Seperti Demam, Kapitalisme Menghancurkan Tubuh Bumi Sepuluh Kali Lebih Cepat!
Hari Bumi: 22 April 2014.
Manusia, beraktivitas untuk
mempertahankan hidupnya, dengan melakukan kerja, agar kebutuhan hidupnya
terpenuhi. Aktivitas kerja manusia sangat bergantung dari apa yang ada
pada alam: air, udara, kayu, laut, tumbuhan, api, angin, arus
sungai/laut, panas bumi, gunung, mineral bumi, dsb. Karena itulah,
hubungan manusia dan alam haruslah hubungan yang baik dan berkelanjutan,
karena manusia adalah makhluk yang bisa menciptakan apa yang mereka
butuhkan untuk bertahan hidup, mengolah apa yang disediakan alam, dan
dalam hal ini-lah manusia berbeda dari binatang. Namun,
“…manusia sendiri mulai membedakan dirinya dengan binatang ketika mereka memproduksi kebutuhan mereka untuk bertahan hidup, suatu langkah yang sudah dikondisikan oleh organisasi jasmaniah mereka. Dengan memproduksi kebutuhan mereka untuk bertahan hidup, manusia secara tidak langsung memproduksi meterial kehidupan mereka”. (Marx, The German Ideology).
Tapi sekarang, aktivitas manusia yang terwakili oleh kapitalisme,
menggunakan metode yang berlebihan dalam memenuhi kebutuhan hidup (yang
sesungguhnya hanyalah memenuhi kebutuhan hidup dirinya sendiri). Lewat
doktrinasi media, kapitalisme memiliki keleluasaan penuh sebagai ‘pencipta kebutuhan’, sehingga, manusia (yang juga sebagai obyek/konsumen) harus menuruti ‘kesadarannya’ untuk memproduksi apa yang menjadi ‘kebutuhan’,
dan berkembang lagi sehingga ‘kebutuhan’ itu diperjual-belikan untuk
mendapatkan keuntungan yang melimpah. Sejak itu, kebutuhan manusia
menurut kapitalisme menjadi kehilangan batasannya, dimana batasan itu
seharusnya adalah kegunaannya/nilai guna dari barang hasil produksi.
Jadilah produksi bahan baku massal, jadilah over-produksi, mengambil
semua yang terdapat di alam, sampai habis, kurus-kerontang, hanya
tersisa timbunan timbal, dumping, laut tercemar, hutan gundul,
banjir, pemanasan global, kutub es mencair, kekeringan dan kelaparan.
Menurut Doug Lorimer, “Manusia telah menggali (dari bumi, dalam lima
abad terakhir) tak kurang dari 50.000 juta ton karbon, 2.000 juta ton
besi, 20.000 juta ton tembaga, 20.000 ton emas, dan lain sebagainya.
Aktivitas produksi manusia telah mengeruk tidak kurang dari 5 kilometer
kubik batu per tahun. Manusia membangun kanal-kanal di antara
benua-benua dan menimbun tanah di lautan. Manusia merubah iklim yang
buruk bagi kehidupan mereka seperti dengan cara mengairi gurun-gurun
pasir, mengeringkan tanah rawa, dan mengalihkan aliran sungai. Keadaan
iklim juga dipengaruhi, secara tidak langsung, oleh aktivitas produksi
manusia—pembakaran minyak, batu bara dan bahan bakar tanah, telah
mengotori udara dengan karbon sekitar 1500 juta ton per tahunnya. Jumlah
karbon di udara adalah salah satu faktor yang mempengaruhi temperatur
bumi”. Jadi, sekarang kita bisa mengatakan: Bencana alam bukanlah
takdir!
Selanjutnya, produksi kapitalis untuk pemenuhan kebutuhan hidup (makan,
minum, dll) menjadi bercabang kepentingannya—selain untuk memenuhi
kebutuhan manusia—yaitu: mengumpulkan gunung harta bagi kantong-kantong
pribadi. Hidup tidak hanya untuk kehidupan, tapi, hidup untuk menumpuk
keuntungan.
Tidak Hanya Di Bumi, Sampah-Sampah Akibat Keserakahan Kapitalis Untuk Mengontrol Dunia Juga Mengotori Angkasa.
Kapitalisme: mencipta tehnologi tapi tidak ramah lingkungan.
Menurut
laporan yang diterbitkan pada bulan Oktober 2009 oleh kantor PBB untuk
Outer Space Affairs, sekitar 300.000 benda-benda semacam ini terus
mengelilingi planet kita. Adapun jumlah total benda mengorbit yang
dibuat oleh manusia, berat total gabungan dari mereka diperkirakan
mencapai 5000 ton, hanya 10 % nya (sekitar 8.600 benda) yang masih bisa
dilacak dengan radar dan optik darat. Namun, hanya sekitar 6 % saja dari
objek-objek tersebut yang aktif, yang lainnya tidak berfungsi atau
merupakan fragmen yang sudah digunakan dari roket dan perlengkapan
lainnya.
Sekarang, puing-puing itu menjadi sangat berbahaya, terutama fragmen
dari berbagai satelit yang sudah tidak lagi berfungsi lagi karena dapat
merusak unit operasi, dan dalam beberapa kasus bisa menyebabkan
kontaminasi nuklir atau zat beracun ketika mereka jatuh ke Bumi.
“Pengaruh
alam atas manusia semuanya terjadi secara spontan, tapi pengaruh
masyarakat pada alam selalu sebagai hasil dari aktivitas manusia demi
kehidupannya, yang dilakukannya secara sadar”. Di samping memang
bertujuan merubah alam, aktivitas manusia juga memperoleh hasil-hasil
yang tak terbayangkan sehingga, dalam banyak kasus, kemudian menyebabkan
manusia kehilangan banyak hal. Dalam tingkat tertentu, terlihat jelas
bahwa kapitalisme bisa menerima “keprihatinan” ekologi, sejauh
solusi-solusinya bisa dikomoditikan. Jika manusia akan puas dengan air
minum yang bersih—sementara sungai dan air tanah berpolusi—maka kami (si
kapitalis) akan menjual air dalam botol dan menyaringnya untuk
disimpan.
Aktivitas manusia yang terwakili oleh kapitalisme itulah
kemudian menuai penolakan, protes di banyak Negara, melibatkan ratusan
juta warga dunia.
Yang paling perdana, gerakan pecinta lingkungan memperingati hari
bumi pada tahun 1970, di Amerika, salah satu Negara penyumbang terbanyak
bagi kerusakan bumi. Benar bahwa secara politik, menggelombangnya
gerakan ini salah satunya adalah peran dari senator Amerika, Gaylord
Nelson, (yang juga mengusulkan agar materi lingkungan hidup dimasukkan
dalam kurikulum resmi bagi perguruan tinggi di Amerika). Namun,
pra-kondisinya, pemanasannya sudah dimulai oleh gerakan lingkungan
radikal pada tahun 60-an yang kemudian bertemu dengan kelompok lain
dalam isu anti perang. Sekitar 20 juta orang turun ke jalan pada Hari
Bumi tahun 1970, dan di tahun 1990, ada sekitar 200 juta orang di
seluruh dunia memperingati Hari Bumi. Gejolak sentiment Hijau menguat
pengaruhnya dalam gerakan social kala itu.
Di Indonesia,
aktifitas perusakan lingkungan sangat dipengaruhi oleh kebijakan negara
dan swasta. Kaitan keduanya adalah soal kebijakan pro investasi dan
praktik eksploitasi SDA sebagai akibatnya. Pemerintahan Indonesia kita
kenal dengan pemerintahan pro modal swasta maupun local sehingga arah
kebijakannya mengacu pada apa yang sedang dibutuhkan investasi modal.
Yang menentukan adalah yang bermodal, padahal seharusnya negara menjadi
alat yang menguasai sumber daya alam untuk kebutuhan rakyat sebagai
tujuan utama. Namun tidak begitu ketika penguasanya takluk pada
investor. Belum lagi tentang dampak yang timbul akibat adanya
pembangunan dan aktifitas industri ekstraktif. Persoalan lain adalah
juga terkuasainya industri perkebunan secara luas. Bahkan fungsi PTPN
sendiri di semua unit hanya seperti perantara antara negara dan
investor.
MP3EI, Nama Lain Dari Liberalisasi Sumber Daya Alam: Mega Proyek Perusak Lingkungan.
Alih-alih ingin mengembangkan percepatan ekonomi, namun justru
memberikan syarat bagi kehancuran lingkungan dan merebut lahan rakyat.
Proyek yang terlegitimasi Perpres Nomor 32 Tahun 2011 sebagai aplikasi
paska pertemuan APEC yang digelar di Bali, menunjukkan komitmen
Indonesia untuk menggelar perdagangan bebas di kawasan Asia. Tak
tanggung-tanggung, targetnya adalah menjadikan Indonesia menjadi negara
dengan ekonomi terbesar nomor 10 di dunia pada 2025, dengan pendapatan
perkapita yang mencapai US$ 15.000, lima kali lipat dari saat ini yang
hanya US$ 3.000. Proyek prestisius dari pemerintah tersebut di beberapa
provinsi ada yang siap beroperasi, inilah yang kemudian memunculkan
banyak sekali konflik antara warga melawan investor, negara dan alat
kekerasannya (polisi dan tentara). Warga yang tak bersenjata dipaksa
berhadapan dengan pasukan tempur negara bersenjata lengkap, menembak
atas nama pengamanan investasi.
Sepanjang tahun 2011 s/d
2013, dari sengketa pertambangan saja terdapat 229 kasus di seluruh
Indonesia, tahun 2012-nya, korban meninggal sebanyak 58 orang. Benar
bahwa liberalisasi SDA memicu konfilk yang besar, bisa kita lihat di
beberapa daerah sepanjang 2013 lalu, terjadi 232 konflik SDA di 98
kabupaten kota di 22 provinsi. Pada setiap konflik yang menjadi korban
sebagian besarnya adalah petani. Dari 232 konflik SDA yang melibatkan
petani ini, 69 persen diantaranya dengan korporasi (swasta), Perhutani
13 persen, taman nasional 9 persen, pemerintah daerah 3 persen, instansi
lain 1 persen (Kompas, 16/2/2013). Sebagai perbandingan, Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) juga melansir sekitar 370 konflik agraria
terjadi sepanjang 2013 dengan cakupan wilayah konflik mencapai 1,3 juta
ha. Konflik melibatkan sekitar 140.000 kepala keluarga. Dalam konflik
itu korban tewas 21 orang, 30 orang tertembak, 130 orang menjadi korban
penganiayaan, serta 29 orang ditahan aparat keamanan (VOA Indonesia,
27/12/2013).
Rakyat Indonesia Dan Kepentingannya Untuk Membangun Gerakan Lingkungan.
Mendorong agar terjadi revolusi ekologi jelas bukan hal yang ringan
apalagi jika kerusakan ekologinya didukung oleh lembaga legal negara dan
organisasi dunia. Pemahaman ideologis tentang ekologi menjadi syarat
yang bisa mengunci gagasan memperjuangkan perbaikan alam. Semisal,
seperti kritik JB Foster kepada International Forum on Globalization (Forum Internasional Globalisasi) yang meletakkan strateginya pada isu menghijaukan Bank Dunia, WTO, dll. Padahal kontrol utama institusi-institusi tersebut adalah modal, dan tidak akan pernah berubah. Tujuan
utama WTO, contohnya, adalah memperluas akumulasi modal bagi
kepentingan negara-negara kaya dengan menyingkirkan penghalang mobilitas
modal internasional, menghapus subsidi dan regulasi, dan pada dasarnya
menerapkan kebijakan neoliberal ke seluruh dunia.
Sampai pada tahap ini, mustahil “menghijaukannya” atau merubahnya
menjadi organisasi berperspektif penghijauan. Gerakan lingkungan hidup
tidak bisa lagi berfikir hanya untuk bernegosiasi, negosiasi tidak
mungkin terjadi jika dilihat dari tujuan investasi dan alat legal negara
pemodal adalah “sustainable development”. Maka, institusi
dunia dan negara seperti ini tidak akan pernah berkompromi atas tuntutan
perbaikan lingkungan, terlebih kepada tuntutan ekstrim gerakan
lingkungan eropa yang menyatakan bahwa untuk memperbaiki bumi tidak ada
kata lain selain “Zero Growth”, sudah pasti, “Zero Growth” akan lekas dilempar ke tong sampah oleh kapitalisme.
Pemilu 2014 Hanya Akan Menghasilkan Elit Perusak Lingkungan.
Neoliberalisme masih terus berjalan, lahan penerapannya tentu negara
kaya SDA, Indonesia sudah menjadi sasaran neoliberalisme sejak tahun
1966. Negara berposisi lemah seperti Indonesia menjadi sasaran empuk
bagi raksasa modal internasional. Dalam keterangannya, WALHI menyatakan
masih sangat minimnya kesadaran ekologis anggota DPR baik pusat maupun
daerah dilihat dari fungsinya sebagai legislator, pengawas eksekutif
maupun pembuat anggaran. Itu menandakan bahwa isu perbaikan lingkungan
belum menjadi sasaran utama mereka. Proyek-proyek investasi tumbuh
melebihi pertumbuhan kapasitas manusianya, yang berarti pembangunan di
Indonesia tidak pernah berbanding lurus dengan pertumbuhan kapasitas
sumber daya manusianya, justru malah menghancurkan kapasitas manusia.
Sebagai contoh, hampir keseluruhan aktivitas pertambangan di wilayah
Indonesia mendapat reaksi penolakan, dan hampir semua perusahaan tambang
merugikan rakyat dengan limbah, pencemaran sungai, jalan rusak, tanah
rusak sehingga mata-pencarian rakyat yang semula bercocok-tanam/berkebun
menjadi hilang. Satu-satunya penghidupan dirusak perusahaan. Sebab
itulah, wajar, kalau warga marah, chaos, merusak alat perusahaan tambang
bahkan membakar kantor pemerintahan, karena, pemerintah daerah
berkontribusi merugikan warga dengan memberi ijin kepada perusahaan
tambang untuk beroperasi. Logikanya, semakin meningkat kontradiksi
rakyat vs penguasa, harus semakin meluaskan ketersediaan radikalisme,
sentiment anti rezim, dan kantong-kantong perlawanan rakyat sehingga,
pewadahan perjuangan harus semakin terisi.
Maka, secara
taktik, penting sekali untuk mengonsolidasikan kelompok pecinta
lingkungan di kampus-kampus (Mapala) dan oraganisasi/lembaga lingkungan.
Selain itu, karena kasus pertambangan selalu beririsan dengan tanah
warga dan petani (yang ekspresinya adalah penggusuran dan perampasan
lahan oleh Negara) maka, penggalangan kekuatan bisa didapatkan dari
sana.
Penting bagi kami, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan
Nasional (PEMBEBASAN) dalam momentum hari bumi kali ini mengangkat
beberapa tuntutan:
- Tolak Pemilu Borjuasi 2014 yang hanya akan menghasilkan pemerintahan dan anggota dewan yang pro terhadap perusakan lingkungan
- Hentikan sementara kontrak karya pertambangan sampai keadilan kepada rakyat terpenuhi (pemulihan kerusakan tanah warga, kembalikan tanah rakyat dan ganti kerugian materiil dan non-materiil dari korban kekerasan aparat dalam menangani sengketa lahan)
- Tarik aparat polisi, tentara dan preman dari lahan konflik pertambangan dan perkebunan.
- Hentikan kriminalisasi dan bebaskan aktifis lingkungan dan warga yang ditahan oleh aparat
- Kembalikan hutan masyarakat adat, berikan hak pengelolaannya.
- Lawan militerisme, biang kerok kekerasan kepada petani
Selamat Hari Bumi! Selamatkan Bumi!
Salam Juang!
Terus Berkobar!
Jakarta, 22 april 2014
Pusat Perjuangan Mahasiswa Untuk Pembebasan Nasional
(PEMBEBASAN)
Arie Nasrullah Lamondjong, SIP
Ketua Umum
Sutrisno Bandu
Sekretaris Jenderal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar