Melawan Militerisme
Melapangkan Demokrasi Indonesia
Demokrasi adalah
jalan menuju sosialisme (K. Marx)
TNI,
Mewarisi Edukasi Belanda dan Jepang.
Secara historis, tentara lahir untuk kepentingan menjaga aktifitas
pengumpulan kekayaan para raja, dalam bentuk prajurit-prajurit kerajaan. Hingga
Belanda datang, dan karena para raja yang menguasai wilayah lebih memilih
adaptatif kepada Kolonialisme, para prajurit kerajaan tidak bisa berbuat
apa-apa selain patuh. Dalam menghadapi pemberontakan arus bawah, Belanda
memihak penguasa, oleh karenanya, penguasa lokal diperkuat oleh Belanda,
struktur sosial-politik pribumi dimapankan. Namun pemberontakan terus terjadi,
dari Banten, ke Mataram, Ternate, Kalimantan, Padang, Aceh, dan Makasar, secara
sporadis. Penguasa kolonial makin kewalahan ketika pecah perang selama 5 tahun
yang menewaskan ± 15.000 tentara Belanda. Pertempuran yang menguras logistik
Belanda itu dikenal dengan Perang Diponegoro.
Setelah peperangan dimenangkan Belanda, intervensi kepada kehidupan
pribumi makin dalam hingga persoalan Adat dan Agama, seiring dengan itu,
munculah banyak sekali aturan-aturan hukum yang harus dipatuhi pribumi, dan
tidak berlaku bagi penguasa kolonial. Hingga kemudian, kolonialisme Belanda
memutuskan membangun sistem ketentaraan di Nusantara sebagai alat menjaga aset
Belanda, stabilitas politik, dan mempertahankan penguasaan atas pabrik,
perkebunan, pertanian, pelabuhan. Kolonialisme sukses di Nusantara dan
penindasan semakin menguat dengan terus dikembangkannya sistem pengamanan
dengan membuka sekolah-sekolah militer di bawah naungan perwira-perwira lulusan
Breda (sekolah militer elit di Belanda), yang direkrut adalah pribumi-pribumi
sebagai bintara dan tamtama, mereka dapat fasilitas dan gaji. Sehingga, doktrin
tentara sebagai penjaga modal lahir dari pengalaman historis tentara Indonesia
di bawah KNIL.
Pasca rezim KNIL di ketentaraan Indonesia, datang ide kemiliteran yang
tak kalah sesatnya yaitu PETA. Doktrin senasib-seperjuangan sebagai bangsa Asia
menjadikan sentimen anti Barat sebagai dasar utama identifikasi musuh, bahwa
segala yang datang dari Barat adalah musuh bangsa Timur, hal itu bertujuan agar
menguntungkan bagi kepentingan ekspansi Fasisme di Asia (diwakili Jepang)
melawan intervensi Barat (Amerika dan sekutu) di Hindia-Belanda, waktu itu.
Meskipun, sesama bangsa Timur, faktanya Jepang melakukan kejahatan kemanusiaan
di Indonesia
Pada akhirnya, edukasi KNIL dan PETA terus diadopsi oleh kemiliteran
Indonesia. Hal itu menjadikan militer Indonesia mewarisi watak sebagai penjaga
modal dan nasionalisme sempit. Terlebih setelah upaya Hatta meruncingkan
pemisahan antara tentara regular (tentara yang pernah mengenyam pendidikan
kemiliteran Belanda) dan tentara non-reguler (rakyat bersenjata/laskar) semakin
memisahkan tentara regular dengan rakyat yang juga berkontribusi dalam
perjuangan bersenjata merebut kemerdekaan, maka jadilah tentara professional
yang dilembagakan, kini dikenal dengan TNI. Artinya, perjuangan merebut
kemerdekaan tidak hanya millik tentara reguler, rakyat sipil juga berkontribusi
atas perjuangan kemerdekaan, tidak seperti yang diyakini oleh angkatan darat
menjelang dan pasca 1965 bahwa supremasi militer lebih tinggi ketimbang sipil
karena militerlah yang berperan merebut kemerdekaan. Landasan supremasi militer
inilah yang kemudian dipolitisir oleh Soeharto dengan terjemahan bahwa tentara
memiliki hak dalam pengendalian penuh atas stabilitas nasional, bahwa tentara
harus memegang kendali parlemen, sehingga porsi tentara termanifestasikan dalam
Fraksi ABRI dan ide Dwi Fungsi dan komando territorial. Komando territorial
sendiri hingga sekarang tetap ada.
Militerisme Musuh Demokrasi.
Karena demokrasi adalah jalan menuju kemajuan kapasitas dan
kesejahteraan rakyat, maka sebagai kemajuan, jangan dihambat oleh kekuatan
apapun. Dalam aspek politik, misalnya, demokrasi masih dimaknai sangat
prosedural dimana, rakyat hanya dibebaskan memilih ketika pemilu namun setelah
perwakilannya tidak pro-rakyat, pemilih tidak bisa menuntut agar perwakilannya
mundur. Dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan akses-aksesnya juga tidak
didemokratiskan kepada seluruh rakyat. Maka, tidak ada demokrasi jika kemajuan
dihambat oleh kepentingan kekuasaan.
Demokrasi, dalam makna luas adalah sama dengan kekuasaan mayoritas.
Napak tilas demokrasi Indonesia memiliki langgamnya masing-masing pada setiap
tahap kekuasaan politik. Kehendak objektifnya (keharusannya) adalah memuarakan
arah pada demokrasi yang sejati, yang sesungguhnya. Kesejatian demokrasi
memiliki pra-syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu: partisipasi aktif seluruh
rakyat, dan, membebaskan gagasan dan tindakan rakyat dalam segala aspek. Di mana pra-syarat tersebut menjadi landasan
pijak/instrumen untuk melabuhkan demokrasi menuju muaranya, yaitu demokrasi
yang berwatak dan berkarakter sejati, demokrasi kerakyatan.
Kini,
pelaksanaan demokrasi, di manapun, ditentukan oleh hegemoni kekuasaan yang
memiliki sistem (aturan) ekonomi-politik dan ideologinya sendiri, secara
subjektif. Padahal, dalam ruang kekuasaan tersebut terdapat objek-objek
penerima demokrasi yang (seharusnya) menjadi sandaran bagi demokrasi itu
sendiri. Itulah kiranya mengapa demokrasi membutuhkan pra-syarat agar
berkembang baik, agar membela rakyat miskin. Pra-syarat tersebut adalah
partisipasi sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya individu/warga masyarakat.
Karena rakyat adalah objek (sandaran) demokrasi. Dan sepanjang sejarahnya,
setelah tahun 1965, musuh bagi demokrasi Indonesia adalah: Militerisme.
Tentara,
Sahabat Bagi Kapitalis dan Investasi.
Perjalanan demokrasi di Indonesia masihlah jauh dari cukup, terlebih
kita pernah hidup di masa kegelapan ketika rezim militer-kapitalistik memegang
kendali penuh atas segala aspek hidup rakyat sejak tahun 1965-1998. Lebih dari
30 tahun rezim ini sama sekali tidak pernah menyebut demokrasi, senapan yang
mengatur politik, kekerasan menghancurkan perbedaan, dan tentara mengambil-alih
segalanya.
Sebut semua tragedi kemanusiaan negeri ini, di situlah militer ada.
Sebutkan semua konflik SARA di Maluku, Papua, Timor Leste, Aceh di situ ada
Tentara. Kerusuhan, penculikan dan pembunuhan sistematis, militer lah yang
mengambil perannya. Sebaik-baiknya, rakyat harus tahu dan jangan melupakan
Peristiwa Tanjung Priok, peristiwa pembantaian warga Talangsari Lampung yang
menolak perampasan lahan untuk perkebunan Soeharto, peristiwa pembantaian 3
juta manusia pada tahun 1965, terbunuhnya Marsinah yang menuntut kesejahteraan
buruh, meninggalnya pejuang HAM Munir, Hilangnya 13 aktivis termasuk Wiji
Thukul, pembunuhan terhadap mahasiswa di Trisakti, Semanggi I-II, Reformasi 98,
Operasi Militer di Papua, dll. Totalitarianisme sebagai musuh bagi demokrasi,
membenarkan landasan bahwa dalam sejarahnya, setalah 1965, Indonesia adalah
negeri berdarah.
Kembalinya Tentara Loyalis Orde Baru Di Panggung Politik.
Batas minimal terbukanya ruang demokrasi, yang sanggup dibuka oleh
gerakan rakyat dalam menumbangkan orba, ditutup kembali oleh penguasa. Sebuah
stagnasi (bahkan kemunduran) dari apa yang sudah dicapai selama ini oleh
gerakan rakyat tahun 1998. Kini, seiring dengan krisis kapitalisme, dinamika
demokrasi minimalis sedang berlangsung di tengah-tengah kebangkitan tentara dan
kaum fundamentalisme agama. Sebuah kekuasaan yang membangun klik dengan
kapitalisme, secara otomatis akan turut serta menyelamatkan sistem yang
menguntungkan mereka.
Kembalinya tentara pelanggar HAM di masa silam sangat berpotensi
menghancurkan konsolidasi demokrasi. Keyakinan itu tentunya logis bila kita
mengingat sepak terjang masa lalu prajurit bersenjata ini. Karena, secara
watak, konsep militer Indonesia belum berubah, masih sama seperti era Orba,
hasil edukasi kapitalis bersenjata dari KNIL Belanda dan hasil doktrin Jepang
tentang keunggulan rasialisme Timur yang anti Barat melalui PETA. Edukasi
tersebut masih melekat dalam tubuh ABRI hingga TNI yang sekarang, mantan
jenderal-jenderalnya ingin berkuasa kembali, mereka adalah Prabowo Subianto
(Gerindra), Wiranto (Hanura), Pramono Edhie Wibowo (Demokrat) dan Sutiyoso
(PKPI). Semua terlibat dalam pelanggaran HAM masa silam dan berpeluang besar
menghambat demokrasi. Persis seperti senior-seniornya dahulu seperti A.H
Nasution, lulusan Akademi Militer Breda, Belanda, yang dijuluki “tukang
melucuti kelompok laskar.” Selain itu, Nasution juga menghabisi hak politik
partai yang dianggap mendukung PRRI/Permesta, kemudian Nasution melarang
Masyumi, PSI, Parkindo dan IPKI. Dari wataknya tersebut maka benar saja ketika
menjabat sebagai Ketua MPRS, A.H Nasution menumpas PKI.
Dalam deskripsi sejarah singkat di awal sudah benar jika menyimpulkan bahwa
tentara kita bukanlah tentara rakyat dimana jenderal-jenderal kontra
revolusiner pasca kemerdekaan, anti kepada setiap ekspresi rakyat dalam
berpolitik yang terorganisasi di luar struktur negara. Yang menentang akan
diganjar sebagai Subversi, harus ditumpas.
Pemilu 2014: Awas, Ada Jenderal Pelanggar HAM dan Bahaya Laten
Militerisme.
Dari sekian banyak pensiunan perwira yang ingin memeroleh posisi
politik, yang paling ambisius adalah Wiranto, Prabowo, Sutiyoso dan Pramono
Edhie, yang akan memerebutkan kursi presiden. Yang lain berharap untuk
memeroleh posisi strategis dalam birokrasi daerah. Purnawirawan jenderal itu
dikenal memiliki catatan pelanggaran HAM berat dan keunggulan politik mereka
mencerminkan kegagalan akuntabilitas kriminal di masa pasca Suharto dalam
menyeret mereka ke meja hijau untuk memertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Ke
empatnya senantiasa tampil di muka umum dan telah mendapatkan kedudukan sebagai
pemimpin partai politik baru yang ingin menantang presiden yang berkuasa
sekarang ini, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Letjen (purn) Prabowo mempunyai riwayat HAM yang sama kelamnya. Karir
militernya sangat sukses hingga ia dipecat dari angkatan bersenjata tahun 1998.
Selama karirnya dalam militer, ia menduduki sejumlah posisi yang bergengsi
seperti Panglima Kopassus dan Panglima Kostrad. Prabowo mendapatkan pelatihan
militer dan mengambil kursus pemberantasan pemberontakan di Jerman tahun 1981
dan Kursus Perwira Angkatan Khusus di Fort Benning, AS pada tahun yang sama.
Setelah rezim Orba jatuh, Prabowo kabur ke Jordania, menjadi pengusaha sukses
dan CEO beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, bubur kertas
dan kertas, pertanian dan perkebunan kelapa sawit.
Dia adalah salah satu tokoh kunci dalam kegiatan penumpasan
pemberontakan di Timor Timur dan bertanggungjawab atas pelatihan dan pembiayaan
kelompok milisi yang merajalela di sana tahun 1999. Sebagai komandan unit baret
merah yang terkenal, Prabowo juga bertanggungjawab terhadap penculikan dan
hilangnya sejumlah aktivis pro-demokrasi beberapa hari sebelum jatuhnya
Soeharto (mertua Prabowo). Selain itu, setelah Prabowo bebas dari kasus
pelanggaran HAM, bersama adiknya, Hasyim Djojohadikusumo, ia mengembangkan
bisnis keluarganya. Hasyim lah yang memiliki kontribusi besar pendanaan dalam
pembentukan milisi-milisi yang dipegang Prabowo demi mengamankan Bisnis
keuarganya ketika Prabowo menjabat Danjen Kopassus. Perusahaan keluarga Prabowo
sanggup membuka perusahaan di luar negeri. Tirtamas Comexindo memiliki cabang
di Vietnam sampai Afrika Selatan, dari Jenewa sampai Jordania.
Letjen (purn) Sutiyoso juga komandan baret merah dan bertugas dalam
beberapa daerah konflik seperti Timor Timur, Aceh dan Papua Barat. Ia
berturut-turut menjabat sebagai gubernur Jakarta selama dua periode dan posisi
inilah yang menggugah berkeinginan menjadi presiden.
Jenderal Wiranto telah mendirikan partai Hanura. Sebagai ketua umumnya,
Wiranto memasang sejumlah pensiunan perwira di sekelilingnya seperti Letjen.
(purn) Arie Mardjono dan Laksamana Muda (purn) Abu Hartono yang keduanya
merupakan wakil ketua dalam dewan pertimbangan. Tujuh wakil ketua Hanura
semuanya adalah pensiunan Jenderal. Wiranto adalah senior SBY di angkatan darat.
Selama hari-hari penuh huru hara tahun 1998-1999 sebelum dan setelah jatuhnya
Soeharto, ketika terjadi penganiayaan di banyak kota dan pelanggaran HAM ketika
pengambilan suara bagi kemerdekaan Timor Timur. Pada November 1998, ketika
rezim Habibie menjalankan Sidang Istimewa MPR, Wiranto bersama Habibie
mengerahkan pasukan milisi PAM Swakarsa untuk menghadang barisan mahasiswa agar
tidak menembus gedung MPR, Wiranto ketika itu adalah Panglima ABRI.
Selamatkan Demokrasi, Tolak Capres Militer (Prabowo, Wiranto, dll).
Akan terlihat aneh jika, dalam upaya memenangkan demokrasi kita menolak
hak politik seseorang untuk menjadi presiden. “Ambiguitas” seperti ini menuntut
kita harus menelusuri argumentasi objektif sejarah dan karakteristik militer
Indonesia, beserta siapakah tokoh-tokohnya. Kita tidak bisa melupakan begitu
saja kesejarahan dosa mereka terhadap kejahatan kemanusiaan,
penculikan-pembunuhan aktivis dan pelanggaran HAM berat atas serangkaian tragedi
berdarah di Indonesia terutama setelah Orde Baru berkuasa. Akan sangat
berbahaya jika, hanya demi kemungkinan-kemungkinan ketegasan kepemimpinan, kita
merindukan penguasa bergaya dan berlatar belakang militer pelanggar HAM. Hanya
demi kemungkinan “harga diri” bangsa, kita menyerahkan kepemimpinan negara di
tangan militer, hingga mau mengkonversinya dengan merelakan diri untuk
melepaskan kebebasan politiknya, merelakan dirinya terjerumus dalam ruang-ruang
banjir peraturan, penuh intimidasi dan membiarkan senapan mengatur politik.
Dari track record para capres militer di atas, tentunya jangan memaafkan
begitu saja atas kejahatan kemanusiaan yang pernah mereka perbuat tanpa adanya
pengadilan yang pantas. Terlebih, watak para capres militer tersebut belum
berubah dilihat dari sikap Prabowo menjawab pertanyaan para wartawan tentang
pelanggaran HAM. Dengan nada membentak, Prabowo balik bertanya kepada wartawan
“anda siapa?,” “disuruh siapa bertanya tentang itu
(pelanggaran HAM)?.” Bahkan, petinggi partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan di
media bahwa “pengadilan HAM itu tidak penting.” Terkait kasus penculikan dan
penghilangan 13 aktivis (yang hingga sekarang belum kembali) pada tahun 1999,
Prabowo selaku Danjen Kopassus yang membawahi Tim Mawar sebagai eksekutor
penculikan, diadili di Mahkamah Militer dan hanya dijatuhi hukuman pensiun dini
dari TNI, dan tidak ada pemecatan.
Sedangkan, Mayor Bambang Kristiono selaku komandan Tim Mawar beserta 4
anggotanya diberi sanksi pemecatan, 6 anggota Tim Mawar lain dijatuhi hukuman
penjara tanpa pemecatan. Dan jahatnya lagi adalah, Gerindra menyatakan bahwa
kebutuhan rakyat adalah sembako, hak asasi manusia tidak begitu penting. Ini
merupakan indikasi bahayanya watak kekerasan dalam tubuh Gerindra yang dipimpin
oleh pelanggar HAM dan yang menganggap HAM tidak begitu penting. Tentunya,
pernyataan tersebut sangat melukai keluarga korban pelanggaran HAM. Di sinilah,
watak anti kemanusiaannya masih menempel di kepala Prabowo dan petinggi
partainya.
Maka, mentoleransi kejahatan kemanusiaan dan HAM sama dengan mendukung
kejahatan yang sama. Apalagi, doktrin bahwa supremasi militer lebih tinggi
ketimbang supremasi sipil masih hidup di dalam tubuh ketentaraan Indonesia.
Tentu kita masih ingat pesan Ong Hok Kham kepada gerakan mahasiswa angkatan 66
yang bekerjasama dengan tentara untuk menggulingkan Pemerintahan Soekarno bahwa
“rezim militer jauh lebih berbahaya daripada rezim sipil (Soekarno)”. Dan pesan
itu terbukti benar ketika Soeharto menjadi Presiden. Salah satu mahasiswa
angkatan 66 pemimpin gerakan penggulingan Soekarno, Soe Hok Gie, menyatakan
betapa kecewa dan terkejutnya setelah melihat pemerintahan Orde Baru membantai
begitu banyak nyawa, memenggal kepala, menyiksa dan mengasingkan ratusan ribu
hingga jutaan manusia tanpa proses pengadilan.
Melihat begitu ambisiusnya, tentu kita jangan pernah memberikan
toleransi atas kejahatan Prabowo dan tentara pelanggar HAM lainnya dengan
membiarkan mereka menjadi capres pada Pemilu 2014 ini. Sama halnya dengan
menghancurkan begitu saja capaian demokrasi yang sudah kita nikmati, hasil dari
pengorbanan 13 aktivis yang hilang, dan keringat darah dari perjuangan
Reformasi 1998 silam, hingga rakyat punya sedikit ruang untuk memajukan
kapasitasnya, berorganisasi, membentuk partai politik, berkumpul, berekspresi
politik. Rakyat harus menyadari pentingnya menghadang penjahat HAM berkuasa
memimpin negara. Teror dan intimidasi akan jauh lebih hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar