat, pidato, hasrat berideologi (Islam, Pan-islamisme, Islam
soislais dan Islam Komunis, Sosial-demokrat, Komunisme), dan sebagainya, mulai
hidup-meluas sejak awal abad ke-20, bahkan banyak yang masih hidup hingga tahun
1965; pembangunan Orde Baru tak punya nyawa nilai-nilai positif bila landasan,
pintu gerbangnya, adalah kekejian 1965, apalagi hanya menghasilkan nilai-nilai
negatif ulangan kekerasan, ‘njilat ke atas, nginjek ke bawah, gila hormat,
konsumsi gila-gilaan (extravagance), oportunisme, KKN, yang hingga sekarang
belum bisa disembuhkan; kaum muda lah yang berhasil mengangkat dan menghidupkan
kembali nilai-nilai positif (yang sebenarnya pernah dimiliki rakyat Indonesia
sejak awal abad) yang dapat menjatuhkan Soeharto dan membuka pintu reformasi.
Ada enam pintu menuju demokrasi yang sudah berhasil dibuka generasi muda
1980-an hingga 1990-an. Pertama, kata rakyat dimaknai kembali. Kedua, budaya
bisu dihancurkan. Ketiga, militansi rakyat (dalam melawan) ditingkatkan dan
diperluas. Keempat, gairah berorganisasi diwadahi. Kelima, kesadaran akan hak
dan keadilan dijadikan bagian kehidupan. Keenam, tuntutan akan pemerintahan
alternatif dimatangkan.
Dan sesudah pintu reformasi terbuka,
apakah nilai-nilai positif berhasil dilengkapi, diperluas? Apakah rakyat dan
bangsa Indonesia masih dikategorikan sebagai rakyat dan bangsa yang kurang
pesangon budaya? Jawabnya: sudah kah kita menjujurkan sejarah dan, kemudian,
menyemarakkan (baca: mendemokratiskan) berbagai cara pandang dalam memahami
sejarah.
II. Bebunyian untuk Kesakitan Rakyat
dan Perlawanan Rakyat, Demi Menjadi Manusia.
Kesakitan rakyat dan perlawanan
rakyat sebagai alasnya:
Bila budaya berkehendak
membebaskan rakyat (manusia), maka merenunglah dengan welas asih di sisi
kesakitan rakyat (manusia)—bahkan sebagai imbalannya, kesakitan rakyat akan
menghaturkan kehalusan budi bagi yang merasakannya dengan tulus—agar kita tahu
secara benar dan kongkrit garda-garda keji yang menghalanginya menjadi manusia,
manusia yang dicintai manusia (dan bumi). (Memang, tugas manusia adalah menjadi
manusia, manusia yang berguna bagi manusia lainnya (dan bumi) dan bagi dirinya,
memanusiakan manusia sebagaimana keharusan yang diketemukan dalam tahap
sejarahnya, membudayakan manusia dalam tahap sejarahnya.) Dalam renungan
Marxisme, sejarah memberikan suguhan cerita tentang bagaimana suatu sistem,
hukum, tata-tata cara satu masyarakat mengatur—walau sering bukan masyarakat,
tapi sekelompok manusia keji atau tak berbudi—bagaimana menjerumuskan rakyat
(manusia) ke kegelapan kejahatan terhadap manusia lainnya (tiada tara
brutalitasnya, bagai hewan yang pandai) namun, selain itu, renungan Marxisme
juga bisa memahami bahwa bukan saja warisan buruk yang diwariskan sejarah, tapi
juga warisan bahan-bahan (termasuk bahan-bahan budaya) yang memberikan harapan
bagi pembebasannya, yang dapat dijadikan senjata (yang disempurnakan) untuk
membebaskan. Negatif dan positif, kegelapan kejahatan dan pembebasannya—saat
didialektikan, dikontradiksikan (secara politik), siapa yang menang. Itulah
juga tugas budaya: membudayakan politik dan mempolitikan budaya, bertarung
(membebaskan) dengan indah.
Selanjutnya, merkantilisme
(kemudian kapitalisme-kolonial)—sering dengan memanipulasi warisan negatif
feodal—di ujung masanya, bahkan memberikan hak pada pribadi
pedagang/pengebun/pabrikan/calo, dalam memusatkan tenaga produktif tanah dan manusia
guna penumpukan kesejahteraan pribadi dan negeri kolonial. Kelaparan, buruh
perempuan tanam paksa melahirkan di jalan, menjilat mandor mengkhianati kawan,
takut, melacur, pelacuran, nyai, mabok, maling, rampok, geng bandit,
pemerkosaan, pembunuhan, penyiksaan dan penghinaan pada perempuan, takhayul, dan
sebaginya, bahkan bebunyian pun hanya demi kesenangan dekaden (walau isian
persembahan pada feodal semakin berkurang. Bebunyian feodal dipakai rakyat
untuk dekadensi kesenangan); namun, di ujung abad-20, ada harapan berkilau:
modernisasi—padahal modernisasi sebenarnya diberikan oleh kapitalisme-kolonial
agar bisa lebih besar menumpuk lebih banyak lagi kekayaan—dalam makna
baca-tulis, organisasi, percetakan, gagasan sosial-demokrat, sosialisme,
komunisme, PanIslamisme, Islam sosilisme/komunisme, debat, persatuan, rapat
akbar (vergardering), partai, serikat, perjuangan bersenjata, dan lain
sebagainya, bahkan bebunyian dihaturkan pada rakyat di lapangan terbuka, dalam
rapat akbar. Tumpas (sesaat) dalam bui, buang, dan bunuh. Tak berapa lama,
perlawanan bangkit hingga mencapai tahap budaya perlawanan dalam bentuk partai,
bangsa Indonesia, sosialisme, komunisme, sosial-demokrat, Islam, kombinasi
perjuangan diplomasi dan bersenjata (gerilya, bahkan perempuan terlibat),
persatuan, dan lain-lain melanjutkan tradisi budaya posistif sebelumnya, bahkan
saat itu bebunyian seni-perjuangan lebih berwarna-warni, beragam, beraneka
membantu meningkatkan semangat perjuangan—dan, terlebih-lebih:
"Ketika sastra mulai akan di-INDAH-kan
oleh strategi-taktik revolusi;
Saat strategi-taktik revolusi
mulai akan di-INDAH-kan oleh sastra;
terjadilah pembantaian '65. Kapan
dilanjutkan?"
Namun, revolusi nasional juga memproduksi budaya buruk, pembunuhan semena-mena (tanpa proses hukum), pemerkosaan, bandit, garong, jago, merasa punya senjata, penculikan, penyiksaan, pembantaian, tak toleran terhadap ideologi kelompok lain, dan sebagainya.
1965. Sekarang ini, hatiku sedang
tak sanggup menceritakan kebrutalannya. Yang jelas: semua warisan budaya
positif masa lalu dihancurkan raga dan jiwa—sampai mati potensi sebagai manusia;
sampai-sampai manusia dihilangkan dimensi, ingatan, sejarahnya, layaknya
binatang; penculikan, pembunuhan, pembantaian (hampir 3 juta manusia),
kebohongan, pemalsuan sejarah, kemunafikan, menghidupkan kembali budaya
feodalisme, konsumerisme, extravaganza, pelacuran intelektual, korupsi,
penghinaan pada kaum perempuan, pemenjaraan, pembuangan, penyiksaan, perkosaan,
kediktatoran, integralistik dan penyeragaman kehidupan bernegara, kepatuhan,
imperialisme, kemunafikan dan sebagainya dan sebagainya, bahkan bebunyian
hampir seluruhnya profan, dekaden, cengeng, munafik. Namun, di masa inilah
gagasan sosialisme dapat dihidupkan lagi, dengan aksi massa, dengan
menghancurkan budaya diam dan patuh serta feodalis, kelompok belajar,
organisasi dan partai alternatif, reformisme yang seiiring sayup-sayup suara
revolusi, keterlibatan perempuan dalam perjuangan, bakan bebunyian
seni-perjuangan hidup kembali walau penuh resiko pemenjaraan dan pembunuhan.
BRAVO!
Jiwa (semangat) budaya bebunyian
seni:
- Landasan sejarah tersebut di atas lah yang harus mengalasi, mengisi jiwa (semangat) budaya bebunyian seni kita, budaya seni yang mau merenung, tergores, dan tergetar oleh kesakitan rakyat (manusia) yang, seharusnya, membuat kita takzim berpikir dan membakar semangat pembebasannya—sekali lagi, pembebasan rakyat (manusia).
- Bebunyian itu—syair, prosa, musik, tinta, cat, tarian, teater, cerita, roman, novel, seni lokal, seni dunia, dan lain sebagainya—akan begitu indah bermartabatnya bila berada dalam jalur kesatuan manusia-manusia yang berjuang untuk pembebasan rakyat (Manusia) dan pembebasan seni itu sendiri [agar bisa mencapai kemajuan teknis estetika tanpa batas, karena pembebasan rakyat (manusia) itu sendiri akan mengembalikan syarat-syarat material dan spiritual bagi pengembangan potensi kapasitas masyarakat/individu untuk berseni, disebabkan kepemilikan pribadi atas syarat-syarat tersebut telah dihapuskan, dihancurkan, diberangus oleh pembebasan (baca: revolusi).
- Bebunyian yang prihatin terhadap kesakitan rakyat dan berpikir, berpolitik militan, untuk pembebasan rakyat (manusia) memiliki tugas kemanusiaan menghancurkan budaya-budaya buruk warisan sejarah (agar jangan menjadi tradisi buruk) dan mengembangkan budaya-budaya benar dan indah warisan lama (agar menjadi tradisi manusia seharusnya).
- Tentu saja, perjuangan tersebut penuh resiko—yang akan menumpaskan raga dan melelahkan jiwa kita—karena itu, tak ada kata-kata lain untuk mengatasinya: belajar Marxisme dan militan (tanpa pamrih dan tanpa batas).
Strategi dan taktik bebunyian pembebasan:
- Bebunyian pembebasan harus ada di jalur-jalur agitasi-propaganda yang sudah ada; bahkan dan, karena ia bebunyian, maka ia berpotensi untuk menciptakan sendiri jalur agitasi-propagandanya.
- Jalur bebunyian itu sendiri adalah rangka jalur manusia-pejuang untuk berbicara lebih pandai, lebih luas, kepada rakyat (manusia) di pabrik, di kampung, di desa, di kampus, di tempat-tempat kerja, di jalanan, di radio, di televisi, di udara (spanduk udara), di panggung, di lapangan rapat akbar, di tembok-tembok (mural), di kaos, di perayaan-perayaan (bahkan perayaan sunatan dan perkawinan), di koran, di selebaran dan sebagainya dan sebagainya.
- Penindasan meraksuk ke masyarakat sampai-sampai membuat manusia berbeda kapasitas berbunyi-bunyian, tak adil—ada yang pandai berbunyian, ada yang tidak; ada yang sanggup mengumpulkan berbagai bebunyian dalam satu kelompok, ada yang tidak. Karena itu, berangkat dari yang nyata, yang kita punya, maka kita harus menentukan bebunyian apa saja yang diunggulkan (diprioritaskan) untuk masuk ke jalur-jalur agitasi-propaganda—sastra kah, musik kah, lukis kah, silakan.
Organisasi:
- Organisasinya harus mencakup bidang-bidang bebunyian (termasuk bidang pengamen jalanan) yang sanggup, nyata, ada sekarang, jangan mengada-ada dahulu—karena perkembangan bidang-bidang bebunyian tegantung dari panen (nyata) perjuangan perluasan bebunyian tersebut.
- Selain itu, harus ada bidang pengkajian budaya, sebagai sumber mata air yang jernih untuk mengisi pemahaman yang lebih maju atas ideologi, politik (baca strategi dan taktik), dan organisasi (baca: jalur agitasi-propaganda berbicara pada rakyat secara luas) bebunyian tersebut.
Demikian lah, semoga bermanfaat untuk menyayangi rakyat (manusia) dan bumi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar