Pengurangan Jam Kerja Bagi Perempuan, Ada Udang Di Balik Batu



 Oleh: Fullah Jumaynah*
 
Beberapa bulan lalu media sempat diramaikan dengan pernyataan wakil Presiden Yusuf Kalla yang mengemukakan gagasan yang mengundang pro-kontra di kalangan masyarakat pada saat menerima kunjungan Persatuan Umat Islam (PUI) di Kantor Wakil Presiden pada tanggal 25 November 2014. Gagasan Wapres tersebut adalah pengurangan jam kerja perempuan dengan alasan untuk memberikan waktu yang cukup kepada perempuan untuk mendidik dan mengasuh anak di rumah. Dilansir dari Kompas.com, bahwa gagasan pengurangan jam kerja perempuan tersebut juga berangkat dari keprihatinan wapres akan masa depan generasi bangsa. (Baca: http://nasional.kompas.com/read/2014/11/25/12273031/Wapres.Ingin.Jam.Kerja.Pegawai.Perempuan.Dikurangi.Dua.Jam)
Wacana tersebut nampaknya diamini oleh pemerintah, seperti yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi. Dia mengungkapkan, pemerintah akan menerapkan kebijakan pengurangan jam kerja bagi pegawai perempuan. Alasan yang sama halnya dengan JK, Yuddy menuturkan, pengurangan jam kerja tersebut dilakukan agar perempuan bisa mempunyai waktu yang cukup untuk keluarga. (baca: http://nasional.kompas.com/read/2014/12/01/13474281/Pemerintah.Akan.Terapkan.Pengurangan.Jam.Kerja.Pegawai.Perempuan)
Selain dari Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, wacana yang senada dengan ide wapres juga muncul dari Gubernur DKI Jakarta. Komnas Perempuan dalam siaran persnya (5/12/2014) menyebutkan bahwa, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) memiliki gagasan untuk mendekatkan tempat kerja perempuan dengan tempat tinggal mereka dengan alasan yang serupa dengan yang dikemukakan oleh wapres. Belum lagi wacana tersebut diformalkan sebagai kebijakan, nampaknya memang sedang ada upaya pemerintah “memberdayakan” perempuan.
Sekilas gagasan tersebut memang tidak mengandung persoalan, lebih-lebih ketika gagasan itu dilontarkan oleh orang yang memiliki wewenang kebijakan di negeri ini. Gagasan pengurangan jam kerja dan upaya mendekatkan tempat kerja perempuan dengan tempat tinggalnya bahkan mungkin dianggap sebagai sebuah kebijakan “kebaikan” hati pemerintah dan pengambil kebijakan yang kebetulan laki-laki kepada perempuan. Karenanya berbagai respon yang bernada mendukung gagasan tersebut muncul dari khalayak, diantaranya gagasan tersebut dianggap sebagai bentuk pembebasan perempuan, pengurangan beban kerja perempuan dan sebagainya. Namun, apakah benar demikian? Kenapa pengurangan jam kerja hanya untuk perempuan?



Bukan kebaikan hati, tapi pengalihan tanggung jawab.
Melihat dari alasan yang dikemukakan JK dan Yuddy, ini menggambarkan: kedua orang ini menganggap tanggung jawab mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak ada pada perempuan yang dikenal Ibu. Jika peraturan itu diluncurkan, maka domestifikasi peran perempuan lagi-lagi harus diemban. Anggapan perempuanlah yang bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan anak semakin melekat. Beban terhadap pengasuhan anak ini semakin menyudutkan perempuan, dari kebijakan tersebut mengandung pesan bahwa tempat sejati perempuan adalah di rumah. Dimana proses pemeliharaan kehidupan (reproduksi) termasuk pendidikan dan pengasuhan anak berlangsung. Dan, pada ahirnya nanti perempuanlah yang disalahkan dan dianggap paling bertanggung jawab atas setiap persoalan kenakalan dan menurunnya kualitas generasi bangsa.
Jelas, kebijakan keblinger ini merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara menjamin keselamatan dan masa depan anak-anak melalui ruang publik dan privat yang aman dan nyaman. Karena sudah sangat jelas, masalah masa depan anak dan generasi bangsa adalah tanggung jawab negara dan semua warga negara tanpa membedakan jenis kelamin. Hal ini sudah diatur jelas dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Lantas, dengan kebijakan tersebut dimana peran dan tanggung jawab pemerintah apabila semua diserahkan pada perempuan?

Bias bagi buruh perempuan.
Selain pengalihan tanggung jawab, gagasan itu juga bias kelas. Dalam hal ini paling kentara ada di buruh. Buruh perempuan akan merasakan dampak terbesar. Melihat kondisi kelas buruh saat ini, dengan upah yang belum layak dibanding hasil kerja dan jam kerjanya, maka pekerjaan dan upah menjadi kebutuhan penting. Menurut data tahun 2012 Badan Pusat Statistik, 14,85% dari jumlah rumah tangga di Indonesia dikepalai perempuan. Dari perempuan berusia 15 tahun ke atas, 47,41% bekerja. Apalagi jika ada buruh perempuan single parent, yang harus menghidupi anak-anak dan keluarga lainnya, mengingat pemerintah tidak memikirkan mereka. Jika jam kerja husus untuk perempuan dikurangi, upah pun menjadi rendah karena jam kerja dikurangi dan tidak ada fasilitas pendidikan gratis, makan bergizi, dan kebutuhan anak lainnya oleh pemerintah. Maka, darimana anak buruh bisa bertahan hidup?

Hanya Kepentingan Kapitalis
Watak patriarki yang begitu melekat di negara ini, membuat masih kentalnya pandangan perempuan sebagai pekerja reproduksi. Selain patriarki hal lain juga yang perlu dilihat bahkan sebagai dasar adalah ada udang di balik batu dalam kepentingan dibalik pengurangan jam kerja husus untuk perempuan. Bukankah saat ini kita hidup di era kapitalisme, dimana demi profit atau keuntungan lebih dibutuhkan banyak tenaga dengan upah rendah namun bekerja keras. Nah, di sini kapitalis mempunyai kepentingan terhadap calon tenaga baru (anak), untuk memastikan tenaga kerja baru cukup sehat dalam menjalankan roda ekonomi dan menyokong keuntungan pemodal berlimpah. Sehingga, kerja domestik atau kerja reproduksi sedemikian penting bagi para pemodal karena kerja reproduksi tidak mengeluarkan ongkos sama sekali dari kantong pemodal. Kerja reproduksi dilakukan secara gratis oleh kaum Ibu. Selain itu juga pemerintah maupun kapitalis tidak repot-repot memikirkan nasib anak.

Pengurangan jam kerja untuk semua pekerja
Adanya tulisan ini bukan berarti tidak senang ada pengurangan jam kerja, melainkan pengurangan jam kerja yang bias yang perlu diblejeti. Saya sepakat dengan pengurangan jam kerja, sebab perjuangan buruh erat kaitannya dengan perjuangan pengurangan jam kerja. Sejarah May Day atau Hari Buruh salah satunya adalah sejarah perjuangan pengurangan jam kerja dari belasan jam kerja menjadi delapan jam kerja.
Jam kerja itu merupakan salah satu komponen yang ditukar dengan upah oleh para buruh. Buruh bekerja adalah ia juga menjual waktunya selain juga tenaga dan pikiran. Waktu yang semestinya bisa saja digunakan untuk belajar, membaca buku, berdiskusi, berekreasi, memajukan kreatifitas, dan segala bentuk kebutuhan spirituil lainnya, tidak berlaku bagi para buruh. Dia tidak bisa memenuhi kebutuhan spiritual itu, karena waktunya dihabiskan untuk bekerja dengan upah yang minim. Semakin banyak jam dihabiskan untuk bekerja, semakin banyak hal yang tidak diketahui soal disekitar buruh karena terlalu lelah.
Bayangkan, buruh berangkat jam tujuh pagi, bahkan tidak sedikit yang jam lima subuh sudah melawan kemacetan, masuk pabrik dan bekerja 8 jam jika tidak lembur, pulang sore juga lama diperjalanan karena kemacetan setiap detik hususnya Jabodetabek, belum lagi jika ada lembur, buruh bisa pulang tengah malam. Sehingga, buruh hanya berangkat bekerja pagi dan pulang sudah kelelahan, maka istirahat untuk bangun kembali esok hari yang menjadi targetannya. Begitu waktu sangat berharga bagi buruh, mereka tukarkan dengan upah yang untuk biaya hidup satu bulan pun masih harus hutang tetangga. Untuk mendapatkan upah tinggi, dia harus menambah jam kerjanya agar dibayar lebih.
Padahal satu hasil produksi buruh sudah memberi keuntungan bagi pemilik modal. Namun, keuntungan hanya untuk para pemilik modal atau si bosnya saja. Mereka tidak akan memperdulikan betapa rendahnya upah yang didapat pekerjanya. Ini mengingatkan dengan harga sepatu di salah satu mall di Yogyakarta. Satu sepatu seharga kurang lebih 2.000.000, sebanding dengan gaji buruh satu bulan bekerja. Entah berapa keuntungan yang diambil pemodal. Dalam satu hari pun ribuan sepatu hasil kerja buruh mampu terjual. Dari sini, kita bisa melihat adanya eksploitasi pekerja. Hidup yang mestinya bisa lebih berkualitas, hasrat berpengetahuan, kebudayaan, bersosial dengan sekitar dirampas oleh pemodal,digunakan untuk membuat kaya segelintir orang.
Maka, gagasan yang baik apabila pengurangan jam kerja berlaku bagi seluruh buruh bukan hanya buruh perempuan. Ini untuk kepentingan kemanusiaan, agar manusia tidak menghabiskan waktu sampai mati untuk bekerja memenuhi kebutuhan materiil segelintir orang, melainkan ada kebutuhan spiritual yang terpenuhi.

Kenaikan Upah atau fasilitasi semua kebutuhan hidup.
Kita tidak boleh lupa bahwa pemerintah punya kewajiban terhadap kesejahteraan rakyatnya termasuk seorang anak. Mengulang dari apa yang dijelaskan di atas, pengurangan jam kerja untuk perempuan bukanlah solusi untuk mempertanggung jawabkan anak sebagai generasi bangsa. Mari kita tekankan lagi bahwa, tanggung jawab dalam pengasuhan anak sebagai generasi masa depan adalah tanggung jawab bersama. Maka, akan lebih baik jika Negara dalam hal ini pemerintah membuat fasilitas publik untuk anak. Seperti tempat penitipan anak murah, lebih baik gratis dan berkualitas, sekolah murah atau gratis dan berkualitas, makanan sehat bergizi bagi anak hingga subsidi untuk perempuan yang bekerja di ranah domestik.
Namun, melihat sistem negara adalah sistem yang dibawa oleh kapitalis untuk melegalkan penindasannya, kita tidak bisa mengharapkan Negara akan melakukan itu. Dan orang yang memegang kuasa atas negara adalah borjuis yang mana merupakan kaki tangan kapitalis.
Kita tidak bisa meminta kepada Jokowi-Jk untuk memenuhi fasilitas publik tersebut. Bukan pula meminta Prabowo menggantikan Jokowi hanya karena dia didukung oleh beerapa serikat buruh. Yang bisa kita lakukan adalah mengganti tatanan baru. Buruh dan perempuan maju turut dalam bagian dari kekuatan sosial yang potensial untuk melawan kapitalisme. Artinya persatuan kaum buruh begitu diperlukan, bukan untuk mendukung penguasa elit. Tapi, menggantikan mereka, merebut aset pekerja. Agara tidak ada lagi penindas dan yang tertindas. Itulah prospek terbaik untuk pembebasan. Bukan dengan mengharapkan, mencari atau menunggu seseorang untuk menyelamatkan anak, perempuan dan buruh. Melainkan dengan kekuatan persatuan tangan bersama kaum tertindas.

 *Anggota PEMBEBASAN Kolektif Kota Sleman

Referensi:


Referensi Gambar:
  • https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQNyJ0JM8eogNTFMWO_1MJrCQAkXcX0LSk3r8HPLpEYGvnN8ajhkA

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar