Oleh : Barra Pravda ( PEMBEBASAN Kolektif Nasional : Dept.Pendidikan dan Bacaan ).
Hukum
adalah produk system (corak produksi). Tidak hanya hukum, namun segalanya
tentang social, budaya, ekonomi, dan politik adalah produk system. Maka, hukum
dalam bentuknya dalam UU adalah juga produk system yang dibuat lewat mekanisme
birokrasi negara: kekuasaan politik.
Produksi
kapitalisme dibangun untuk menumpuki kekayaan si kapitalis. Syarat
pelipat-gandaan keuntungan adalah: produksi yang lancar. Pelipat-gandaan
keuntungan tadi secara politik memiliki syarat: stabilitas politik. Dan, secara
ekonomi memiliki syarat efisiensi.
Apalagi
sekarang kapitalisme sedang krisis. Sejak tahun 2008 lalu, arsitektur keuangan
internasional dirubah oleh pakar ekonom borjuis. Demi penyelamatan kapitalisme
dari krisis, dilakukan 2 hal: efisiensi dan baillout.
Efisiensi
:
- Memangkas upah.
- Memangkas
jamsostek.
- Outsourching (diatur
UU).
- Kontrak.
- Di beberapa kasus,
lembur tak dibayar.
- Pemberangusan serikat.
Baillout
:
- Negara Membantu
orang-orang kaya yang bangkrut.
Stabilitas
Politik (Demokrasi).
Diperlukan
kapitalis dan rezim antek kapitalis untuk menciptakan suasana investasi yang
kondusif agar tidak mengganggu jalannya produksi demi akumulasi keuntungan.
Konsekuensi praktiknya adalah :
- Dibuatnya UU anti
demokrasi.
- Dibuatnya UU yang
ramah investasi.
- Dibuatnya UU yang bisa
menghemat ongkos produksi (UU no. 13, permen 18, kepres no 9 soal
pembatasan kenaikan upah thn 2013.
- Dan
aturan-aturan/kesepakatan perdagangan bilateral (AFTA, ACFTA, IJEPA, G20,
WTO).
Hukum:
Substansi Filsafat dan Teori.
Konsep
umum: struktur dasar (bawah) dan struktur atas (base-superstructure) yang ini
sudah kita diskusikan. Pendekatan ini meletakkan hukum pada struktur atas, dan
struktur atas ini merefleksikan apa yang menjadi struktur dasarnya, yaitu
hubungan produksi kebutuhan material.
Konsep
base-superstruktur mendeskripsikan masyarakat yang ada di dunia ini terbagi ke
dalam 2 bagian, yaitu: struktur dasar (bawah, base-structure) dan struktur atas
(super-structure). Dalam pembagian seperti itu, faktor ekonomi diletakkan pada
struktur dasar (tentang bagaimana manusia memenuhi kebutuhan ekonominya),
sedangkan hal-hal lainnya, seperti sistem sosial, hukum, politik, budaya
(termasuk agama), seni, dan ilmu pengetahuan diletakkan pada struktur atas.
Segala proses yang terjadi pada struktur atas akan dipengaruhi oleh struktur
dasar (hub produksi kehidupan material). Kata marx, “[adalah] cara produksi
kehidupan material (yang) mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan
spiritual pada umumnya.”
Konsep
base-superstructure memiliki akar pada teori materialisme historis dari marx,
yaitu bahwa: “semua gerakan politik, sosial, intelektual, dan etis dalam
sejarah dideterminasi oleh cara-cara dengan apa masyarakat mengorganisasi
lembaga-lembaga sosial mereka dalam hal melaksanakan aktivitas-aktivitas
produksi, pertukaran, distribusi, dan konsumsi barang-barang. Setiap
perkembangan historis penting pada dasarnya merupakan hasil perubahan-perubahan
dalam cara bagaimana salah satu di antara aktivitas-aktivitas ekonomis tersebut
dilaksanakan. Hal tersebut pada pokoknya merupakan penafsiran sejarah secara
ekonomis.”
Kaum
marxis melihat bahwa teori hukum sebagai sebuah permasalahan historis. Hal itu
berarti, bahwa: pertama, pemahaman terhadap
bentuk-bentuk hukum borjuis memerlukan sebuah pendekatan historis, karena hukum
adalah hasil dari suatu tahap tertentu dari perkembangan masyarakat. Kedua, kaum
marxis melihat tugas dari teori marxis tentang hukum adalah untuk
memperlihatkan (dalam praktik) keadaan alamiah yang bersifat sementara dari
hukum. Maka, seiring dengan lenyapnya negara (dalam masyarakat sosialis tahap
lanjut,) keberadaan hukum tidak lain adalah bertransformasi menjadi bentuk baru
berupa aturan-aturan berbasis kesepakatan dewan komunal.
Hukum
Demi Kepentingan Komoditas.
Masyarakat
paling aneh sepanjang sejarah adalah kapitalis. Segalanya tentang hal-ikhwal
dijadikannya komoditas.
Para
marxian meyakini bahwa hukum lahir (muncul) karena adanya kebutuhan komoditas
dari proses produksi. Semua bentuk hukum diarahkan untuk menopang
(memperlancar) proses pertukaran komoditas yang terjadi di antara subjek-subjek
yang bertindak sebagai 'pengawal' dari komoditas tsb. Pertukaran komoditas,
dari perspektif (materialisme) historis, mendahului sistem hukum yang terbentuk
darinya. Hanya dengan perkembangan yang maksimal dari suatu proses produksi
komoditas, maka akan terbuka pula kemungkinan bagi perkembangan bentuk-bentuk
hukum. Produksi komoditas berkembang melalui perdagangan (sesuai aturan-aturan
dominan kekuasaan dalam tiap-tiap zamannya,) dan hukum tumbuh berkembang
sebagaimana proses produksi dan pertukaran komoditas mengembangkan dirinya.
Ada
dua teori yang mendasari hukum dalam masyarakat sosialis, yaitu:
Keseluruhan
hubungan-hubungan dari produksi membangun struktur ekonomi masyarakat, dasar
yang sebenarnya, yang di atasnya timbul supra-struktur hukum dan politik, dan
dengan mana bentuk-bentuk kesadaran sosial menyesuaikan diri. Bahwa seluruh
cita hukum berkaitan dengan negara dan karena itu merupakan sarana dengan mana
mereka yang mengawasi alat-alat produksi tetap mengawasi mereka yang dicabut
hak miliknya. Dengan berpindahnya pemilikan alat-alat produksi ke tangan
masyarakat, individu akan dilibatkan, seperti halnya negara dan hukum, yang
dibenarkan hanya oleh kebutuhan dengan paksaan.
Hukum
dalam pandangan 3 sosiolog utama:
- Merupakan himpunan
moralitas & wahana utk mencapai cita-cita sosial (durkheim). Masa itu
hukum dianggap satu-satunya perekat sosial.
- Hukum sebagai alat
paksa pemegang kekuasaan, dipengaruhi oleh kepentingan ideal, material,
dan kepentingan kelompok-kelompok dalam masyarakat sehingga menjadi
struktur sosial (weber).
- Masyarakat selalu
berubah, keberadaan hukum harus mengabdi kepada kepentingan rakyat untuk
menekan kaum borjuis (karl marx).
Kenapa
penting mempelajari atau mengetahui tema hukum dalam lingkup pemikiran marxis?
Apalagi bagi kaum pemuda-mahasiswa marxist yang belajar di fakultas hukum dalam
sekolah-sekolah borjuis.
Alasan
pertama adalah:
- Untuk memperluas atau
memperkaya pemahaman mengenai teori hukum itu sendiri.
- Agar jangan jatuh pada
kecenderungan dalam kegiatan (proses) pembelajaran ilmu hukum, bahwa
masalah hukum itu dilihat dari sudut pandang yang legal positivisme, hukum
dilihat sebagai sesuatu yang bebas nilai atau tidak terkait sama sekali
dengan faktor sosial dan kepentingan politik.
- Kritikus hukum
borjuis: satjipto rahardjo dengan “hukum progresif” dan roberto unger
& duncan kennedy dengan critical legal studies-nya (cls).
Muatan
kritiknya adalah, hukum tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang ada di dalam
masyarakat, seperti:
a.
Faktor nilai.
b.
Moral.
c.
Etika.
d.
Ekonomi.
e.
Politik.
Catatan-catatan:
-
Perlu dipahami, bahwa cls memiliki akar pemikiran pada tradisi kritis yang
dikembangkan oleh para neomarxis.
Alasan
ke dua adalah:
- Untuk memberikan
alternatif pisau analisis dalam memahami fenomena ketidakberdayaan hukum
dalam memberikan rasa keadilan di masyarakat. Satjipto menyebutkan bahwa
telah terjadi proses bekerjanya hukum yang justru “kontra-produktif.”
Satjipto bahkan juga menyebutkan bahwa hukum yang membawa panji-panji
keteraturan dan ketertiban, misalnya, ternyata dapat menimbulkan suasana
yang sebaliknya. Ia tidak hanya bersifat ordegenik, melainkan juga
kriminogenik.
- Keadaan hukum seperti
tersebut di atas tidak dapat dipecahkan apabila hanya bersandar pada
analisis hukum yang positivis (positivisme hukum). Positivisme hukum
menghendaki dilepasnya unsur nilai, moral, etika, sosial, dan politik dari
sistem hukum.
- Positivisme hukum juga
melihat hukum semata-mata dalam bentuk formalnya.
- Maka kemudian yang
terjadi adalah reduksi terhadap proses hukum, yaitu semata-mata hanya
sebagai “proses peraturan."
- Positivisme hukum akan
menjawab masalah kemacetan hukum dalam menciptakan keadilan dengan kembali
melakukan proses pembentukan peraturan yang baru. “banjir” peraturanpun
akhirnya terjadi, tidak peduli apakah peraturan-peraturan itu akan efektif
di masyarakat atau tidak.
Evgeny
Pashukanis.
Pashukanis
melihat teori hukum sebagai sebuah permasalahan (pertanyaan) historis. Hal itu
berarti, bahwa: pertama, pemahaman terhadap bentuk-bentuk hukum
borjuis memerlukan sebuah pendekatan historis, karena hukum adalah hasil dari
suatu tahap tertentu dari perkembangan masyarakat. Dan kedua,
pashukanis melihat tugas dari teori marxis tentang hukum adalah untuk
memperlihatkan (mendemostrasikan) keadaan alamiah yang bersifat sementara dari
hukum.
Teori
hukum dari pashukanis, yaitu yang dikenal dengan “teori pertukaran komoditas
(the commodity-exchange theory):"
- Melihat kontrak
(perjanjian) sebagai dasar dari semua bentuk hukum yang ada (contract as
the foundation of all law.)
- Hukum lahir (timbul)
karena adanya kebutuhan akan komoditas dari proses produksi.
- Semua bentuk hukum
diarahkan untuk mendukung (memperlancar) proses pertukaran komoditas yang
terjadi di antara subjek-subjek yang bertindak sebagai “penjaga” dari
komoditas tadi.
Menurut
pashukanis, pertukaran komoditas, dari perspektif historis, mendahului sistem
hukum yang terbentuk darinya. Hanya dengan perkembangan yang maksimal dari
suatu proses produksi komoditas, maka akan terbuka pula kemungkinan bagi
perkembangan bentuk-bentuk hukum. Produksi komoditas berkembang melalui
perdagangan, dan hukum tumbuh berkembang sebagaimana perdagangan tadi mengalami
peningkatan.
Dengan
terus berkembangnya pertukaran komoditas tersebut, kemungkinan timbulnya
sengketa akan semakin besar pula, dan sebuah sistem hukum haruslah hadir untuk
mengatasi sengketa tadi.
Salam
Juang, terus berkobar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar