(Dunia akan berhenti maju, jika kaum muda bungkam melihat keadaan!)
Tepat pada tanggal 21
Mei 2014 rakyat Indonesia mengenang kekuatan massa yang berhasil menggulingkan
rezim dikatator Soeharto dari pangku kekuasaannya. Kelaparan, pengangguran,
kebebasan direbut senjata, para ibu terkurung di rumah, menjadi alasan bagi kaum
muda, mempelopori perlawanan rakyat dengan gagah berani memaksa Soeharto
membacakan surat pengunduran diri dari presiden. 16 tahun kita telah
meninggalkan sistem biadap Orde Baru, namun apakah para setan sudah lenyap?
Tidak! Mereka masih duduk ber-eratan dengan para reformis gadungan, kemiskinan
masih merajalela, tak ada kebebasan berideologi, perlawanan rakyat selalu
direpresif dengan penculikan, penjara, pembunuhan, sumber daya alam dikeruk,
manusianya dipekerjakan murah, tanah tani dirampas, menjadi bukti Orde Baru
belum musnah!
Jutaan
Rakyat Bergelimpangan Tak Berdaya! Investor Bergembira.
Malapetaka 30 september
1965-1966 (Peristiwa G 30 S PKI), pembataian massal yang dilakukan Soeharto
terhadap rakyat Indonesia, jutaan rakyat dibunuh, puluhan ribu dipenjara tanpa
sidang, demokrasi dibungkam, menjadi titik awal kebangkitan sistem Orde Baru
yang digagas Soeharto, setelah berhasil menggulingkan Soekarno. Menurut
Bertrand Russel, “Dalam empat bulan saja, lima kali lebih banyak orang telah
mati di Indonesia daripada di Vietnam selama 12 tahun.”
Lahirnya Orde Baru dapat
ditelusuri dari sebuah peristiwa pada dini hari 1 oktober ketika beberapa orang
jenderal diculik, dibunuh, dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Paginya,
Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan
Darat (KOSTRAD) sudah mengambil alih militer dan merebut serta meguasai kota
Jakarta.
Angkatan darat di bawah
komando Soeharto berkonsolidasi, kemudian diikuti konsolidasi mahasiswa yang
diwadahi di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25
Oktober 1966 didirikan melalui hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang
berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP)
Mayjen dr. Syarief Thayeb, (Militer). PMKRI, HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal
(SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa
(IPMI). Kemudian berujung dengan aksi-aksi mahasiswa dengan tuntutan
Tritura: menuntut pembubaran PKI, Retool kabinet Dwikora, dan turunkan
harga barang. Dideklarasikan pada 10 Juni 1966.
(Baca:http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/03/angkatan-66-dalam-pelukkan-militer.html).
Kekuatan Angkatan Darat
mengawali politik pembersihan terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia) dan
organisasi-organisasi massanya melalui propaganda lewat media cetak dan
eletronik dengan rekayasa penculikan para Jenderal serta kampanye hitam yang
menuduh PKI dan simpatisannya membenci agama. Setelah kampanye hitam itu
berhasil menipu rakyat, dimulailah operasi pembersihan lawan politiknya yaitu:
PKI dan Soekarnois. Milisi-milisi sipil atau organisasi preman dan militer
beraksi di desa dan kota, menculik, menyiksa, membunuh yang mereka anggap
pendukung PKI. Puluhan ribu orang ditangkap, disiksa, ditahan di penjara atau
di kamp konsentrasi Pulau Buru tanpa melewati persidangan di pengadilan serta
tanpa mengetahui kesalahannya, para tahanan politik dikurung tak berdaya.
Anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ditangkap, diperkosa, ditahan di
berbagai tempat penahanan, setelah militer menghembuskan isu melalui pers
dengan rekayasa bahwa terjadi upacara penyiksaan secara keji (menyilet alat
kelamin para jenderal) di Lubang Buaya.
Terjadinya peristiwa ini
masih meninggalkan tanda tanya besar, dan perdebatan sengit, tentang siapa
sebenarnya yang memicu terjadi peristiwa tersebut, namun yang pasti militer
beserta kroninya harus bertanggung jawab atas jutaan nyawa manusia yang hilang.
Menurut penelitian dan studi beberapa ahli mengatakan tidak kurang dari 250.000
hingga satu juta orang tewas.
Carmel Budiardjo, Direktur
Tapol, organisasi hak asasi manusia yang berbasis di London mengatakan,
“Kejahatan Soeharto yang terbesar bukanlah begitu banyak orang telah terbunuh
atas perintahnya dalam waktu enam bulan setelah ia merebut kekuasaan dari
Presiden Soekarno, bukan karena begitu banyak organisasi dinyatakan ilegal dan
berjuta-juta orang telah dianiaya, melainkan bahwa ia telah menggunakan
kebohongan-kebohongan untuk menciptakan kekuasaan teror dan mendirikan sistem
represif yang mencengkram Indonesia.”
Setelah berhasil merebut kekuasaan, Soeharto membuka lebar-lebar pintu gerbang Indonesia untuk menyambut para investor. Keseriusan Soeharto menerapkan sistem kapitalisme di Indonesia terlihat dengan tindakannya mengirim satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro Djoyohadikusumoh, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS -sebab itu tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Berkeley Mafia'- ke Swiss. Mereka menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat pengusaha internasional yang dipimpin Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya."
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul "The New Ruler of the World" yang bisa didownload di situs youtube, tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan kapitalis internasional. Dengan seenak perutnya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss.
Melalui UU No.1 tahun 1967,
tentang Penanaman Modal Asing, Soeharto membuka pintu masuk investasi asing di
sektor pertambangan. Dalam pasal 8 UU No. 1 tahun 1967 tersebut,
dijelaskan bahwa; “Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada
suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku."
Soeharto memperkenalkan
sistem Kontrak Karya (KK), yaitu model kontrak antara pemerintah dan perusahaan
asing, yang dianggap paling liberal dalam dunia industri pertambangan.
Kebijakan-kebijakan ini benar-benar merupakan cermin dari sistem kapitalisme
yang berada di sektor pertambangan.
Berangkat dari asumsi dalam
KK tersebut, maka perusahaan pertambangan asing harus mendapat jaminan dari
pemerintah. Terutama adalah jaminan bahwa mereka tidak akan mengalami
nasionalisasi dan aneka klaim hak milik. Selain itu perusahaan pertambangan
asing juga dijamin dari ancaman terorisme dan sabotase. Secara regulasi,
perusahaan pertambangan asing juga terbebas dari ancaman pembatalan kontrak,
dan aturan-aturan kaku berkait persoalan perpajakan, eksplorasi, dan
eksploitasi. Intinya, perusahaan pertambangan asing dapat melakukan akumulasi
kapital dengan nyaman.
Bagaimana penerapan KK
dalam UU No. 1 tahun 1967 itu dijalankan, bisa dilihat pada bagaimana perlakuan
pemerintah Indonesia terhadap PT. Freeport Indonesia, yang pertama kali
mendapatkan KK Freeport benar-benar memperoleh perlakuan istimewa dari pemerintah.
Draft KK itu bukan dibuat oleh pemerintah Indonesia, tetapi sepenuhnya
disiapkan sendiri oleh Freeport untuk kemudian disetujui oleh Pemerintah
Indonesia. Melihat perlakuan istimewa yang diterima Freeport dari Pemerintah
Indonesia, maka segeralah investasi asing berlomba-lomba masuk Indonesia. Maka
jangan heran, setelah Freeport Indonesia memperoleh kontrak karya (KK) pada
1967, dalam waktu singkat terdapat 9 perusahaan asing yang berhasil mengantongi
KK dari pemerintah Indonesia hingga tahun 1970.
Di Era Orde Baru Rakyat Dibungkam, Perlawanan Terhadap
Modal Asing Dibalas Kerusuhan.
Keberhasilan
Soeharto merebut kekuasaan dari tangan Soekarno menjadi titik awal sejarah Orde
Baru, yang memutar-balikan kebijakan ekonomi politik di Indonesia, setelah
pembantaian massal dilakukan Soeharto lalu membuat regulasi anti demokrasi;
“KETETAPAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966
TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI
TERLARANG DI SELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS
INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN
FAHAM ATAU AJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME.”
Tidak hanya kebebasan berideologi terampas, namun lebih dari itu, selama kepemimpinannya, Soeharto tak menghendaki adanya organisasi non-pemerintah, semua organisasi rakyat yang berdiri di era Soekarno dibubarkan. Semua organisasi sektor rakyat disatukan dalam payung organisasi besar buatan pemerintah, buruh Indonesia dipaksa bergabung di dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), para petani dipaksa bergabung ke dalam Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI), perempuan digiring ke dalam PKK, Dharma Wanita, disibukan dengan program tata boga, dan didikan yang harus terus memperingati suami, jangan menentang kekuasaan Seharto.
Sampai hari ini kerusuhan tersebut masih menjadi perdebatan, tentang dalang dibaliknya, kelompok mahasiswa yang dipelopori Hariman Siregar mengakui, tindakan kerusuhan tidak dilakukan oleh mahasiswa. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.
Kehidupan
rakyat diawasi oleh struktur teritorial dari Istana hingga pedesaan, praktek
fasisme mengunakan politik kekerasan terjadi dimana-mana. Para buruh yang
melawan dibungkam dengan PHK, Petani yang mempertahankan tanahnya diintimidasi
oleh struktur kekuasaan yang digalang militer. Kaum muda dan Mahasiswa yang
kritis berhadapan dengan sepatu lars, moncong senjata, dan penjara.
Sentralisme,
stabilitas, dan pembangunan menerjang kehidupan setiap rakyat Indonesia,
pemerintah tak pernah salah. Kebebasan hilang dari kehidupan rakyat. Kritik dan
perbedaan pendapat menjadi barang langka. Pers dikontrol hingga menjadi corong
rezim. Sikap politik oposisi, kritis, dan berbeda dari pemerintah,
dimarjinalkan dengan pasal-pasal anti subversi.
Kekejaman
Soeharto tercipta demi kepentingan besarnya menjual sumber daya alam Nusantara,
terilihat dengan masuknya modal asing yang begitu besar dari berbagai macam
konglomerat internasional. Kebijakan Soeharto yang terus melanggengkan modal
masuk di Indonesia mendapat perlawanan keras dari mahasiswa, hingga terjadinya
kerusuhan, yang dikenang sebagai peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari
(Malari).
Peristiwa
Malari dipicu dengan kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia
(IGGI) lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk, dijadikan
momentum awal perlawanan mahasiswa yang anti modal asing. Jan P Pronk tiba di
Jakarta pada Minggu, 11 November 1973. Ketika ia tiba di Bandara Kemayoran,
mahasiswa menyambutnya dengan aksi massa membawa gambar-gambar poster sebagai
bentuk kritik karena kedatangannya di Bumi Nusantara.
Bukan
hanya Jan P Pronk yang didemo massa yang tergabung dari berbagai gerakan
rakyat, organisasi mahasiswa, buruh, dan tani . Kedatangan Perdana Menteri (PM)
Jepang, Tanaka Kakuei, pada 14-17 Januari juga disambut dengan demonstrasi.
Rencananya massa mau menyambut kedatangan Tanaka Kakuei di Bandara Halim
Perdanakusuma. Namun rencana ini gagal, karena para anjing negara (Polisi dan
Militer) sudah memblokade Bandara Halim Perdanakusuma dari hadangan massa.
Akibat penjagaan ketat itu sebagian massa mengalihkan aksinya di sekitar
Jakarta Pusat.
Aksi
massa diwarnai dengan kerusuhan di kota Jakarta, kerusuhan itu sendiri meliputi
pengerusakan beberapa fasilitas umum dan bangunan toko di kawasan Ibukota
seperti pertokoan Senen, Jakarta Pusat, dan Roxy, Jakarta Barat. Selama dua
hari daerah sekitar ibu kota diselimuti asap. Pembakaran dan Penjarahan menjadi
pemandangan yang dapat disaksikan saat itu.
Gubernur
Jakarta saat itu, Ali Sadikin juga membeberkan kerusakan yang terjadi
akibat pembakaran saat kerusuhan massa. "522 buah mobil dirusak dengan 269
di antaranya dibakar, 137 buah motor dirusak (94 buah dibakar), 5 buah bangunan
dibakar ludes, termasuk 2 blok proyek pasar Senen bertingkat 4. Serta gedung
milik PT Astra di Jalan Sudirman, dan 113 buah bangunan lainnya dirusak."
Ada
analisis tentang fraksi elit militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali
Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus
Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000),
dapat disebut permainan "jenderal kalajengking" (scorpion general).
Perlawanan Rakyat Memaksa Soeharto Tumbang.
Kebencian terhadap rezim
Soeharto sudah menyebar di segala lapisan masyarakat, tidak hanya mahasiswa
yang gelisah, dengan pengekangan berpikir dan tak ada kebebasan berorganisasi,
kaum buruh juga mendapatkan dampak buruk dari kekuasaan Orde Baru, upah murah
serta tak ada jaminan kesehatan membuat kaum buruh selangkah demi selangkah
melakukan perlawanan terhadap Orde Baru. Sedangkan petani bangkit mengangkat
parang ketika tanah yang dimilikinya dirampas rezim otoriter Soeharto, salah
satu peristiwa perlawanan petani di Pulau Jawa adalah Kedung Ombo: Sejarah
Waduk Kedung Ombo adalah sejarah peristiwa dehumanisasi (pelanggaran
kemanusiaan dan stigmatisasi komunis bagi siapapun yang menolak digusur),
peristiwa depolitisasi (pembungkaman kritisisme massa dan terror negara
terhadap sipil tak bersenjata), dan peristiwa ekonomi (modernisme ala agen
pemerintahan kapitalis dengan hutang dari World Bank dan Bank Exim Jepang yang
sampai kini belum terbayar serta perampasan tanah petani yang menjadikan mereka
jatuh dalam jurang kemiskinan).
Peristiwa Waduk Kedung Ombo
(WKO) bermula dari rencana pemerintah Orde Baru mendirikan bendungan raksasa
seluas 6.576 hektar yang areanya mencakup bagian wilayah di tiga Kabupaten,
yaitu; Sragen, Boyolali, dan Grobogan. WKO yang sedianya diperuntukan
membendung lima aliran sungai, dirancang memiliki luas 6576 hektar, terdiri
dari wilayah perairan yang sudah ada seluas 2.830 hektar dan sisanya yang 3.746
hektar akan didapat melalui “pembebasan” lahan pertanian masyarakat. Program pembangunan
WKO sebenarnya merupakan bagian dari program pemerintahan Orde Baru di bawah
Soeharto untuk “me-modernisasi” pembangunan perekonomian Indonesia di sektor
pertanian melalui pembangunan infrastruktur irigasi yang sebenarnya juga tidak
dibutuhkan oleh masyarakat mengingat perairan yang sudah ada sebelumnya dirasa
telah mencukupi kebutuhan irigasi petani. Sehingga megaproyek perluasan dan
pembangunan bendungan kedung ombo dirasa hanya menjadi lahan basah dan
bagi-bagi proyek kroni-kroni Soeharto. Pendanaan megaproyek ini diambil dari
hutang luar negeri senilai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari
Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.
Pembangunan proyek tersebut
mendapat perlawanan yang begitu sengit dari penduduk setempat yang tanahnya
tergusur proyek pembangunan Kedung Ombo, mereka bersikukuh untuk tetap
mempertahankan rumah dan tanah mereka. Selain berdalih ingin mempetahankan
tanah leluhur ada juga yang merasa bahwa ganti rugi yang diberikan pemerintah
sangat tidak layak. Pada dasarnya mekanisme ganti rugi telah di desain oleh
World Bank senilai Rp.10.000/m, akan tetapi Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan
ganti rugi Rp 3.000,-/m, sedangkan yang terjadi di lapangan adalah pemaksaan
kepada warga untuk menerima ganti rugi Rp 250,-/m. Di sisi lain warga yang
nekat bertahan mengalami terror yang disponsori Negara berupa intimidasi dan
kekerasan fisik. Sampai akhirnya pemerintah membuka bendungan beberapa sungai
agar rumah dan tanah warga tenggelam dan tersapu air, sehingga mereka mau
direlokasi sebagai transmigran ke Sumatera. Represif Negara dan mekanisme ganti
rugi yang penuh tipu muslihat ini, benar-benar sebuah penindasan terhadap
kemanusiaan dan keluar dari nalar manusia.
Di mana-mana rakyat
melakukan perlawanan, hingga tiba dipenghujung tahun 1997-1998 Soeharto tak
mampu menghindar dari krisis yang melanda Indonesia, data finansial (nilai
tukar rupiah terhadap dollar) dari tahun ke tahun. Dan fakta bahwa ternyata,
selama periode kekuasaan Orba, keuangan kita hancur perlahan.
Akhir tahun 1967 (beberapa bulan orba resmi berkuasa). Nilai kurs $ terhadap Rp adalah 1$= Rp. 235, dan terus naik hingga Rp. 378. Pertengahan 1971 (bulan Agustus): devaluasi pertama kalinya, dari Rp. 378 menjadi Rp. 415. Pada November 1978, devaluasi lagi sebesar 50,6%, dari Rp. 415 menjadi Rp. 625. 30 Maret 1983 (harga minyak di pasaran dunia menurun tajam) sehingga pendapatan devisa berkurang drastis, pemerintah kembali mendevaluasi $ sampai 38% dari Rp. 702 menjadi Rp. 970. Sehingga per 1$ nya menjadi Rp. 1.354 dari sebelumnya yaitu Rp. 970. Kemudian, nilai tukar rupiah terdepresiasi (menyusut nilainya) terhadap dollar sebesar 40%, dari Rp. 970 menjadi Rp. 1.354. 12 September 1986 ; keempat kalinya mendevaluasi Rupiah, kali ini 21% yaitu dari Rp. 1.354 menjadi Rp. 1.644 per dollar AS. Hingga akhir Oktober 1997, rupiah terus terdepresiasi sebesar 124%. Jadi, kalau dihitung total prosentase depresiasi nilai mata uang rupiah selama 30 tahun kekuasaan Orba, rupiah telah terdepresiasi hingga 1.466% terhadap dolar. (Baca: https://www.facebook.com/notes/936180083075085/)
Akhir tahun 1967 (beberapa bulan orba resmi berkuasa). Nilai kurs $ terhadap Rp adalah 1$= Rp. 235, dan terus naik hingga Rp. 378. Pertengahan 1971 (bulan Agustus): devaluasi pertama kalinya, dari Rp. 378 menjadi Rp. 415. Pada November 1978, devaluasi lagi sebesar 50,6%, dari Rp. 415 menjadi Rp. 625. 30 Maret 1983 (harga minyak di pasaran dunia menurun tajam) sehingga pendapatan devisa berkurang drastis, pemerintah kembali mendevaluasi $ sampai 38% dari Rp. 702 menjadi Rp. 970. Sehingga per 1$ nya menjadi Rp. 1.354 dari sebelumnya yaitu Rp. 970. Kemudian, nilai tukar rupiah terdepresiasi (menyusut nilainya) terhadap dollar sebesar 40%, dari Rp. 970 menjadi Rp. 1.354. 12 September 1986 ; keempat kalinya mendevaluasi Rupiah, kali ini 21% yaitu dari Rp. 1.354 menjadi Rp. 1.644 per dollar AS. Hingga akhir Oktober 1997, rupiah terus terdepresiasi sebesar 124%. Jadi, kalau dihitung total prosentase depresiasi nilai mata uang rupiah selama 30 tahun kekuasaan Orba, rupiah telah terdepresiasi hingga 1.466% terhadap dolar. (Baca: https://www.facebook.com/notes/936180083075085/)
Semakin menambah kegelisahan rakyat, dimana terdapat penambahan pengangguran yang signifikan, teror senjata semakin ganas dirasakan rakyat sipil, BBM melambung tinggi, sembako naik drastis pemicu memuncaknya kemarahan rakyat dan mahasiswa yang akhirnya menyerukan penggulingan Soeharto dengan menduduki Gedung DPR dan Instansi vital lainnya.
Ada banyak sebab yang
membuat Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri tepat pada tanggal 21 Mei
1998, selain desakan perlawanan rakyat yang semakin membesar, Soeharto juga
mendapat tekanan dari konglomerat iternasional, yang menganggap Soeharto tak
lagi dapat dipertahankan, karena rakyat sudah antipati terhadapnya, demi menjaga
kelancaran modal, para konglomerat internasional mau tak mau mendesak Soeharto
untuk turun dari pangku kekuasaannya.
Sejumput Kebebasan dan Kemiskinan di Era Reformasi.
Benar jika dikatakan ruang
kebebasan sedikit demi sedikit terbuka di Indonesia namun tidak untuk
demokrasi. Kebebasan berpendapat dan perdebatan sudah tak menjadi barang langka
di Indonesia. Banyaknya bermuculan buku-buku yang dahulu telarang di zaman ORBA
kini mulai terjajal di berbagai macam toko buku. Sudah tidak adanya kontrol sosial
yang ketat hingga sampai ke pedesaan, kampus-kampus dan pabrik-pabrik, namun
bukan berarti kebebasan sepenuhnya ada di Bumi Nusantara, sebab dalam pristiwa
tertentu gagahnya bedil masih mengancam (kasus BIMA, Lampung, Munir, Aceh).
Aksi-aksi massa buruh
setelah bergulirnya reformasi banyak terlihat menghiasi halaman gedung Istana
dan Instansi gedung pemerintah lainnya. Buruh-buruh pabrik sudah mau keluar,
bergandengan tangan bersama kelas pekerja yang tertindas, seruan tuntutan mulai
mereka galakan, walaupun pada aksi mogok nasional dua tahun lalu, banyak
mendapatkan serangan dari preman yang dibiayai pengusaha. Aksi-aksi massa dan
seruan tuntutan yang lebih baik hadir dari banyak rakyat yang terbunuh, para
pejuang demokrasi diculik dan dibunuh dalam peristiwa mencengkeram kota-kota
besar di Indonesia.
Semakin banyak menjamur
lembaga-lembaga pro kemanusiaan, anti korupsi di Indonesia setelah runtuhnya
rezim otoriter. Lahirlah banyak komisi-komisi/lembaga ad-hock (yang bisa
bermanfaat jika dijalankan demi kepentingan rakyat dan dapat menjawab persoalan
dan tuntutan reformasi). Lahirlah komisi-komisi seperti KPK (2003), Komnas
Perempuan (Oktober 98), Mahkamah Konstitusi (Oktober 2003), Komisi Yudisial
(2004), Ombudsman (2000), termasuk adanya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Komisi/lembaga negara tersebut merupakan hasil dari perlawanan rakyat dalam
peristiwa 98.
Kebebasan itu lahir dari penderitaan panjang rakyat Indonesia selama 32 tahun di bawah cengkeraman rezim Soeharto, namun sampai saat ini, kemiskinan yang melanda di era Orde Baru masih bercokol erat dengan rakyat Indonesia. Fenomena kemiskinan saat ini kembali menghantui pembangunan di Indonesia. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Tahun 1996 persentase penduduk miskin menjadi 11%. Menurut BPS (SMERU, 2002), pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sedangkan data terbaru Biro Pusat Statistik menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia per November 2006 menunjukkan 39,05 juta jiwa (17,76%) berada di bawah garis kemiskinan (BPS, 2006). Menurut Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 109 juta jiwa (49,5%) apabila dihitung berdasarkan konsumsi per hari US$ 2 (Suruji, 2006). Kedua laporan di atas menunjukkan hasil yang berbeda karena menggunakan parameter kemiskinan yang berbeda. Namun yang menjadi fokus utama bukanlah mempertentangan perbedaan parameter tapi adalah semakin meningkatnya jumlah rakyat miskin. Hingga sampai tahun 2014 ini kemiskinan tetap bertahan, hasil dari penilitian BPS kemiskinan di Indonesia masih merajalela dari tahun ke tahun. (Baca: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=7).
Kebebasan belum direbut
sepenuhnya, kemiskinan merajalela, pendidikan mahal, upah murah masih
menghantui kaum buruh, rakyat desa di usir dari tanahnya, banyak hutan dibabat,
dibakar, perlawanan dibungkam dengan teror senjata, menandakan Orde baru belum
tumbang.
Tolak Pemilu Borjuis 2014, Lawan Militerisme dan
Bangun Partai Alternatif.
Dalam waktu dekat ini, rakyat
Indonesia kembali dihadapkan pada momentum pemilu presiden yang akan
dilaksanakan tanggal 9 Juli mendatang. Semua partai tak jauh berbeda, sama-sama
merusak lingkungan, memberi pendidikan mahal, kesehatan mahal, pro upah murah,
dan tunduk pada kaum pemodal. Bukan sebuah rahasia umum lagi ketika kita
membicarakan para peserta pemilu bahwa mereka dengan gagah, menjual secara
terang-terangan sumber daya alam kita kepada kaum pemodal, dengan mengeluarkan
regulasi yang tentunya disenangi oleh kaum pemodal, UU MIGAS, UU Tenaga Kerja,
UU PT, dan berbagai macam regulasi lainnya yang tidak pro terhadap
kesejahteraan rakyat. Tidak hanya para partai yang bobrok menjadi landasan kita
menolak pemilu, namun sistem pemilu itu sendiri yang selalu disebut wujud
demokrasi hanyalah sebuah omong kosong.Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam pengambilan kebijakan Negara. Sementara di negeri ini, yang ada hanyalah demokrasi prosedural, memaksa rakyat memilih para sampah, namun tak dapat mengambil kembali suaranya jika para sampah berkhianat dengan rakyat. Sehingga rakyat tidak memiliki kepentingan untuk mengikuti pemilu, sebab pemilu elit 2014 adalah ajang para babi berdasi merebut kekuasaan, agar dapat menjual Sumber Daya Alam Indonesia, tanpa memikirkan jerit tangis rakyat di seantero Bumi Nusantara. Selama rakyat masih kelaparan, tak sekolah, lingkungan rusak parah, perempuan dimarjinalkan, maka rakyat harus tetap menolak pemilu elit borjuis 2014 yang tidak dapat dijadikan jalan keluar bagi rakyat!
Militerisme adalah watak
yang hari ini mendominasi di berbagai partai peserta pemilu elit 2014.
Mereka menghalalkan segala cara kekerasan untuk mengamankan kekuasaannya. Di
saat Partai Demokrat dan kroninya berkuasa, peristiwa pelanggaran HAM kerap
terjadi di berbagai daerah, Bima berdarah, peristiwa Lampung, menjadi contoh
nyata partai yang berkuasa beserta kroninya melegalkan pembataian, demi
kepentingan modal dan mempertahankan kekuasaannya.
Namun militerisme yang
kental di dalam kubu tentara kali ini mulai bangkit perlahan-lahan menapaki
panggung politik di Indonesia, bahaya yang harus dilawan oleh rakyat Indonesia!
Sebab sejarah Militer di Indonesia sangat kental dengan watak militerisme.
Berikut sepenggal sejarah mengenai perkembangan watak militerisme di Indonesia
yang menyelimuti TNI:
Pada awal terbentuknya TNI,
posisi-posisi srategis banyak dikuasai oleh para perwira-perwira hasil
pendidikan penjajah Belanda (KNIL) dan fasis Jepang (PETA) lebih diarahkan
untuk menindas rakyat Indonesia itu sendiri. Sementara itu laskar-laskar rakyat
diberangus dan dilucuti senjata-senjatanya dengan kebijakan RE-RA
(restrukturiasi dan rasionalisasi) yang dijalankan oleh kabinet Hatta (si
tangan besi). Kebijakan RE-RA tersebut berasal dari kepentingan kapitalis yang
tertuang di dalam “Red Drive Proposal” atau “Usul-usul Pembasmian Kaum Merah”
yang dibuat di Sarangan pada tanggal 21 Juli 1948. Pertemuan tersebut
menghasilkan kesepakatan bahwa Amerika Serikat bersedia memberikan uang dan
akan mendukung campur tangan PBB, berakibat pada pengusiran Belanda dari tanah
Indonesia. Hal tersebut dengan syarat: Indonesia harus memutuskan hubungan
dengan London dan unsur-unsur komunis dalam grup-grup bersenjata kerakyatan
harus dihapuskan. Kesepakatan Hatta dengan Amerika mengakibatkan peristiwa
Madiun. Ribuan rakyat mati dihantam kerasnya senjata dari pasukan Siliwangi di
bawah kepemimpinan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Keruntuhan Soekarno,
membawa angin segar bagi Militer untuk menjalankan cita-citanya berkuasa di
panggung politik Indonesia, terlihat jelas ketika Soeharto berkuasa menerapkan
Dwi-Fungsi ABRI yang sudah lama dicanangkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution,
kepentingan tersebut ditutupi oleh Soeharto dengan mengumbar konsepsi: Bahwa
sipil masih lemah, dan tentara harus menjaga Bangsa dan Negara dari ancaman
yang berasal dari luar maupun dari rakyat sendiri!
Militer memiliki stuktur
sejajar dengan struktur sipil, yang berbentuk struktur Komando Teritorial
(KOTER). Struktur dari Mabes TNI (nasional), Komando Daerah Militer (Provinsi),
Komando Resort Militer, Komando Distrik Militer (Kota/Kabupaten), Komando Rayon
Militer (Kecamatan), Bintara Pembina Desa.
Selain menghabiskan
anggaran yang luar biasa besar (sebagai contoh pembangunan Kodam baru bisa
menghabiskan dana hingga 100 triliun), Komando Teritorial ini juga sekedar
menjadi alat untuk mengawasi rakyat, mengontrol aspirasi politik rakyat
(terutama saat pemilihan umum) atau menjadi sumber pelanggaran hak asasi
manusia. (menurut laporan KOMNAS HAM, yang melibatkan baik personil, staf,
maupun institusi komando territorial)
Kekuatan lama (Sisa-sisa
ORBA) mulai kembali bangkit dengan berbagai macam lambang partai, menciptakan
sejumlah regulasi anti rakyat yang (UU PKS, UU ORMAS, UU KAMNAS) menjadi
legalitas mereka, jika melakukan kekerasan demi keamanan modal dan stabilitas
politik. Selama watak militerisme menguasai kekuasaan, dapat menjadi hambatan
besar bagi gerakan buruh menuntut kesejahteraan dan kebebasan berserikat.
Negara tak akan membiarkan gerakan buruh terus membesar, gagahnya senjata akan
terus menghadang setiap perlawanan buruh. Itu lah sebabnya kenapa militerisme
harus dilawan dalam pemilu elit borjuis 2014 ini. Tak ada kesejahteraan, tak
ada demokrasi, jika militer berkuasa kembali.
Para partai tak bisa
menjadi tempat rakyat memanjatkan harapan, situasi ini menjadi landasan untuk
rakyat membangun alat politiknya sendiri. Kaum buruh yang hari ini memiliki
gerakan terbesar dari sektor gerakan rakyat lainnya dapat menjadi pelopor
pembangunan partai untuk rakyat. Sudah saatnya kaum buruh menuju politik, sebab
beberapa kali kemenangan kaum buruh di lapangan, saat melakukan mogok nasional
tak dapat dinikmati karena keputusan para elit yang berkuasa tak berpihak pada
buruh, sehingga kaum buruh mempunyai kepentingan untuk menempatkan
perwakilannya di lingkaran kekuasaan, agar perjuangan menuntut upah dan
kebebasan berserikat lebih mudah diraih oleh kaum buruh.
Menuju politik, bukan
berarti menebar para kader serikat untuk masuk ke semua partai yang tak dapat
dipercaya, menuju politik bukan berarti pimpinan serikat mendukung pelanggar
HAM ingin berkuasa. Menuju politik bukan berarti harus tunduk di bawah pengaruh
partai-partai penipu rakyat.
Partai alternatif untuk
rakyat dapat dijadikan media pendidikan bagi rakyat, selama 32 tahun rakyat
dibungkam mengenal ideologi dan politik, sehingga harus ada alat yang
menghimpun seluruh rakyat untuk mengenal pengetahuan tentang politik dan
ideologi, tanpa pendidikan untuk rakyat partai alternatif hanya menjadi mimpi.
Partai alternatif juga dapat dijadikan ruang perdebatan dari segala macam
perspektif yang pro-demokrasi, sekaligus menjadi pendidikan bagi rakyat.
Syaratnya: adanya kebebasan propaganda di dalam partai alternatif. Partai
alternatif dapat menjadi anti tesa dari partai politik peserta pemilu borjuis
2014. Partai alternatif harus mengusung agenda rakyat, pendidikan gratis,
kesehatan gratis, upah layak, kebebasan berserikat, reformasi agraria, dan usut
tuntas kasus pelanggaran HAM.!
Panji-panji Perjuangan Berkibar Melawan Sisa-sisa Orde
Baru.
Jika hari ini
rakyat melihat para elit yang bersaing merebutkan panggung kekuasaan adalah
mereka yang juga bereratan dalam panggung kekuasaan Orde Baru, artinya
sisa-sisa ORBA belum hilang di negeri ini, menandakan corak Orde Baru tidak
hanya dengan melihat sosok-sosok tokoh yang dahulu berada dalam lingkaran
Soeharto. Namun jauh dari itu kita harus melihat beberapa tahun setelah rezim
Soeharto tumbang, apakah praktek ekonomi politik yang diterapkan di masa Orde
baru sudah hilang.? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita boleh mengambil
contoh persoalan derasnya arus modal yang masuk ke Indonesia melalui proyek
MP3EI, akan banyak mengakibatkan penggusuran tanah rakyat dan pengerukan sumber
daya alam nusantara, tidak hanya sampai di situ, corak kapitalistik yang ada di
era Orde Baru lebih dikembangkan oleh rezim yang berkuasa, semua itu terlihat
semakin meningkatnya jumlah investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Selain sistem
ekonomi yang kapitalistik, salah satu dari ciri khas kepemimpinan Orde Baru
adalah pengekangan terhadap ideologi yang sampai hari ini masih menempatkan
ideologi tertentu menjadi barang haram untuk dipelajari dan diterapkan. Selain
pengekangan terhadap ideologi, rakyat Indonesia masih terus dihadapkan pada
regulasi yang membungkam kebebasan pendapat rakyat, dimana dalam regulasi tersebut,
menjadi halal jika negara melakukan penculikan, penyadapan, bagi siapapun yang
dianggap mengganggu stabilitas negara, regulasi itu berbentuk; UU PKS, UU
Ormas, UU Intelejen, dll.
Semakin nyata
bukan, jika sisa-sisa Orde Baru bukan prasangka dari segelintir kelompok, namun
pasti adanya sesuai dengan situasi yang ada di negeri ini, dimana kekuatan lama
mulai kembali berkonsolidasi untuk saling bersaing merebut panggung kekuasaan.
Di atas sudah dijelaskan betapa biadapnya kekuasan Orde Baru yang menumpas
jutaan rakyat dan menebarkan teror selama 32 tahun kepada rakyat Indonesia,
hari ini jika kita tetap menganggap melawan sisa Orde Baru menjadi bagian yang
tak perlu didahulukan maka kita akan kebelinger dan masuk kembali ke jaman
dimana kebebasan terasa mahal.
Sisa-sisa Orde
Baru dalam pemilu presiden mendatang menjadi kandidat kuat yang dapat merebut
kekuasaan Negara, seperti Prabowo dan Hatta, calon presiden yang diusung
kekuatan koalisi besar (koalisi Indonesia Raya) yang tergabung di dalamnya
Golkar, PPP, PAN, PKS, Gerindra, PBB, jika dilihat dari hasil pemilihan
legislatif, jumlah yang di dapat dari seluruh partai yang tergabung di koalisi
Indonesia Raya hampir menembus 50% suara dari keseluruhan suara pemilu
legislatif. Mengerikan bukan, jika Prabowo menjadi presiden di negeri ini,
jika kita sedikit menelisik sejarah tentang kejahatan kemanusian yang
dilakukan Prabowo, masih tercatat dalam ingatan sejarah kita,
bahwa Prabowo pelaku dan otak penculikan 13 aktivis pro-demokrasi. Saat
itu Prabowo menjadi pimpinan tertinggi KOPASSUS yang di dalamnya terdapat
kelompok kecil bernama Tim Mawar. Tim Mawar yang berada di dalam Kopassus ini
menjadi kaki tangan Prabowo untuk menculik aktivis pro-demokrasi, campur
tangannya dalam penculikan aktivis pro-demokrasi menjadi penyebab utama
pemecatan Prabowo dari angkatan bersenjata Indonesia. Tidak hanya
penculikan aktivis,! Masih banyak sederet kasus pelanggaran HAM yang melibatkan
sosok Prabowo. Seperti penyerangan etnis tionghoa yang terjadi di penghujung runtuhnya
kekuasaan Soeharto, yang diinisiasi oleh Prabowo Subianto menunjukan
wataknya yang rasis! Kami tak ingin dipimpin oleh pembatai berkuda, Mussolini,
Hitler, dan Juga Prabowo Subianto.
Di sisi lain,
kandidat kuat adalah gabungan dari reformis gadungan dan sisa Orde Baru, Jokowi
dan Jusuf Kala, pasangan ini juga memiliki dukungan kuat dari PDIP, PKB,
Nasdem, Hanura, PKPI, jika dihitung juga melalui jumlah suara yang mereka
dapatkan mendekati angka 50% dari keseluruhan jumlah suara. Dua kandidat
yang sudah mendaftarkan namanya ke KPU untuk menjadi calon agen kapitalisme
(Presiden dan wakil presiden), dengan sorak-sorak gembira para pendukung, rasa
optimis yang begitu tinggi, berlomba mendapatkan simpati rakyat, dengan tujuan
yang sama, yaitu: menindas rakyat lebih dalam lagi dengan sistem
kediktatoran orde baru dan kapitalistik yang tak terkontrol. Kita mengetahui
bahwa Jokowi tidak pro terhadap kaum buruh, saat mogok nasional berlansung, Jokowi
menolak mentah-mentah tuntutan buruh, salah-satunya kenaikan
upah 50 %, artinya jokowi juga bagian dari kaki tangan penguasa yang pro
terhadap sistem kapitalisme. (Baca:
http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/01/politik-moncong-pencitraan-koin.html)
Perlawanan
rakyat sudah saatnya disatukan untuk menghadang kekuatan Orde Baru, yang
secara perlahan mulai bangkit, siap menendang kebebasan dari negeri ini, kita
mengetahui bersama, bahwa sistem biadap Orde Baru adalah sampah terbesar di
dunia, yang dipenuhi kekejian rezim, menyiksa, membunuh, menculik, penjara,
menjadi bagian penting yang tak pantas dilupakan.
Hari ini adalah
kemenangan besar rakyat yang dapat dijadikan momentum menghadang laju sisa-sisa
ORBA untuk memperingati rakyat banyak nama yang belum kembali, menuntut
penangkapan pelaku penculik dan pembunuh para korban yang ditelan keganasan
sistem Orde Baru.
Kebebasan yang
sudah direbut oleh gerakan rakyat sebelumnya, harus dipertahankan, dirawat,
hingga sampai pada kebebasan sejati, sehingga menjadi penting persatuan rakyat
dibangun untuk menjadi pelopor penolakan rakyat terhadap
sistem Orde Baru yang mulai dibangun kembali oleh para
elit. Dalam momentum kejatuhan Soeharto, aksi massa dilakukan untuk
memperingati rakyat bahaya laten militerisme, poster-poster dan selebaran
disebar dipenjuru kampus, desa, kampung dan pabrik, mengepung
pusat-pusat kekuasaan, menekan negara menyelesaikan persoalan kejahatan
kemanusian di jaman Orde Baru.
Pena: Ziwenk. (Saat ini aktif di PEMBEBASAN).
Daftar
Referensi:
- http://ekosospol.wordpress.com/2011/08/06/tragedy-waduk-kedung-ombo-sejarah-teror-yang-di-sponsori-negara/
- http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/07/19/kedungombo-wisata-rakyat-tertindas-478313.html
- http://www.satuharapan.com/read-detail/read/aksi-buruh-tuntut-pemimpin-pelanggar-ham
- http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/62130/daftar-ke-kpu-prabowo-hatta-dihadang-demo-aktivis-ham
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar