TOLAK PEMILU BORJUIS 2014, LAWAN MILITERISME, BANGUN PARTAI ALTERNATIF ! : SAATNYA RAKYAT BEKERJA UNTUK PEMBANGUNAN PARTAI ALTERNATIF.

Sebagai Jalan Keluar:
Saatnya Rakyat Bekerja Untuk Pembangunan Partai Alternatif.


Oleh: Annas.


Karena partai-partai yang selama ini ada hanya partai pro kapitalis dan tak memiliki gagasan kemandirian politik, apalagi komposisi peserta pemilunya semua busuk maka, butuh ada alternatifnya. Partai alternatif merupakan alat perjuangan yang komposisinya adalah kolektif rakyat tertindas dari seluruh lapisan masyarakat, dari golongan revolusioner, dari yang menghendaki perubahan maju kesejahteraan, demokrasi berwatak kerakyatan. Secara politik, partai haruslah memiliki arah alternatif yang sama sekali berbeda dengan partai-partai saat ini. Politik alternatif adalah politik yang melandaskan dirinya untuk memberikan jalan keluar dari persoalan kesejahteraan dan demokrasi.


Dengan demikian, harus memiliki strategi bagaimana mencapainya. Partai alternative pastinya sama sekali berbeda dengan partai elit borjuis yang ada, partai harus memiliki ideologi menentang intervensi kapitalis, meletakkan pembebasan manusia sebagai batu pijak perjuangan, oleh karenanya partisipasi rakyat adalah hal mutlak bagi pembangunan alat perjuangan.


Untuk memahami bagaimana cara mencapai jalan keluarnya, maka harus disimpulkan apa yang dibutuhkan rakyat, apa yang bisa dibangun dan dimiliki rakyat sebagai bekal kekuatan memerjuangkannya. Rakyat, di luar kelas kapitalis yang minoritas, mempunyai keunggulan dalam jumlahnya yang begitu besar, maka, mengorganisir diri dalam sebuah organisasi perjuangan menjadi mutlak untuk menuntut hak, memperjuangkan nasibnya sendiri secara kolektif. Missal, mahasiswa membangun organisasinya demi perjuangan perbaikan fasilitas kampus, petani berserikat mempertahankan tanahnya yang dirampas negara-pengusaha-tentara, buruh mengorganisasikan dirinya dalam serikat buruh/pekerja di masing-masing pabrik untuk menuntut kenaikan upah, warga-masyarakat adat membentuk aliansi mengusir perusahaan tambang perusak lingkungan.


Cakupan penindasan kapitalisme begitu luas, menyerang banyak aspek sehingga, akan sangat banyak rakyat yang dirugikan karenanya. Yang tumbuh kemudian adalah perlawanan rakyat menolak ekses-ekses (mekanisme produksi) kapitalisme, penolakan terhadap aktivitas produksi kapitalis menjadi luas di seluruh wilayah Indonesia. Warga menolak tambang, buruh menuntut kesejahteraan, petani melawan perampasan tanah, mahasiswa menolak komersialisasi pendidikan.


Bentuk yang diambil oleh rakyat ketika menghadapi penindasan kapitalisme, dimana-mana, memakai organisasi rakyat sebagai alat juangnya sehingga, mengorganisasikan dan menyatukan perlawan rakyat menjadi metode perjuangan paling ampuh karena, penindasan kapitalisme tidak bisa dihentikan hanya di satu daerah saja/di satu kawasan industri/di satu kampus, sementara kapitalisme di daerah lain leluasa menghancurkan lahan hidup rakyat. Partai yang melandaskan perjuangannya demi kepentingan kolektif kelas tertindas, kaum buruh dan secara keseluruhan adalah rakyat miskin, haruslah berkewajiban memberikan jembatan ideologis dan penyatuan perlawanan menjadi serangan politik kepada perwakilan kolektif kelas kapitalis.


Partai sebagai alat perjuangan rakyat tertindas haruslah memiliki konsepsi dasar atas bentuk perjuangan dan ideologi. Konsep dan ideologi partai tersebut akan menentukan apa/bagaimana jalan keluar ekonomi-politik-ideologi yang akan diraih oleh kolektif rakyat tertindas. Tentunya, syarat mekanisme demokrasi paling mutlak adalah, memberikan porsi seluas mungkin bagi partisipasi anggota/rakyat dalam wadah partai sebagai alat perjuangan politik, tidak seperti partai-partai yang ada, yang menempatkan anggota sebagai konstituen bayaran, mengiming-imingi sogokan proyek, dan partisipasi musiman ketika ada pemilihan-pemilihan. Partai proletariat tidak seperti itu, partai proletariat harus melibatkan penuh partisipasi konstituen.



Pentingnya Berideologi.

Sistem ekonomi-politik saat ini, di dunia dan Indonesia, sangat terpengaruh oleh prinsip ideologi kapitalisme, bahkan pengaruhnya lebih dalam dari yang kita bayangkan. Kapitalisme, sebagai ideologi, menyusup hingga aspek budaya, trend sosial, entertainment/hiburan, busana, gaya hidup, moralitas hingga agama pun tak bisa lolos dari pengaruhnya.


Kapitalisme, secara sederhana bisa diartikan sebagai sistem yang memiliki tujuan: mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan individu, mengejar sebanyak-banyaknya kepemilikan pribadi (atas modal, uang, tanah, bangunan dan alat produksi), pasar bebas, menggali sebanyak-banyaknya kekayaan alam untuk kepentingan produksi demi kebutuhan profit (bukan demi kegunaan barang). Semakin lama, kekayaan akan terkonsentrasi pada segelintir orang, hasilnya, miliaran manusia hidup penuh dengan kekurangan. Produksi baju berlimpah, sementara banyak orang meingkuk kedinginan di sudut Eropa. Makanan diproduksi jutaan kaleng, yang tak habis jual dibuang ke tong sampah, sementara di perempatan Jakarta gelandangan kusut kelaparan. Ekses kejahatan kapitalisme menjadi sangat sulit bisa kita bayangkan, tidak bisa diterima akal sehat.


Konsep sederhana dari kapitalisme tersebut faktanya selalu gagal menciptakan kesejahteraan dengan krisis yang terus terjadi dalam sistem tersebut. Kapitalisme, sejak dioperasionalkan, menyebabkan grafik kemiskinan terus naik, rendahnya daya beli masyarakat, perluasan pengangguran, kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan. Pemerintah Indonesia, sejak Orba hingga sekarang, mengadopsi sistem tersebut. Rekomendasi-rekomendasi perekonomian pemerintah dan arah pembangunannya berkiblat pada program umum Millennium Development Goal’s (MDG’s), yang merupakan anjuran dari negara induk kapitalisme kepada negara-negara di dunia yang patuh.


Kapitalisme memaksa untuk membuka seluas-luasnya investasi modal, secara besar-besaran di negara jajahannya (termasuk Indonesia), mendominasi pasar usaha, mengontrol mata uang, bahkan mengatur komoditas. Bagi negara yang tidak mampu, kapitalis menawarkan utang dalam jumlah besar dengan syarat negara jajahan membiarkan kapitalis menguasai sumber daya alam diiringi dengan menekan agar dibuat landasan hukumnya berupa aturan legal (UU, Kepres, Kepmen, dll). Sementara borjuasi lokalnya tak berdaya, bahkan adaptatif. Lebih suka menjadi agen kapitalis (penindas) ketimbang membela rakyat memperjuangkan kesejahteraan.


Maka, partai alternative tidak bisa menjadi sekedar partai pengumpul massa, partai bagi-bagi proyek/uang, tidak memberikan kekuasaan pada konstituennya, anti demokrasi, adaptatif terhadap kapitalisme dan tak berideologi sehingga tak berani menentang kebijakan sistem kapitalis yang menindas. Partai alternative haruslah partai yang sanggup mengemban tanggung jawab —bersama rakyat—menghentikan penindasan kapitalisme, memerangi ekses-ekses destruktif penindasan dan, konsekuensi ideologisnya adalah membangun ideologi yang beroposisi terhadap kapitalisme. Sederhananya, mengemban tanggung jawab kesadaran yang memiliki tujuan untuk pembebasan manusia menuju sosialisme.




Arus Balik: Memberikan Celah Bagi Militer, Sang Pembuka Jalan Kapitalis.

Musuh paling utama dari demokrasi adalah militer dan militerisme, maka pantas saja kapitalisme tidak butuh demokrasi sejati, boleh berdemokrasi asal tidak mengganggu aktivitas modal. Apalagi dilihat dari deskripsi singkat perkembangan militer pada paragraf “Melawan Militerisme Melapangkan Demokrasi Indonesia,” membawa pada kesimpulan bahwa militer tidak pernah menghidupi demokrasi hingga rezim militer tumbang tahun 1998, dikenal dengan istilah Reformasi 98. Sejak era reformasi berjalan, kita bisa menilai bahwa keberhasilan demokrasi semakin dirusak dengan munculnya para pelanggar HAM ke wilayah politik tanpa pertanggung-jawaban. Mereka lolos begitu saja dari pengadilan rakyat, seolah-olah hukuman pensiun dini sudah bisa mempurifikasi (menyucikan) dosanya.


Sepertinya, sejak Pemilu 2004 hingga 2014, kaum gerakan tidak begitu terlukai dengan berkembangnya Gerindra dan Hanura yang berjalan mulus membebaskan dirinya sebagai aktor pelanggar HAM, bahkan ada yang menikmatinya. Hingga pada Pemilu 2014, ada tiga golongan gerakan rakyat yang mencelakakan politik-demokrasi.


Golongan pertama adalah gerakan/individu pimpinan gerakan yang secara langsung turut melegitimasi pembunuhan dan penculikan dengan masuk, kemudian mendukung Gerindra, Hanura dan partai militer lain dimana Capresnya bersalah atas pembunuhan dan penculikan. Yang masuk dalam golongan tersebut misalnya pimpinan gerakan buruh FSPMI dan KSPI, Said Iqbal, yang secara langsung atau tidak langsung membela-bela Prabowo dalam tiap statementnya. Dalam beberapa agenda politik, terlihat mengindikasikan kedekatannya dengan Jenderal pelanggar HAM Prabowo. Memang bisa saja Said Iqbal sedang menjajaki kekuatan dan wait and seeter lebih dahulu sejauh mana massa FSPMI dan KSPI bisa dibawa untuk mendukung ambisinya. Tentu tindakan tersebut adalah kesalahan bagi perjuangan demokrasi.


Golongan kedua adalah, mereka yang dalam Pemilu Borjuis 2014 bersikap pasif dan memberikan dalih legitimasi “lebih baik menyadarkan rakyat” ketimbang berposisi terhadap Pemilu Borjuis 2014. Posisi itu juga membahayakan bagi demokrasi karena membiarkan begitu saja pelanggar HAM melepas tanggung-jawab, membiarkan begitu saja pembunuh mengambil kekuasaan, sangat naif. Menceburkan diri dalam posisi netral terhadap Pemilu 2014 demi “menyadarkan rakyat,” sementara membiarkan celah kebangkitan militerisme. Sikap tidak berposisi dalam pemilu sama saja dengan ungkapan bahwa “membiarkan kejahatan adalah kejahatan.”


Sungguh naif, senaif Prabowo, Megawati, Bakri, Surya Paloh dan elite politik lain yang berbicara tentang nasionalisme, namun membiarkan begitu saja investasi menguasai hajat hidup rakyat. Tentunya kita masih ingat propaganda Orde Baru dalam hal dikotomi sipil atau militer. Yang terus dipropagandakan adalah “tidak perlu mempersoalkan apakah sipil atau militer yang berkuasa.” Pernyataan tersebut sarat dengan manipulasi, dengan bahasa lain adalah agar dominasi militer jangan dipersoalkan. Point dari manipulasi Orde Baru tersebut adalah mengambangkan peran dominasi, sama-sama menceburkan diri dalam sikap pura-pura netral agar celah dominasi militer Orde Baru tetap aman.


Lalu, golongan ketiga adalah mereka yang secara langsung meyakini bahwa arena perjuangan bisa dipindahkan ke dalam mekanisme borjuis dengan menyebarkan anggotanya ke dalam partai penipu rakyat (politik diaspora). Yang ini sama konyolnya, menganggap seolah-olah bisa begitu saja menghadapi mekanisme internal partai borjuis yang transaksional, jikapun berdalih “merubah pelan-pelan dari dalam,” hingga sekarang, sejak praktik politik diaspora itu mereka gunakan, tidak ada satupun capaian signifikan dari strategi politik tersebut (strategi menyebar aktifis gerakan masuk ke dalam partai politik yang ada). Apa yang bisa dilakukan Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, Pius Lustrilanang, Agus Jabo, dan pengikut taktiknya? Tidak ada. Sehingga, jargon “pilihlah caleg aktivis/mantan aktivis sama halnya dengan menikmati pepesan kosong."


Yang ada hanyalah sibuk dengan persoalan mekanisme dan pertarungan internal elit partai. Apalagi, sistem internal seluruh partai menggunakan politik uang untuk anggotanya jika ada yang hendak mencalonkan diri jadi caleg. Untuk caleg tingkat DPRD saja, bakal caleg harus membayar uang 10 s/d 20 juta per bakal caleg kepada partainya. Itu belum termasuk biaya kampanye masing-masing bakal caleg ketika lolos sebagai caleg.




Buruknya Sistem Partai Politik Tersebut Mengindikasikan Buruk Pula Sistem Pemilu Kita.



Oleh kaum borjuis, pemilu dimaknai sebagai instrument kekuasaan belaka, agar aktifitas dagangnya mudah terlegitimasi oleh kebijakan formal pemerintahan. Hingga saat ini, bisa kita lihat komposisi peserta pemilu didominasi oleh orang-orang lama yang memakai partai baru. Partai yang lain, masih tetap mewarisi tradisi miskin kadar demokratiknya, miskin gagasan populisnya. Politik uang masih dijadikan alat merendahkan suara rakyat, sehingga, bukan pada siapa yang berkapasitas menjadi legislator, namun siapa yang paling sanggup mengeluarkan modal pencalegannya. Output paling logis dari tradisi seperti itu adalah krisis kepemimpinan. Sehingga, yang terfikirkan setelah sukses jadi legislator dan presiden, otomatis mereka akan berfikir bagaimana mengembalikan uang pinjaman modal kampanye, atau, yang sering terjadi adalah memberikan keuntungan berupa proyek besar kepada pemodalnya, inilah salah satu landasan dari praktik pembukaan proyek bagi investor yang, sebelumnya mendanai kampanyenya kroni presiden terpilih.


Sistem Pemilunya juga bobrok. KPU secara teknis dan substansi juga masih jauh dari baik. Faktanya, money politic dibiarkan dalam kampanye-kampanye, ketidak berdayaan KPU sebenarnya sedang menjelaskan bahwa otoritasnya dikalahkan oleh partai politik yang ada. Substansinya, tidak ada kualifikasi bagi caleg/parpol/capres, jikapun ada, kualifikasinya bukan berdasarkan pada program politik dan pengalaman pembelaan kepada rakyat serta jaminan terlaksananya program dari caleg/parpol/capresnya.


Bagaimana mungkin KPU bisa meloloskan Prabowo yang jelas terbukti melanggar HAM, bagaimana bisa KPU membiarkan partainya Megawati yang banyak menjual aset negara ikut pemilu. Terkait dengan kesadaran politik rakyat yang masih rendah, karena hidup di tengah situasi kesulitan ekonomi, membuat money politic memiliki landasannya, sehingga bukan pada programatik para caleg dan capres, tapi sebanyak apa bisa memberi “serangan fajar” yang hanya 20-50 ribu namun rakyat bisa celaka selama 5 tahun ke depan. Jikapun para caleg dan capresnya mengumbar janji, tidak juga dijelaskan bagaimana mewujudkan janjinya. Jika hanya mengandalkan APBN, tiap tahun pun keuangan negara selalu defisit Rp. 154,2 trilyun dan terlilit hutang Rp. 1.950 trilyun.


Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Bakrie (Golkar) dengan janji pendidikan gratis? Apa yang bisa dilakukan Hanura dengan program pendapatan rakyat 12 juta per bulan? Apa yang bisa dilakukan oleh seluruh capres? Bagaikan pungguk merindukan bulan.




Anjuran Kepada Rakyat: Saatnya terlibat penuh dalam perjuangan politik dengan membangun partai alternatif.



Sangat bisa dimengerti jika semakin banyak yang apatis terhadap pemilu karena faktor ketiadaan partai yang benar-benar berjuang untuk rakyat dan kemandirian bangsa. Sebagaimana yang telah disampaikan di awal tentang apa dan bagaimana seharusnya partai alternative dibangun.


Makin sadar rakyat, makin mengerti bahwa pemilu menipu. Berkat perilaku kotor parpol elit dan politisinya, kini, makin hari politik makin mengemuka di hadapan rakyat sebagai sebuah hal yang penuh dengan kerusakan moral, kriminal dan tipu daya. Korup, licik, kotor, haus kekuasaan, kepentingan golongan. Praktik busuk tersebut mempengaruhi rakyat untuk menjauhi yang namanya politik padahal, politik (dalam makna parlementarian) bagi kami bisa dimanfaatkan untuk memperjuangkan kekuasaan rakyat miskin, dengan catatan rakyat harus membangun partai politiknya sendiri, melepaskan diri dari watak dan partainya kaum borjuis. Sehingga harus ada partai alternatifnya sebagai alat perjuangan yang ideologis, yang beroposisi terhadap kapitalisme yaitu, pembebasan nasional untuk pembebasan manusia.


Partai alternative bagi kami adalah metode untuk melapangkan jalan menuju kemenangan rakyat dalam memerjuangkan hak paling mendasarnya. Partai yang harus dibangun oleh rakyat adalah kata lain dari komunitas ideologis yang memiliki perspektif melawan kapitalisme penyebab globalisasi penindasan. Rakyat yang revolusioner, harus memrakarsai pembangunannya, para pekerja, mahasiswa, aktivis pembebasan perempuan, kaum taninya, budayawannya. Solidaritas antar sektor rakyat menjadi kunci penting dalam memberi landas pijak alat politik alternatifnya berupa partai alternative yang mendasarkan dirinya pada perjuangan pembebasan nasional mengusir kapitalisme dan agennya di dalam negeri.


Dalam kenyataannya, kita tidak bisa menggantungkan perubahan pada partai dan elite politik borjuis yang dalam sejarahnya, tak pernah konsisten membela perjuangan rakyat, maka kita membutuhkan prinsip kemandirian politik, pemerintahan alternative di luar syarat-syarat kapitalisme. Oleh karena itu, membangun partai alternative untuk pembebasan nasional adalah syarat bagi perubahan yang paling mendasar untuk merebut kekuasaan Negara dari tangan kapitalisme.

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar