Oleh: Ziwenk.
Kami terlambat. Pertunjukan sudah dimulai, parkiran kendaraan penuh sesak, tak sedikit kelihatannya pengunjung datang. “Mas parkirnya jangan lupa”. Ucap pemuda kekar dengan mengenakan rompi kuning. Aku dan temanku terdiam sejenak mendengar peringatan yang berasal dari pemuda itu.“Wah kita ke dalam dulu mas, ntar keluarnya baru kita bayar.” Ucap temanku sambil berpura-pura memeriksa kantong. Keberuntungan masih berpihak pada kami, dengan senang hati pemuda kekar itu mempersilakan kami masuk tanpa harus membayar parkir terlebih dahulu. Semoga kau bahagia Mas! doaku untuknya.
Sial! Setiap ada
kerumunan, manusia bebal ini tak pernah ketinggalan menyaksikan, layaknya
sebagai pengamat, bawa camera dan segudang pertanyaan basa basi. “He kemana aja
kalian?" Tanyanya pada kami yang sedang asyik berjalan tanpa mempedulikannya.
Ahh tak penting bertemu dia, manusia bebal itu hanya robot yang diatur
bergerak, dia tak punya hati, kapan majikan minta tumbal, dengan senang hati
dia antar daftar nama yang rindu perubahan. Namanya juga intel, setia pada
majikannya melampaui anjing, hewan paling setia.
Ruangan pertunjukan tak
menyisahkan tempat untuk kami, berdiri menjadi alternatif untuk tetap
menyaksikan Bang John si pencipta lagu legendaris perlawanan. Anak-anak muda terbakar semangatnya bila lagu Bang John ini
menggema di saat panas, ratusan sampai ribuan sedang menunutut, membawa
panji-panji perlawanan.
Bunga dan tembok, judul
lagu yang menyambut kami di ruangan pertunjukan ini, rambut gondrong, wajahnya tak asing. Suara yang melengking dengan gitarnya, pemuda ini mampu memaksa
penonton untuk diam menyaksikannya dan menghayati setiap bait-bait yang
dinyanyikannya. Sambutan penonton cukup meriah ketika pemuda gondrong di
panggung itu menyampaikan lagu yang ia nyanyikan, di ambil dari puisi sastrawan
realis yang di bungkam paksa, hingga tak ketemu kulit dan tulangnya. Di akhir
pertunjukan, perempuan yang mendampingi pemuda itu berteriak dengan lantang
mebakar masa, “jangan pilih pelanggar HAM!” Teriakkannya yang diulang beberapa
kali di penghujung penampilannya. Tepuk tangan penonton penghargaan untuk
kejujurannya.
Setelah pemuda gondrong
yang wajahnya tak asing menampilkan aksi panggungnya berhasil membius penonton. Kali ini giliran Bang John
yang memukau para tamu yang datang, sambutan meriah dari penonton tumpah ruah di
dalam ruang yang gelap ini, pencipta lagu legenderis itu masih terlihat sangat
muda, semangatnya tak berkurang saat melantunkan kembang andalannya di depan
kawan-kawannya yang masih atau tidak di jalan. “Selamat datang untuk walikota.” Ucap bang John menyambut kehadiran wali kota. Terhentak aku dan temanku kaget
mendengar bang John mengucapakan terima kasih untuk walikota yang datang. Salah
satu orang yang menciptakan luka di lagu
darah juang. Apa-apaan ini, bersitku di hati. Bukannya ini Konser darah juang, yang
tentunya melantunkan lagu perlawanan untuk yang mau melawan segala kesengsaraan, bukan malah mengistimewakan orang yang menciptakan kesengsaraan, yang sedang duduk santai di sofa merah. Rasa penasaran membawaku mendekati tempat duduk pak walikota itu. “Mas maaf tidak boleh
kesini!” Teguran perempuan yang mengenakan ID CARD panitia. Saat aku ingin
mendekati barisan kursi yang ditempati pak walikota. “Kenapa mbak?" Sautku
untuknya. “Maaf ya mas ini bangku VVIP untuk para undangan." Ucapnya sambil
malu-malu. Apa lagi ini. Konser darah
juang ada perbedaan kelas? Tak aku hiraukan Perempuan itu, aku langsung kembali ke tempat semula di
mana temanku masih berdiri sambil mendengar penyanyi terkemuka itu
memukau di depan kawan dan musuh.
Begitu singkat waktu ini, keluhan para penonton ketika
memasuki penghujung acara, lagu DARAH JUANG menjadi penutup pertunjukan, dinyanyikan
bersama Bang John dan penonton, semua
penonton berdiri tak kecuali bapak walikota itu dengan tangan meninju ke atas.
Semua bernyanyi serentak, tanpa seorang
composer seperti erwin gutawa. Ruangan terasah meriah mendengar lagu
perlawanan menggema di dalam ruang gelap, semangat yang membakarku, harus
lenyap karena pria berkameja batik itu, seorang pejabat yang sepakat
pengusiran paksa rumah orang di pinggir pantai selatan juga datang di
pertunjukan. Kali ini aku satu barisan dengannya menyanyikan lagu yang
fenomena, namun hampir sudah tak bearti.
Di luar ruangan jejeran buku terjajal rapi di atas meja yang tingginya tak jauh dari lantai, pengunjung nampaknya tak mengabaikan kesempatan
untuk membeli buku-buku kiri terlengkap yang dijual di meja stand itu, aku dan
temanku ikut terbawa suasana pilih memilih buku yang dijajalkan, cukup jarang
memang buku-buku kiri dijual di tempat umum dan terbuka seperti ini, pemuda
yang menjaga stand ini tersenyum riang, buku yang dijajalkannya laris manis
disantap oleh para penonoton, yang ternyata sebagian besar berlatar belakang
aktivis kampus, maupun pelaku peristiwa 98, aku mengetahuinya dari temanku. Ternyata kami lagi
berada di tengah pelaku sejarah yang tak kelihatan lagi garangnya di jalan.
Selesainya acara, tak membuat penonton langsung meninggalkan
gedung, banyak yang menyempatkan waktunya sekedar bercanda gurau, jumpa dengan
teman lama di masa muda saat di jalan dulu, saling mengenalkan
keluarga, menceritakan pengalaman hidup, wajah mereka terasa lepas dari beban,
dan beban selanjutnya di pikul generasi muda. “Berkata dan bertindak benar ada
pensiunnya ternyata.” Ucap temanku yang juga sedang asyik memperhatikan para
pelaku sejarah berkumpul. Mulai mantan aktivis PARTAI, organisasi mahasiswa,
organisasi perempuan, para penulis buku ternyata berdatangan ke pertunjukan
konser Bang John, seperti sedang berada di tengah reunian aktivis, riang tawa
menghiasi wajah mereka ketika bertemu temannya. Mereka lupa dengan orang
kelaparan? Bersit hatiku yang bertanya.
Tak hanya para aktivis yang bernostalgia,
pertunjukan kali ini juga di datangi para muda mudi yang menghabiskan waktu
malam minggu dengan menonoton pertunjukan Bang John, ruangan gelap di dalam
tadi, dengan lantunan musik kesengsaraan mungkin metode baru dalam membangun
kasih sayang yang sempurna, tak salah mereka, itulah yang harus dilakukan
anak muda, mendekatkan generasinya pada musik yang jujur, melihat kenyataan
dengan berani, tanpa karangan yang hanya berbau cinta, yang menipu. Memang sudah
saatnya kaum muda mempopulerkan musik rakyat di kalangannya.
“Ayok balik.” Ajakan dari temanku.
Kami tinggalkan kerumunan mantan aktivis yang lagi asyik bercanda
gurau, ketemu kangen, romantika masa lalu.
Di jalan kami menemukan kerumunan lagi, yang kali ini bukan
para remaja nongkrong dengan segelas kopi di pinggir jalan Malioboro, bukan
juga para mantan aktivis ketemu kangen di acara musik, para lansia ternyata isi
kerumunan itu, mereka berbaris rapi tertidur di emperan depan ruko. “Berhenti
cuk.” Ucapku pada temanku.
Kami hampiri para lansia itu yang elok berbaring di
emperan ruko. Kenapa mereka tidur di tempat yang pasti tidak nyaman
untuk lansia yang sudah rentan.
“Celanaku bolong.” Ucapan seorang nenek yang duduk di
antara teman seusianya yang sedang asyik berbaring. Dia mengeluhkan celana yang
ia bawa ternyata bolong dan tak bisa dipakai. Kain yang biasa dikenakan untuk
sholat, akhirnya sebagai pengganti celana yang bolong itu untuk menyelimuti tubuhnya dari dinginnya angin malam. “Permisi mbah kita
foto-foto bentar ya." Ucapku untuk meminta ijin pada mereka.
“Iya nak silakan.” Saud seorang nenek yang sudah sulit
mengangkat kelopak matanya di emperan ruko yang dingin.
Selesai aku mengabadikan gambar mereka, rasa penasaranku
masih bersarang mencari motif mereka berbaring rapih di emperan ruko.
“Mbah kok tidurnya di sini?" Tanyaku pada seorang nenek
itu. “Nunggu pasar pagi buka mas.” Saudnya dengan lesu yang lagi
–lagi sangat sulit mengangkat kelopak matanya. “Tiap malam tidur di sini mbah?" "Iya nak.”
Buluku merinding, bukan karena lagu yang bergeming di dalam
ruang tadi, tapi kesengsaraan ada di mataku, yang tak bisa aku elak, mereka
hadir dengan banyak orang, cita-cita yang sama mencari uang untuk bisa makan di esok hari,
dan terus bersusah payah hidup di masa tua.
“Ayok cuk kita balik.” Ajakanku pada temanku. “Mbah kami balik dulu ya.” "Iya nak." Saud si mbah dengan lesuh.
Semoga kerumunan mantan aktivis tak sama seperti yang di Maliaboro, tidak hanya canda tawa. Kerumunan lansia dibiarkan sengsara sampai
ajal tiba di negeri yang kaya raya. Bisikku dalam hati.
Dalam perjalanan pulang temanku dengan nada datar bertanya. “Apa
makna lagu darah juang?" Tanyanya padaku. “Tak ada, hanya kesedihan yang mulai dipopulerkan untuk mengangkat citra sekelompok orang, sampai tak bisa membedakan
musuh dan kawan!” jawabku di ujung gang tempat pertunjukan.
| *Saat lagu DARAH JUANG dinyanyikan |
| *Penjualan buku oleh Pustaka-Revolusi didepan ruang pementasan |
| *Para Lansia yang berjejer di emperan ruko |
* Kader PEMBEBASAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar