Oleh: Dwi marta.*
Kritisnya kondisi perempuan sama artinya dengan
ambruknya bangunan masyarakat dan Negara. Sementara kaum perempuan Indonesia,
yang menempati lebih dari separuh populasi, masih merupakan korban dari
berbagai belenggu sosial, ekonomi, dan politik di negeri ini. Artinya, bila
kemerdekaan dianggap sebagai pembebasan rakyat dari segala bentuk belenggu
(ekonomi, politik, dan sosial budaya), maka sebagaian besar perempuan Indonesia
belum merdeka. Sebab, belenggu sosial, ekonomi, dan politik itu masih menyisakan
ruang bagi terjajahnya kaum perempuan.
Pada akhir abad 19,
ketika Kartini muncul sebagai salah satu perempuan progresif di Hindia Belanda
(Indonesia), musuh utama bagi kaum perempuan adalah sistem sosial patriarki dan
kolonialisme. Ketika itu, kedua belenggu ini menjelma sebagai kekuatan besar
yang menghisap dan menindas perempuan. Sekarang ini, bagi gerakan feminis di berbagai
belahan dunia, neoliberalisme dipandang sebagai rezim baru yang menindas
perempuan. Neoliberalisme, yang oleh banyak orang dikatakan kapitalisme tanpa
sarung tangan, sangat agresif dalam menempatkan perempuan sebagai tenaga kerja
ber-upah murah, hingga menjadikan perempuan sebagai komoditi yang
diperdagangkan.
Sementara itu, bagi sejumlah gerakan feminis di dunia ketiga,
neoliberalisme dianggap sebagai ekspresi penjajahan di era modern. Penyebabnya,
menurut mereka, neoliberalisme telah merampas segala sumber daya potensial, dan
karenanya, tidak menyisakan sedikitpun bagi perempuan dan generasi mendatang. Akibat Perdagangan dan
Investasi.
Kepatuhan Rezim SBY untuk mencabut kuota produk perdagangan,
mengakibatkan penutupan pabrik –khususnya manufaktur– yang buruhnya mayoritas
perempuan menjadi pengangguran. Ancaman krisis ekonomi semakin nyata seiring
dengan disahkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA),
yang memberikan kemudahan bagi investor untuk memberlakukan
sistem outsourching, penghapusan hak-hak normatif, serta kemudahan
pemindahan aset dan bisnis (relokasi), dan pemberlakuan status lajang bagi
buruh perempuan.
Sebagai tenaga kerja outsourcing, buruh perempuan
tidak akan mendapatkan tunjangan melahirkan. Buruh perempuan diasumsikan berstatus
lajang, agar tidak memperoleh jaminan sosial keluarga. Contohnya, buruh
perempuan yang berusia 40 tahun merupakan target utama PHK untuk digantikan
buruh yang baru lulus dari SMP, SMU dan masih lajang, dan ini akan
mengakibatkan pengangguran bagi para perempuan semakin banyak.
Akibat Penghapusan
Subsidi. Dalam rangka kebijakan fiskal ketat, dilakukan pencabutan subsidi
terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan BBM serta bahan pokok pangan.
Kebijakan ini mengakibatkan anggaran untuk Bidan Desa dan obat-obatan dicabut
sehingga layanan kesehatan menjadi mahal. Kenaikan harga BBM dan gas telah
memberikan efek domino terhadap naiknya harga bahan pokok pangan dan biaya
transportasi. Kenaikan ini tentu diikuti oleh harga susu formula untuk bayi,
harga pakaian, biaya pendidikan melonjak tinggi. Padahal keseluruhan elemen ini
merupakan kebutuhan dasar rakyat demi kelangsungan hidup masyarakat yang
akhirnya diurus dan ditanggung oleh perempuan (ibu rumah tangga).
Privatisasi. Dalam rangka liberalisasi
perdagangan, Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), sekolah, PLN,
perusahaan air, yakni sektor yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar
diswastanisasi. Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas
yang diharuskan berkontribusi mengisi kas daerah untuk Pendapatan Asli Daerah
(PAD), mengakibatkan perempuan miskin diwajibkan membayar. Kebijakan Asuransi
Kesehatan bagi orang Miskin (Askeskin) dan Kartu Keluarga Miskin (Gakin) juga
belum bisa memberi layanan, apalagi ketentuannya sangat diskriminatif karena
pembagian kartu ini berdasarkan kedudukan sebagai warga tetap, yang harus
memiliki kartu keluarga.
Kondisi ini pada akhirnya menurunkan kualitas
kesehatan perempuan dan anak, meningkatkan angka kematian balita dan anak,
termasuk meningkatnya angka kematian ibu melahirkan. Sekitar 19.000 perempuan
Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi di saat kehamilan dan
persalinan. Tegasnya, setiap ½ jam ada seorang ibu yang meninggal karena
terkait dengan proses kehamilan, persalinan dan pasca persalinannya.
Kebijakan yang di keluarkan pemerintah
melalui regulasi anti rakyat (UU PT-UKT) melegalkan privatisasi di sektor
pendidikan yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan. Sehingga
kesempatan anak- anak untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi dari pendidikan
dasar dan menengah menjadi sangat kecil, terutama anak-anak perempuan. Masih
terdapat sekitar 10 persen buta huruf di kalangan anak-anak perempuan di
pedesaan. Masih terdapat anak perempuan dikawinkan pada usia dini untuk
meringankan beban keluarga atau membayar utang keluarga. Ada banyak dari mereka
yang dipermadukan (korban poligini). Anak-anak perempuan ini pada akhirnya
bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang jumlah mencapai 688.132 jiwa atau
34.82 persen dari jumlah total 2.593.399 jiwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Beberapa kaum feminis berpendapat bahwa
perempuan terkena dampak neoliberal lebih keras dibanding laki-laki. Dengan
alasan pertama, perempuan sangat lemah aksesnya terhadap sumber daya
ekonomi, akibat masih bercokolnya sistem patriarki, sehingga mereka begitu
bergantung kepada negara. Ketika negara menghapus peran sosialnya, maka
perempuan akan mendapatkan dampak cukup jauh. Kedua, sekarang ini perempuan
masih mengalami penindasan berlapis; patriarkhi dan kapitalisme, karena hal
itu, perempuan sangat bergantung kepada perlindungan negara, dan adanya sebuah
regulator yang berpihak kepada perempuan, terutama perempuan pekerja.
Di Indonesia, misalnya, potret kemiskinan
memperlihatkan bahwa kaum perempuan masih menempati kelompok sosial paling
miskin di Indonesia, mengutip studi ADB (2005), mencapai 70%. Sementara, kaum
perempuan yang tidak tertampung dalam industri dimobilisasi menjadi buruh tani
dan buruh kebun (69,32% dari 47,67% tenaga kerja di pedesaan), buruh migran
(71.433). Sementara itu, jumlah perempuan Indonesia yang terseret pada
perdagangan (tracficking) dan bisnis pelacuran mencapai 650 ribu hingga satu
juta orang per-tahun.
Akan tetapi Neoliberalisme bukanlah takdir dari
Tuhan yang tidak bisa dirubah, Neoliberalisme bisa kita lawan dan dikalahkan
dengan kita bersatu, sama–sama menentang system keserakahan ini. Di negara
tetangga kita misalnya, Papua New Guinea, perempuan berada di garis depan
perjuangan melawan swastanisasi tanah dan reformasi pendidikan, yang dianjurkan
oleh IMF dan Bank Dunia. Di Bolivia, ketika privatisasi air digalakkan,
perempuan menjadi unsur paling dinamis dan paling maju dari gerakan
sosial. Ini merupakan tantangan bagi kita semua untuk meyakinkan
mayoritas perempuan, utamanya kalangan perempuan miskin, bahwa musuh terbesar
mereka sekarang ini adalah sistem neoliberalisme.
Hambatan lainnya, perempuan harus sanggup
menyakinkan gerakan sosial lainnya, seperti gerakan buruh, petani, rakyat
miskin perkotaan, mahasiswa, masyarakat adat, gerakan lingkungan, dan
sebagainya untuk bersatu menghadapi neoliberalisme, bahwa sesungguhnya kaum
perempuan mempunyai kekuatan yang besar untuk melawannya.
Salam pembebasan
manusia.
*(Ketua PEMBEBASAN Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Keterangan gambar : Ata bu.
Daftar referensi:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar