“Nur…” Suara seorang ibu, memanggil anak
perempuannya, kembang desa di tempat ia dilahirkan. Di kaki gunung tak
berapi. “Nur…” Sekali lagi ibu itu memanggil anaknya yang sedang asyik ngobrol
dengan tetangga, sampai ia tak mendengar ibunya di dapur meraungi namanya.
Suara jeritnya tak didengar! Dengan tergesa-gesa seorang
ibu itu menghampiri anaknya di
halaman rumah. Terhentak Nur bingung, kenapa ibunya sudah ada di belakangnya. “Bukannya
tadi Ibu di dapur?" Tanya
Nur pada ibunya, yang masih ngos-ngosan sehabis memanggil nama Nur dengan
berteriak dan jalan tergesa-gesa.
“Kamu kemana aja Nur? Sampai gak dengar
suara ibu memanggilmu?” Kata ibu Nur yang bertanya
dengan nada keluhan untuknya.
“Nur di sini aja bu, selesai menyapu
halaman, Nur ngobrol dengan Melati." Jawab Nur, sambil menggenggam sapu lidi.
“Yasudah, kamu mandi sana! Ini udah
keburu sore, gak bagus anak perempuan di luar rumah.” Ucap ibunya dengan
kalem.
“Iya Bu, bentar lagi Nur mandi.” Tandas Nur
“Kenapa bentar lagi Nur? Ayo mandi sana! Ini udah sore.” Kali
ini ibu Nur mulai memaksanya.
“Iya Bu , Nur panggil Mas Sarip dulu.”
“Lho kenapa panggil Masmu, yang Ibu
suruh mandi kamu!” Ibu Nur mulai bicara dengan sedikit tegang.
“Mas Sarip masih main bola Bu, bukannya
ini udah sore, dia juga belum mandi Bu.” Sambut Nur sambil menggigit bibirnya untuk mengelupas rasa kesalnya.
Melihat Nur ngeyel, yang tak
mengikuti perintahnya, Ibu Nur bicara sedikit keras kepadanya, usahanya untuk
membuat Nur menuruti perintahnya. “Kamu mandi sana! Biarkan saja mas mu itu,
dia kan laki-laki! Gak papa bila sore masih di luar.” Ucap ibu Nur dengan
mata yang melotot tajam.
Nur mendengar
ibunya bicara dengan nada sedikit keras dan mata besar yang di miliki ibunya
mulai melotot tajam memandang ke
wajahnya, dengan tanggap Nur mengatakan 'iya' dan tak membatah lagi perkataan
ibunya. Sambil berbisik di jalan menuju kamar mandi, apa bedanya Mas Sarip denganku, wanita dan laki-laki apa bedanya?
“Uiittss,, Nduk Nduk Nduk, bangun ini udah pagi.” Suara ibunya yang berusaha membangunkan
Nur.
“Udah pagi Bu?” Nur bertanya dengan
mata yang masih sembab.
“Sudah, Nur cuci wajahmu! Lalu sapu
halaman rumah!” Perintah ibu Nur.
“Iya bu, Mas Sarip sudah bangun Bu?" Tanya Nur kembali pada ibunya.
"Belum, dia masih tidur.” Tangkas ibu Nur, sambil
berjalan meninggalkan kamar Nur.
Rasa ngatuk yang masih menggandrunginya,
ia lenyapkan, dan bergegas menuju halaman depan, untuk memenuhi kewajiban rumah
yang harus dia kerjakan. Saban hari memang Nur menyapu halaman rumahnya pagi dan sore, terkadang dia pernah berpikir
hal yang selama ini dia pertanyakan, setiap
aku menyapu halaman di
sore hari, Mas Sarip masih bermain bola, tanpa ada beban kerjaan rumah yang diberikan
untuknya, pagi hari, saat aku
menyapu halaman, mas Sarip masih tertidur pulas bersama air liur, yang melalang
buana di bantalnya. Pria berbadan bonsor bernama Sarip, memang sangat jarang
mendapatkan kerjaan rumah, semua kerjaan rumah yang tak dikerjakan ibu, pasti aku yang mengejarkan,
tanpa dikasih kesempatan untuk bertanya, kenapa harus aku? Bukannya Sarip juga
bagian dari rumah ini, yang setiap harinya ikut terlibat mengotori halaman
rumah, kenapa hanya aku? Tanpa mehiraukan pertanyaan yang sejak lama menghantui pikiranya, ia tetap
melanjutkan gerak tangan dan kaki yang saling beirama, berpegangkan Sapu lidi,
dengan telaten ia membersihkan halaman rumahnya dari dedaunan dan ranting pohon yang berserakan.
“Pagi Nur.” Teguran dari tetangganya
yang biasa dipanggil Nur budhe.
“Iya Budhe.” Jawab Nur dengan senyum
simpulnya.
“Ini baru wanita.” Puji budhenya yang dianggap Nur sebagai hinaan. Sungguh gampang
menjadi wanita, cukup menyapu halaman, aku sudah dikatakan wanita. Bersit
Nur di dalam hati.
“Jadi wanita memang harus rajin Nur,
kamu harus bisa masak, dan terbiasa membersihkan rumah, sekaligus rajin menyuci
pakaian.” Lanjut
budhe Nur yang kali ini belagak seperti guru.
“Untuk apa itu semua Budhe?" Pertanyaan Nur
yang membuat budhenya bingung.
“Maksudnya Nur?" Ucap budhenya dengan alis mata yang menjengat ke atas dengan wajah yang
bingung.
“Itu Budhe, yang budhe katakan, Nur mau
tanya, untuk apa perempuan bisa masak dan segala macem pekerjaan yang harus ia
kerjakan?” Nur
mulai membingungkan budhenya kembali, dengan bertanya yang jarang dipertanyakan orang-orang.
“Ohh itu, kok kamu masih tanya Nur? Tentu
itu semua biar kamu disayang suami Nur, kan sebentar lagi kamu lulus dari
sekolah, lalu nikah,
jadi dari sekarang kamu sudah harus persiapkan itu.” Jawab budhenya, yang masih merasa seperti
seorang guru.
“Ah Budhe, Nur belum mau nikah, masih mau lanjut sekolah Budhe, ke kota.” Tangkas Nur.
“Kamu sekolah lagi Nur? Bukanya kamu
cukup ayu (cantik), laki-laki mana yang tidak mau sama kamu, anak Kepala Desa,
dan anak Pak Camat, pasti berebut ingin melamar kamu, bila nanti kamu sudah
lulus sekolah.” Lanjut budhe yang
meyakinkan Nur, dengan wajah cantik dan bisa memasak serta menurut pada suami,
Nur akan hidup bahagia bersama harta warisan dari orang tua calon suaminya
kelak.
“Pokoknya Nur belum mau nikah secepat
itu.” Tegas Nur dengan wajah murung, akibat mendengar
nasehat budhenya.
“Nur, Nur, Nur, kamu harus sadar Nduk! Wanita itu ujung-ujungnya
di dapur, setinggi apapun kamu sekolah, tetap kamu harus bekerja di dapur, itu
udah kodrat kamu sebagai wanita.” Desakan budhenya kepada Nur.
“Yasudah, lanjuti nyapu kamu, Budhe mau
ke pasar dulu, inilah kerjaan Budhe.” Lanjut budhenya.
“Budhe senang dengan kerjaan ini?” Nur bertanya sambil melampirkan wajah yang kalut, kelopak
mata yang longgar, dengan ratapan sedih.
“Senang dong Nur, kerjaan kita sebagai wanita, hanya
memasak, kita tak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan kerja. Tugas kita hanya melakukan
kerjaan rumah, agar suami senang, Budhe sangat menikmatinya Nur, ini Sudah
kodrat kita sebagai wanita!”
Mendengar jawaban dari budhenya, Nur
menundukan kepalanya, sambil mengeluh di hati. Begitu rendah hidup sebagai wanita, lahir hanya untuk tunduk pada
seorang laki-laki yang belum tentu menghargainya.
“Budhe
ke pasar dulu ya Nur."
“Iya Budhe.” Jawab nur yang masih
menundukan kepalanya.
Halaman rumah sudah bersih dari dedaunan
yang jatuh dari pohon mangga di depan rumahnya. Keringat mengalir di badan Nur, rasa lelah yang teramat berat dia rasakan setiap harinya.
“Nur... Nur… udah selesai nyapunya?” Teriak
ibu Nur dari dalam rumah.
Ia hampiri ibunya yang sedang asyik
menata meja makan, untuk menyediakan sarapan keluarganya, “sudah Bu,” jawab
Nur, sambil memperhatikan ibunya.
“Kalau
sudah selasai nyapunya, kamu mandi sana! Ntar kita sarapan bareng dengan bapak.”
“Iya Bu,” jawab Nur dengan datar.
Badan yang masih terasa lelah, tak dia
pedulikan, demi mengikuti perintah ibunya, ia pun langsung menuju kamar mandi,
untuk menunaikan ritual yang setiap harinya diingatkan oleh ibunya.
“Nur cepat mandinya, sudah ditunggu
bapak di meja makan.”
“Iya Bu,” jawab
Nur di dalam kamar mandi.
“Wah Nur sudah mandi? Ayu tenan kamu Nduk.” Pujian dari bapak Nur.
“Sudah Pak, Bapak mau berangkat ke kota?” Tanya Nur pada bapaknya
yang sudah rapi mengenakan kemeja berwana coklat dengan peci hitam melengkapi
gayanya, untuk berangkat ke kota.
“Iya Nduk, Bapak mau ke kota, jual hasil panen padi kita, besok bapak gak bisa mengikuti acara
lulusan di sekolahmu. Ayo makan Nduk, bentar lagi bapak berangkat.”
Bapak Nur seorang juragan beras, yang
setiap minggunya pasti menginjakan kakinya di kota, untuk menjual beras yang habis dipanen oleh buruh tani
di desa.
Perut yang selama berjam-jam kosong,
setelah mandi kemaren sore, ia langsung
tidur tanpa makan malam, membuat Nur
seperti orang yang habis dari padang pasir, kelaparan, dan beringas menyantap
makanan.
“Pelan-pelan Nduk, kamu iki wedok!”(kamu ini wanita) Tegur bapaknya melihat Nur makan dengan beringas.
Mendengar teguran dari bapaknya, Nur
perlahan-lahan memperlambat makannya.
“Nah gitu kan baik, jadi perempuan itu Nduk, harus terlihat ayu dimana pun.”
“Mas Sarip di mana Bu?” Nur coba
menanyakan pria berbadan bonsor yang sedang asyik tidur.
“Masih
tidur Nduk.” Jawab ibunya.
“Oo,, masih tidur! Pasti dengan air liur yang melalang buana di bantalnya.”
“Bapak, apakah tidak ada aturan yang mengatur laki-laki untuk tampil tampan dimana pun?” Tanya nur pada
bapaknya, bernada meraung.
Mendengar pertanyaan Nur, wajah Juragan
beras itu mengetat, matanya menatap tajam Nur dan Ibunya. Lalu
bicara dengan keras “Dari
mana kamu dapat pertanyaan seperti itu?”
“Nur
tidak mendapatkannya dari siapapun Pak,
itu lah yang Nur lihat, kenapa hanya Nur yang dirawat seperti boneka!” Tangkasnya yang kali ini
membuat bapaknya geram.
“Istighfar Nduk.” Ucap ibu Nur yang ingin menengahi pergelutan bapak dan anak itu.
“Kenapa istighfar Bu? Apakah Tuhan
melarang kita untuk bertanya?” Nur terus merontah, menanyakan ketimpangan yang ia
rasakan.
Melihat anaknya yang
terus merontah, juragan itu panik dan kebingungan, mengetahui sikap anaknya
yang beransur-ansur, menyadari ketimpangan yang dirasakannya. Pertanyaan Nur
tadi, seperti duri yang menyayat tajam tenggorokannya saat menelan empuknya ikan panggang.
Dengan geram, lalu
berucap seenak udelnya, “sudah, lanjutin makan kamu! Lalu masuk kamar, tidak usah keluar!” Bentak bapak Nur sambil melampirkan amarah di wajahnya.
Suara
bentakan dari seorang laki-laki yang ia kagumi, mampu membuat Nur menundukan matanya ke arah makanan, sambil
menyatap pelan-pelan makanannya. Untuk menghilangkan rasa takut, sehabis mendengar bentakan
bapaknya, yang selama ini tak pernah ia dengar. Begitu juga wajah juragan beras
itu. Baru ini wajahnya mengetat ketika bicara dengan anak bontotnya.
“Bapak berangkat dulu Bu, Nur.”
“Iya Pak.” Jawab Nur sambil mencium tangan bapaknya sebelum berangkat meninggalkan
meja makan.
“Ayo Nduk bantuin Ibu bersihin meja makan.” Ucap ibu nur.
“Iya Bu, memang Nur seharusnya yang bersihin ini.” Jawab Nur dengan wajah yang
kalah.
Nur dari dahulu hingga sekarang menurut dengan
perintah ibu dan bapaknya, namun bukan
pecundang, yang dapat disuruh apa saja, walau itu menyesatkan. Nur banyak
belajar dari apa yang ia lihat, ketimpangan yang ia rasakan, memberanikan Nur untuk merontah pada siapapun
yang dianggapnya melestarikan ketimpangan
itu. Kasian dia! Merontah namun kalah oleh penguasa!
Tak betah di dalam kamar,
terperangkap rasa gundah akibat bentakan bapaknya, membuat ia, keluar diam-diam
dari rumah yang mengekangnya. Ibunya sedang asyik di belakang rumah, menyuci
pakaian, Nur dengan tertatih-tatih berjalan keluar rumah, ingin ketempat
dimana ia diperlakukan layaknya manusia.
Di jalan menuju tempat
tujuannya, Nur merasakan kebebasan sesungguhnya, dimana alam begitu lembut menyapanya,
dengan menghisap angin di dedaunan, lalu menghempasnya saat Nur berlari menuju ujung desa.
Yaa, di ujung desa inilah,
tempat Nur meluluh lantakan emosi yang menggumpal di kepalanya, ia belajar
kebebasan dari burung yang berkicau keras, di atas perpohonan yang rimbun
berjajar rapi di pinggiran sawah, hamparan sawah hijau yang tergambar jelas di
bola matanya memberi arti penting tentang keberanian hidup, di tengah tanah
yang kotor!
Perempuan ini masih duduk, di
bawa pohon yang menjadi tempat andalannya untuk mencoret segala keluh kesah
yang ia rasakan, pohon yang rimbun dan berbatang besar, dengan kulit yang mulai
mengupas, disorot sinar matahari langsung, membuat siapa saja yang ada di
bawanya merasakan dua rasa yang berbeda, di tengah kesejukan, dan hangatnya
matahari, yang membalut tubuh Nur saat sedang asyik menikmati puncak gunung
yang terlukis di depan matanya, dengan bingkai awan putih mengelilingin gunung
itu. “Sunguh ketakjuban yang begitu
indah, tapi kenapa penghuninya merusak dengan aturan yang di buat-buat.” Bersit
Nur yang masih menatapkan matanya di puncak gunung itu.
“Teman ku pagi-pagi udah ngapelin
pohon hehhe.” Suara laki-laki yang selama ini menjadi temannya di ujung desa.
“Kamu Gus, sapi-sapi kamu
dimana?” Jawab Nur, masih melampirkan kesedihan di wajahnya.
“Sudah di jual ke kota semua
Nur.”
“Terus bagaimana dengan
pekerjaanmu?”
“Dalam beberapa minggu ini aku
bantuin Pak RT Nur menjaga sawahnya.”
“Sudah lama kamu di sini Nur?" Lanjut anak muda itu.
“Belum terlalu lama Gus.”
“Kenapa dengan wajah kamu Nur? Pasti kamu baru melihat lagi kenyataan di desa ini.“
“Kamu kok tau Gus?”
“Kita setiap harinya berjumpa
di sini, dan setiap harinya juga aku mendengar keluhanmu terhadap desa kita.”
“Apakah kota sama seperti desa
kita Gus?” Tanya Nur kepada anak muda yang dari kecil menjadi temannya berbagi
kisah.
“Baru seminggu lalu aku pulang
dari kota Nur, sungguh lebih tragis dari desa kita.”
“Bila di desa kita lapar Nur,
masih ada pepaya yang bisa diambil dan ikan masih banyak berenang di sungai
belakang desa kita. Di kota sana Nur, bila mereka lapar, dan tak mengantongi
sedikitpun uang, tak jarang orang kota, mengemis, dan mengais nasi bekas di
tong sampah gedung-gedung mewah.” Katanya sambil menggenggam arit, dengan mata
yang begitu berani, mengingatkan aku pada ribuan petani, yang datang berkerumun
menuntut pembagian tanah. Cita-cita belum sampai, mereka sudah dibantai, tanpa
diberi kesempatan menjawab segala dalih yang direkayasa.
“Terus Gus bagaimana dengan
wanita-wanita di kota?” Tanya Nur yang penasaran mendengar cerita dari anak
muda itu, yang rutin ke kota, menjual ternak
titipan juragannya.
“Lagi-lagi lebih tragis Nur, di
kota marak pemerkosaan, lalu perempuan disalahkan hanya karena pakaian yang ia
pakai!”
“Memang kenapa pakaiannya Gus?” Dengan tanggap Nur bertanya.
“Kata orang-orang kota senono.” Gus menjawab dengan kecewa.
“Bukannya setiap orang berhak
menentukan baju yang ia pakai, bukannya kota menjaga kebebasan itu Gus."
“Tidak Nur, desa dan kota tak
jauh berbeda, hanya wajah-wajah penghuninya yang tak sama, otak dan hatinya tak
jauh beda.” Tandas anak muda itu
Sungguh tragis nasib kaumku. Keluh Nur di dalam hati.
Matahari mulai terik, berada
di atas kepala dua anak muda ini, namun mereka masih saling berbagi cerita,
dari apa yang mereka lihat. Memang dari kecil mereka sudah terbiasa bertemu di
tempat ini. Di tempat ini mereka menemukan dunianya, anak muda yang
merontah menitih hidup, dan perempuan yang memberontak lingkungan sosialnya. Semua
mereka lontarkan kegelisahan itu bila berada di tempat ini, tempat yang
memberi mereka kebebasan melakukan apa yang mereka inginkan.
“Gus aku boleh tanya ke kamu?”
“Silakan Nur.”
“Menurut kamu siapa itu
perempuan?” Nur bertanya dengan menatap wajah anak muda itu.
“Dia yang melahirkanku Nur,
layaknya pemberi kehidupan, aku harus memperlakukannya seperti perlakuanku pada
diriku.” Tandas anak muda itu.
“Jika kamu memiliki istri Gus
akan bertindak seperti itu?
“Tentu Nur! Jika ada
perempuan yang ingin bergandengan denganku untuk berjalan menuju masa depan. Tak
ingin aku perlakukan ia seperti Ratu di
dalam istana, yang selalu tunduk pada Raja. Walau Lehernya dipenuhi perhiasan
terindah seantero Bumi, kulit halusnya bermandikan susu, dengan makanan lezat
tersedia di atas meja singgasana. Namun ia bersedih dan terjerat rasa serba
salah, yang tak mampu ia lawan, saat melihat suaminya, seorang Raja asyik
menari, dan merayu para wanita di hadapannya. Aku tak mau membuat perempuan
teman hidupku seperti itu, serba salah dalam kegelimpangan harta. Tak juga aku perlakukan perempuan teman
hidupku, seperti istri Kyiayi di dalam pesatren, sungguh aku tak sanggup
melihat perempuan teman hidupku, berjalan menundukan setengah badannya, bahkan
sampai sembah jongkok di hadapanku, tak ingin aku melihat itu, jauh lebih indah
dan bersahaja, bila perempuan teman hidupku berani lantang mengangkat wajahnya
dan menegakkan tubuhnya, aku akan jauh merasa terhormat bila itu ia lakukan." Jawab anak muda itu yang membuat Nur tersenyum riang medengar perkataannya.
“Kenapa kamu tersenyum Nur?” Tanya anak muda itu.
“Tak papa Gus”. Jawab Nur
sambil memperhatikan pasangan burung yang sedang bercumbu di atas pohon.
"Kita belum selesai Nur, kita
baru memulainya, kisah selanjutnya akan menyusul menemukan muaranya, para pembaca
semoga menantikannya, kisah kita selanjutnya di Ujung Desa.” Tandas anak muda
itu, dengan sekar hijau yang terus dia sulut di pinggir sawah.
Pena: Ziwenk (PEMBEBASAN Yogyakarta).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar