Sebagai Jalan Keluar:
Saatnya Rakyat Bekerja Untuk Pembangunan
Partai Alternatif.
Oleh: Annas.
Karena partai-partai yang selama ini ada hanya partai pro kapitalis dan
tak memiliki gagasan kemandirian politik, apalagi komposisi peserta pemilunya
semua busuk maka, butuh ada alternatifnya. Partai alternatif merupakan
alat perjuangan yang komposisinya adalah kolektif rakyat tertindas dari seluruh
lapisan masyarakat, dari golongan revolusioner, dari yang menghendaki perubahan
maju kesejahteraan, demokrasi berwatak kerakyatan. Secara politik, partai
haruslah memiliki arah alternatif yang sama sekali berbeda dengan partai-partai
saat ini. Politik alternatif adalah politik yang melandaskan dirinya untuk
memberikan jalan keluar dari persoalan kesejahteraan dan demokrasi.
Dengan demikian, harus memiliki strategi bagaimana mencapainya. Partai
alternative pastinya sama sekali berbeda dengan partai elit borjuis yang ada,
partai harus memiliki ideologi menentang intervensi kapitalis, meletakkan
pembebasan manusia sebagai batu pijak perjuangan, oleh karenanya
partisipasi rakyat adalah hal mutlak bagi pembangunan alat perjuangan.
Untuk memahami bagaimana cara mencapai jalan keluarnya, maka harus
disimpulkan apa yang dibutuhkan rakyat, apa yang bisa dibangun dan dimiliki
rakyat sebagai bekal kekuatan memerjuangkannya. Rakyat, di luar kelas kapitalis
yang minoritas, mempunyai keunggulan dalam jumlahnya yang begitu besar, maka,
mengorganisir diri dalam sebuah organisasi perjuangan menjadi mutlak untuk
menuntut hak, memperjuangkan nasibnya sendiri secara kolektif. Missal,
mahasiswa membangun organisasinya demi perjuangan perbaikan fasilitas kampus,
petani berserikat mempertahankan tanahnya yang dirampas
negara-pengusaha-tentara, buruh mengorganisasikan dirinya dalam serikat
buruh/pekerja di masing-masing pabrik untuk menuntut kenaikan upah,
warga-masyarakat adat membentuk aliansi mengusir perusahaan tambang
perusak lingkungan.
Cakupan penindasan kapitalisme begitu luas, menyerang banyak aspek
sehingga, akan sangat banyak rakyat yang dirugikan karenanya. Yang tumbuh
kemudian adalah perlawanan rakyat menolak ekses-ekses (mekanisme produksi)
kapitalisme, penolakan terhadap aktivitas produksi kapitalis menjadi luas di
seluruh wilayah Indonesia. Warga menolak tambang, buruh menuntut kesejahteraan,
petani melawan perampasan tanah, mahasiswa menolak komersialisasi pendidikan.
Bentuk yang diambil oleh rakyat ketika menghadapi penindasan
kapitalisme, dimana-mana, memakai organisasi rakyat sebagai alat juangnya
sehingga, mengorganisasikan dan menyatukan perlawan rakyat menjadi metode
perjuangan paling ampuh karena, penindasan kapitalisme tidak bisa dihentikan
hanya di satu daerah saja/di satu kawasan industri/di satu kampus, sementara
kapitalisme di daerah lain leluasa menghancurkan lahan hidup rakyat. Partai
yang melandaskan perjuangannya demi kepentingan kolektif kelas tertindas, kaum
buruh dan secara keseluruhan adalah rakyat miskin, haruslah berkewajiban
memberikan jembatan ideologis dan penyatuan perlawanan menjadi serangan politik
kepada perwakilan kolektif kelas kapitalis.
Partai sebagai alat perjuangan rakyat tertindas haruslah memiliki
konsepsi dasar atas bentuk perjuangan dan ideologi. Konsep dan ideologi partai
tersebut akan menentukan apa/bagaimana jalan keluar ekonomi-politik-ideologi
yang akan diraih oleh kolektif rakyat tertindas. Tentunya, syarat mekanisme demokrasi
paling mutlak adalah, memberikan porsi seluas mungkin bagi partisipasi
anggota/rakyat dalam wadah partai sebagai alat perjuangan politik, tidak
seperti partai-partai yang ada, yang menempatkan anggota sebagai konstituen
bayaran, mengiming-imingi sogokan proyek, dan partisipasi
musiman ketika ada pemilihan-pemilihan. Partai proletariat tidak seperti itu,
partai proletariat harus melibatkan penuh partisipasi konstituen.
Pentingnya Berideologi.
Sistem ekonomi-politik saat ini, di dunia dan Indonesia, sangat
terpengaruh oleh prinsip ideologi kapitalisme, bahkan pengaruhnya lebih dalam
dari yang kita bayangkan. Kapitalisme, sebagai ideologi, menyusup hingga aspek
budaya, trend sosial, entertainment/hiburan, busana, gaya hidup, moralitas
hingga agama pun tak bisa lolos dari pengaruhnya.
Kapitalisme, secara sederhana bisa diartikan sebagai sistem yang
memiliki tujuan: mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan
individu, mengejar sebanyak-banyaknya kepemilikan pribadi (atas modal, uang, tanah,
bangunan dan alat produksi), pasar bebas, menggali sebanyak-banyaknya kekayaan
alam untuk kepentingan produksi demi kebutuhan profit (bukan demi kegunaan
barang). Semakin lama, kekayaan akan terkonsentrasi pada segelintir orang,
hasilnya, miliaran manusia hidup penuh dengan kekurangan. Produksi baju
berlimpah, sementara banyak orang meingkuk kedinginan di sudut Eropa. Makanan
diproduksi jutaan kaleng, yang tak habis jual dibuang ke tong sampah, sementara
di perempatan Jakarta gelandangan kusut kelaparan. Ekses kejahatan kapitalisme
menjadi sangat sulit bisa kita bayangkan, tidak bisa diterima akal sehat.
Konsep sederhana dari kapitalisme tersebut faktanya selalu gagal
menciptakan kesejahteraan dengan krisis yang terus terjadi dalam sistem
tersebut. Kapitalisme, sejak dioperasionalkan, menyebabkan grafik kemiskinan
terus naik, rendahnya daya beli masyarakat, perluasan pengangguran, kesenjangan
sosial dan kerusakan lingkungan. Pemerintah Indonesia, sejak Orba hingga
sekarang, mengadopsi sistem tersebut. Rekomendasi-rekomendasi perekonomian
pemerintah dan arah pembangunannya berkiblat pada program umum Millennium
Development Goal’s (MDG’s), yang merupakan anjuran dari negara induk
kapitalisme kepada negara-negara di dunia yang patuh.
Kapitalisme memaksa untuk membuka seluas-luasnya investasi
modal, secara besar-besaran di negara jajahannya (termasuk Indonesia),
mendominasi pasar usaha, mengontrol mata uang, bahkan mengatur komoditas. Bagi
negara yang tidak mampu, kapitalis menawarkan utang dalam jumlah besar dengan
syarat negara jajahan membiarkan kapitalis menguasai sumber daya alam diiringi
dengan menekan agar dibuat landasan hukumnya berupa aturan legal
(UU, Kepres, Kepmen, dll). Sementara borjuasi lokalnya tak berdaya, bahkan adaptatif. Lebih suka menjadi agen kapitalis (penindas)
ketimbang membela rakyat memperjuangkan kesejahteraan.
Maka, partai alternative tidak bisa menjadi sekedar partai pengumpul
massa, partai bagi-bagi proyek/uang, tidak memberikan kekuasaan pada
konstituennya, anti demokrasi, adaptatif terhadap kapitalisme dan tak
berideologi sehingga tak berani menentang kebijakan sistem kapitalis yang
menindas. Partai alternative haruslah partai yang sanggup mengemban tanggung
jawab —bersama rakyat—menghentikan penindasan kapitalisme, memerangi
ekses-ekses destruktif penindasan dan, konsekuensi ideologisnya adalah
membangun ideologi yang beroposisi terhadap kapitalisme. Sederhananya,
mengemban tanggung jawab kesadaran yang memiliki tujuan untuk pembebasan
manusia menuju sosialisme.
Arus Balik: Memberikan Celah
Bagi Militer, Sang Pembuka Jalan Kapitalis.
Musuh paling utama dari demokrasi adalah militer dan militerisme, maka
pantas saja kapitalisme tidak butuh demokrasi sejati, boleh berdemokrasi asal
tidak mengganggu aktivitas modal. Apalagi dilihat dari deskripsi singkat
perkembangan militer pada paragraf “Melawan Militerisme Melapangkan
Demokrasi Indonesia,” membawa pada kesimpulan bahwa militer tidak pernah
menghidupi demokrasi hingga rezim militer tumbang tahun 1998, dikenal dengan
istilah Reformasi 98. Sejak era reformasi berjalan, kita bisa menilai
bahwa keberhasilan demokrasi semakin dirusak dengan munculnya para pelanggar
HAM ke wilayah politik tanpa pertanggung-jawaban. Mereka lolos begitu saja dari
pengadilan rakyat, seolah-olah hukuman pensiun dini sudah bisa mempurifikasi
(menyucikan) dosanya.
Sepertinya, sejak Pemilu 2004 hingga 2014, kaum gerakan tidak begitu
terlukai dengan berkembangnya Gerindra dan Hanura yang berjalan mulus
membebaskan dirinya sebagai aktor pelanggar HAM, bahkan ada yang
menikmatinya. Hingga pada Pemilu 2014, ada tiga golongan gerakan rakyat
yang mencelakakan politik-demokrasi.
Golongan pertama adalah gerakan/individu pimpinan
gerakan yang secara langsung turut melegitimasi pembunuhan dan penculikan
dengan masuk, kemudian mendukung Gerindra, Hanura dan partai militer lain
dimana Capresnya bersalah atas pembunuhan dan penculikan. Yang masuk dalam
golongan tersebut misalnya pimpinan gerakan buruh FSPMI dan KSPI, Said Iqbal,
yang secara langsung atau tidak langsung membela-bela Prabowo dalam tiap
statementnya. Dalam beberapa agenda politik, terlihat mengindikasikan
kedekatannya dengan Jenderal pelanggar HAM Prabowo. Memang bisa saja Said Iqbal
sedang menjajaki kekuatan dan wait and seeter lebih dahulu sejauh
mana massa FSPMI dan KSPI bisa dibawa untuk mendukung ambisinya. Tentu tindakan
tersebut adalah kesalahan bagi perjuangan demokrasi.
Golongan kedua adalah, mereka yang dalam Pemilu Borjuis
2014 bersikap pasif dan memberikan dalih legitimasi “lebih baik menyadarkan
rakyat” ketimbang berposisi terhadap Pemilu Borjuis 2014. Posisi itu juga
membahayakan bagi demokrasi karena membiarkan begitu saja pelanggar HAM melepas
tanggung-jawab, membiarkan begitu saja pembunuh mengambil kekuasaan, sangat
naif. Menceburkan diri dalam posisi netral terhadap Pemilu 2014 demi
“menyadarkan rakyat,” sementara membiarkan celah kebangkitan militerisme. Sikap
tidak berposisi dalam pemilu sama saja dengan ungkapan bahwa “membiarkan
kejahatan adalah kejahatan.”
Sungguh naif, senaif Prabowo, Megawati, Bakri, Surya Paloh dan elite
politik lain yang berbicara tentang nasionalisme, namun membiarkan
begitu saja investasi menguasai hajat hidup rakyat. Tentunya kita masih ingat
propaganda Orde Baru dalam hal dikotomi sipil atau militer. Yang terus
dipropagandakan adalah “tidak perlu mempersoalkan apakah sipil atau militer
yang berkuasa.” Pernyataan tersebut sarat dengan manipulasi, dengan bahasa lain
adalah agar dominasi militer jangan dipersoalkan. Point dari manipulasi Orde
Baru tersebut adalah mengambangkan peran dominasi, sama-sama menceburkan diri dalam
sikap pura-pura netral agar celah dominasi militer Orde Baru tetap aman.
Lalu, golongan ketiga adalah mereka yang secara
langsung meyakini bahwa arena perjuangan bisa dipindahkan ke dalam mekanisme
borjuis dengan menyebarkan anggotanya ke dalam partai penipu rakyat (politik
diaspora). Yang ini sama konyolnya, menganggap seolah-olah bisa begitu saja
menghadapi mekanisme internal partai borjuis yang transaksional, jikapun
berdalih “merubah pelan-pelan dari dalam,” hingga sekarang, sejak praktik politik
diaspora itu mereka gunakan, tidak ada satupun capaian signifikan dari strategi
politik tersebut (strategi menyebar aktifis gerakan masuk ke dalam partai
politik yang ada). Apa yang bisa dilakukan Budiman Sudjatmiko, Dita Indah
Sari, Pius Lustrilanang, Agus Jabo, dan pengikut taktiknya? Tidak
ada. Sehingga, jargon “pilihlah caleg aktivis/mantan aktivis sama halnya
dengan menikmati pepesan kosong."
Yang ada hanyalah sibuk dengan persoalan mekanisme dan pertarungan internal elit partai. Apalagi, sistem internal seluruh partai menggunakan politik uang untuk anggotanya jika ada yang hendak mencalonkan diri jadi caleg. Untuk caleg tingkat DPRD saja, bakal caleg harus membayar uang 10 s/d 20 juta per bakal caleg kepada partainya. Itu belum termasuk biaya kampanye masing-masing bakal caleg ketika lolos sebagai caleg.
Buruknya Sistem Partai Politik Tersebut Mengindikasikan Buruk Pula
Sistem Pemilu Kita.
Oleh kaum
borjuis, pemilu dimaknai sebagai instrument kekuasaan belaka, agar aktifitas
dagangnya mudah terlegitimasi oleh kebijakan formal pemerintahan. Hingga saat
ini, bisa kita lihat komposisi peserta pemilu didominasi oleh orang-orang lama
yang memakai partai baru. Partai yang lain, masih tetap mewarisi tradisi miskin
kadar demokratiknya, miskin gagasan populisnya. Politik uang masih dijadikan
alat merendahkan suara rakyat, sehingga, bukan pada siapa yang berkapasitas
menjadi legislator, namun siapa yang paling sanggup mengeluarkan modal
pencalegannya. Output paling logis dari tradisi seperti itu adalah krisis
kepemimpinan. Sehingga, yang terfikirkan setelah sukses jadi legislator dan
presiden, otomatis mereka akan berfikir bagaimana mengembalikan uang pinjaman
modal kampanye, atau, yang sering terjadi adalah memberikan keuntungan berupa
proyek besar kepada pemodalnya, inilah salah satu landasan dari praktik
pembukaan proyek bagi investor yang, sebelumnya mendanai kampanyenya kroni
presiden terpilih.
Sistem Pemilunya juga bobrok. KPU secara teknis dan substansi juga masih
jauh dari baik. Faktanya, money politic dibiarkan dalam
kampanye-kampanye, ketidak berdayaan KPU sebenarnya sedang menjelaskan bahwa
otoritasnya dikalahkan oleh partai politik yang ada. Substansinya, tidak ada
kualifikasi bagi caleg/parpol/capres, jikapun ada, kualifikasinya bukan berdasarkan
pada program politik dan pengalaman pembelaan kepada rakyat serta jaminan
terlaksananya program dari caleg/parpol/capresnya.
Bagaimana mungkin KPU bisa meloloskan Prabowo yang jelas terbukti
melanggar HAM, bagaimana bisa KPU membiarkan partainya Megawati yang banyak
menjual aset negara ikut pemilu. Terkait dengan kesadaran politik rakyat yang
masih rendah, karena hidup di tengah situasi kesulitan ekonomi, membuat money
politic memiliki landasannya, sehingga bukan pada programatik para
caleg dan capres, tapi sebanyak apa bisa memberi “serangan fajar” yang hanya
20-50 ribu namun rakyat bisa celaka selama 5 tahun ke depan. Jikapun para caleg
dan capresnya mengumbar janji, tidak juga dijelaskan bagaimana mewujudkan
janjinya. Jika hanya mengandalkan APBN, tiap tahun pun keuangan negara selalu
defisit Rp. 154,2 trilyun dan terlilit hutang Rp. 1.950 trilyun.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Bakrie (Golkar) dengan janji
pendidikan gratis? Apa yang bisa dilakukan Hanura dengan program pendapatan
rakyat 12 juta per bulan? Apa yang bisa dilakukan oleh seluruh capres? Bagaikan
pungguk merindukan bulan.
Anjuran Kepada Rakyat: Saatnya terlibat penuh dalam perjuangan politik dengan
membangun partai alternatif.
Sangat bisa dimengerti jika semakin banyak yang apatis terhadap pemilu
karena faktor ketiadaan partai yang benar-benar berjuang untuk rakyat dan
kemandirian bangsa. Sebagaimana yang telah disampaikan di awal tentang apa dan
bagaimana seharusnya partai alternative dibangun.
Makin sadar rakyat, makin mengerti bahwa pemilu menipu. Berkat
perilaku kotor parpol elit dan politisinya, kini, makin hari politik makin
mengemuka di hadapan rakyat sebagai sebuah hal yang penuh dengan kerusakan
moral, kriminal dan tipu daya. Korup, licik, kotor, haus kekuasaan, kepentingan
golongan. Praktik busuk tersebut mempengaruhi rakyat untuk menjauhi yang
namanya politik padahal, politik (dalam makna parlementarian) bagi kami bisa
dimanfaatkan untuk memperjuangkan kekuasaan rakyat miskin, dengan catatan
rakyat harus membangun partai politiknya sendiri, melepaskan diri dari watak
dan partainya kaum borjuis. Sehingga harus ada partai alternatifnya sebagai
alat perjuangan yang ideologis, yang beroposisi terhadap kapitalisme yaitu, pembebasan
nasional untuk pembebasan manusia.
Partai alternative bagi kami adalah metode untuk melapangkan jalan
menuju kemenangan rakyat dalam memerjuangkan hak paling mendasarnya. Partai
yang harus dibangun oleh rakyat adalah kata lain dari komunitas ideologis yang
memiliki perspektif melawan kapitalisme penyebab globalisasi penindasan. Rakyat
yang revolusioner, harus memrakarsai pembangunannya, para pekerja, mahasiswa,
aktivis pembebasan perempuan, kaum taninya, budayawannya. Solidaritas antar
sektor rakyat menjadi kunci penting dalam memberi landas pijak alat politik
alternatifnya berupa partai alternative yang mendasarkan dirinya pada
perjuangan pembebasan nasional mengusir kapitalisme dan agennya di dalam negeri.
Dalam kenyataannya, kita tidak bisa menggantungkan perubahan pada partai
dan elite politik borjuis yang dalam sejarahnya, tak pernah konsisten membela
perjuangan rakyat, maka kita membutuhkan prinsip kemandirian politik,
pemerintahan alternative di luar syarat-syarat kapitalisme. Oleh karena itu,
membangun partai alternative untuk pembebasan nasional adalah syarat bagi
perubahan yang paling mendasar untuk merebut kekuasaan Negara dari tangan
kapitalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar