Nasionalisasi
Perusahan Asing Di bawah Cengkraman Militer.
Sejak
Indonesia merdeka, fungsi dan peranan perusahaan negara sudah menjadi
perdebatan di kalangan founding fathers, terutama pada kata
dikuasai oleh negara. Bung Karno menafsirkan bahwa karena kondisi perekonomian
masih lemah pasca kemerdekaan, maka Negara harus menguasai sebagian besar
bidang usaha yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi. Sedangkan, Bung Hatta
menentang pendapat ini dan memandang bahwa negara hanya cukup menguasai
perusahaan yang benar-benar menguasai kebutuhan pokok masyarakat seperti listrik
dan transportasi. Pandangan Hatta ini kemudian lebih sesuai dengan paham
ekonomi modern, dimana posisi Negara hanya cukup menyediakan infrastruktur yang
mendukung proses pembangunan.
Pasca kemerdekaan, Indonesia harus membangun ekonomi di tengah usaha para Negara imperaliasme menjajah kembali Indonesia. Perang dan pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah terus terjadi tanpa henti hingga Dekrit Presiden 1959. Pada awal tahun 1950-an, pendirian Negara dibatasi pada beberapa sektor vital yang sesuai Hattaconomic, namun pendirian perusahaan Negara masih tidak efektif karena adanya gangguan/guncangan keamanan dan politik. Dan di akhir tahun 1957, pemerintah mulai melakukan nasionalisasi hampir semua sektor yang sesuai dengan konsepsi Soekarno.
Namun, sebagian perusahaan yang dinasionalisasi oleh Pemerintahan Soekarno banyak merugikan negara karena Belanda sudah terlebih dahulu mengalihkan aset perusahaannya ke Belanda. Namun demikian, perusahaan vital dan strategis pada akhirnya menjadi jati diri bangsa. Dalam perkembangan sejarah nasionalisasi kebanyakan perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi oleh rakyat Indonesia pada tahun 1954 kemudian dikendalikan oleh elit militer (TNI-AD) dengan dalih militer (TNI-AD) sebagai stabilisator dan dinamisator negara.
Walaupun elit tentara membiarkan praktek korupsi tersebut, tetapi ada perwira yang kena tindakan tegas. Salah satu contoh yang mengemuka adalah Soeharto, selaku Komandan Kodam Jawa Tengah, Kolonel Soeharto yang pernah menimba ilmu di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), menggandeng Liem Sioe Liong dan Bob Hasan sebagai mitra bisnisnya. Kelak, kedua pengusaha ini menjadi salah satu konglomerat kroni Soeharto, ketika ia menjabat presiden. Begitu juga Kolonel Ibnu Sutowo yang diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Kepala Staf Umum. Beberapa Panglima juga digeser oleh Nasution. Dengan demikian mulailah sejarah baru kehidupan ekonomi Indonesia yang di bawah kontrol kekuatan elit militer.
Bisnis informal adalah bisnis militer yang tidak melibatkan militer sebagai institusi melainkan individu-individu pensiunan militer atau anggota yang sudah tidak aktif lagi. Namun demikian, bisnis informal ini sudah dirintis sejak pejabat militer dikaryakan di perusahaan swasta atau BUMN dan kemudian mengembangkan usaha mereka sendiri. Dalam kategori bisnis informal ini dapat dilihat pada sejumlah kelompok-kelompok usaha seperti Kelompok Usaha Nugra Santana (Letjen TNI Purn. Ibnu Sutowo), Kelompok Usaha Krama Yudha (Brigjen TNI Sjarnoebi Said).
Bentuk
ketiga, criminal economy. Biasanya berupa perlindungan yang diberikan oleh
anggota militer terhadap praktek bisnis gelap yang melanggar hukum. Misalnya
perdagangan narkotika, penyedia jasa tenaga demonstran atau beking perjudian.
Bisnis kelabu ini juga terwujud dalam bentuk permintaan sumbangan keamanan atau
tambahan uang servis apabila ada gejolak keamanan. Di daerah-daerah rawan
konflik, bisnis kelabu akan meningkatkan, tidak hanya anggaran militer tetapi
juga omset bisnis leveransir tentara.
Dari
ketiga bentuk bisnis militer di atas tidak memadai jika melakukan analisis
secara terpisah. Karena sesungguhnya, militer sendiri tidak membedakan apakah pengelola
bisnis tersebut militer yang masih aktif, pensiunan atau keluarga militer.
Militer juga tidak terlalu membedakan antara “oknum” atau kebijakan resmi
institusi. Contohnya, dalam bisnis kelabu seperti illegal logging yang dibeking oleh
anggota TNI. Sangat sulit bagi polisi atau penegak hukum untuk mengusutnya.
Ketiga bentuk bisnis tersebut sesungguhnya tidak terpisah satu dengan yang
lain. Ada kaitan di antara ketiganya, walaupun tidak pernah diakui secara
langsung.
- Tanggal 1
Desember 1999 yang dilakukan dengan Nota Dinas Dewan Pengurus YDPK
yang ditandatangani Letjen Djadja Suparman sebagai Komisaris
Utama PT Mandala Airlines. Surat ini pada intinya berisi peminjaman
deviden (advance deviden) sebanyak Rp 10 miliar untuk mendukung kebutuhan
kesejahteraan prajurit dalam menghadapi Natal dan Lebaran, serta untuk
operasional yayasan.
- Tanggal 1
Januari 2000, berdasarkan RUPS PT Mandala Airlines, dikeluarkan dana
sebesar Rp 61.000.000.000.
- Tanggal 29
Januari 2000, Letjen Djadja Suparman sebagai Panglima Kostrad yang
bertindak sebagai Komisaris Utama dan Pemegang Saham PT Mandala Airlines
mengeluarkan Surat Perintah Pengeluaran Dana untuk Kesejahteraan Prajurit
Kostrad sebesar Rp 89 miliar dari kas PT Mandala Airlines.
Kemudian ketika dilakukan audit oleh Kantor Akuntan Publik Drs. Herman Juwono, hasilnya adalah menolak memberikan pendapat (Disclaimer of Opinion). Secara umum, pendapat auditor dapat dibagi menjadi empat, yaitu laporan standar Wajar Tanpa Perkecualian (Unqualified Opinion), Wajar Dengan Perkecualian (Qualified Opinion), Tidak Wajar (Adverse Opinion) dan Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion). Dengan demikian, Disclaimer of Opinion adalah penilaian paling jelek karena tidak ada data yang memadai untuk dilakukan audit. Pendapat ini secara gamblang sebenarnya menggambarkan bahwa manajemen pengelolaan dana non budgeter (dana abadi dan dana komando) Kostrad dan YDPK sangat bobrok. Karena bobrok inilah maka kemungkinan korupsi sangat besar sekali terjadi.
Adapaun
tujuan mendirikan perusahaan negara dan nasionalisasi menurut Bung Karno adalah
untuk mendorong perekonomian nasional, terutama perusahaan Negara yang bergerak
dalam bidang infrastruktur. Sederatan perusahaan Belanda dinasionalisasi
seperti PT Kereta Api atau Djawatan Kerera Api (UU 71/1957, PT Pos (Djawatan
Pos), PT Garuda Indonesia Airways, dan di akhir pemerintah Soekarno sempat
mendirikan Perusahaan Negara (PN) Telekomunikasi. Dan beberapa pabrik-pabrik
perusahaan gula di pulau Jawa berhasil juga dinasionalisasikan.
Tujuan
utama penempatan perusahaan di bawah tentara adalah untuk mendapatkan dana.
Penyaluran tersebut dilakukan oleh tentara yang telah ditempatkan
di dalam perusahaan dan memberikan langsung ke institusi militer tanpa
melalui pemerintah. Dengan penguasaan perusahaan-perusahaan yang telah
dinasionalisasi tersebut, tentara berhasil mengurangi ketergantungannya kepada
anggaran belanja pemerintah pusat. Kongsi-kongsi dagang yang sangat
menguntungkan pemilik terdahulu, yaitu Belanda, kemudian menjadi sumber-sumber
pendapatan di bawah kontrol sejumlah perwira. Penempatan perwira ke dalam
perusahaan tersebut ternyata juga mendorong kebutuhan hidup mereka. Maka
korupsi pun dilakukan dengan mengambil sebagian uang yang seharusnya disetor
ke institusi militer.
Bisnis
Menggiurkan Militer Di masa Rezim Orde Baru.
Latar
belakang keterlibatan militer dalam bisnis pada era Orde Baru, disebabkan
karena alasan bahwa APBN kurang mencukupi kebutuhan dalam kemiliteran dan
mencukupi kebutuhan hidup dan adanya PP No.6 yang membatasi TNI untuk
berbisnis, sehingga alasan itulah yang menjadi landasan bagi mereka untuk
berbisnis. Keberadaan bisnis militer pada era Orde Baru sangat didukung oleh
kepemimpinan yang penuh kediktatoran sehingga dalam menjalankan bisnis walaupun
ada sanksi dipecat jika diketahui berbisnis, tetapi dalam berbisnis tetap
langgeng pada era Orde Baru. Hal itu tidak lepas dari peran serta pemimpin yang
berasal dari Angkatan Darat yaitu Presiden Soeharto. Penguasaan sepenuhnya
komoditi ekspor terpenting Indonesia yaitu minyak diserahkan kepada Mayor
Jenderal Ibnu Sutowo, sebuah badan baru (Badan Logistik Nasional/Bulog)
didirikan dan dikepalai oleh Brigadir Jenderal Achmad Tirtosudiro yang memegang
kuasa penuh atas perdagangan bahan mentah, sedang Brigadir Jenderal Suhardiman
menguasai perusahaan dagang raksasa, PT.Berdikari. Militer di bawah kekuasaan
rezim Soeharto lebih memprioritaskan mengelola berbagai macam bisnis mulai dari
bisnis koperasi sampai bisnis berupa yayasan.
Keberadaan
institusi militer Indonesia sejak awalnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan
bisnis militer itu sendiri, terutama mengingat militer pada masa perang
kemerdekaan memiliki kemampuan mencari dan mengelola pendanaan sendiri dengan
peran gandanya sebagai kekuatan militer sekaligus kekuatan sosial politik.
Meskipun kemudian diberlakukan kebijakan penetapan Anggaran Militer sebagai
bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sayangnya bisnis
militer tidak berhenti dengan sendirinya. Argumen minimnya alokasi dana dari
Negara dan adanya peran ganda (dwi fungsi) tentara dijadikan dalih untuk
mengesahkan praktek-praktek bisnis militer tersebut. Praktek-praktek bisnis
militer adalah buah keterlibatan mereka dalam politik, dimana keterlibatan ini
secara langsung membuka akses mereka terhadap sumber-sumber keuntungan
finansial.
Para
peneliti LIPI mengklasifikasikan bisnis militer ke dalam dua bagian
utama, yaitu bisnis institusional atau formal dan non institusional atau
informal. Tetapi, masih ada satu lagi bisnis yang tidak banyak dibicarakan,
apalagi diakui keberadaannya oleh militer, yaitu criminal economy.
Bisnis formal
adalah kategori untuk bisnis yang melibatkan TNI secara kelembagaan
dalam bisnis. Contohnya adalah bisnis militer dengan bentuk yayasan. Susunan
pengurus yayasan mengikuti struktur komando. Dengan demikian, bisnis ini
dimiliki oleh institusi militer, khususnya kesatuan atau markas yang
bersangkutan. Bisnis dalam bentuk yayasan tidak hanya dijalankan di tingkat
kesatuan atau di tingkat Markas Besar. Pada
hirarki militer di bawahnya,
seperti KODAM, juga memiliki yayasan sendiri. Bentuk lain
dari bisnis formal adalah koperasi. Koperasi di lingkungan militer juga
mengikuti struktur komando. Di tingkat markas besar (mabes), koperasi
menggunakan nama Induk. Sedangkan di tingkat Kodam, koperasi menggunakan nama
Pusat dan di tingkat Korem atau Kodim, digunakan nama Primer.
Praktek Korup Bisnis Militer : Kasus Yayasan Dharma Putra
Kostrad.
Salah
satu contoh menarik untuk melihat praktek bisnis militer dari dekat adalah
dugaan skandal korupsi yang terjadi di tubuh Kostrad. Kasus ini muncul ke
permukaan setelah Agus Wirahadikusuma menjabat sebagai Panglima KOSTRAD. Untuk
membenahi KOSTRAD, Agus memerintahkan audit terhadap Yayasan Dharma Putra
Kostrad. Ketika audit tersebut sedang dilaksanakan, pada tanggal 21 Juni 2000,
Pangkostrad mendapat laporan dari Direksi PT Mandala Airlines bahwa telah
terjadi penarikan dana dari PT Mandala Airlines, salah satu perusahaan
yang dimiliki YDPK, oleh Letjen Djadja Suparman. Dana sebesar Rp. 160 miliar
ditarik tiga kali, yaitu:
Ada
keanehan dari dua penarikan tersebut. Yaitu penarikan pertama 1 Desember 1999
dilakukan Letjen Djadja Suparman atas nama Dewan Pengurus YDPK mencairkan
dividen dibayar di muka (advance deviden). Kemudian pada penarikan 29 Januari
2000 dilakukan atas nama Letjen Djadja Suparman sebagai Panglima Kostrad yang
bertindak sebagai Komisaris Utama dan Pemegang Saham PT Mandala Airlines
mencairkan dana kas PT Mandala Airlines. Dari jumlah Rp 160 miliar,
menurut laporan Kepala Kuangan (Kaku) Kostrad sebesar Rp 25
miliar dikembalikan ke PT Mandala Airlines pada tanggal 16 Juni
2000. Dengan demikian, dana yang ditarik Letjen Djadja Suparman sebesar Rp
135 miliar.
Setelah
perintah tersebut, Kaku dan Aslog Kostrad membuat lagi laporan pertanggung
jawaban dana Rp 135 miliar tersebut sekali lagi. Hasilnya adalah Laporan
Penggunaan Dana Komando Bidang Logistik dan Keuangan tertanggal 29 Juni 2000.
Dari laporan tersebut diatas dapat dilihat berbagai kejanggalan dalam pelaporan
dan penggunaan dana YDPK.
Sayangnya reformasi
internal yang digulirkan oleh Agus Wirahadikusuma tidak bersambut. Bahkan Agus
yang akhirnya terdepak dari Kostrad. Sementara Letjen Djadja Suparman
sebaliknya mendapatkan dukungan dari institusi militer. Audit internal yang
dilakukan oleh Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan menyatakan bahwa yang
terjadi adalah kesalahan prosedur, bukan korupsi. Hal ini bisa dilihat sebagai
resistensi militer terhadap tuntutan masyarakat.
Demikianlah
sejengkal cerita tentang Bisnis Militer di dalam Negara yang begitu banyak
mengandung sember daya alamnya dalam perut bumi yang kita huni sekarang dikuras
habis oleh para elit Militer.
Pena: Che Gove. ( Saat ini sedang melanjutkan pasca
sarjana Di UMBY Yogyakarta, dan menjadi kader aktif di Pembebasan. keinginannya
saat ini, ingin mendapatkan kekasih yang setia).
Daftar Rujukan:
- Malcolm
Caldwell & Ernst Utrecht. Sejarah Alternatif
Indonesia. Djaman Baroe dan Sajogyo Institute. Yogyakarta
- http://www.academia.edu/6991941/Bisnis_Militer_Mencari_Legitimasi
- http://bangdikoy.wordpress.com/2013/08/21/konsepsi-bisnis-militer-di-indonesia/
- http://eprints.uns.ac.id/4022/1/169672309201010501.pdf
- http://www.kontras.org/buku/Laporan_utama.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar