Oleh : Tri
Ramidjo
Sudah sebulan lebih sejak rumahku kebanjiran dan kesehatanku sangat menurun aku menghindari duduk di depan komputer ini. Baru melihat huruf-huruf sekilas mataku berkunang-kunang dan pandangan menjadi kabur. Tekanan darahku naik turun tak menentu. Aku merasa malu, bahwa aku sebagai anak pak Kiyahi Dardiri Ramidjo (Kiyahi Anom) dan ibu Nyi Darini Ramidjo kalah oleh penyakit stroke. Padahal dibandingkan dengan usia ibuku ketika meninggal masih selisih 8 tahun.
Ibuku lahir 21 Desember 1901 dan meninggal 23 Mei 1989. Dan 3 hari
sebelum meninggal pun ibuku masih bisa mencuci pakaiannya sendiri dan masih
bisa membikin telur-ceplok. Mengingat kegigihan ibuku ini aku bangun dan
mencoba mengetik di komputer ini. Aku hanya bisa mengetik dengan jari tengah
tangan kiri karena akibat stroke tangan kananku sampai hari ini belum
berfungsi. Syukur alhamdulillah tangan kiriku masih bisa bergerak normal.
Apa yang
akan kuketik ya? Sekilas aku
terkenang cerita ibuku dua minggu sebelum ibuku meninggal. Kami makan bersama
waktu itu dan setelah selesai makan malam ibu mengatakan, bahwa ibuku bermimpi
ayahku datang dan menggendong ibuku dan dibawa pergi, katanya.
Kemudian
ibuku bercerita hari-hari keberangkatannya ke Boven Digul. Sayang aku tidak
sempat merekamnya tapi terekam dalam ingatanku yang tak pernah terlupakan
sampai hari ini.
Begini ceritanya: Malam-malam dinihari sekitar jam setengah dua, rumah ibuku di Candi Semarang, diketuk oleh reserse polisi Ahmad dan Sanusi. “Zus, Zus, cepat bangun sekarang juga kita berangkat.” Kata reserse-reserse itu., “Ya, sebentar, saya berpakaian dan bersiap-siap dulu” jawab ibuku. “Cepat zus, kapalnya akan segera berangkat. Mas Ramidjo dan teman-temannya sudah naik di kapal.” Kata reserse Sanusi.
Ibuku dan ayahku adalah saudara sepupu. Ibu ayahku adalah adik kandung ayah ibuku. Ayah ibuku namanya Kiyahi Hasan Wirogo dan ibu ayahku namanya Nyi Rugiyah mereka adalah putra putri dari Kiyahi Hasan Prawiro yang semasa hidupnya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam berperang melawan kompeni Belanda. Itulah sebabnya desa Grabag Tunggulredjo disebut desa Grabag Mutihan, daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar upeti.
Ibuku segera bersiap dan sambil menggendong aku yang masih bayi merah membetulkan kainnya. Abangku Darsono dituntun oleh reserse Sanusi tetapi karena terkantuk-kantuk lalu digendong oleh reserse Sanusi sedang kakakku Darsini digendong oleh reserse Ahmad. Ibuku berjalan cepat waktu itu. Sampai di rumah tetangga yaitu rumah oom Djaetun ibuku mau mampir untuk mengambil barang-barang keperluan termasuk pakaian yang dititipkan tapi reserse-reserse itu mengatakan tidak ada waktu lagi dan nanti takut ketinggalan kapal. Biarlah barang-barang itu akan dikirimkan kemudian.
Perjalanan
dari Candi ke kantor polisi itu sangat jauh kata ibuku. Makan waktu kira-kira
hampir dua jam.
“Dua jam, menggendong aku yang masih bayi umur setahun? Sungguh berdosa aku ini melelahkan ibuku, padahal kalau aku tidak lahir ke dunia ini tentu aku tidak menambah beban penderitaan ibuku. Ya, memang kalau kita berfikir dari sebab dan akibat mana ada persoalan yang selesai bukan. Baiklah aku akan berfikir yang wajar saja. Alangkah baiknya kalau aku ini tidak mengerti apa-apa dan alangkah baiknya kalau di dunia ini tidak ada apa-apa atau tidak usah ada dunia. Tentu tidak ada suka, duka dan derita. Hai Tri, kau sedang menulis kisah ibumu, jangan ngelantur melamun sendiri.
Umurmu sudah 81 tahun tak seharusnya melamun seperti
itu. Sudah dua bulan sejak kebanjiran kau tidak buka-buka komputer dan menulis
‘kan? Tak
usah fikirkan tekanan darahmu yang tiap hari naik turun tak menentu. Teruskan
saja nulis sambil menunggu giliran dipanggil pulang. Percayalah kalau sudah
sampai giliranmu, pasti kau dapat panggilan, seperti antri minum pil di Tanah
Merah itu lho, tunggu giliran panggilan oom Alexander Jacob Patty.”
Baik aku
harus teruskan tulisanku ini. Akhirnya
ibuku sampai di kantor polisi Jomblang. Keadaan kantor itu masih sepi. Ada seorang ibu dengan dua
orang anaknya. Ibu itu ibu Mastur namanya dan datang dari Ungaran.
Abangku Darsono yang digendong reserse Polisi Sanusi rupanya terus tidur nyenyak. Rupanya reserse yang gendut itu tubuhnya cukup empuk seperti kasur sehingga abangku bisa tidur pulas dan bahkan mengompoli resersi polisi gendut Sanusi itu. Hahaha ibuku tertawa.
Karena ibuku
tidak membawa apa-apa dan tidak membawa pengganti pakaian maka ibuku minta
tolong kepada ibu Mastur yang telah lebih dulu datang untuk meminjamkan pakaian
anaknya untuk mengganti pakaian abangku yamg ngompol itu.
Setelah agak
lama menunggu berdatanganlah ibu-ibu dari Suburan dan tempat2 lain sekitar Semarang. Kemudian datang
2 buah mobil polisi bercat hitam. Ibu-ibu dan anak2nya sekitar 50 orang lebih
diperintahkan naik ke mobil hitam itu dan kemudian pintunya ditutup rapat. Tak
bisa melihat apa-apa ke luar. Mobil dijalankan dan ketika mobil berhenti
dan pintu dibuka sudah sampai di pelabuhan Semarang. Ibu-ibu yang naik mobil itu
semuanya turun dan langsung naik ke motorboat yang sudah menunggu di situ.
Keadaan
sekitar masih gelap dan motorboat berlayar membelah laut yang tenang.
Hanya kabut putih yang terlihat. Kemudian terlihatlah benda seperti
gunung kecil di tengah laut dan motorboat yang dinaiki itu menuju ke arah
gunung itu. Setelah dekat barulah terlihat jelas, bahwa itu adalah kapal perang
KRUISER JAVA.
Menurut
ibuku pemerintah Hindia Belanda waktu itu hanya mempunyai 2 kapal perang
yaitu KRUISER JAVA dan KRUISER SUMATRA.
Lainnya adalah kapal-kapal perang kecil seperti SEVEN PROVINCIEN, VAN
HALEN dan beberapa kapal kecil lainnya. Juga ada beberapa kapal putih,
yang dimaksud dengan kapal putih ini ialah kapal setengah marinir seperti
FOLMAHOUT, ALBATROS. RHUMPHIUS dan entah apa lagi. Kapal2 putih inilah yang
setiap bulan (sebulan sekali) bergantian datang ke Tanah Merah
Digul mengangkut bahan pangan.
Setelah
motorboat merapat ke kapal perang itu tangga diturunkan dan penumpang motorboat
yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak dinaikkan ke geladak Kruiser
Java. Dapat dibayangkan betapa sulitnya ibu2 yang berkain panjang itu menaiki
tangga kapal. Tetapi marinir2 Belanda totok itu dengan tangkas menggendong
ibu-ibu dan anak2 menaiki tangga dan naik ke geladak kapal. Marini-marinir itu
berlaku sangat baik dan ramah walaupun tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Kemudian
ibu2 dan anak2 ini ditempatkan di ruangan yang cukup besar berlantai marmer.
Dan tak lama kemudian dihidangkan makanan dan minuman air susu coklat. Makanan
yang dihidangkan cukup baik yaitu makanan yang diperuntukkan para marinir dan
tentu saja jauh berbeda dengan makankan tapol di RTC-SALEMBA atau Pulau
Buru. Kapal pun
mulai berlayar dan itu terjadi pada tanggal 12 Maret 1927.
Dalam
pelayaran itu ibuku dan teman2nya tidak ada yang mabuk laut karena kapal yang
dinaiki cukup besar dan tidak terombang ambing gelombong. Di ruangan
kapal itu sangat panas mungkin karena ruangan itu berada di dekat kamar
mesin. Bagaimana
ibuku tidur? Tentu saja tidur bergeletakan di lantai kapal yang bersih. Dan
tentu saja dengan leluasa pergi ke kamar kecil (wc) untuk membuang hajat tidak
seperti kapal yang dinaiki tapol waktu dikirim ke pulau Buru.
Ya, kata
ibuku pelayanan di kapal perang itu jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan
kapal penumpang dek di KPM.
Ibuku diwaktu kecil sering berlayar mengikuti kakekku dan bahkan pernah ke Pulau Lombok ke kota Praya. Kakekku ayah ibuku (Kiyahi Hasan Wirogo) dalam melakukan siar agama pergi kemana-mana dan yang terakhir ke daerah Lampung-Sumatra dan hilang lenyap tidak diketemukan jasadnya di Sungai Mesuji atau Sungai Tulang Bawang, Lampung. Konon ceritanya kakekku yang sangat mahir berenang itu menyeberangi sungai Tulang Bawang dengan berenang dan terbawa arus sungai yang deras.
Dalam
pelayaran itu ibu-ibu itu mendapat sabun cuci dan sabun mandi tetapi
bagaimana mandi dengan air di keran-keran kapal yang airnya air laut dan asin
itu? Untuk ibu2 itu setiap orang hanya mendapat air tawar satu wastafel.
Sebenarnya untuk marinir yang orang Belanda itu, Satu wastafel sudah cukup
untuk membersihkan diri, tapi bagi ibu2 yang belum pernah berlayar yang tidak
biasa menghemat pemakaian air tentu saja terasa sangat jauh dari
mencukupi, apalagi untuk mencuci. Dengan air laut yang asin tentu saja memakai sabun
yang sangat baik pun tidak akan berbusa.
Ibuku dengan
memakai air tawar seperlunya dan kemudian dibilas dengar air keran yang dari
air laut bisa mencuci bersih dan sabunnya bisa bekerja aktif. Pengetahuan
sederhana ini diajarkan kepada teman2 ibu-ibu lainnya.
Dalam
pelayaran itu ibuku tidak membawa peralatan sembahyang tetapi ibuku tetap
melakukan sembahyang menurut apa adanya apalagi di ruangan itu tidak ada kaum
pria kecuali ibu-ibu dan anak-anak.
Ya, ibuku
yang sejak kecil hidup di pondok pesantren itu sangat taat menunaikan ibadahnya
sehingga waktu yang sedikit saja terluang pasti digunakannya untuk berzikir.
Ibuku memang orang yang sangat sabar, tidak pernah marah dan selalu bersikap
halus dan ramah kepada siapa saja. Aku merasakan sejak kecil hingga dewasa
belum pernah aku dimarahi atau dibentak oleh ibuku ataupun ayahku. Ayahku
dan ibuku benar2 orang yang memegang teguh ajaran alqur’an bukan
hanya dalam kata2 tetapi juga dalam perbuatannya sehari-hari. Aku sungguh
iri dan ingin menirunya tetapi aku yang pemarah ini masih juga belum berhasil
mengendalikan diri seperti ibu dan ayahku. Terkadang aku malu sendiri, mengapa
sebagai anaknya bapak dan ibu Ramidjo tak bisa meniru mereka.
Pada tanggal
18 Maret 1927 yaitu enam hari setelah berlayar, KRUISER JAVA melego
jangkarnya untuk berlabuh di tengah laut. Rupanya kapal perang itu sudah sampai
di laut Banda. Ibu-ibu diperintahkan untuk berpakaian rapi dan kemudian naik ke
geladak kapal. Rupanya di geladak telah menunggu para suami ibu-ibu itu.
Sungguh suatu pertemuan keluarga yang penuh gembira dan mengharukan. Abangku
Darsono dan kakakku Darsini segera menghamnbur memeluk ayahku dan minta
gendong. Dan aku sendiri? Tentu saja aku belum bisa apa-apa dan hanya didekap
erat ibuku yang mulutnya komat-kamit memuji Allah yang maha besar dengan
ucapan Subhannallah, alhamdulillah, walaillahaillallahuallahuakbar tak
henti2nya. Ya, di dalam suka dan duka ibuku memang tak pernah lupa kepada Allah
dan ketika ibuku menghembuskan nafasnya yang terakhir pun masih memegang
erat tasbih yang selalu berada di tangannya. Ya, kukira jarang sekali
mendapatkan seorang muslim seperti ibuku yang tak pernah mengeluh, berbohong
dan marah dan berserah dirinya kepada Allah benar-benar dari lubuk hatinya yang
paling dalam.
Yang sangat
mengharukan menurut cerita ibuku adalah pertemuan oom Ali yang juga dari Semarang dengan isterinya.
Oom Ali dan isterinya ini adalah pemuda-pemudi pengantin baru yang belum
genap seminggu menikah.
Kepada
mereka yang sudah berada di geladak kapal itu dibagikan kapas. Untuk apa kapas
itu. O, rupanya untuk penyumbat telinga sebab marinir2 itu akan mengadakan
latihan tembak.
Sasaran tembak yang menyerupai perahu layar diturunkan dari kapal perang dan kemudian ditarik dengan motorboat pada jarak yang sangat jauh. Motorboat kembali ke kapal perang dan sasaran tembak yang berada sangat jauh itu layarnya di tembak dengan meriam. Latihan tembak itu berlangsung dari jam 4 sore sampai jam 8 malam dan ketika hari mulai gelap sasaran tembak itu disorot dengan cahya senter jarak jauh yang sangat terang.
Astagfirullah
gumam ibuku berulang-ulang, mengapa kafir-kafir ini melakukan pekerjaan yang
merugi. Bukankah daripada untuk membeli peluru meriam lebih baik uangnya
dibagikan kepada fakir miskin atau untuk membangun fabrik2 supaya semua orang
bisa bekerja dan mendapat nafkah untuk hidupnya? Dasar kafir tidak tahu arti
hidup dan kerjanya hanya merusak. Ibuku menitikkan airmata.
“Bu Ramidjo,
mengapa menangis? Bukankah tontonan ini sangat mengasyikkan?” Tanya
seorang ibu di sebelah ibuku. “Maaf, saya
sedih mengapa kafir-kafir itu menghambur2kan uang. Bukankankah rakyat kita
banyak yang menderita? Bukankah daripada untuk beli peluru meriam uangnya lebih
baik untuk mengenyangkan perut rakyat? Kita memang harus mengusir kafir2
itu dari bumi tanah air kita. Saya tidak suka meriam yang gunanya hanya
untuk membunuh dan merusak. Buat apa bunuh-membunuh sesama umat manusia.
Astagfirullah…….”, jawab ibuku. “Sabar zus,
kita ini jadi orang buangan dan pengalaman apa lagi yang kita temui nanti.”
Kata ibu itu.
Setelah jam
8 malam latihan tembak itu berhenti dan ibu-ibu Dan anak2 kembali ke ruangan
semula. Para bapak2 juga kembali ke tempatnya semula, jadi mereka terpisah lagi
dengan keluarganya.
Latihan
perang2an itu berlangsung 2 malam yaitu tanggal 18 dan 19 Maret 1927 dan
kemudian meneruskan pelayarannya. Pada tanggal
20 Maret 1927 jam 8 pagi Kruiser Java berhenti dan berlabuh menurunkan
jangkarnya di dekat pulau Friderik Hendrik.
Dan pada jam
9 pagi luitenant Dreyher yang datang dengan kapal putih Fomalhout naik ke
Kruiser Java untuk menerima orang2 buangan yang kemudian jam 2 siang
dipindahkan ke kapal Fomalhout meneruskan pelayaran ke Tanah Merah Boven
Digul.
Tiga hari tiga malam dengan menaiki kapal Fomalhout berlayar di sungai yang lebar dan dalam sungai Digul dan akhirnya pada tanggal 23 Maret 1927 jam 10 pagi kapal berlabuh di tepian sebelah timur Sungai Digul di kota kecil yang belum menjadi kota tapi masih hutan belantara, Tanah Merah.
Setelah
sampai di Tanah Merah rombongan interniran itu naik ke darat tepian sungai
Digul sebelah timur. Di tempat itu sudah berdiri 12 atau 13 barak. Barak2 itu
sudah ada yang berisi rombongn interniran pertama yaitu rombongan pak Ali
Archam, Budi Soetjitro dkk.
Keluarga ibuku dan teman2nya ditempatkan di barak nomor 5. Barak itu beratap rumbia dan dindingnya perlak militer berwarna hijau yang hanya digantungkan saja dan berkibar2 kalau ditiup angin. Siang hari tetapi nyamuk dan agas banyak sekali dan nyamuk2 ini langsung menyambut megucapkan terima kasih dan selamat datang dengan gigitannya yang cukup gatal.
Kepada
setiap orang dibagikan kelambu militer. Kelambu2 itu terbuat dari kain paris ti[pis tetapi cukup
kuat tetapi kelambu itu kelambu kecil untuk satu orang. Keluarga ibuku mendapat
empat kelambu dan oleh ibuku kelambu itu didedel dan dijahit menjadi satu
kelambu besar sehingga kami sekeluarga bisa tidur dalam satu kelambu.
Bagaimana
lantai barak itu? Tentu saja lantainya tanah yang masih lembab karena
tempat itu adalah daerah rawa. Kayu-kayu gelundungan yang besarnya lebih besar
dari pohon kelapa, itulah yang dijadikan pangkeng tempat tidur.
Jadi para
interniran itu tidur di atas pangkeng kayu2 gelundungan. Yang membawa tikar
atau kasur bisa menggelarnya di atas pangkeng kayu2 gelundungan itu, tetapi
keluarga ibuku yang tidak sempat membawa apa2 terpaksa meminjam kain panjang
kepada teman2 untuk alas tidur. Dapat dibayangkan betapa sakitnya punggung yang
tidur di atas kayu gelundungan itu.
Barak itu
sangat panjang kira2 50 meter dan para keluarga buangan itu membagi kaveling
pangkeng tempat tidur kayu gelundungan itu dengan menggantungkan kain
panjang atau kain apa saja sebagai batas tempat tidur keluarga masing2.
Karena tidak ada dinding dan hanya berbataskan kain panjang maka anak2 bisa
saja bludusan ke kaveling keluarga orang lain.
Di bawah pangkeng kayu2 gelundungan itu tentu saja penuh dengan serangngga macam2. Ada jengkerik, kelabang, kalajengking dan mungkin juga ular dan ular yang sangat berbisa di Tanah Merah adalah ular kaki empat yang mirip kadal warnanya hitam kecoklat2an dan kepalanya berbentuk segitiga.
Pernah
tetangga kaveling ibuku yang anaknya namanya Pandji di pagi hari ketika bangun
rambutnya tidak karuan kepalanya menjadi setengah gundul karena di malam hari
rambutnya dikerikiti jangkerik.
Para
interniran (orang buangan) sebulan lamanya membersihkan sekeliling barak,
membakari pohon2 dan ranting2 bekas tebangan dan bagi interniran yang tidak
terbiasa bekerja kasar tentu saja merupakan siksaan yang luar biasa.
Di suatu
hari di pagi hari setelah bangun kakakku Darsini bermain dengan teman2nya
di halaman barak. Ada
unggukan abu bekas membakar dahan dan ranting2 pohon. Kakakku yang baru berumur
4 tahun itu bermain lari2an dan menginjak gundukan abu yang rupanya
dibawah abu yang putih itu bara apinya masih menyala.
Kedua kaki kakakku
Darsini terbakar bara menyala. Untunglah ayahku sangat telaten. Setiap hari
kaki kakakku yang dua2nya terbakar itu dijilati ayahku dan diobati dengan
minyak bulus (kura2) dan untuk memisahkan jari2 kaki yang lonyoh itu dibelek
dengan silet setiap hari. Aku tak dapat membayangkan betapa sakitnya dan betapa
pedihnya perasaan hati ayah ibuku mengalami derita itu. Untunglah ayah
dan ibuku orang yang sejak kecil belajar di pesantren dan jiwanya sangat teguh
dan tidak pernah lupa memuji kebesaran Allah. Bagaimana
dengan makanan orang buangan?
Apakah
mereka terus menerus tinggal di barak? Bagaimana
menjadikan Tanah Merah perkampumgan yang sangat teratur? Setiap orang
mendapat onderstand f.12,60 s/d tahun 1929? Bagaimana
pengaruh krisis ekonomi (malaise) di tahun-tahun itu? Masih banyak
lagi cerita2 ibuku yang perlu kuceritakan kembali dan kutulis.
Sudah banyak
buku2 tentang Digul tapi juga ada yang ceritanya berlebihan, menggambarkan seakan-akan
orang buangan ditempatkan di kelder2 dan kamp tahanan berpagar kawat berduri
dan lain2 yang sangat menyeramkan.
Tidak. Digul
tidak seperti itu. Tidak ada pagar kawat berduri. Tidak ada penjagaan
ketat seperti tahanan orba pulau Buru. Tidak
ada penjara. Belanda tidak sekejam Suharto dan masih punya rasa peri
kemanusiaan.
Aku yang
sejak bayi sampai umur 14 tahun tinggal di Tanah Merah Digul masih bisa
bercerita apa adanya menurut kacamata anak2.
Cerita ibuku
akan kulanjutkan kalau kesehatanku membaik. Aku akan tulis apa yang masih
kuingat walaupun orang sudah tidak mau lagi mendengar tentang Digul sebab Digul
menurut orba memang tidak ada. Menurut orba kemerdekaan negeri ini datang bukan
karena perjuangan. Menurut orba Suharto tidak diperjuangkan pun
kemerdekaan itu akan datang, Apa benar begitu, ya?
Selamat tidur dan terimakasih kepada teman yang mau buang waktu membaca tulisan ini.
Sekian dulu.
Tangerang,
Senin Pahing 26 Maret 2007.
------------------------------------------------------
Penulis : Dalam sejarah tercatat sebagai pejuang Kemerdekaan Indonesia, juga menjadi salah satu korban kebiadaban Soeharto, yang tak tau malu mendirikan kekuasaan, di atas jutaan mayat orang dan ribuan yang dibuang ke tempat yang tak layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar