Kritik Perdagangan Bebas











Dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional, kita kerap diperkenalkan teori-teori yang cakupannya pada fenomena berskala global. Artinya, kita diarahkan untuk mempelajari fenomena sosial yang memiliki ikatan berbasis Internasional. Sehingga pada muaranya kita bisa mengenal watak kolot dari borjuasi-borjuasi Internasional secara gamblang.


Salah satu dari watak kolot yang bisa dianalisa adalah hasil kebijakan dari Negara-negara kapitalis global (salah satunya Amerika Serikat), tentang perdagagan bebas. Teori perdagangan bebas memiliki kesan yang tampaknya menggoda karena menjanjikan begitu banyak keuntungan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah demikian? Benarkah liberalisasi ekonomi dan perdagangan menciptakan kemakmuran bagi semua masyarakat dunia? Jika memang demikian, dan bukan sebaliknya, maka bagaimana isu tersebut seharusnya dibela? Sebaliknya, jika asumsi teoritiknya gagal, apa tindakan yang seharusnya kita ambil?.


Perdagangan bebas adalah salah satu instrumen negara-negara adidaya untuk menjajah negara-negara Dunia Ketiga. Dengan tujuan untuk melanggengkan kapitalisme, para borjuasi global akan selalu meningkatkan hegemoninya dalam ekonomi-politik Internasional. Pada dasarnya, perdagangan bebas adalah ekses dari neo-liberalisme yang wataknya ingin menjajah negara-negara yang ada di dunia terutama negara-negara Dunia Ketiga. Bukankah salah satu motif paling penting penjajahan tersebut adalah penguasaan perdagangan wilayah-wilayah perdagangan dan ekonomi yang kemudian memunculkan penindasan di negara-negara jajahan.


Di era sekarang ini, kolonialisme tidak lagi populer karena berbagai alasan. Menurut Budi Winarno salah seorang guru besar FISIPOL UGM Yogyakarta, menganggap bahwa: “Isu-isu hak asasi manusia menjadi penghalang utama suatu negara melakukan penjajahan[1].” Kalau kita lebih jeli melihat permainan dari borjuasi Internaisional, hak asasi manusia (HAM) dijadikan  salah satu jalan yang kemudian mengintervensi negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.


Dalam Ekonomi Politik Internasional (EPI), terdapat tiga teori utama yang dijadikan landasan untuk menganalisa sebuah persoalan yang memiliki keterkaitan dengan EPI, salah satunya tentang perdagangan bebas. Landasan teoritik di atas antara lain ialah: teori merkantilisme, teori liberalisme ekonomi, dan Marxisme. Untuk bisa melihat watak dari masing-masing penganut dari tiga teori di atas, saya akan memberikan sedikit paparan argumen dari tiga teori di atas.


Saya akan mulai dengan merkantilisme. Merkantilisme adalah sebuah teori yang memiliki kaitan erat dengan pembentukan negara berdaulat, modern, sepanjang abad ke enambelas dan tujuhbelas. Merkantilisme adalah pandangan dunia tentang elit-elit politik yang berada pada garis depan pembangunan negara modern. Mereka mengambil pandangan bahwa aktivitas ekonomi adalah dan seharusnya tunduk pada tujuan utama dalam membangun negara yang kuat. Dengan kata lain, ekonomi adalah alat politik, suatu dasar bagi kekuasan politik. Itulah bentuk utama dari merkantilsme[2].


Sementara itu, liberalisme muncul sebagai kritik terhadap kontrol politik dan pengaturan permasalahan ekonomi yang menyeluruh yang mendominasi pembentukan negara Eropa di abad ke enambelas dan ke tujuhbelas, yakni merkantilsme.  Paham ini sangat berpatokan dengan sumbangsih pemikiran dari Adam Smith (1723-90), Smith meyakini bahwa pasar cenderung meluas secara spontan demi kepuasan kebutuhan manusia. Menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh ikut capur dalam perekonomian (lihat Robert Jackson & Georg Sorensen 2009: 234).


Sementara itu, setelah Smith ada lagi seorang tokoh yang melanjutkan pemikiran-pemikiran Smith, yaitu David Ricardo (1772-1823). Ricardo berpendapat bahwa perdagangan bebas yaitu aktivitas komersial yang dijalankan secara bebas dari perbatasan nasional, akan membawa keuntungan bagi semua partisipan sebab pasar bebas menjadikan terjadinya spesialisasi dan spesialisasi akan meningkatkan efisiensi dan, dengan demikian meningkatkan produktifitas (lihat juga Robert Jackson & Georg Sorensen 2009: 235). Penekanannya adalah kaum liberal ekonomi menolak pandangan kaum merkantilis bahwa negara adalah aktor dan fokus sentral ketika menhadapi pemasalahan ekonomi. Sedangkan kaum liberal beranggapan bahwa aktor sentral adalah individu sebagai konsumen dan produsen.


Pada kesempatan ini, saya akan mengemukakan pandangan Marxisme dalam melihat persoalan perdagangan bebas. Berangkat dari seorang filsuf ekonomi politik Jerman abad ke duapuluh dalam hal banyak mewakili kritik mendasar liberal ekonomi. Bisa dilihat dari paparan di atas, pandangan kaum lliberal ekonomi membeberkan bahwa perekonomian global untuk keuntungan bagi semua individu sebagai masyarakat dunia. Marx menolak pandangan tersebut. Marx melihat bahwa perekonomian sebagai tempat arena eksploitasi dan perbedaan kelas. Pada perkembangannya, kaum Marxis bersepakat dengan kaum merkantilis bahwa politik dan ekonomi sangat berkaitan atau saling berkorespondensi.


Bagi kaum Marxis, perekonomian kapitalis didasarkan pada dua kelas sosial yang bertentangan: salah satu kelas, kaum borjuis, memiliki alat-alat produksi; kelas lain, kaum proletar, hanya memiliki kekuatan kerjanya saja, yang harus dijual pada borjuis[3].


Pandangan kaum Marxis terletak pada “materialisme.” Hal ini didasarkan pada pernyataan bahwa aktivitas inti dalam masyarakat mana pun hidup dengan cara-cara bagaimana manusia mengahasilkan alat-alat eksistensinya. Produksi ekonomi adalah dasar bagi semua aktivitas manusia lainnya, termasuk politik. Di satu sisi, kekuatan-kekuatan produksi, yaitu tingkatan teknis aktivitas ekonomi (contoh mesin-mesin industri vs kerajianan tenaga pengrajin). Di sisi lain, terdiri dari hubungan produksi, yaitu sisitem kepemilikan sosial yang menentukan kendali sebenarnya kekuatan produksi (contoh kepemilikan swasta dan kolektif). Dengan kata lain, kaum kapitalis yang menguasai alat produksi juga akan cenderung mendominasi dalam bidang politik.


Menyimak paparan dari tiga pandangan di atas, bisa terlihat jelas bahwa perdagangan bebas muncul dari pandangan liberalime dan sekarang perpanjangan tangan melalui neo-liberalisme yang dengan jelas memberitahu pada kita bahwa kendali ekonomi itu sangat bergantung pada individu yang pada akhirnya menghilangkan campur tangan dari pemerintah terhadap aktivitas perekonomian. Oleh karena itu negara hari ini tidak lagi otonom; mereka digerakan oleh kepentingan kelas yang berkuasa, dan negara kapitalis terutama digerakan oleh kepentingan kaum borjuisnya. Perdagangan bebas hasil dari ekonomi liberal yang wataknya kapitalistik.


Menarik kiranya kalau kita menyimak pandangan Marx tentang watak kapitalisme yang esensinya tidak memanusiakan manusia. Mickhael A. Lebowitz menganggap bahwa kapitalisme tak akan menjadi suatu sistem yang prioritasnya ialah manusia dan kebutuhan-kebutuhan mereka (lihat Sosialisme sekarang juga. Yogyakarta: Resist Book 2009, hlm. 27). Sedangkan Marx memandang kapitalisme adalah sebuah sistem yang bebas, bebas dari penguasa, bebas dari pembatasan produksi (lihat juga Mickhael A. Lebowitz).


Hal yang paling menentukan dalam kapitalisme adalah keuntungan yang lebih besar, dan lebih besar lagi. Sistem ini kemudian sangat agresif mengejar keuntungan pasar dan tidak lagi memandang pada nilai pakai, tetapi menitik beratkan pada nilai tukar. Sehingga secara sosio-ekonomi yang terbangun dalam masyarakat cenderung menjadikan masyarakat, menjadi masyarakat yang konsumtif. Atau dengan kata lain, masyarakat membeli  dan/atau memproduksi sebuah produk bukan lagi ia menggunakan, melainkan karena ia ingin menjualnya kembali dengan keuntungan setinggi mungkin. Mansour Fakih kemudian menyatakan bahwa secara teoritik, kapitalisme merupakan paham yang bertujuan melakukan pemupukan modal (capital accumulation) melalui proses-proses penanaman modal (capital investmen).


Berangkat dari watak yang eksploitatif, ekspansionis, dan akumulatif. Kita bisa melihat bahwa perdagangan bebas dijadikan alat oleh kapitalisme untuk meningkatkan hegemoni Ekonomi Politik Internasional. Perluasan pasar melahirkan kompetisi antara yang kuat dan yang lemah sehingga tidaklah benar ketika tujuan dari perdagangan bebas untuk kesejahteraan semua masyarakat dunia. Perluasan pasar dalam bentuk perdagangan bebas juaga menimbulkan ekspolitasi yang masif pada alam yang kemudian menciptakan kerusakan lingkungan yang hebat dan mengancam bagi dunia. Oleh karena itu perlu diganti sistem yang mengancam bagi keamanan dunia dengan sistem yang lebih baik.





 Penulis: Sahman Tou (Petugas Politik Pembebasan UMY)

 Referensi:
  • Robert Jakson Dan Georg Sorensen. Pengantar studi hubungan Internasional . Pustaka pelajar,Yogyakarta 2009
  • Drs. Yanuar Ikbar. Ekonomi Politik Internasional 1 konsep dan teori. Refika Aditama, Bandung 2006
  • Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH., MH. Kapitalisme, modernisasi, dan kerusakan lingkungan. GENTA PRESS, Semarang  2008
  • Mickhael A. Lebowitz. Sosialisme sekarang juga. Resist Book, Yogyakarta 2009



[1] Prof. Drs. Budi Winarno, MA, PhD, Isu-isu global kontemporer, CAPS, Yogyakarta, 2011, hlm. 45
[2] Robert Jackson & Georg Sorensen, yang diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura. Pengantar studi hubungan internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009 Hlm 231
[3] Ibid

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar