“Kami warga Parangkusumo”


 

(*keterangan gambar : Karya Kawan Marsya, anggota Pembebasan UIN yogyakarta)

“Kami tak menduga tanah yang selama ini kami rawat, tempat yang kami bangun perkampungan di pinggir pantai, hingga sampai menjadi tempat wisata unggulan di Yogyakarta akan terancam digusur oleh negara karena masuknya modal 60 triliun dari investor Jepang untuk membangun mega proyek wisata Bali dua di kawasan tempat kami tinggal membangun peradaban, tak akan kami biarkan mereka merebut jerih payah kami puluhan tahun, untuk diambil begitu saja, nyawa menjadi taruhan kami untuk mempertahankan tanah kami, karena kami warga Parangkusumo.”

(komentar salah seorang warga Parangkusumo tentang posisi mereka terhadap ancaman penggusuran yang setiap harinya menghantui mereka).


Parangkusumo, sebuah perkampungan kecil yang terletak di pesisir selatan Yogyakarta, sebelum warga mendiami kawasan tersebut tak ada yang terlihat istimewa. Kawasan yang sekarang menjadi nama Parangkusumo itu tanahnya gersang tak terawat, sepi senyap tak berpenghuni, hanya garapan pertanian daun lontar yang tumbuh di tepi pantai. Saat ini Parangkusumo sudah berubah menjadi objek wisata unggulan di Yogyakarta, hasil dari kerja keras warga membangun perkampungan wisata di desa tersebut hingga tradisi ritual yang menjadi kepercayaan warga setempat, banyak menyedot perhatian wisatawan manca negara maupun wisatawan dalam negeri. Selain menjaga tradisi, warga Parangkusumo juga perlahan-lahan bangkit membangun ekonominya secara mandiri. Ada yang berjualan baju bergambar pantai Parangkusumo dengan eksotismenya yang menawan, menjual makanan ciri khas daerah setempat, mengadakan tempat hiburan karaoke dan berbagai jenis kegiatan ekonomi lainnya sebagai penopang ekonomi warga sekaligus peningkat daya tarik pengunjung untuk datang sembari menikmati keindahan pantai dan perkampungan di kawasan tersebut.


Sekilas Sejarah.

Dahulu sebelum nusantara merdeka dari penjajahan kolonial, Parangkusumo menjadi wilayah kerajaan mataram yang dipimpin oleh Kesultanan Yogyakarta, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kesultanan Yogyakarta –tepatnya pada tanggal 5 september 1945- menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia, namun status Parangkusumo masih menjadi kawasan milik raja dan wakilnya dengan sebutan SG (Sultan Ground) PAG (Paku Alaman Ground) yang berarti: status tanah di kawasan Parangkusumo ada dibawah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Pada tanggal 7 maret 1950, setelah RIS (Republik Indonesia Serikat) berubah menjadi negara kesatuan, wilayah Yogyakarta kemudian menjadi daerah setingkat propinsi dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tertuang dalam UUD No. 3 tahun 1950 junto serta UUD No. 19 tahun 1950 sebagai landasan konstitusi tertingginya.

Pada masa kepemimpinan presiden Soekarno, cukup besar kekuatan rakyat yang mendukung gerakan menuntut kesejahteraan serta pembagian tanah, di bawah kontrol rakyat secara langsung hingga melahirkan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) pada tahun 1960. UUPA yang lahir sebagai hasil dari desakan rakyat kala itu, melegalkan pembagian atas tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk dibagikan secara adil dan merata kepada rakyat indonesia tidak terkecuali warga Parangkusumo yang telah menempati daerah tersebut. 

Situasi politik yang masif ditingkat nasional turut pula mempengaruhi situasi politik di wilayah Yogyakarta yang ditunjukan dengan pelaksanaan UUPA yang telah disahkan itu.  Mengenai status tanah di wilayah Yogyakarta, sebelumnya sudah ada Peraturan Daerah (Perda) No. 5 tahun 1954 tentang agraria di DIY (pasal 10) yang isinya juga menjadi rekomendasi UUPA untuk membagikan tanah kepada rakyat di wilayah propinsi DIY, dengan adanya desakan rakyat di Yogyakarta akhirnya Sultan Hamengkubuwono (HB) IX kala itu menyetujui UUPA dan berkeinginan untuk melaksanakanya. 

Sebagai bentuk komitmen dari pemberlakuan UUPA tersebut, Pemerintah DIY kemudian mengeluarkan Perda pada tanggal 1 april 1984 untuk menegaskan pelaksanaan UUPA no 5 di wilayah DIY.  Kemudian pada tanggal 9 mei 1984 keluar pula Keppres (Keputusan Presiden) No. 33 tahun 1984 dan berlaku surat sejak 1 april 1984. Selanjutnya pada tanggal 22 september 1984 keluar lagi perda no 3 oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai konsekuensi pelaksanaan Keppres no 33 tahun 1984 pasal 3 tersebut. Dengan diberlakukannya peraturan daerah ini, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur tentang agraria tak berlaku lagi. Dengan kata lain, sejak berlakunya UUPA tersebut, status tanah SG maupun PAG di wilayah DIY sudah tak berlaku lagi.

Berdasarkan fakta sejarah itu, jelas bahwa warga Parangkusumo mempunyai hak mutlak atas tanah yang hari ini akan diklaim kembali sebagai SG dan PAG oleh penguasa di DIY. Seharusnya tak ada dalih apapun yang bisa menggusur rakyat di Parangkusumo, dengan demikian, tepat sudah rakyat melawan segala bentuk intimidasi yang dibaliknya tersimpan niat mengusir rakyat dari kampung yang mereka bangun.



Usaha Pemerintah Menggusur Warga.

Pemerintah yang dijadikan boneka kapitalis penindas rakyat, tak pernah berhenti melancarkan penindasan, khususnya di Parangkusumo, mulai intimidasi kepada warga dan memberi iming-iming kontrakan kios, sampai melakukan tindakan kekerasan dengan menggunakan kelompok sipil reaksioner (baca: preman) untuk menakut-nakuti rakyat agar minggat (pergi) dari rumah dan tanah yang mereka tinggali. Mungkin pemerintah DIY sangat tergiur dengan besaran nilai Rp. 60 triliun yang ditawarkan investor Jepang untuk membangun mega proyek Bali dua di kawasan Parangkusumo. Keinginan pemerintah daerah terlihat jelas dengan dikeluarkannya regulasi anti rakyat yang berlandaskan moral, namun membiarkan rakyat tergusur dan hidup miskin.

Sejak tahun 2006, pemerintah daerah telah melakukan penggusuran atas rumah dan tempat usaha warga Parangkusumo dengan dalih penataan kawasan pantai. Warga Parangkusumo dengan lantang menolak penggusuran tersebut karena ganti rugi yang diberikan pemerintah sangat tidak layak. Nilai ganti rugi yang diberikan pemerintah hanya Rp. 1 juta sebagai pengganti bangunan rumah warga, sementara tanah yang sudah lama mereka tempati tak ada ganti ruginya, padahal tanah di kawasan tersebut sudah lama ditinggali dan dikelola sedemikian rupa hingga menjadi kawasan wisata juga turut memberi pemasukan devisa bagi pemerintah pusat dan daerah. Warga yang menempati tanah di kawasan tersebut tidaklah ‘gratisan,’ mereka membayar kepada pihak yang menguasai lahan dengan bukti kwitansi yang sah. Dinyatakan sudah sah sebagai bukti menempati tanah oleh warga  setempat, namun pemerintah tak pernah menghiraukan hak warga, malah sebaliknya mereka mengintimidasi warga Parangkusumo dan menyebut mereka warga liar.

Pemerintah menganggap warga Parangkusumo bukan penduduk asli Yogyakarta sehingga tidak mempunyai hak atas tanah di Yogyakarta. Sungguh yang di lakukan pemerintah sangat bertentangan dengan dasar negara Republik Indonesia, maka tak salah bila perlawanan menjadi pilihan yang dilakukan rakyat Parangkusumo.

Setelah beberapa kali pemerintah mengirim surat penggusuran dan tak ditanggapi oleh warga, Pemerintah Kabupaten Bantul dengan topeng busuk memberi iming-iming pada warga sebuah kios bagi warga yang bersedia digusur, iming-iming tersebut  sempat membuat konflik ditengah warga, sebab pemerintah dalam memberikan iming-iming masih ada diskriminasi, bagi warga yang tidak memiliki KTP DIY tidak mendapatkan kios yang ditawarkan. Padahal dari dulu sampai sekarang, pemerintah tidak memberikan hak sebagian besar warga Parangkusumo untuk mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang seharusnya semua orang berhak mendapatkannya tanpa melihat latar belakang kehidupannya.

Dalam perjalanan penerapan ganti rugi dengan kios ternyata tidak menguntungkan bagi warga, mereka kembali ditipu oleh pemerintah, kios seperti yang dijanjikan ternyata tidak diberikan kepada seluruh warga yang berhasil digusur. Lebih kejamnya lagi, sekarang warga yang menempati kios tersebut dipaksa membayar uang sewa kios, padahal sebelumnya pemerintah menjanjikan kios tersebut dapat dimiliki oleh warga tanpa embel-embel uang, sungguh gila negara ini.

Tidak hanya tipu muslihat yang dilakukan oleh pemerintah, kekerasan juga dilancarkan demi melasanakan kepentingan kapitalis (pemodal asing) di atas penderitaan rakyat, terbukti dengan adanya peristiwa perusakan posko perlawanan warga Parangkusumo yang di lakukan oleh satgas PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) beberapa tahun silam. Organisasi pemuda partai yang berkuasa di Kabupaten Bantul itu menyerang posko tanpa alasan yang jelas, sebuah bukti konkrit bahwa parpol dan pemerintah hari ini akan menjalankan apapun demi kepentingan kapitalis. Warga pun tak tinggal diam, mereka melaporkan penyerangan tersebut kepada pihak kepolisian, namun lagi-lagi upaya warga menuntut keadilan tak pernah dihiraukan, sampai saat ini kasus penyerangan tersebut ‘ngambang’ tak karuan. Kondisi itu menjadi pelajaran juga bagi kita, bahwa polisi dan hukum di Indonesia menjadi bagian dari setan penindas, maka diam bukan sebuah pilihan.!

Setelah sekian lama pemerintah bersusah payah ingin menggusur warga, namun tak berhasil, akhirnya pemerintah mengeluarkan regulasi anti rakyat untuk mengusir rakyat pelan-pelan dari rumah yang mereka bangun, itu terbukti dengan dikeluarkanya keputusan pemerintah berbentuk PERDA PROSTITUSI KABUPATEN BANTUL NO. 05 TAHUN 2007 yang berisikan pelarangan prostitusi. Perda itulah yang sekarang digunakan sebagai alasan utama pemerintah menggusur rakyat. Pemerintah dengan wajah –seolah– malaikat, mengatakan prostitusi terjadi karena pelaku tidak memiliki moral dan tidak menjalankan ajaran agamanya, sementara pemerintah tidak melihat dari sisi lain terjadinya prostitusi, karena bisa saja kemunculannya akibat  dari kemiskinan yang mereka derita akibat lapangan pekerjaan yang sempit. Seharusnya persoalan kemiskinan menjadi tanggung jawab pemerintah karena itu sudah tertuang dalam UUD yang menjadi konstitusi negara kita. 


Kenyataan tak bisa dipungkiri, bahwa PSK di kawasan Parangkusumo sangat banyak membantu perkembangan ekonomi warga disana ditengah himpitan ekonomi dan maraknya korupsi dikalangan pejabat negeri ini, sehingga upaya pemerintah mengeluarkan Perda prostitusi tersebut sebetulnya bukan karena pemerintah mempunyai moral yang baik, melainkan mereka hanya mematikan ekonomi warga Parangkusumo agar meninggalkan kawasan yang akan menjadi lahan eksploitasi modal asing. Patut dibanggakan bahwa sampai saat ini warga Parangkusumo tetap melawan untuk bertahan dari ancaman penggusuran.

Upaya pemerintah untuk menggusur warga Parangkusumo terus berlanjut, baru-baru ini terjadi penutupan paksa tempat karaoke. Tempat karaoke selama ini diakui warga setempat juga turut memberi kontribusi bagi meningkatnya perekonomian warga dari berjualan klontongan, angkringan serta jenis usaha lainnya. Aksi penutupan oleh pemerintah itu dibarengi dengan penyitaan barang-barang (peralatan) karaoke dengan alasan tak mempunyai ijin dan menjadi tempat penjualan minuman keras terselubung. Suatu tuduhan yang tidak mendasar, sebab bukan warga yang tak mau ijin atau pun membayar pajak untuk usaha karaokenya, tetapi pemerintah yang menutup jalan untuk pengurusan legalitas/ perijinan usaha dan tempat tinggal dikawasan tersebut. Suatu indikasi terkait upaya penguasa untuk melemahkan basis ekonomi warga Parangkusumo bersama ARMP (Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran) agar tidak lagi melakukan protes terhadap kesewenang-wenangan penguasa korup di Kabupaten Bantul.

Adanya peristiwa penutupan karaoke tersebut, merupakan siasat pemerintah serta pemilik modal asing dalam memukul dan melemahkan gerakan rakyat yang masih bertahan selama bertahun-tahun memperjuangkan hak hidupnya yang terampas. Aset ekonomi warga yang selama ini menjadi sumber kehidupan keluarga dan kelangsungan gerakan perjuanganya mulai disasar untuk dihancurkan, sebab iming-iming yang mereka berikan dan serangkaian tindak kekerasan yang dilancarkan, serta regulasi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat tertindas tidak berhasil menggusur dan memadamkan gelora perlawanan untuk menuntut keadilan. 


Pada akhirnya, kenyataan hari ini dapat kita lihat bahwa eskalasi perlawanan warga kembali meningkat, sebab penutupan paksa dan penyitaan alat-alat karaoke (baca: perampokan) telah berpengaruh terhadap matinya sumber ekonomi warga lainnya. Saat ini warga seperti jatuh ditimpa tangga, bertahun-tahun dapat ancaman digusur, sekarang tak bisa mencari makan di atas tanah-air negerinya sendiri, tragis bukan.?


Perlawanan Apa yang Dilakukan Warga Parang Kusumo?

Sudah banyak upaya yang dilakukan warga Parangkusumo untuk mempertahankan tanah yang sudah sejak lama mereka huni, mulai penolakan lewat jalur litigasi dengan meminta bantuan hukum kepada LBH (Lembaga Bantuan Hukum), sampai pada jalur aksi massa untuk menolak kebijakan pemerintah, uniknya warga Parangkusumo tak hanya melakukan perlawan seperti  itu, namun mereka juga melakukan perlawanan melalui ritual “tolak bala” yang disebut dengan ‘labuhan.’

Perlawanan dengan cara ritual yang dilakukan oleh warga Parangkusumo dalam bentuk upacara ‘labuhan’ sudah dilakukan sejak lama oleh warga Parangkusumo sebagai penolakan bala. Labuhan itu sendiri berbentuk acara ritual yang dipimpin oleh sesepuh kampung dengan membawa sesajen berupa ayam dan hasil pertanian untuk diberikan kepada penguasa ghoib pantai selatan, warga juga selalu membawa foto Sultan maupun presiden SBY untuk ditenggelamkan ke lautan samudra sebagai perwujudan ‘membuang sial.’ Pernah suatu kali saya bertanya kepada salah satu warga yang mengikuti ritual, saya tanyakan pada warga tersebut: apa maksudnya melarung foto Sri Sultan HB X dan SBY ke lautan? warga tersebut menjawab sambil tersenyum, dikatakan bahwa: “melarung foto itu sebagai wujud permintaan warga kepada penguasa ghoib untuk menghukum kedua pemimpin dalam foto itu, karena mereka sudah melakukan perbuatan keji di muka bumi ini.” Manfaat dari ritual upacara labuhan yang rutin dilakukan oleh warga itu banyak mengundang perhatian wisatawan dan menguatkan tali persatuan diantara warga di kawasan itu untuk menentang penggusuran.

Sejak adanya surat penggusuran, warga Parangkusumo mau tak mau menyatukan dirinya kedalam organisasi ARMP yang sejak awal pembangunannya sampai saat ini memiliki komitmen dan tetap percaya pada politik mobilisasi massa dan menjadikan aksi massa sebagai metode perlawanannya, pada tahun 2007 perlawanan politik dengan mobilisasi massa mereka lancarkan untuk menduduki kantor DPRD Yogyakarta yang akhirnya memaksa Sultan HB X mengeluarkan janji-janji manisnya, namun sampai saat ini tidak ada realisasinya.


Sampai detik ini, warga Parangkusumo masih mengingat betul janji-janji Sultan tersebut, salah satu janjinya tidak akan menggusur warga Parangkusumo sebelum adanya kesepakatan bersama, tapi nyatanya dilapangan berbeda drastis dengan janji Sultan, Pemerintah Kabupaten Bantul terus melakukan upaya penggusuran terhadap warga Parangkusumo melalui cara-cara yang ‘licik.’


Bangun Persatuan Tolak UU Keistimewaan.


Tidak hanya di Yogyakarta isu tentang sengketa tanah, dari ujung barat sampai timur nusantara, rakyat berjuang untuk mempertahankan tanah yang menjadi haknya. Di Yogyakarta sendiri khususnya, semenjak ada UU Keistimewaan yang belakangan ini ramai dibicarakan di ruang-ruang publik, mulai dari seniman, sampai para dosen di kampus, tidaklah menyentuh akar masalah yang ada dalam UU Keistimewaan, seakan disembunyikan, bahwa esensi dari UU Keistimewaan berakibat pada terampasnya hak rakyat atas tanah yang  ditinggalinya, akibat lebih jauh dari UU Keistimewaan, banyak rakyat di Yogyakarta menjadi gelisah karena sewaktu-waktu tanah yang ditempati puluhan tahun akan disita untuk kepentingan penguasa (Sultan). Dengan dalih tanah rakyat adalah tanah SG dan PAG yang kembali diterapkan berkat diberlakukannya UU Keistimewaan, bukan hanya warga Parangkusumo yang merasakan dampaknya, namun warga di Kulonprogo juga. Sampai hari ini masyarakat pesisir pantai selatan Kulonprogo pun masih berjuang mempertahankan tanahnya dari penggusuran untuk dijadikan tambang pasir besi yang akan dibangun oleh kapitalis berkat persetujuan dengan pihak pemerintah.

Sementara itu, di Madukismo, warga pinggiran kali code dan beberapa tempat lainnya juga akan terkena dampak dari diberlakukannya UU Keistimewaan. Akhirnya titik-titik api perlawanan bermunculan di sekeliling kota Yogyakarta, ini peluang besar bagi rakyat yang selama ini merindukan persatuan untuk bersatu menentang UU Keistimewaan agar batal diterapkan di Yogyakarta, sebab bila UU tersebut berlaku maka rakyat tak akan memiliki tanah. Inilah saat nya rakyat membangun persatuan demi perjuangan yang sama dan membesarkan titik-titik api tersebut hingga menjadi lautan amarah rakyat.



Yang Harus Dilakukan Mahasiswa Sebagai Kaum Muda.

Sejarah telah banyak bercerita bahwa mahasiswa sebagai kaum muda selalu terlibat aktif dalam mewujudkan perubahan, sejak merebut kemerdekan dari penjajahan kolonial sampai dengan gerakan penggulingan rezim otoriter Soeharto dari panggung kekuasaan demi cita-cita bersama, Indonesia tanpa orde baru.  Tapi sejarah tetaplah sejarah yang tak mungkin bermakna apabila kita melupakannya dan tak berusaha mempelajarinya. Hari ini mahasiswa dan banyak kaum muda sedang tertidur pulas dipangkuan kapitalisme. Seharusnya mahasiswa sebagai kaum muda yang terpelajar mempelopori perlawanan rakyat untuk menentang segala bentuk penindasan, sebagai tanggung jawab mahasiswa atas pengetahuan yang dia miliki.

Kenyataan bahwa saat ini rakyat masih mengalami diskriminasi dan kemiskinan, seharusnya membuka pikiran mahasiswa untuk menjalankan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar dan juga harus memperjuangkan haknya untuk memperoleh pendidikan gratis yang hari ini belum diberikan oleh pemerintah, sebab pendidikan di Indonesia masih dikuasai sepenuhnya oleh kaum pemodal yang perlahan-lahan menjadikan pendidikan sebagai komoditi, dampaknya banyak rakyat Indonesia yang tidak bisa sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan di negeri ini. 

Peristiwa yang terjadi di Parangkusumo, adalah cerminan nyata dari banyak peristiwa penindasan yang dilakukan rezim SBY sebagai boneka kapitalis. Sehingga menjadi keharusan bagi mahasiswa untuk mulai membangun lingkaran-lingkaran diskusi sebagai ajang berdebat dan membaca situasi penindasan yang dialami rakyat.


Yang kedua mahasiswa sudah saatnya terjun ke tengah-tengah rakyat terutama yang sedang berkonflik dengan negara. Itu dilakukan untuk mengetahui secara detail situasi penindasan yang terjadi dan sekaligus mengikis watak menara gading yang dimiliki kaum intelektual.


Yang ketiga: tentu tidak hanya diskusi dan investigasi ke basis rakyat, tetapi mahasiswa juga harus membangun alat politiknya serta bergabung dengan organisasi revolusioner, agar mahasiswa mempunyai alat perjuangan, sebagai kendaraan menuju kemenangan.


Yang ke empat: mahasiswa sudah saatnya membangun persatuan dengan gerakan rakyat seperti buruh, petani, rakyat miskin kota, serta perempuan yang hari ini juga bergelora menentang segala bentuk penindasan patriarki oleh rezim boneka yang berkuasa. Sebab tak akan mungkin terwujud kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan gratis apabila rezim boneka kapitalis masih berkuasa di negara ini.


Yang ke lima: mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang paling banyak mempunyai waktu luang untuk belajar dan berjuang, sudah saatnya mempelopori gerakan rakyat untuk lebih maju lagi dalam perlawanannya, semisal: kaum buruh yang beberapa tahun ini sangat massif melakukan perlawanan didorong terus untuk lebih politis bahkan sampai ideologis, agar kaum buruh dan rakyat percaya diri bahwa merekalah kelas yang seharusnya berkuasa, maka mahasiswa sebagai kaum tepelajar harus mendorong kaum buruh dan rakyat untuk menyadari kekuatannya sebagai pencipta perubahan.



Ditulis oleh: Ziwenk (anggota Pembebasan Yogyakarta).
Materi disampaikan dalam diskusi publik pada acara ‘Panggung Rakyat’, 16 Desember 2013 di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.



Daftar Referensi :




Unknown

Mari Berteman:

5 komentar:

  1. Saya ingin tanya, penulis kelahiran tahun berapa ya? Sedikit yang saya tahu, bahwa Parangkusumo menjadi daerah ramai setelah dibangunnya jembatan kali Opak. Sejak saat itu pula mulai banyak psk datang ke sana untuk mengadu nasib dan keberuntungan. Sebelum itu, Parangkusumo merupakan daerah yang;
    1. Dikatakan gawat keliwat-liwat sasat sato mara sato mati jalma mara keplayu. (sangat-sangat angker) dengan kata lain hanya orang-orang yang kehabisan pengharapan dan putus asalah yang berani ke sana.
    2. Sebagai tempat ritual labuhan (rutin setahun sekali) dari pihak keraton baik Surakarta Hadiningrat maupun Yogyakarta Hadiningrat.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. 3. Saat ini setelah kira-2 35 tahun saya lihat kembali Parangkusuma (baca Parangkusumo) sangat jauh bedanya. Siang di bulan Desember 2015 saya main ke Parkus, sangat banyak rumah bermunculan, dan anehnya di sekitar cepuri menyediakan maaf psk yang siap menawarkan jasanya melayani si lelaki hidung belang baik secara terang-2an maupun lewat pemilik rumah. Aneh tidak lagi angker. Dulu janngankan berbuat maksiat, di sekitar cepuri berkata-kata tidak sopanpun tidak berani, takut kesiku (kualat). Fenomena apa ini?

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus