TOLAK PEMILU BORJUIS 2014, LAWAN MILITERISME, BANGUN PARTAI ALTERNATIF !: REZIM PERUSAK SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN.

Oleh : Abry (Pembebasan).



Rezim Perusak Sumber Daya Alam dan Lingkungan.


Tahun ini, pesta pemilu 2014 sedang berlangsung. Pesta topeng para monyet partai politik mencari moralitas di mata rakyat. Rakyat diberikan hak demokrasinya dalam beberapa hari. Selebihnya, dibungkam selama 5 tahun oleh para penguasa ini. Partai politik sibuk mempromosikan diri sebagai publik figur yang layak dipilih oleh rakyat Indonesia dengan mengumbarkan retorika indah nan cantik di media-media. 12 partai politik yang bertarung di tahun 2014 ini mengatakan pro terhadap rakyat. Membangun perekonomian rakyat yang lebih baik menuju kesejahteraan masyarakat, baik tani, buruh, serta kaum miskin kota dan perempuan demi mendapatkan dukungan agar mereka bisa bercokol dan memegang kekuasaan demi kepentingan pribadi mereka. Dan tak banyak pula para aktivis pun berdalih dalam pemilu kali ini, dengan tujuan memperbaiki sistem pemerintahan Indonesia.
         

Model penindasan untuk rakyat pun semakin diperbaharui dan dipercantik, salah satunya yaitu MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), adalah rencana pembangunan yang disusun pemerintah SBY melalui legitimasi Perpres Nomor 32 Tahun 2011 dan hasil pertemuan APEC yang digelar di Bali, menunjukkan bahwa komitmen Indonesia untuk menggelar perdagangan bebas  di kawasan yang dinilai merupakan persetujuan atas liberalisasi di segala bidang. Rencana besar ini mengusung visi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar nomor 10 di dunia pada 2025, dengan pendapatan perkapita yang mencapai US$ 15.000, lima kali lipat dari saat ini yang hanya US$ 3.000.



Pertimbangan pemerintah adalah dengan kekayaan SDA yang melimpah dan pasar yang gemuk diyakini akan mampu menjadi mesin penggerak pertumbuhan dari baling-baling pembangunan ekonomi nasional. Terbukti kemudian, kebijakan MP3EI yang menata, mengatur dan membagi-bagi ruang tanah, air, dan udara ke dalam zona-zona, disebut dengan “koridor” (total ada enam koridor), meletakkan sektor tambang dan energi yang sifatnya padat modal sebagai andalan (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua). Jawa yang nyata-nyata basis pangan digarap menjadi sentral industri dan jasa, dengan pengembangan pertanian dialihkan ke Sulawesi, dengan Bali-Nusa Tenggara sebagai pendukungnya.


Faktanya, liberalisasi SDA memicu konfilk yang besar, hal ini bisa kita lihat di beberapa daerah. Sepanjang 2013 lalu, terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi. Pada setiap konflik yang menjadi korban sebagian besarnya adalah petani. Dari 232 konflik SDA yang melibatkan petani ini, 69 persen diantaranya dengan korporasi (swasta), perhutani 13 persen, taman nasional 9 persen, pemerintah daerah 3 persen, instansi lain 1 persen (Kompas, 16/2/2013).


Sebagai perbandingan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga melansir sekitar 370 konflik agraria terjadi sepanjang 2013 dengan cakupan wilayah konflik mencapai 1,3 juta ha. Konflik melibatkan sekitar 140.000 kepala keluarga. Dalam konflik itu korban tewas 21 orang, 30 orang tertembak, 130 orang menjadi korban penganiayaan, serta 29 orang ditahan aparat keamanan (VOA Indonesia, 27/12/2013).


Di berbagai daerah, konfik membara, menyebar dan meluas, justru saat Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2013) memperlihatkan tren peningkatan investasi yang dipuji sebagai capaian kemajuan pelaksanaan MP3EI, aneka konflik itu pecah akibat perselisihan dan benturan klaim berbagai pihak (petani, komunitas adat, masyarakat setempat vs orang-orang perusahaan, preman didukung aparat, dan seterusnya) untuk mendapat akses, kontrol dan penggunaan atas tanah, hutan, air, perikanan, dan lainnya.


MP3EI berpotensi besar melahirkan konflik semacam itu. Pembagian “koridor ekonomi” dapat memaksakan sektor apa yang penting bagi klaim “pembangunan nasional” di suatu daerah kepada masyarakat/komunitas di daerah itu yang berakibat pengusiran dan peminggiran terhadap kebutuhan dan kepentingan hidup bersama mereka. Kekerasan akan lebih mengerikan jika aparat keamanan dilibatkan di pihak perusahaan atas nama melindungi aset dan kepentingan nasional.


Prosesnya bisa karena perbedaan klaim kepemilikan maupun cara pemanfaatan SDA setempat. Kebutuhan mendesak masyarakat terhadap SDA setempat tidak diakomodasi kebijakan, program, dan proyek pemerintah atau izin usaha yang diberikan kepada perusahaan.


Mengapa hal ini terjadi? Hal ini tidak lapas dari regulasi yang dibuat oleh para wakil rakyat, sejak UU PA No 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria sebagai alas kebijakan untuk mengabaikan hak-hak masyarakat atas sumber daya alam khususnya tanah. Perdebatan ini berujung pada arti kata tanah ‘dikuasai’ atau dimiliki oleh negara yang digunakan secara sempit oleh pemerintah sehingga memungkinkan pemerintah membuat keputusan mengeksploitasi sumberdaya alam dengan mengabaikan hak-hak masyarakat.


Hal ini berkaitan dengan setelah diterbitkanya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal Asing oleh presiden Soeharto. Kelemahan lainya adalah kebijakan dan peraturan-peraturan pengelolaan dan konservasi SDA yang selama ini kental akan orientasi sektoral sehingga menimbulkan terkotak-kotaknya wilayah SDA berdasarkan batas-batas administratif dan kepentingan politik ekonominya di daerah otonom.


Namun saat ini pengelolaan kawasan hutan di Indonesia mengacu pada perundang-undangan yakni UU No. 41 tahun 1999. Dalam UU ini kawasan hutan dibagi bedasarkan statusnya yaitu: hutan negara dan hutan hak.


Dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pada pasal 33 ayat 3 dinyatakan bahwa,  “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar – sebesar kemakmuran rakyat.”


Hutan bagi bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan utuh dalam sistem kehidupan sejak zaman dahulu, pada saat ini dan masa yang akan datang. Sumber daya hutan tersebut diharapkan berfungsi sebagai ekosistem hutan secara utuh yang sangat berperan sangat penting  dalam penyangga sistem kehidupan dan secara bersama – sama dapat memenuhi kebutuhan terhadap manfaat ekonomis, ekologis, dan sosial budaya secara berkelanjutan yang dilaksanakan berdasarkan amanah UUD 1945.


Namun itu tidak mampu melindungi masyarakat atas hak tanah mereka yang tiap harinya di hantui oleh para penguasa dan kapitalisme di negeri ini untuk bagaimana bisa mereka mengeksploitasi lahan hidup mereka, inilah potret kehidupan masyarakat pesisir hutan negeri yang subur ini.


Rakyat tidak dibiarkan untuk bernafas di negerinya sendiri, apa lagi di tahun 2014 ini banyak kalangan militer yang terlibat dalam memperebutkan kursi baik di tingkat daerah, provinsi, dan pusat serta di kursi kepresidenan saat ini.


Perlu juga kita ketahui bahwa sejak tahun 2004 presiden SBY naik menjadi presiden indonesia, banyak UU yang berhasil disahkan tanpa memikirkan lebih jauh dari regulasi undang-undang tersebut, UU Ormas, UU Intelejen dan UU Kamnas. Undang-undang telah berhasil disahkan oleh DPR RI dan Presiden, satu hal kita perlu ketahui dari undang-undang tersebut adalah menutup ruang demokrasi indonesia. Hal ini tidak beda jauh dari kehidupan masyarkat orde baru bahkan lebih parah lagi. Yang mampu menjalankan dengan baik dari Undang-undang tersebut adalah para militer, ibarat minyak yang menunggu api untuk terbakar.


Rakyat tidak akan mampu lagi meneriakan hak-hak mereka, mahasiswa ditutup ruang demokrasi dengan UU PT, yang ada hanya penidasan, yang terjadi dimana-mana. Karena pihak militer tidak bisa lagi menggunakan senjata mereka untuk untuk melindungi hak rakyat kecil, namun melindungi para borjuasi yang berpesta pora dalam menindas rakyat dalam payung kapitalisme.


Untuk itu rakyat harus bersatu untuk keluar dari bentuk penghisapan oleh kapitalisme dengan membangun partai alternatif yang dibangun dari mahasiswa, buruh, kaum tani, kaum miskin kota dan perempuan yang bangkit melawan, membuat partai rakyat demi kepentingan rakyat itu sendiri, bukan kepentingan individu, namun sistem KPU saat ini juga menutup ruang demokrasi rakyat kecil saat ini dimana sistem kepartaian yang harus memiliki dana partai minimal 1 miliar.


Sejatinya, siapapun pemenang Pemilunya, sudah bisa dipastikan tidak akan merubah keadaan, SDA akan terus diserahkan pada investasi, masyarakat adat dan petani, semakin tak memiliki harapan memiliki dan mengelola tanah. Satu-satunya sumber kehidupan mereka semakin hari akan habis dirampok oleh perusahaan asing maupun lokal. Selama tidak ada program nasionalisasi di bawah kontrol rakyat atas Sumber Daya Alam, maka mustahil pemenang pemilu sanggup menuntaskan permasalahan rakyat terutama masyarakat adat dan petani korban tambang dan perusahaan perkebunan.

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar