Kamis
(3/4), PEKAT (Persatuan Aksi Tolak Pemilu Borjuis 2014) menggelar aksi unjuk rasa di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). PEKAT Pemilu Borjuis 2014 ini adalah persatuan
dari PEMBEBASAN Yogyakarta dan IMM Fakultas Hukum UMY. Atas dasar kesadaran
kerakyatan dan melihat kembali sejarah bangsa pasca 65 aksi ini digelar.
Sebelum aksi pada hari itu, PEKAT Pemilu Borjuis 2014 telah membuka Posko Tolak
Pemilu Borjuis 2014 dan Lawan Militerisme selama dua hari dari tanggal 1 sampai
2 April 2014.
Tidak
ada maksud lain front ini menggelar aksi tersebut dan menolak pemilu bukan
berarti anti terhadap Demokrasi, hanya saja pemilu kali ini adalah lahan pemilihan
para calon penipu rakyat. Mereka justru sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi, demokrasi kerakyatanlah yang kami inginkan bukan demokrasinya para
penipu seperti demokrasi yang ada di negeri ini sekarang (Demokrasi prosedural).
Memang rakyat dan mahasiswa muak dengan watak pemerintah, seenak dengkulnya
mereka melepas tanggung jawabnya. Bukankah setiap warga Negara Indonesia berhak
mendapatkan pendidikan, kesejahteraan, keamanan, kesehatan, dll yang semuanya
sudah tertuang jelas didalam pembukaan UUD 1945.
Tapi
ketika melihat realita, apa yang ada dalam UUD 45 tidaklah ada dalam realita
saat ini. Pendidikan dan kesehatan saat ini hanya menjadi lahan komoditi
penguasa, golongan masyarakat akar rumput tak dapat menikmatinya. Keamanan di
negeri ini juga hanya dimiliki oleh para penguasa, buruh dan petani tak boleh mendapatkan
keamanan. Kondisi negeri yang seperti inilah yang membuat banyak rakyat tidak percaya terhadap pemilu, dan
lebih memilih apatis terhadap pemilu borjuis 2014 ini. Tak lupa pula para mahasiswa
yang menolak pemilu ini adalah mahasiswa yang menolak lupa sejarahnya. Masih
teringat jelas catatan luka masa ORBA, peristiwa pelanggaran HAM terhadap 13
aktivis mahasiswa yang diculik oleh militer saat penggulingan rezim Soeharto.
Menjadi
hal yang wajar ketika mahasiswa dan rakyat menolak pemilu borjuis 2014. Karena
rakyat dan mahasiswa tak dapat meninggalkan catatan luka yang ada di negeri ini
dengan menggantungkan diri pada partai borjuis dan militerisme, yang saat ini
sedang menghamburkan uang rakyat untuk kampanye. Benar-benar tidak ada partai dan sosok yang
dapat menjadi sandaran rakyat dan mahasiswa pada situasi kali ini.
Namun
sangat disayangkan ketika rakyat dan mahasiswa hendak berdemokrasi di negeri
ini, ternyata dihalangi oleh sekelompok anak buah penguasa militerisme yang
sudah tak asing lagi yaitu polisi. Aksi tolak pemilu ini berjalan dengan damai
ketika aksi di setiap loby fakultas yang ada di UMY, meskipun banyak mata jahat
yang mengintai (Banyak intel menjamur di kampus). Ya, berbeda ceritanya ketika
aksi hendak dilanjutkan di jalur Ring Road Bantul, karena gerbang UMY sudah
dipenuhi oleh polisi. Entah apa yang salah dari aksi ini, sehingga masa aksi
tidak diperbolehkan melanjutkan hak berbicaranya. Gerbang UMY menjadi saksi
sikap represif penjahat berseragam ini, masa aksi dipukul mundur dari barisan.
Masa
aksi yang berjumlah sekitar 40 mahasiswa ini berpegangan erat sesama kawan, dan
dengan langkah revolusinya mencoba menerobos barisan blockade polisi. Namun
apadaya mahasiwa yang mungil ini, kejahatan polisi masih mengalahkannya. Bukan
kesuksesan menembus barisan penjahat, yang ada hanya luka dan sakit pinggang
karena terjatuh dari dorongan polisi. Satu, dua kali para mahasiswa dan rakyat itu mencoba menembus
barisan polisi, tapi tetap saja polisi-polisi itu menyakitinya dengan mendorong
barisan masa dan memukul dengan tongkat hitamnya.
Untuk
mengurangi rasa sakit dan mengumpulkan tenaganya kembali, masa aksi mencoba
duduk bersama dihadapan polisi. Tidak hanya duduk diam dan memandang polisi
yang kejam itu, tapi disampaikanlah orasi-orasi politik untuk membakar semangat
masa aksi. Kawan yang mengenakan topi bernama Ziwenk mengawali
orasi politik di hadapan massa aksi dan polisi, dia mampu membakar semangat masa
sekaligus membuat bingung polisinya. Ya, polisi itu hanya bisa diam tak tahu
apa yang mahasiswa itu bicarakan, apa ini sebagai tanda bahwa polisi-polisi itu
sangatlah bodoh? Mereka yang dengan senang hati ditindas oleh penguasanya, menjadi
robot penguasa negeri ini.
Begitu
panjang dan semangat orasi yang disampaikan kawan Ziwenk , dan ajakannya untuk
tidak takut dengan aparat polisi mampu membuat massa aksi bersatu dan berdiri
lagi. Gandengan tangan yang kuat mencoba kembali mengambil hak berbicara massa
aksi, lagi, lagi dan lagi, massa aksi terjatuh atas dorongan dan pukulan
polisi. Polisi tak memperdulikan luka yang dialami salah satu massa aksi, tak
memperdulikan betapa sakitnya jatuh didorong olehnya.
Kondisi
yang tak memungkinkan untuk terus melawan barisan polisi membuat massa aksi
kembali duduk dan terus melakukan orasi-orasi politik. Sembari berjalannya
orasi-orasi, beberapa kawan mencoba memanggil kawan-kawan mahasiswa yang lain
untuk ikut bersolidaritas bersama menolak pemilu borjuis 2014 dan melawan
militerisme. Di dalam massa aksi itu juga tak luput dari adanya
perempuan-perempuan yang pemberani, dia berani menyuarakan dengan lantang
penindasan-penindasan yang terjadi di negeri ini, dan mengambil sikap menolak
pemilu. Perempuan-perempuan itu juga berani melawan polisi-polisi mata
keranjang itu. Berbicara perempuan dan militer, ada kawan perempuan yang
berkacamata dan memakai jaket merah yang berorasi dan mengatakan, bahwa ada
perempuan yang sedang melakukan aksi di Makasar justru diperkosa oleh aparat
polisi. Selain itu ada juga perempuan yang bertubuh kecil menyampaikan orasinya
tentang sejarah perempuan dengan militerisme pada masa 65. Dimana Gerakan
perempuan pada masa itu yaitu Gerwani di fitnah oleh para militer. Dengan
tuduhan anggota Gerwani adalah pelacur dan pembunuh TNI, dimana korbannya
dibunuh dan disilet-silet serta dipotong alat kelaminnya. Ini adalah pembohongan
sejarah yang dilakukan militer pada masa itu.
Nampaknya
sejarah palsu itu melekat sampai keakar-akarnya di dalam otak para polisi yang
ada di hadapannya. Sehingga sangat pantas jika kacung militer itu justru
melontarkan senyum jahat ketika perempuan-perempuan meneriakan keadilan dan
pembelaan atas rakyat yang tertindas. Bahkan
ada hal yang menggelitik dan menjijikan dari sikap kacung militer
tersebut ketika salah satu perempuan berorasi, justru memfoto wajah perempuan
itu.
Masa
aksi semakin bertambah, beberapa mahasiswa yang tadinya diam dan tidak peduli
dengan kawan-kawannya akhirnya masuk dalam barisan masa. Dan masa aksipun
kembali bergenggaman tangan dengan erat dan mencoba menerobos kembali barisan
polisi. Karena gagal menembus barisan, akhirnya masa aksi langsung membacakan
tuntutan-tuntutannya yang dibacakan oleh kawan Adli selaku kordum aksi. Setelah
selesai membaca tuntutan, masa aksi meminta barisan poilisi bubar dan aksi
unjuk rasapun akan ikut bubar. Namun lobi antara polisi dan masa aksi terasa
alot, polisi tidak mau mundur sebelum masa aksi mundur terlebih dahulu. Dengan kekuatan
lobi dan keyakinan masa aksi akan kemenangan aksi pada hari itu, akhirnya
barisan polisi bubar dan massa aksi pun ikut bubar dari unjuk rasa.
Untuk
mahasiswa dan rakyat yang terus melawan, merebut keadilan nyata, dan yang
merindukan demokrasi kerakyatan. Tetaplah berada digaris perlawanan, menolak
pemilu borjuis 2014 dan lawan militerisme. Jangan biarkan rakyat dan mahasiswa
terus ditindas. Pram dalam Rumah Kaca
pernah mengatakan , “Kita semua
harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia
yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin
kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan
baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus
umat manusia”. Maka yakinlah akan adanya Revolusi.
Pena: Fullah (Kader PEMBEBASAN Kolektif Utara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar