(*keterangan gambar : Karya Kawan Marsya, anggota Pembebasan UIN yogyakarta) |
“Kami tak menduga tanah yang selama ini kami rawat, tempat yang
kami bangun perkampungan di pinggir pantai, hingga sampai menjadi tempat wisata
unggulan di Yogyakarta akan terancam digusur oleh negara karena masuknya modal
60 triliun dari investor Jepang untuk membangun mega proyek wisata Bali
dua di kawasan tempat kami tinggal membangun peradaban, tak akan kami biarkan
mereka merebut jerih payah kami puluhan tahun, untuk diambil begitu saja, nyawa
menjadi taruhan kami untuk mempertahankan tanah kami, karena kami warga
Parangkusumo.”
(komentar salah seorang warga Parangkusumo tentang posisi mereka
terhadap ancaman penggusuran yang setiap harinya menghantui mereka).
Parangkusumo,
sebuah perkampungan kecil yang terletak di pesisir selatan Yogyakarta, sebelum
warga mendiami kawasan tersebut tak ada yang terlihat istimewa. Kawasan yang
sekarang menjadi nama Parangkusumo itu tanahnya gersang tak terawat, sepi
senyap tak berpenghuni, hanya garapan pertanian daun lontar yang tumbuh di tepi
pantai. Saat ini Parangkusumo sudah berubah menjadi objek wisata unggulan
di Yogyakarta, hasil dari kerja keras warga membangun perkampungan wisata di
desa tersebut hingga tradisi ritual yang menjadi kepercayaan warga setempat,
banyak menyedot perhatian wisatawan manca negara maupun wisatawan dalam negeri.
Selain menjaga tradisi, warga Parangkusumo juga perlahan-lahan bangkit
membangun ekonominya secara mandiri. Ada yang berjualan baju bergambar pantai
Parangkusumo dengan eksotismenya yang menawan, menjual makanan ciri khas daerah
setempat, mengadakan tempat hiburan karaoke dan berbagai jenis kegiatan ekonomi
lainnya sebagai penopang ekonomi warga sekaligus peningkat daya tarik
pengunjung untuk datang sembari menikmati keindahan pantai dan perkampungan di
kawasan tersebut.
Sekilas
Sejarah.
Dahulu
sebelum nusantara merdeka dari penjajahan kolonial, Parangkusumo menjadi
wilayah kerajaan mataram yang dipimpin oleh Kesultanan Yogyakarta, setelah
kemerdekaan Republik Indonesia, Kesultanan Yogyakarta –tepatnya pada tanggal 5
september 1945- menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia, namun status
Parangkusumo masih menjadi kawasan milik raja dan wakilnya dengan sebutan SG
(Sultan Ground) PAG (Paku Alaman Ground) yang berarti: status tanah di kawasan
Parangkusumo ada dibawah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Pada tanggal 7 maret
1950, setelah RIS (Republik Indonesia Serikat) berubah menjadi negara kesatuan,
wilayah Yogyakarta kemudian menjadi daerah setingkat propinsi dengan sebutan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tertuang dalam UUD No. 3 tahun 1950 junto
serta UUD No. 19 tahun 1950 sebagai landasan konstitusi tertingginya.
Pada
masa kepemimpinan presiden Soekarno, cukup besar kekuatan rakyat yang mendukung
gerakan menuntut kesejahteraan serta pembagian tanah, di bawah kontrol rakyat
secara langsung hingga melahirkan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) pada tahun
1960. UUPA yang lahir sebagai hasil dari desakan rakyat kala itu, melegalkan
pembagian atas tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk dibagikan secara adil dan merata kepada rakyat indonesia tidak terkecuali
warga Parangkusumo yang telah menempati daerah tersebut.
Situasi
politik yang masif ditingkat nasional turut pula mempengaruhi situasi politik
di wilayah Yogyakarta yang ditunjukan dengan pelaksanaan UUPA yang telah
disahkan itu. Mengenai status tanah di wilayah Yogyakarta,
sebelumnya sudah ada Peraturan Daerah (Perda) No. 5 tahun 1954 tentang agraria
di DIY (pasal 10) yang isinya juga menjadi rekomendasi UUPA untuk membagikan
tanah kepada rakyat di wilayah propinsi DIY, dengan adanya desakan rakyat di
Yogyakarta akhirnya Sultan Hamengkubuwono (HB) IX kala itu menyetujui UUPA dan
berkeinginan untuk melaksanakanya.
Sebagai
bentuk komitmen dari pemberlakuan UUPA tersebut, Pemerintah DIY kemudian
mengeluarkan Perda pada tanggal 1 april 1984 untuk menegaskan pelaksanaan UUPA
no 5 di wilayah DIY. Kemudian pada tanggal 9 mei 1984 keluar pula
Keppres (Keputusan Presiden) No. 33 tahun 1984 dan berlaku surat sejak 1 april
1984. Selanjutnya pada tanggal 22 september 1984 keluar lagi perda no 3 oleh
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai konsekuensi pelaksanaan Keppres
no 33 tahun 1984 pasal 3 tersebut. Dengan diberlakukannya peraturan daerah ini,
maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur
tentang agraria tak berlaku lagi. Dengan kata lain, sejak berlakunya UUPA tersebut,
status tanah SG maupun PAG di wilayah DIY sudah tak berlaku lagi.
Berdasarkan
fakta sejarah itu, jelas bahwa warga Parangkusumo mempunyai hak mutlak atas
tanah yang hari ini akan diklaim kembali sebagai SG dan PAG oleh penguasa di
DIY. Seharusnya tak ada dalih apapun yang bisa menggusur rakyat di
Parangkusumo, dengan demikian, tepat sudah rakyat melawan segala bentuk
intimidasi yang dibaliknya tersimpan niat mengusir rakyat dari kampung yang
mereka bangun.
Usaha Pemerintah Menggusur Warga.
Pemerintah
yang dijadikan boneka kapitalis penindas rakyat, tak pernah berhenti
melancarkan penindasan, khususnya di Parangkusumo, mulai intimidasi kepada
warga dan memberi iming-iming kontrakan kios, sampai melakukan tindakan
kekerasan dengan menggunakan kelompok sipil reaksioner (baca: preman) untuk
menakut-nakuti rakyat agar minggat (pergi) dari rumah dan tanah yang mereka
tinggali. Mungkin pemerintah DIY sangat tergiur dengan besaran nilai Rp. 60
triliun yang ditawarkan investor Jepang untuk membangun mega proyek Bali dua di
kawasan Parangkusumo. Keinginan pemerintah daerah terlihat jelas dengan
dikeluarkannya regulasi anti rakyat yang berlandaskan moral, namun membiarkan
rakyat tergusur dan hidup miskin.
Sejak
tahun 2006, pemerintah daerah telah melakukan penggusuran atas rumah dan tempat
usaha warga Parangkusumo dengan dalih penataan kawasan pantai. Warga
Parangkusumo dengan lantang menolak penggusuran tersebut karena ganti rugi yang
diberikan pemerintah sangat tidak layak. Nilai ganti rugi yang diberikan
pemerintah hanya Rp. 1 juta sebagai pengganti bangunan rumah warga, sementara
tanah yang sudah lama mereka tempati tak ada ganti ruginya, padahal tanah di
kawasan tersebut sudah lama ditinggali dan dikelola sedemikian rupa hingga
menjadi kawasan wisata juga turut memberi pemasukan devisa bagi pemerintah
pusat dan daerah. Warga yang menempati tanah di kawasan tersebut tidaklah
‘gratisan,’ mereka membayar kepada pihak yang menguasai lahan dengan bukti
kwitansi yang sah. Dinyatakan sudah sah sebagai bukti menempati tanah oleh
warga setempat, namun pemerintah tak pernah menghiraukan hak warga,
malah sebaliknya mereka mengintimidasi warga Parangkusumo dan menyebut mereka
warga liar.
Pemerintah
menganggap warga Parangkusumo bukan penduduk asli Yogyakarta sehingga tidak
mempunyai hak atas tanah di Yogyakarta. Sungguh yang di lakukan pemerintah
sangat bertentangan dengan dasar negara Republik Indonesia, maka tak salah bila
perlawanan menjadi pilihan yang dilakukan rakyat Parangkusumo.
Setelah
beberapa kali pemerintah mengirim surat penggusuran dan tak ditanggapi oleh
warga, Pemerintah Kabupaten Bantul dengan topeng busuk memberi iming-iming pada
warga sebuah kios bagi warga yang bersedia digusur, iming-iming tersebut
sempat membuat konflik ditengah warga, sebab pemerintah dalam memberikan
iming-iming masih ada diskriminasi, bagi warga yang tidak memiliki KTP DIY
tidak mendapatkan kios yang ditawarkan. Padahal dari dulu sampai sekarang,
pemerintah tidak memberikan hak sebagian besar warga Parangkusumo untuk
mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang seharusnya semua orang berhak
mendapatkannya tanpa melihat latar belakang kehidupannya.
Dalam
perjalanan penerapan ganti rugi dengan kios ternyata tidak menguntungkan bagi
warga, mereka kembali ditipu oleh pemerintah, kios seperti yang dijanjikan
ternyata tidak diberikan kepada seluruh warga yang berhasil digusur. Lebih
kejamnya lagi, sekarang warga yang menempati kios tersebut dipaksa membayar
uang sewa kios, padahal sebelumnya pemerintah menjanjikan kios tersebut dapat
dimiliki oleh warga tanpa embel-embel uang, sungguh gila negara ini.
Tidak
hanya tipu muslihat yang dilakukan oleh pemerintah, kekerasan juga dilancarkan
demi melasanakan kepentingan kapitalis (pemodal asing) di atas penderitaan
rakyat, terbukti dengan adanya peristiwa perusakan posko perlawanan warga
Parangkusumo yang di lakukan oleh satgas PDIP (Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan) beberapa tahun silam. Organisasi pemuda partai yang berkuasa di
Kabupaten Bantul itu menyerang posko tanpa alasan yang jelas, sebuah bukti
konkrit bahwa parpol dan pemerintah hari ini akan menjalankan apapun demi
kepentingan kapitalis. Warga pun tak tinggal diam, mereka melaporkan penyerangan
tersebut kepada pihak kepolisian, namun lagi-lagi upaya warga menuntut keadilan
tak pernah dihiraukan, sampai saat ini kasus penyerangan tersebut ‘ngambang’
tak karuan. Kondisi itu menjadi pelajaran juga bagi kita, bahwa polisi dan
hukum di Indonesia menjadi bagian dari setan penindas, maka diam bukan sebuah
pilihan.!
Setelah
sekian lama pemerintah bersusah payah ingin menggusur warga, namun tak
berhasil, akhirnya pemerintah mengeluarkan regulasi anti rakyat untuk mengusir
rakyat pelan-pelan dari rumah yang mereka bangun, itu terbukti dengan
dikeluarkanya keputusan pemerintah berbentuk PERDA PROSTITUSI KABUPATEN
BANTUL NO. 05 TAHUN 2007 yang berisikan pelarangan prostitusi. Perda
itulah yang sekarang digunakan sebagai alasan utama pemerintah menggusur rakyat.
Pemerintah dengan wajah –seolah– malaikat, mengatakan prostitusi terjadi karena
pelaku tidak memiliki moral dan tidak menjalankan ajaran agamanya, sementara
pemerintah tidak melihat dari sisi lain terjadinya prostitusi, karena bisa saja
kemunculannya akibat dari kemiskinan yang mereka derita akibat
lapangan pekerjaan yang sempit. Seharusnya persoalan kemiskinan menjadi
tanggung jawab pemerintah karena itu sudah tertuang dalam UUD yang menjadi
konstitusi negara kita.
Kenyataan tak bisa dipungkiri, bahwa PSK di kawasan Parangkusumo sangat banyak membantu perkembangan ekonomi warga disana ditengah himpitan ekonomi dan maraknya korupsi dikalangan pejabat negeri ini, sehingga upaya pemerintah mengeluarkan Perda prostitusi tersebut sebetulnya bukan karena pemerintah mempunyai moral yang baik, melainkan mereka hanya mematikan ekonomi warga Parangkusumo agar meninggalkan kawasan yang akan menjadi lahan eksploitasi modal asing. Patut dibanggakan bahwa sampai saat ini warga Parangkusumo tetap melawan untuk bertahan dari ancaman penggusuran.
Upaya
pemerintah untuk menggusur warga Parangkusumo terus berlanjut, baru-baru ini
terjadi penutupan paksa tempat karaoke. Tempat karaoke selama ini diakui warga
setempat juga turut memberi kontribusi bagi meningkatnya perekonomian warga
dari berjualan klontongan, angkringan serta jenis usaha lainnya. Aksi penutupan
oleh pemerintah itu dibarengi dengan penyitaan barang-barang (peralatan)
karaoke dengan alasan tak mempunyai ijin dan menjadi tempat penjualan minuman
keras terselubung. Suatu tuduhan yang tidak mendasar, sebab bukan warga yang
tak mau ijin atau pun membayar pajak untuk usaha karaokenya, tetapi pemerintah
yang menutup jalan untuk pengurusan legalitas/ perijinan usaha dan tempat
tinggal dikawasan tersebut. Suatu indikasi terkait upaya penguasa untuk
melemahkan basis ekonomi warga Parangkusumo bersama ARMP (Aliansi Rakyat
Menolak Penggusuran) agar tidak lagi melakukan protes terhadap
kesewenang-wenangan penguasa korup di Kabupaten Bantul.
Adanya
peristiwa penutupan karaoke tersebut, merupakan siasat pemerintah serta pemilik
modal asing dalam memukul dan melemahkan gerakan rakyat yang masih bertahan
selama bertahun-tahun memperjuangkan hak hidupnya yang terampas. Aset ekonomi
warga yang selama ini menjadi sumber kehidupan keluarga dan kelangsungan
gerakan perjuanganya mulai disasar untuk dihancurkan, sebab iming-iming yang
mereka berikan dan serangkaian tindak kekerasan yang dilancarkan, serta
regulasi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat tertindas tidak berhasil
menggusur dan memadamkan gelora perlawanan untuk menuntut keadilan.
Pada akhirnya, kenyataan hari ini dapat kita lihat bahwa eskalasi perlawanan warga kembali meningkat, sebab penutupan paksa dan penyitaan alat-alat karaoke (baca: perampokan) telah berpengaruh terhadap matinya sumber ekonomi warga lainnya. Saat ini warga seperti jatuh ditimpa tangga, bertahun-tahun dapat ancaman digusur, sekarang tak bisa mencari makan di atas tanah-air negerinya sendiri, tragis bukan.?
Perlawanan Apa yang Dilakukan Warga Parang Kusumo?
Sudah
banyak upaya yang dilakukan warga Parangkusumo untuk mempertahankan tanah yang
sudah sejak lama mereka huni, mulai penolakan lewat jalur litigasi dengan
meminta bantuan hukum kepada LBH (Lembaga Bantuan Hukum), sampai pada jalur
aksi massa untuk menolak kebijakan pemerintah, uniknya warga Parangkusumo tak
hanya melakukan perlawan seperti itu, namun mereka juga melakukan
perlawanan melalui ritual “tolak bala” yang disebut dengan ‘labuhan.’
Perlawanan
dengan cara ritual yang dilakukan oleh warga Parangkusumo dalam bentuk upacara
‘labuhan’ sudah dilakukan sejak lama oleh warga Parangkusumo sebagai penolakan
bala. Labuhan itu sendiri berbentuk acara ritual yang dipimpin oleh sesepuh
kampung dengan membawa sesajen berupa ayam dan hasil pertanian untuk diberikan
kepada penguasa ghoib pantai selatan, warga juga selalu membawa foto Sultan
maupun presiden SBY untuk ditenggelamkan ke lautan samudra sebagai perwujudan
‘membuang sial.’ Pernah suatu kali saya bertanya kepada salah satu warga yang
mengikuti ritual, saya tanyakan pada warga tersebut: apa maksudnya melarung
foto Sri Sultan HB X dan SBY ke lautan? warga tersebut menjawab sambil
tersenyum, dikatakan bahwa: “melarung foto itu sebagai wujud permintaan warga
kepada penguasa ghoib untuk menghukum kedua pemimpin dalam foto itu, karena
mereka sudah melakukan perbuatan keji di muka bumi ini.” Manfaat dari ritual
upacara labuhan yang rutin dilakukan oleh warga itu banyak mengundang perhatian
wisatawan dan menguatkan tali persatuan diantara warga di kawasan itu untuk
menentang penggusuran.
Sejak
adanya surat penggusuran, warga Parangkusumo mau tak mau menyatukan dirinya
kedalam organisasi ARMP yang sejak awal pembangunannya sampai saat ini memiliki
komitmen dan tetap percaya pada politik mobilisasi massa dan menjadikan aksi
massa sebagai metode perlawanannya, pada tahun 2007 perlawanan politik dengan
mobilisasi massa mereka lancarkan untuk menduduki kantor DPRD Yogyakarta yang
akhirnya memaksa Sultan HB X mengeluarkan janji-janji manisnya, namun sampai
saat ini tidak ada realisasinya.
Sampai detik ini, warga Parangkusumo masih mengingat betul janji-janji Sultan tersebut, salah satu janjinya tidak akan menggusur warga Parangkusumo sebelum adanya kesepakatan bersama, tapi nyatanya dilapangan berbeda drastis dengan janji Sultan, Pemerintah Kabupaten Bantul terus melakukan upaya penggusuran terhadap warga Parangkusumo melalui cara-cara yang ‘licik.’
Bangun
Persatuan Tolak UU Keistimewaan.
Tidak
hanya di Yogyakarta isu tentang sengketa tanah, dari ujung barat sampai timur
nusantara, rakyat berjuang untuk mempertahankan tanah yang menjadi haknya. Di
Yogyakarta sendiri khususnya, semenjak ada UU Keistimewaan yang belakangan ini
ramai dibicarakan di ruang-ruang publik, mulai dari seniman, sampai para dosen
di kampus, tidaklah menyentuh akar masalah yang ada dalam UU Keistimewaan,
seakan disembunyikan, bahwa esensi dari UU Keistimewaan berakibat pada
terampasnya hak rakyat atas tanah yang ditinggalinya, akibat lebih
jauh dari UU Keistimewaan, banyak rakyat di Yogyakarta menjadi gelisah karena
sewaktu-waktu tanah yang ditempati puluhan tahun akan disita untuk kepentingan
penguasa (Sultan). Dengan dalih tanah rakyat adalah tanah SG dan PAG yang kembali
diterapkan berkat diberlakukannya UU Keistimewaan, bukan hanya warga
Parangkusumo yang merasakan dampaknya, namun warga di Kulonprogo juga. Sampai
hari ini masyarakat pesisir pantai selatan Kulonprogo pun masih berjuang
mempertahankan tanahnya dari penggusuran untuk dijadikan tambang pasir besi
yang akan dibangun oleh kapitalis berkat persetujuan dengan pihak pemerintah.
Sementara
itu, di Madukismo, warga pinggiran kali code dan beberapa tempat lainnya juga
akan terkena dampak dari diberlakukannya UU Keistimewaan. Akhirnya titik-titik
api perlawanan bermunculan di sekeliling kota Yogyakarta, ini peluang besar
bagi rakyat yang selama ini merindukan persatuan untuk bersatu menentang UU
Keistimewaan agar batal diterapkan di Yogyakarta, sebab bila UU tersebut
berlaku maka rakyat tak akan memiliki tanah. Inilah saat nya rakyat membangun
persatuan demi perjuangan yang sama dan membesarkan titik-titik api tersebut
hingga menjadi lautan amarah rakyat.
Yang Harus Dilakukan Mahasiswa Sebagai Kaum Muda.
Sejarah
telah banyak bercerita bahwa mahasiswa sebagai kaum muda selalu terlibat aktif
dalam mewujudkan perubahan, sejak merebut kemerdekan dari penjajahan kolonial
sampai dengan gerakan penggulingan rezim otoriter Soeharto dari panggung
kekuasaan demi cita-cita bersama, Indonesia tanpa orde baru. Tapi
sejarah tetaplah sejarah yang tak mungkin bermakna apabila kita melupakannya
dan tak berusaha mempelajarinya. Hari ini mahasiswa dan banyak kaum muda sedang
tertidur pulas dipangkuan kapitalisme. Seharusnya mahasiswa sebagai kaum muda
yang terpelajar mempelopori perlawanan rakyat untuk menentang segala bentuk
penindasan, sebagai tanggung jawab mahasiswa atas pengetahuan yang dia miliki.
Kenyataan
bahwa saat ini rakyat masih mengalami diskriminasi dan kemiskinan, seharusnya
membuka pikiran mahasiswa untuk menjalankan tanggung jawab sebagai kaum
terpelajar dan juga harus memperjuangkan haknya untuk memperoleh pendidikan
gratis yang hari ini belum diberikan oleh pemerintah, sebab pendidikan di
Indonesia masih dikuasai sepenuhnya oleh kaum pemodal yang perlahan-lahan
menjadikan pendidikan sebagai komoditi, dampaknya banyak rakyat Indonesia yang
tidak bisa sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan di negeri
ini.
Peristiwa
yang terjadi di Parangkusumo, adalah cerminan nyata dari banyak peristiwa
penindasan yang dilakukan rezim SBY sebagai boneka kapitalis. Sehingga menjadi
keharusan bagi mahasiswa untuk mulai membangun lingkaran-lingkaran diskusi
sebagai ajang berdebat dan membaca situasi penindasan yang dialami rakyat.
Yang kedua mahasiswa sudah saatnya terjun ke tengah-tengah rakyat terutama yang sedang berkonflik dengan negara. Itu dilakukan untuk mengetahui secara detail situasi penindasan yang terjadi dan sekaligus mengikis watak menara gading yang dimiliki kaum intelektual.
Yang ketiga: tentu tidak hanya diskusi dan investigasi ke basis rakyat, tetapi mahasiswa juga harus membangun alat politiknya serta bergabung dengan organisasi revolusioner, agar mahasiswa mempunyai alat perjuangan, sebagai kendaraan menuju kemenangan.
Yang ke empat: mahasiswa sudah saatnya membangun persatuan dengan gerakan rakyat seperti buruh, petani, rakyat miskin kota, serta perempuan yang hari ini juga bergelora menentang segala bentuk penindasan patriarki oleh rezim boneka yang berkuasa. Sebab tak akan mungkin terwujud kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan gratis apabila rezim boneka kapitalis masih berkuasa di negara ini.
Yang ke lima: mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang paling banyak mempunyai waktu luang untuk belajar dan berjuang, sudah saatnya mempelopori gerakan rakyat untuk lebih maju lagi dalam perlawanannya, semisal: kaum buruh yang beberapa tahun ini sangat massif melakukan perlawanan didorong terus untuk lebih politis bahkan sampai ideologis, agar kaum buruh dan rakyat percaya diri bahwa merekalah kelas yang seharusnya berkuasa, maka mahasiswa sebagai kaum tepelajar harus mendorong kaum buruh dan rakyat untuk menyadari kekuatannya sebagai pencipta perubahan.
Ditulis
oleh: Ziwenk (anggota Pembebasan Yogyakarta).
Materi
disampaikan dalam diskusi publik pada acara ‘Panggung Rakyat’, 16 Desember 2013
di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Daftar
Referensi :
- wawancara dengan pak
watin (ketua ARMP)
- Kompas.com (tolak
penggusuran warga pantai parang kusumo demo)
- (http://regional.kompas.com/read/2013/05/30/15142080/Tolak.Penggusuran.Warga.Pantai.Parangkusumo.Demo.)
- PERDA
PROSTITUSI KABUPATEN BANTUL NO. 05 TAHUN 2007
Saya ingin tanya, penulis kelahiran tahun berapa ya? Sedikit yang saya tahu, bahwa Parangkusumo menjadi daerah ramai setelah dibangunnya jembatan kali Opak. Sejak saat itu pula mulai banyak psk datang ke sana untuk mengadu nasib dan keberuntungan. Sebelum itu, Parangkusumo merupakan daerah yang;
BalasHapus1. Dikatakan gawat keliwat-liwat sasat sato mara sato mati jalma mara keplayu. (sangat-sangat angker) dengan kata lain hanya orang-orang yang kehabisan pengharapan dan putus asalah yang berani ke sana.
2. Sebagai tempat ritual labuhan (rutin setahun sekali) dari pihak keraton baik Surakarta Hadiningrat maupun Yogyakarta Hadiningrat.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus3. Saat ini setelah kira-2 35 tahun saya lihat kembali Parangkusuma (baca Parangkusumo) sangat jauh bedanya. Siang di bulan Desember 2015 saya main ke Parkus, sangat banyak rumah bermunculan, dan anehnya di sekitar cepuri menyediakan maaf psk yang siap menawarkan jasanya melayani si lelaki hidung belang baik secara terang-2an maupun lewat pemilik rumah. Aneh tidak lagi angker. Dulu janngankan berbuat maksiat, di sekitar cepuri berkata-kata tidak sopanpun tidak berani, takut kesiku (kualat). Fenomena apa ini?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusObat Aborsi Di Bantul
BalasHapusObat Cytotec Asli Di Bantul
Obat Penggugur Kandungan Di Bantul
Jual Obat Aborsi Di Bantul
Cytotec Asli Di Bantul
Obat Aborsi Cod Di Bantul
Obat Pelancar Haid Di Bantul
Obat Terlambat Datang Bulan Di Bantul
Obat Peluntur Janin Di Bantul
Obat Cytotec Asli
Obat Aborsi
Jual Obat Cytotec Asli
Cytotec Asli
Jual Obat Aborsi
Obat Peluntur Janin
Obat Penggugur Kandungan
Obat Terlambat Datang Bulan
Obat Pelancar Haid
WA: 081215199699