Tolak Pemilu Borjuis 2014, Lawan Militerisme, Bangun Partai Alternatif !: Melawan Militerisme Melapangkan Demokrasi Indonesia.

Melawan Militerisme Melapangkan Demokrasi Indonesia

Demokrasi adalah jalan menuju sosialisme (K. Marx)
                                                                    
TNI, Mewarisi Edukasi Belanda dan Jepang.



Secara historis, tentara lahir untuk kepentingan menjaga aktifitas pengumpulan kekayaan para raja, dalam bentuk prajurit-prajurit kerajaan. Hingga Belanda datang, dan karena para raja yang menguasai wilayah lebih memilih adaptatif kepada Kolonialisme, para prajurit kerajaan tidak bisa berbuat apa-apa selain patuh. Dalam menghadapi pemberontakan arus bawah, Belanda memihak penguasa, oleh karenanya, penguasa lokal diperkuat oleh Belanda, struktur sosial-politik pribumi dimapankan. Namun pemberontakan terus terjadi, dari Banten, ke Mataram, Ternate, Kalimantan, Padang, Aceh, dan Makasar, secara sporadis. Penguasa kolonial makin kewalahan ketika pecah perang selama 5 tahun yang menewaskan ± 15.000 tentara Belanda. Pertempuran yang menguras logistik Belanda itu dikenal dengan Perang Diponegoro.



Setelah peperangan dimenangkan Belanda, intervensi kepada kehidupan pribumi makin dalam hingga persoalan Adat dan Agama, seiring dengan itu, munculah banyak sekali aturan-aturan hukum yang harus dipatuhi pribumi, dan tidak berlaku bagi penguasa kolonial. Hingga kemudian, kolonialisme Belanda memutuskan membangun sistem ketentaraan di Nusantara sebagai alat menjaga aset Belanda, stabilitas politik, dan mempertahankan penguasaan atas pabrik, perkebunan, pertanian, pelabuhan. Kolonialisme sukses di Nusantara dan penindasan semakin menguat dengan terus dikembangkannya sistem pengamanan dengan membuka sekolah-sekolah militer di bawah naungan perwira-perwira lulusan Breda (sekolah militer elit di Belanda), yang direkrut adalah pribumi-pribumi sebagai bintara dan tamtama, mereka dapat fasilitas dan gaji. Sehingga, doktrin tentara sebagai penjaga modal lahir dari pengalaman historis tentara Indonesia di bawah KNIL.



Pasca rezim KNIL di ketentaraan Indonesia, datang ide kemiliteran yang tak kalah sesatnya yaitu PETA. Doktrin senasib-seperjuangan sebagai bangsa Asia menjadikan sentimen anti Barat sebagai dasar utama identifikasi musuh, bahwa segala yang datang dari Barat adalah musuh bangsa Timur, hal itu bertujuan agar menguntungkan bagi kepentingan ekspansi Fasisme di Asia (diwakili Jepang) melawan intervensi Barat (Amerika dan sekutu) di Hindia-Belanda, waktu itu. Meskipun, sesama bangsa Timur, faktanya Jepang melakukan kejahatan kemanusiaan di Indonesia



Pada akhirnya, edukasi KNIL dan PETA terus diadopsi oleh kemiliteran Indonesia. Hal itu menjadikan militer Indonesia mewarisi watak sebagai penjaga modal dan nasionalisme sempit. Terlebih setelah upaya Hatta meruncingkan pemisahan antara tentara regular (tentara yang pernah mengenyam pendidikan kemiliteran Belanda) dan tentara non-reguler (rakyat bersenjata/laskar) semakin memisahkan tentara regular dengan rakyat yang juga berkontribusi dalam perjuangan bersenjata merebut kemerdekaan, maka jadilah tentara professional yang dilembagakan, kini dikenal dengan TNI. Artinya, perjuangan merebut kemerdekaan tidak hanya millik tentara reguler, rakyat sipil juga berkontribusi atas perjuangan kemerdekaan, tidak seperti yang diyakini oleh angkatan darat menjelang dan pasca 1965 bahwa supremasi militer lebih tinggi ketimbang sipil karena militerlah yang berperan merebut kemerdekaan. Landasan supremasi militer inilah yang kemudian dipolitisir oleh Soeharto dengan terjemahan bahwa tentara memiliki hak dalam pengendalian penuh atas stabilitas nasional, bahwa tentara harus memegang kendali parlemen, sehingga porsi tentara termanifestasikan dalam Fraksi ABRI dan ide Dwi Fungsi dan komando territorial. Komando territorial sendiri hingga sekarang tetap ada.



Militerisme Musuh Demokrasi.


Karena demokrasi adalah jalan menuju kemajuan kapasitas dan kesejahteraan rakyat, maka sebagai kemajuan, jangan dihambat oleh kekuatan apapun. Dalam aspek politik, misalnya, demokrasi masih dimaknai sangat prosedural dimana, rakyat hanya dibebaskan memilih ketika pemilu namun setelah perwakilannya tidak pro-rakyat, pemilih tidak bisa menuntut agar perwakilannya mundur. Dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan akses-aksesnya juga tidak didemokratiskan kepada seluruh rakyat. Maka, tidak ada demokrasi jika kemajuan dihambat oleh kepentingan kekuasaan.



Demokrasi, dalam makna luas adalah sama dengan kekuasaan mayoritas. Napak tilas demokrasi Indonesia memiliki langgamnya masing-masing pada setiap tahap kekuasaan politik. Kehendak objektifnya (keharusannya) adalah memuarakan arah pada demokrasi yang sejati, yang sesungguhnya. Kesejatian demokrasi memiliki pra-syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu: partisipasi aktif seluruh rakyat, dan, membebaskan gagasan dan tindakan rakyat dalam segala aspek. Di mana pra-syarat tersebut menjadi landasan pijak/instrumen untuk melabuhkan demokrasi menuju muaranya, yaitu demokrasi yang berwatak dan berkarakter sejati, demokrasi kerakyatan.



Kini, pelaksanaan demokrasi, di manapun, ditentukan oleh hegemoni kekuasaan yang memiliki sistem (aturan) ekonomi-politik dan ideologinya sendiri, secara subjektif. Padahal, dalam ruang kekuasaan tersebut terdapat objek-objek penerima demokrasi yang (seharusnya) menjadi sandaran bagi demokrasi itu sendiri. Itulah kiranya mengapa demokrasi membutuhkan pra-syarat agar berkembang baik, agar membela rakyat miskin. Pra-syarat tersebut adalah partisipasi sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya individu/warga masyarakat. Karena rakyat adalah objek (sandaran) demokrasi. Dan sepanjang sejarahnya, setelah tahun 1965, musuh bagi demokrasi Indonesia adalah: Militerisme.



Tentara, Sahabat Bagi Kapitalis dan Investasi.


Perjalanan demokrasi di Indonesia masihlah jauh dari cukup, terlebih kita pernah hidup di masa kegelapan ketika rezim militer-kapitalistik memegang kendali penuh atas segala aspek hidup rakyat sejak tahun 1965-1998. Lebih dari 30 tahun rezim ini sama sekali tidak pernah menyebut demokrasi, senapan yang mengatur politik, kekerasan menghancurkan perbedaan, dan tentara mengambil-alih segalanya.



Sebut semua tragedi kemanusiaan negeri ini, di situlah militer ada. Sebutkan semua konflik SARA di Maluku, Papua, Timor Leste, Aceh di situ ada Tentara. Kerusuhan, penculikan dan pembunuhan sistematis, militer lah yang mengambil perannya. Sebaik-baiknya, rakyat harus tahu dan jangan melupakan Peristiwa Tanjung Priok, peristiwa pembantaian warga Talangsari Lampung yang menolak perampasan lahan untuk perkebunan Soeharto, peristiwa pembantaian 3 juta manusia pada tahun 1965, terbunuhnya Marsinah yang menuntut kesejahteraan buruh, meninggalnya pejuang HAM Munir, Hilangnya 13 aktivis termasuk Wiji Thukul, pembunuhan terhadap mahasiswa di Trisakti, Semanggi I-II, Reformasi 98, Operasi Militer di Papua, dll. Totalitarianisme sebagai musuh bagi demokrasi, membenarkan landasan bahwa dalam sejarahnya, setalah 1965, Indonesia adalah negeri berdarah.


Peristiwa-peristiwa represi dan anti kemanusiaan di atas melibatkan jenderal-jenderal tentara dan erat kaitannya dengan rencana pembangunan ekonomi kapitalis dalam rangka konsolidasi modal di Indonesia. Para kapitalis membutuhkan militer untuk pengamanan modal, sebaliknya, militer (Tentara, Polisi dan Ormas bayaran) bisa mendapatkan keuntungan dari aliran modal sebagai upah atas jasa mengamankan investasi dari upaya-upaya protes yang muncul dari arus bawah/rakyat.




Kembalinya Tentara Loyalis Orde Baru Di Panggung Politik.


Batas minimal terbukanya ruang demokrasi, yang sanggup dibuka oleh gerakan rakyat dalam menumbangkan orba, ditutup kembali oleh penguasa. Sebuah stagnasi (bahkan kemunduran) dari apa yang sudah dicapai selama ini oleh gerakan rakyat tahun 1998. Kini, seiring dengan krisis kapitalisme, dinamika demokrasi minimalis sedang berlangsung di tengah-tengah kebangkitan tentara dan kaum fundamentalisme agama. Sebuah kekuasaan yang membangun klik dengan kapitalisme, secara otomatis akan turut serta menyelamatkan sistem yang menguntungkan mereka.



Kembalinya tentara pelanggar HAM di masa silam sangat berpotensi menghancurkan konsolidasi demokrasi. Keyakinan itu tentunya logis bila kita mengingat sepak terjang masa lalu prajurit bersenjata ini. Karena, secara watak, konsep militer Indonesia belum berubah, masih sama seperti era Orba, hasil edukasi kapitalis bersenjata dari KNIL Belanda dan hasil doktrin Jepang tentang keunggulan rasialisme Timur yang anti Barat melalui PETA. Edukasi tersebut masih melekat dalam tubuh ABRI hingga TNI yang sekarang, mantan jenderal-jenderalnya ingin berkuasa kembali, mereka adalah Prabowo Subianto (Gerindra), Wiranto (Hanura), Pramono Edhie Wibowo (Demokrat) dan Sutiyoso (PKPI). Semua terlibat dalam pelanggaran HAM masa silam dan berpeluang besar menghambat demokrasi. Persis seperti senior-seniornya dahulu seperti A.H Nasution, lulusan Akademi Militer Breda, Belanda, yang dijuluki “tukang melucuti kelompok laskar.” Selain itu, Nasution juga menghabisi hak politik partai yang dianggap mendukung PRRI/Permesta, kemudian Nasution melarang Masyumi, PSI, Parkindo dan IPKI. Dari wataknya tersebut maka benar saja ketika menjabat sebagai Ketua MPRS, A.H Nasution menumpas PKI.



Dalam deskripsi sejarah singkat di awal sudah benar jika menyimpulkan bahwa tentara kita bukanlah tentara rakyat dimana jenderal-jenderal kontra revolusiner pasca kemerdekaan, anti kepada setiap ekspresi rakyat dalam berpolitik yang terorganisasi di luar struktur negara. Yang menentang akan diganjar sebagai Subversi, harus ditumpas.




Pemilu 2014: Awas, Ada Jenderal Pelanggar HAM dan Bahaya Laten Militerisme.


Dari sekian banyak pensiunan perwira yang ingin memeroleh posisi politik, yang paling ambisius adalah Wiranto, Prabowo, Sutiyoso dan Pramono Edhie, yang akan memerebutkan kursi presiden. Yang lain berharap untuk memeroleh posisi strategis dalam birokrasi daerah. Purnawirawan jenderal itu dikenal memiliki catatan pelanggaran HAM berat dan keunggulan politik mereka mencerminkan kegagalan akuntabilitas kriminal di masa pasca Suharto dalam menyeret mereka ke meja hijau untuk memertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Ke empatnya senantiasa tampil di muka umum dan telah mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin partai politik baru yang ingin menantang presiden yang berkuasa sekarang ini, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).



Letjen (purn) Prabowo mempunyai riwayat HAM yang sama kelamnya. Karir militernya sangat sukses hingga ia dipecat dari angkatan bersenjata tahun 1998. Selama karirnya dalam militer, ia menduduki sejumlah posisi yang bergengsi seperti Panglima Kopassus dan Panglima Kostrad. Prabowo mendapatkan pelatihan militer dan mengambil kursus pemberantasan pemberontakan di Jerman tahun 1981 dan Kursus Perwira Angkatan Khusus di Fort Benning, AS pada tahun yang sama. Setelah rezim Orba jatuh, Prabowo kabur ke Jordania, menjadi pengusaha sukses dan CEO beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, bubur kertas dan kertas, pertanian dan perkebunan kelapa sawit.



Dia adalah salah satu tokoh kunci dalam kegiatan penumpasan pemberontakan di Timor Timur dan bertanggungjawab atas pelatihan dan pembiayaan kelompok milisi yang merajalela di sana tahun 1999. Sebagai komandan unit baret merah yang terkenal, Prabowo juga bertanggungjawab terhadap penculikan dan hilangnya sejumlah aktivis pro-demokrasi beberapa hari sebelum jatuhnya Soeharto (mertua Prabowo). Selain itu, setelah Prabowo bebas dari kasus pelanggaran HAM, bersama adiknya, Hasyim Djojohadikusumo, ia mengembangkan bisnis keluarganya. Hasyim lah yang memiliki kontribusi besar pendanaan dalam pembentukan milisi-milisi yang dipegang Prabowo demi mengamankan Bisnis keuarganya ketika Prabowo menjabat Danjen Kopassus. Perusahaan keluarga Prabowo sanggup membuka perusahaan di luar negeri. Tirtamas Comexindo memiliki cabang di Vietnam sampai Afrika Selatan, dari Jenewa sampai Jordania.



Letjen (purn) Sutiyoso juga komandan baret merah dan bertugas dalam beberapa daerah konflik seperti Timor Timur, Aceh dan Papua Barat. Ia berturut-turut menjabat sebagai gubernur Jakarta selama dua periode dan posisi inilah yang menggugah berkeinginan menjadi presiden.



Jenderal Wiranto telah mendirikan partai Hanura. Sebagai ketua umumnya, Wiranto memasang sejumlah pensiunan perwira di sekelilingnya seperti Letjen. (purn) Arie Mardjono dan Laksamana Muda (purn) Abu Hartono yang keduanya merupakan wakil ketua dalam dewan pertimbangan. Tujuh wakil ketua Hanura semuanya adalah pensiunan Jenderal. Wiranto adalah senior SBY di angkatan darat. Selama hari-hari penuh huru hara tahun 1998-1999 sebelum dan setelah jatuhnya Soeharto, ketika terjadi penganiayaan di banyak kota dan pelanggaran HAM ketika pengambilan suara bagi kemerdekaan Timor Timur. Pada November 1998, ketika rezim Habibie menjalankan Sidang Istimewa MPR, Wiranto bersama Habibie mengerahkan pasukan milisi PAM Swakarsa untuk menghadang barisan mahasiswa agar tidak menembus gedung MPR, Wiranto ketika itu adalah Panglima ABRI.




Selamatkan Demokrasi, Tolak Capres Militer (Prabowo, Wiranto, dll).


Akan terlihat aneh jika, dalam upaya memenangkan demokrasi kita menolak hak politik seseorang untuk menjadi presiden. “Ambiguitas” seperti ini menuntut kita harus menelusuri argumentasi objektif sejarah dan karakteristik militer Indonesia, beserta siapakah tokoh-tokohnya. Kita tidak bisa melupakan begitu saja kesejarahan dosa mereka terhadap kejahatan kemanusiaan, penculikan-pembunuhan aktivis dan pelanggaran HAM berat atas serangkaian tragedi berdarah di Indonesia terutama setelah Orde Baru berkuasa. Akan sangat berbahaya jika, hanya demi kemungkinan-kemungkinan ketegasan kepemimpinan, kita merindukan penguasa bergaya dan berlatar belakang militer pelanggar HAM. Hanya demi kemungkinan “harga diri” bangsa, kita menyerahkan kepemimpinan negara di tangan militer, hingga mau mengkonversinya dengan merelakan diri untuk melepaskan kebebasan politiknya, merelakan dirinya terjerumus dalam ruang-ruang banjir peraturan, penuh intimidasi dan membiarkan senapan mengatur politik.



Dari track record para capres militer di atas, tentunya jangan memaafkan begitu saja atas kejahatan kemanusiaan yang pernah mereka perbuat tanpa adanya pengadilan yang pantas. Terlebih, watak para capres militer tersebut belum berubah dilihat dari sikap Prabowo menjawab pertanyaan para wartawan tentang pelanggaran HAM. Dengan nada membentak, Prabowo balik bertanya kepada wartawan “anda siapa?,” “disuruh siapa bertanya tentang itu (pelanggaran HAM)?.” Bahkan, petinggi partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan di media bahwa “pengadilan HAM itu tidak penting.” Terkait kasus penculikan dan penghilangan 13 aktivis (yang hingga sekarang belum kembali) pada tahun 1999, Prabowo selaku Danjen Kopassus yang membawahi Tim Mawar sebagai eksekutor penculikan, diadili di Mahkamah Militer dan hanya dijatuhi hukuman pensiun dini dari TNI, dan tidak ada pemecatan.



Sedangkan, Mayor Bambang Kristiono selaku komandan Tim Mawar beserta 4 anggotanya diberi sanksi pemecatan, 6 anggota Tim Mawar lain dijatuhi hukuman penjara tanpa pemecatan. Dan jahatnya lagi adalah, Gerindra menyatakan bahwa kebutuhan rakyat adalah sembako, hak asasi manusia tidak begitu penting. Ini merupakan indikasi bahayanya watak kekerasan dalam tubuh Gerindra yang dipimpin oleh pelanggar HAM dan yang menganggap HAM tidak begitu penting. Tentunya, pernyataan tersebut sangat melukai keluarga korban pelanggaran HAM. Di sinilah, watak anti kemanusiaannya masih menempel di kepala Prabowo dan petinggi partainya.



Maka, mentoleransi kejahatan kemanusiaan dan HAM sama dengan mendukung kejahatan yang sama. Apalagi, doktrin bahwa supremasi militer lebih tinggi ketimbang supremasi sipil masih hidup di dalam tubuh ketentaraan Indonesia. Tentu kita masih ingat pesan Ong Hok Kham kepada gerakan mahasiswa angkatan 66 yang bekerjasama dengan tentara untuk menggulingkan Pemerintahan Soekarno bahwa “rezim militer jauh lebih berbahaya daripada rezim sipil (Soekarno)”. Dan pesan itu terbukti benar ketika Soeharto menjadi Presiden. Salah satu mahasiswa angkatan 66 pemimpin gerakan penggulingan Soekarno, Soe Hok Gie, menyatakan betapa kecewa dan terkejutnya setelah melihat pemerintahan Orde Baru membantai begitu banyak nyawa, memenggal kepala, menyiksa dan mengasingkan ratusan ribu hingga jutaan manusia tanpa proses pengadilan.



Melihat begitu ambisiusnya, tentu kita jangan pernah memberikan toleransi atas kejahatan Prabowo dan tentara pelanggar HAM lainnya dengan membiarkan mereka menjadi capres pada Pemilu 2014 ini. Sama halnya dengan menghancurkan begitu saja capaian demokrasi yang sudah kita nikmati, hasil dari pengorbanan 13 aktivis yang hilang, dan keringat darah dari perjuangan Reformasi 1998 silam, hingga rakyat punya sedikit ruang untuk memajukan kapasitasnya, berorganisasi, membentuk partai politik, berkumpul, berekspresi politik. Rakyat harus menyadari pentingnya menghadang penjahat HAM berkuasa memimpin negara. Teror dan intimidasi akan jauh lebih hebat.


Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar