Pendidikan yang Carut-Marut


Salah satu modus ekspansi Kapitalisme adalah melakukan peningkatan modal atau bahasa kerennya “Intensifikasi Capital." Proses Intensifikasi ini dilakukan ke dalam system Kapitalisme di mana sektor-sektor yang sebelumnya dianggap barang public, kemudian dikomodifikasikan dengan tujuan utama menumpuk profit tanpa batas. Misalnya Air kini telah di perjual-belikan dan telah menjadi komoditi yang sangat menguntungkan.


Hal yang sama juga menimpa dunia pendidikan, di mana sektor ini juga telah menjadi ajang bisnis yang menggiurkan. 

Rupa-rupa model dan strategi yang dilakukan untuk mengkomodifikasinya, misalnya melalui pemberlakuan hak kekayaan intelektual, pelepasan tanggung jawab oleh pemerintah terhadap hak seluruh warga negara untuk menikmati pendidikan dengan diberlakukannya UKT (Uang Kuliah Tunggal), UKT sudah sangat jelas akan berdampak pada melonjaknya biaya kuliah mahasiswa di perguruan tinggi negeri, memang dengan adanya UKT ini mahasiswa tidak lagi dibebankan uang pangkal pada saat awal pendaftaran, sebagian besar biaya, seperti uang pembangunan sampai pada SPP di sentralisir pembayarannya di dalam UKT, namun dengan adanya pemotongan uang pangkal, beban biaya mahasiswa tidak berkurang justru sebaliknya.


Dalih pemerintah saat ini dengan diberlakukannya UKT adalah untuk membantu mahasiswa menengah kebawah dengan adanya subsidi silang yang dibebankan kepada orang tua murid, subsidi silang yang dimaksud oleh pemerintah adalah pembebanan lebih besar kepada mahasiswa yang tergolong menengah ke atas, dan yang menengah ke bawah akan mendapatkan subsidi untuk biaya pendidikannya.


Secara logika memang masuk akal, namun kalau diteliti lebih jauh lagi tentang siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan maka logika tersebut tidak dapat dipakai, hal ini terlihat jelas karena pemerintah telah melepaskan tanggung jawabnya yang hakiki dalam menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh rakyat tanpa kecuali. 


Kurikulum pendidikan didesain agar sesuai dengan kepentingan bisnis, memperpendek waktu kuliah yang dilambari dengan biaya pendidikan yang tinggi sehingga memaksa peserta didik terasing dari dunia di luar dinding sekolah dan universitasnya. Ditambah proses pembelajaran yang membosankan yang terlalu akademik melalui metode hafalan, instruksi terstruktur, dan pengajaran satu arah, yang akhirnya menghasilkan daya kritis mahasiswa menjadi rendah. Inilah wajah pendidikan kita hari ini yang jauh dari hakekat pendidikan itu sendiri.


Komersialisasi pendidikan ini jelas merupakan masalah besar kita bersama. Pendidikan harus dikembalikan ke tujuannya semula: pembebasan manusia dari kungkungan lingkungannya yang menindas.


Imaji tentang universitas sebagai institusionalisasi ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini, tidak dapat lagi dipandang seperti universitas di periode Renaisans hingga awal abad 20. Imaji di mana tempat berkumpulnya orang-orang yang menggandrungi kebenaran dan melakukan riset-riset, baik empiris maupun filosofis.


Universitas hari ini disulap dan diarahkan seluruh civitas akademika dengan satu-satunya etika yaitu kompetisi akademik. Pada tataran ideologi, universitas di era kapitalisme neoliberal bertugas mengonstruksi gagasan bahwa ‘meraih keuntungan’ merupakan esensi dari demokrasi.


Martin Surajaya dalam tulisannya “Marxisme dan Kritik Ekonomi-Politik” mengapa peraihan keuntungan menjadi esensi dari demokrasi? Karena kapitalisme melalui spontanitas dan kesukarelaan dalam bertransaksi menurut ekonomi pasar, bagi Milton Friedman ‘adalah prasyarat kebebasan politik.’  Wujud kongkret ‘kebebasan politik’ di atas adalah kebebasan memilih. Memilih apa? Memilih yang mau di konsumsi. Kebebasan mengonsumsi dengan cara bertransaksi itulah kebebasan sejati menurut ideologi kapitalisme neoliberal. Jika anda melakukan transaksi dalam rangka mengonsumsi sesuatu untuk mendapatkan ‘kartu mahasiswa’ dan semua bentuk pelayanan pendidikan sebagai penanda kewarganegaraan pada suatu universitas, anda disituasikan dan dikondisikan untuk melalui serangkaian pasar transaksi dalam rupa makelar-makelar penerimaan mahasiswa baru, suap untuk masuk program studi bergengsi, ini bisa kita lihat pada program studi kedokteran yang pasar transaksinya melebihi harga sebuah mobil Honda Jazz.


Sebagai tata cara pengelolaan/modes of governance universitas, kapitalisme neoliberal memproduksi identitas universitas dimana jalan hidup pendidikan tinggi yang benar adalah yang bebas dari aturan-aturan pemerintah, dengan bersembunyi di balik selimut tebal "otonomi Kampus." Sebagai proyek politis dan kebijakan, formasi gagasan di atas dikawinkan dengan praktek privatisasi yang eksesif (Berkelebihan) atas pelayanan pendidikan publik, mencari sumber-sumber dananya sendiri layaknya korporasi (deregulasi keuangan) dan melakukan hubungan industrial yang individualistik dengan para tenaga kerjanya. Itulah fakta-fakta yang belakangan kita temui.


Bahayanya, di tengah ganasnya ekspansi yang dilakukan kapitalisme di sektor pendidikan, mahasiswa seakan tidur nyenyak dengan di nina-bobokan oleh situasi di mana mahasiswa dituntut untuk bergulat dengan pemberlakuan system absensi 75% kehadiran sehingga pergulatan mahasiswa hanya berpacu pada pemenuhan kebutuhan oleh system kampus yang berlaku. Alhasil mahasiswa menjadi apatis dengan keadaan di luar lingkungan kampusnya.


Tugas kita adalah membangun gerakan mahasiswa anti-neoliberalisme yang dimulai dengan pengenalan sejarah kapitalisme baik di Hindia-Belanda hingga Orde Baru dalam kaitannya dengan perguruan tinggi. Gerakan mahasiswa harus secara massif belajar menemukan kontradiksi Kapitalisme dari dalam kehidupan kampusnya agar upaya menasionalisasi pendidikan semakin cepat kita lakukan. Sehingga hakekat pendidikan untuk membebaskan manusia dari ketertindasan terwujud.


Bukan hanya petani yang bertarung mempertahankan haknya (tanah) dari gusuran pihak swasta maupun negara, ada buruh yang kini masih diberi upah murah oleh pengusaha, (hasil kerjanya dicuri). Mahasiswa juga sudah sejak lama haknya direbut oleh pemerintah, hak mendapat pendidikan gratis yang berkualitas, namun hak tak didapatkan, sebaliknya rentetan kebijakan liberalisasi pendidikan diterapkan di Indonesia.


Bagaimana mungkin anak petani dapat belajar di perguruan tinggi dengan biaya yang begitu mahal? Sementara para petani masih disibukkan oleh penggusuran yang dilakukan negara. Apakah anak-anak buruh tak boleh belajar di perguruan tinggi? Jika boleh kenapa biayanya begitu mahal? Gaji buruh tak akan cukup untuk membiayai anaknya kuliah di Perguruan Tinggi. Mahasiswa dan rakyat tidak membutuhkan permen bernama UKT, kami hanya ingin pendidikan gratis yang berkualitas.

Salam Pembebasan !!!



Penulis : Kawan Randi (Pembebasan Kolektif Utara).

Referensi :


  • Kompas 15 oktober 2012
  • http://indoprogress.com/logika/?p=353
  • Marxisme dan Kritik Ekonomi

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar