Sayang!
Teman hidupku.
Hangat
pagi ingatkanku dengan senyum simpulmu,
di
balik jerami, sinar mentari menghiasi wajahmu,
ah!
Sungguh indah dirimu,
aku
jadi rindu kembali ke desa.
Jum
apa yang sedang kau lakukan?
Saat
sawah gagal panen suami mu ini tak digaji?
Sisa
minyak goreng, kau gunakan berulang-ulang?
Nasi
aking kau remah jadi santapan pagi?
Demi
aku, kau bertahan dari kemiskinan.
Lima
bulan aku tak mengirim uang dari kota.
Gajiku
dirampas!
Kuharap
kau tetap sabar di balik jerami,
berpuluh-puluh
kali aku ke pengadilan,
menuntut!
Di balas dengan wajah kerut!
Sabar
Jum, aku rindu kau dan desa.
Jum
kau masih ingat seorang laki-laki berbadan besar yang datang ke desa kita
dahulu?
Perawakannya
tegap, kata orang dia berani, yah! berani membunuh yang tak sepaham dengannya,
dia
itu bos ku Jum!
Bos
yang membiarkan kami mengemis meminta jeri payah sendiri!
Berbulan-bulan
kami tak digaji Jum,
aku
lihat dia dari TV tetangga, melampirkan senyum, menyembunyikan beringasnya
dengan berkata lantang:
"Ayo
bergabung bersama kami, kalau tak sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa
lagi"
Dia
katakan sambil menyembunyikan tangannya yang belumuran darah dari leher burung
Garuda lambang Partainya!
Itu
lah bos ku Jum, yang membuatmu makan nasi aking!
Itu
lah bos ku Jum yang membuatku, menghacurkan batu rindu untukmu.
Jum
aku harap kau mengerti!
Ini
tahun Pemilu, para beringas melapis wajahnya dengan Peci dan songkok.
Hati-hati!
jangan kau tertipu Jum!
Jika
Bos ku berkuasa Jum.
Kau
tau apa yang terjadi?
Mungkin!
Desa tempatmu menungguku, semakin jauh dari ratapanku.
Jika
Bosku berkuasa. Menuntut Sama Saja Mati!.
Hati-hati
Jum, jangan pilih siapapun di antara mereka,
Siapapun dari mereka
menang! Tangannya terus belumuran DARAH!
Pena: Ziwenk (Petani Kebun Bunga dan Kader PEMBEBASAN Kolektif DIY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar