Materi Panduan Hari Buruh Internasional 2014

Dikeluarkan Oleh Departemen Pendidikan dan Propaganda Kolnas PEMBEBASAN.


Hari Buruh Internasional.


Borjuis dan proletar, atau, pekerja, dan pemodal, merupakan hasil dari “penyederhanaan pertentangan kelas” yang terjadi pada masyarakat borjuis. “…masyarakat seluruhnya semakin terbelah menjadi dua golongan besar yang langsung berhadapan,” menghasilkan borjuis dan proletar.



Tepat pada 1 Mei, secara kasat mata, diartikan sebagai kemunculan eksistensi kekuatan kelas pekerja dalam memperjuangkan hak. Di balik yang kasat mata itulah, substansi perang ideologis sedang berlangsung. Pertentangan demi pertentangan yang sebelumnya ada, akhirnya tak terbendung oleh represi militer dan disiplin ketat pabrik (perbudakan industri). Perlawanan semakian membesar, pengaruhnya bertambah meluas di kota, provinsi, dan antar negara. Terhadap perkembangan ini, penguasa terpaksa melakukan kompromi terhadap gelombang perlawanan arus bawah; menurunkan jam kerja.



1 Mei 1886 hingga 1 Mei 2014, adalah rentang waktu yang cukup lama bagi perjuangan kelas buruh. 128 tahun sudah berlalu, kini pergerakan buruh terus berupaya mengambil manfaat dan semangat dari atmosfer perjuangan kaum buruh waktu itu. Mereka berjuang demi kesejahteraan, melakukan mobilisasi politik, menyerang pusat-pusat industri dan pemerintahan. Kebanyakan adalah para serikat buruh di Eropa Barat dan Amerika.



Bertandangnya kapitalisme yang menggantikan sistem produksi feodal mengakibatkan jumlah pekerja industri meningkat tajam, angkatan kerja semakin naik, perempuan yang awalnya ada di rumah, oleh kapitalisme ditipu untuk keluar rumah, bukan untuk menciptakan keadilan, tapi untuk menggerakkan mesin-mesin industri, demi keuntungan si kapitalis. Seketika itu pula, aktifitas industri menyerap banyak sekali tenaga kerja. Dalam proses masa-masa gegap gempitanya revolusi industri (berkembangnya mesin) membuat posisi tenaga kerja yang bekerja secara manual menjadi rendah. Pada masa itu, kehadiran mesin diserang sebagai faktor penyebab PHK. Inilah kejahatan kapitalisme dalam mekanisme rekruitmen tenaga kerja. Sepertinya, teori Adam Smith yang menganggap bahwa: ”Tingkat upah ditentukan oleh perimbangan permintaan dan penawaran pasar tenaga kerja (buruh)” memberikan legitimasi bagi para ekonom borjuis kala itu. Jika begitu maka, dengan kata lain, ’penawaran’ tenaga kerja (buruh) yang berlebih dan ’permintaan’ yang terbatas, membuat pengusaha mendapatkan keyakinan konsep untuk menurunkan tingkatan ’harga jual’ tenaga buruh yang berwujud upah.



Di sinilah ketepatan Marx dalam memandang bahwa penghisapan kaum buruh (oleh pengusaha/majikan) telah sempurna dengan dikuasainya tenaga yang keluar dari hasil kerja para buruh. Tapi ingat (peringatan bagi borjuis) bahwa, mesin memang mengefektifkan KERJA, tapi mesin tidak bisa menghilangkan yang namanya KERJA itu sendiri. Artinya, tanpa sentuhan kerja manusia, mesin tak akan memiliki nilai guna/pakai. Bisa-bisa saja para kapitalis memiliki semua uang di jagat raya ini, bisa-bisa saja kapitalis memiliki komoditas di seluruh bumi ini, tapi, tanpa adanya KERJA dari manusia (buruh), segala uang dan komoditas tadi tak akan berguna. Ini menunjukkan bahwa, salah satu faktor paling fundamental dari kapitalisme adalah buruh/proletar itu sendiri. Maka, proletar memiliki peluang yang sangat mungkin untuk merebut alat produksi, membalikkan secara radikal sistem ekonomi kapitalisme menjadi sosialisme, itu adalah keniscayaan, bukan utopia belaka.




Pemilu 2014, Tak Mengubah Nasib Pekerja/Buruh.


Dalam bulan-bulan ini, aktifitas politik praktis menjadi topik utama bagi media massa. Sejak pemilu legislative hingga menjelang pilpres, tentu bisa kita analisa bahwa respon politisi kita begitu rendah terhadap isu-isu perburuhan. Apalagi mereka dikenal dengan pengobral janji dan pendusta, jikapun direspon, seperti halnya isu ekonomis rakyat lainnya, hanya sebatas respon politik obral janji, agar terpillih. Praktiknya, nol.



Bulan Oktober-November 2013 lalu, ketika para pekerja menuntut kenaikan upah, mobilisasi besar-besaran mewarnai beberapa daerah, tuntutannya sama, kenaikan upah 3,7 juta, atau 50%. Secara matematis, kenaikan itu menjadi logis ketika segala kebutuhan barang harganya naik menyertai kenaikan harga BBM. Dalam perspektif Marxisme, tuntutan kenaikan upah adalah hal yang berwatak antagonistic sebagai bagian dari pertentangan ideologis antara kaum majikan dan pekerja, karena tujuan dan kepentingan mereka bertentangan antara mengambil keuntungan besar (unending accumulation) dan meminta kesejahteraan penuh atas hasil kerjanya.



Meski begitu, pada akhirnya tuntutan kenaikan upah buruh hanya dipenuhi sekitar 10,9% dari 50% tuntutan buruh, atau, hanya 240.000 Jokowi menaikkan upah buruh di Prov DKI. Begitu juga yang terjadi di daerah/provinsi lain, para pemimpin daerah tidak ada yang memenuhi tuntutan buruh sepenuhnya. Sebaliknya, perjuangan yang berat demi kenaikan upah, namun pemerintah juga setengah hati berpihak pada pekerja, faktanya setelah sebagian kecil tuntutan buruh dipenuhi oleh Gubernur, para pengusaha melalui APINDO ramai-ramai mengajukan gugatan ke PTUN sebagai upaya penangguhan upah. Alhasil, ada banyak sekali perusahaan yang melakukan penangguhan membayar upah sesuai keputusan pemerintah. Yang menjadi naïf adalah, jika pemerintah benar-benar membela pekerja, kenapa ada kemudahan jalur penangguhan upah lewat Kepmenakertrans No. KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.



Seperti yang terjadi di Jawa Barat, sebanyak 166 perusahaan mengajukan penangguhan upah kepada Gubernur, kemudian disetujui untuk menangguhkan upah tahun 2014. Data Kemenakertrans pada akhir Februari 2014 mencatat ada 414 perusahaan yang telah mengajukan penangguhan penerapan upah kepada enam Gubernur, sebanyak 315 perusahaan disetujui penangguhannya oleh Gubernur dan Dinas Tenaga Kerja setempat.



Betapa sulit dan banyak kendalanya bagi buruh menuntut kenaikan upah. Sebaliknya, pejabat dan bos BUMN memiliki upah yang luar biasa banyaknya. Gaji Gubernur BI saat ini ditetapkan sebesar Rp 199 juta per bulan sementara penghasilan seorang Chief Executive Officer (CEO) atau Dirut BUMN besar sekelas PT Pertamina (Persero), PT BRI Tbk, dan PT Bank Mandri Tbk berkisar Rp 180 juta hingga Rp 190 juta setiap bulannya. Upah tersebut belum termasuk insentif, tunjangan, dan tantiem—pemberian keuntungan dari pemilik modal kepada direksi, komisaris, dan dirut.



Begitu faktanya, buruh tidak mungkin merelakan begitu saja nasibnya pada kelompok yang ada di luar lingkaran ideologisnya. Sebagaimana penentangan atas keberadaan buruh/pekerja yang selalu dimotori oleh para borjuis-pemodal, pada titik pertentangan inilah struktur pemerintahan condong kepada borjuis dan pemodalnya. Pemilu 2014 tidak menunjukkan adanya posisi pro buruh/pekerja dalam tiap kampanye, statemen dan janji politik dari parpol, elit dan capresnya.



Sedangkan, beberapa kelompok gerakan memandang bahwa Pemilu 2014 direspon berbeda-beda. Ada yang secara objektif itu benar, ada yang mencelakakan seperti sikap politik dari pimpinan konfederasi serikat buruh KSPI, Said Iqbal, yang beberapa waktu ini menyatakan pembelaannya kepada Capres militer pembunuh dan penculik macam Prabowo. Sikap itu menjadi sangat mundur dan terbelakang jika bercermin pada pencapaian demokrasi Indonesia. Bagaimana mungkin mendukung capres yang tangan dan pikirannya berlumuran darah rakyat? Bahwa kaum buruhlah yang justru sebelum reformasi 1998 sering merasakan represi tentara, polisi, preman dan rangkaian tindakan represi militeristik lain. Oleh Said Iqbal, pada pilpres 2014, kaum buruh diserahkan kepada jagalnya. Menggunakan kekuatan massa KSPI demi politik transaksional adalah tindakan politik yang memiliki konsekuensi penghancur gerakan buruh itu sendiri dan secara umum menghancurkan konsolidasi demokrasinya.



Ada 3 golongan yang memiliki sikap politik yang sembrono dalam merespon politik 2014;


Golongan pertama adalah gerakan/individu pimpinan gerakan yang secara langsung turut melegitimasi pembunuhan dan penculikan dengan masuk, kemudian mendukung Gerindra, Hanura dan partai militer lain dimana Capresnya bersalah atas pembunuhan dan penculikan. Yang masuk dalam golongan tersebut misalnya pimpinan gerakan buruh FSPMI dan KSPI, Said Iqbal, yang secara langsung atau tidak langsung membela-bela Prabowo dalam tiap statementnya. Dalam beberapa agenda politik, terlihat mengindikasikan kedekatannya dengan Jenderal pelanggar HAM Prabowo. Memang bisa saja Said Iqbal sedang menjajaki kekuatan dan wait and see terlebih dahulu sejauh mana massa FSPMI dan KSPI bisa dibawa untuk mendukung ambisinya. Tentu tindakan tersebut adalah kesalahan bagi perjuangan demokrasi.


Golongan ke dua adalah, mereka yang dalam Pemilu Borjuis 2014 bersikap pasif dan memberikan dalih legitimasi “lebih baik menyadarkan rakyat” ketimbang berposisi terhadap Pemilu Borjuis 2014. Posisi itu juga membahayakan bagi demokrasi karena membiarkan begitu saja pelanggar HAM melepas tanggung-jawab, membiarkan begitu saja pembunuh mengambil kekuasaan, sangat naif. Menceburkan diri dalam posisi netral terhadap Pemilu 2014 demi “menyadarkan rakyat,” sementara membiarkan celah kebangkitan militerisme. Sikap tidak berposisi dalam pemilu sama saja dengan ungkapan bahwa “membiarkan kejahatan adalah kejahatan."


Sungguh naif, senaif Prabowo, Megawati, Bakri, Surya Paloh, dan elite politik lain yang berbicara tentang nasionalisme, namun membiarkan begitu saja investasi menguasai hajat hidup rakyat. Tentunya kita masih ingat propaganda Orde Baru dalam hal dikotomi sipil atau militer. Yang terus dipropagandakan adalah “tidak perlu mempersoalkan apakah sipil atau militer yang berkuasa.” Pernyataan tersebut sarat dengan manipulasi, dengan bahasa lain adalah agar dominasi militer jangan dipersoalkan. Point dari manipulasi Orde Baru tersebut adalah mengambangkan peran dominasi, sama-sama menceburkan diri dalam sikap pura-pura netral agar celah dominasi militer Orde Baru tetap aman.


Lalu, golongan ke tiga adalah mereka yang secara langsung meyakini bahwa arena perjuangan bisa dipindahkan ke dalam mekanisme borjuis dengan menyebarkan anggotanya ke dalam partai penipu rakyat (politik diaspora). Yang ini sama konyolnya, menganggap seolah-olah bisa begitu saja menghadapai mekanisme internal partai borjuis yang transaksional, jikapun berdalih “merubah pelan-pelan dari dalam,” hingga sekarang, sejak praktik politik diaspora itu mereka gunakan, tidak ada satupun capaian signifikan dari strategi politik tersebut (strategi menyebar aktifis gerakan masuk ke dalam partai politik yang ada). Apa yang bisa dilakukan Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, Pius Lustrilanang, Agus Jabo, dan pengikut taktiknya? Tidak ada. Sehingga, jargon “pilihlah caleg aktivis/mantan aktivis sama halnya dengan menikmati pepesan kosong."


Sedangkan, ada kelompok yang relative kecil memiliki perspektif progresif. Sikap politik yang lebih maju ditunjukkan oleh Komite Politik Alternatif yang merespon pemilu dengan melawan sistemnya hingga muncul kebutuhan membangun partai alternative. Secara objektif dan logika, posisi tersebut merupakan hal yang rasional ketimbang harus mendukung capres militer-pembunuh ataupun capres yang tidak anti militerisme semacam Jokowi yang banyak sekali menyetujui penangguhan upah buruh.




Para Maling Menjalin Koalisi, Perekonomian Indonesia Terus Menurun.


Setelah pileg berlalu, saatnya para politikus mengambil langkah menentukan koalisinya. Setidaknya ada partai politik peserta pemilu 2014 yang dijagokan sebagai pemenang dan berpotensi memimpin bangsa ini ke depan. PDI-P, Golkar, Gerindra menjadi bulan-bulanan media sebagai komoditas berita utama. Dari tiga partai besar pemenang pemilu itu tidak ada yang memiliki integritas membangun bangsa. Dari tahun ke tahun faktanya perekonomian Indonesia mengalami penurunan. Apalagi semakin dalamnya Indonesia memasuki lingkaran konsolidasi internasional seperti G-Twenty atau di kenal dengan G20. Indonesia sendiri masuk dalam keanggotaan G20 tidak memiliki peran yang menentukan, justru dijadikan sebagai sasaran negara pengkonsumsi produk dari para negara anggota G20.  Meskipun G20 adalah kelompok negara G-20 yang memiliki kontribusi sebesar 85% dari GDP dunia, 75% perdagangan global, dan 2/3 populasi dunia. Jika kita lihat data tabel berikut, akan terlihat bahwa perkembangan ekonomi Indonesia sejak masuk dalam konsolidasi ekonomi G20 semakin menurun:

(Data diolah dari www.bloomberg.com)

Tabel Inflasi Annual (Tahunan)
Country
Annual (yoy)
2011
2012
2013
G-20
4.0
3.2
3.0
Argentina
9.8
10.1
10.6
Australia
3.3
1.8
2.4
Brazil
6.6
5.4
6.2
Canada
2.9
1.5
0.9
China
5.4
2.6
2.6
France
2.3
2.2
1.0
Germany
2.5
2.1
1.6
India
8.9
9.3
10.9
Indonesia
5.4
4.3
8.4
(Diolah dari data OECD)



Dalam tabel data menurut Human Development Index (HDI) / Indeks Pembangunan Manusia, Indonesia sangat lambat pertumbuhannya sekitar 0,62% per tahun. Lihat tabel;

Human Development Index (HDI)  2012

Argentina
0.81
Australia
0.93
Brazil
0.73
Canada
0.91
China
0.69
France
0.89
Germany
0.92
India
0.55
Indonesia
0.62
Italy
0.88
Japan
0.91
Korea
0.9
Mexico
0.77
Russian Federation
0.78
(Data diolah dari Human Development Report, 2013)


Sejak Indonesia masuk menjadi anggota G20 pada tahun 1999, memiliki cita-cita menjadi negara yang ingin mencapai status high income country. Tapi, faktanya kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia justru terus meningkat. Data yang berbeda diperlihatkan dalam laporan tahunan pemerintah yang menyatakan kemiskinan di Indonesia berkurang. Namun teori matematis perhitungan angka ekonomi terhadap pertumbuhan PDB nasional mengatakan bahwa jika ada kenaikan 1% maka akan menambah lapangan kerja sekitar 200.000-220.000. Kesimpulannya adalah laporan pemerintah menjadi tidak valid. Jika dihadapkan dengan data kemiskinan dari 6 provinsi yang menjadi daerah industri besar, maka akan sangat terlihat sangat berbeda dari data pemerintah. Lihat data olahan berikut:

Di Jakarta, menurut Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah kepada DPRD DKI Jakarta penduduk miskin meningkat 3,7% dari tahun sebelumnya. Dari 366.770 menjadi 375.700.

Jawa Timur meningkat dari bulan Maret-September 2013 sebesar 4.860.000, di perkotaan 1,62 juta dan 3,24 juta di desa.

Jawa Barat, Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskinnya bertambah dari 9,61-9,52% selama 6 bulan, dari Maret-September, dari 4.280.000 menjadi 4.380.000 juta orang.

Sulawesi Selatan; berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), periode Maret hingga September tahun ini, orang miskin di Sulsel bertambah 69,78 ribu orang atau 0,78 persen dengan total jumlah orang miskin mencapai 857.450 atau 10,32 persen dari total penduduk.

Sumatera Utara, jumlah rakyat miskinnya mencapai 1.390.000, padahal sebelumnya jumlahnya adalah 1.339.200.

Jawa Tengah rakyat miskinnya terus meningkat dari triwulan pertama hingga triwulan ke dua mencapai 4.700.000 orang.

Sedangkan untuk provinsi termiskin adalah Papua yang mancapai 31,53% dari total penduduknya (1.057.980). Kemudian Papua Barat berkisar 27,14% atau 234.230 jiwa. NTT: 1.009.150 (20,24%), Maluku: 322.510 (19,27%), Gorontalo: 200.970 (18,01%), Aceh: 855.720 (17,72%).

Secara nasional, sejak tahun 2001 hingga 2012 telah terjadi peningkatan 20 juta lapangan kerja baru. Namun, peningkatan grafik tersebut sebagian besarnya tercipta dari sektor informal dimana sektor tersebut memiliki tingkat produktifitas yang rendah. Lapangan kerja di Indonesia masih didominasi sektor informal sebesar 54%. Dari sektor informal tersebut, 38% diisi pekerja tanpa kontrak atau buruh serabutan. Sedangkan seperti yang kita pahami, pekerja di sektor informal memiliki banyak sekali persoalan.

Fenomena lain adalah fakta bahwa kenaikan minoritas orang kaya Indonesia meningkat pesat. Sebagaimana benarnya hukum kapitalisme yang diramalkan oleh Marx bahwa kekayaan makin lama makin terpusat pada segelintir orang. Orang super kaya di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 785 orang yang total asetnya sebanyak 130 milliar dolar atau 1.430 triliun rupiah). Padahal tahun 2012, total aset kekayaan 785 orang indonesia sebesar 120 miliar dollar atau 1.320 triliun per tahun (lihat http://www.pembebasan-pusat.blogspot.com/2013/09/jumlah-orang-kaya-di-indonesia-asia-dan.html). Ketimpangan kemiskinan di Indonesia dilihat dari GINI Koefisien tahun 2012-2013, rasionya sebesar 0,41%. Artinya, ketimpangannya bertambah dari sebelumnya sebesar 0,35% dari PDB.




Memberikan Keyakinan Bahwa Persatuan Rakyat Sanggup Menjadi Kekuatan Politik Alternatif.


Membangun kekuasaan rakyat, melepaskan diri dari jeratan sistem kapitalisme. Tentunya, cita-cita tersebut hanya jadi utopis jika belum memiliki syarat-syaratnya, dan akan membingungkan untuk dibayangkan jika kita tidak memulai untuk bergerak satu langkah maju dalam mengolah perjuangan, memberikan perspektif yang lebih politis bahkan ideologi. Terlebih, gerakan buruh dan rakyat lainnya masih terus mendapatkan hambatan represi Negara dan pengusaha lewat aparat militer dan preman. Belum lagi adanya aristokrasi dari pimpinan-pimpinan serikat buruh reformis yang bisa menghambat majunya kehendak massa.



Sangat bisa dimengerti jika semakin banyak yang apatis terhadap pemilu karena faktor ketiadaan partai yang benar-benar berjuang untuk rakyat dan kemandirian bangsa. Sebagaimana yang telah disampaikan di awal tentang apa dan bagaimana seharusnya partai alternative dibangun.



Makin sadar rakyat, makin mengerti bahwa pemilu menipu. Berkat perilaku kotor parpol elit dan politisinya, kini, makin hari politik makin mengemuka di hadapan rakyat sebagai sebuah hal yang penuh dengan kerusakan moral, kriminal dan tipu daya. Korup, licik, kotor, haus kekuasaan, kepentingan golongan. Praktik busuk tersebut mempengaruhi rakyat untuk menjauhi yang namanya politik, padahal, politik (dalam makna parlementarian) bagi kami bisa dimanfaatkan untuk memperjuangkan kekuasaan rakyat miskin, dengan catatan rakyat harus membangun partai politiknya sendiri, melepaskan diri dari watak dan partainya kaum borjuis. Sehingga harus ada partai alternatifnya sebagai alat perjuangan yang ideologis, yang beroposisi terhadap kapitalisme yaitu, pembebasan nasional untuk pembebasan manusia.



Partai alternative bagi kami adalah metode untuk melapangkan jalan menuju kemenangan rakyat dalam memperjuangkan hak paling mendasarnya. Partai yang harus dibangun oleh rakyat adalah kata lain dari komunitas ideologis yang memiliki perspektif melawan kapitalisme penyebab globalisasi penindasan. Rakyat yang revolusioner, harus memprakarsai pembangunannya, para pekerja, mahasiswa, aktivis pembebasan perempuan, kaum taninya, budayawannya. Solidaritas antar sektor rakyat menjadi kunci penting dalam memberi landas pijak alat politik alternatifnya berupa partai alternative yang mendasarkan dirinya pada perjuangan pembebasan nasional mengusir kapitalisme dan agennya di dalam negeri.



Dalam kenyataannya, kita tidak bisa menggantungkan perubahan pada partai dan elite politik borjuis yang dalam sejarahnya, tak pernah konsisten membela perjuangan rakyat, maka kita membutuhkan prinsip kemandirian politik, pemerintahan alternative di luar syarat-syarat kapitalisme. Oleh karena itu, membangun partai alternative untuk pembebasan nasional adalah syarat bagi perubahan yang paling mendasar untuk merebut kekuasaan Negara dari tangan kapitalisme.



Memberikan Syarat-syarat Kemajuan untuk Masa Transisi (bertransformasi menjadi gerakan politik): Demokrasi.


Yang harus dibangun adalah memperbanyak anggota dan meluaskan serikat buruh. Selain itu, perjuangan buruh harus memiliki perspektif lebih maju lagi dengan meningkatkan kapasitas perlawanan ekonomis menjadi politis. Karena, selama kekuasaan kapitalis belum jatuh, maka, persoalan-persoalan demokrasi dan kesejahteraan (ekonomis) rakyat akan terus muncul. Padahal, ekonomisme (perjuangan ekonomi) menyediakan kesempatan proletariat untuk mendirikan organisasi-organisasi secara luas, seperti serikat buruh, yang sekadar mencurahkan komitmen mereka pada beberapa daftar isu, sedangkan, perjuangan politik menuntut proletariat untuk membentuk partai politik/kekuasaannya sendiri, menghimpun kekuatan-kekuatan yang memiliki pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan klas proletariat secara fundamental dan program revolusioner (mengabdi pada kesejahteraan rakyat) yang jelas untuk menjalankannya.



Memang harus diakui bahwa, maraknya radikalisasi buruh hingga bisa memobilisasi puluhan ribu massa, solidaritas antar pabrik dan geruduk pabrik di Indonesia tahun-tahun ini dipelopori oleh serikat-serikat buruh reformis. Maka, radikalisme pergerakan buruh yang sudah semakin maju dalam metode menuntutnya, ditambah dengan adanya pengalaman-pengalaman konfrontasi antar kelas (buruh vs borjuis) di Negara lain puluhan tahun silam, adalah tabungan berharga sebagai referensi perjuangan dan pengalaman. Apalagi, langkah penanganan atas krisis kapitalisme yang dipilih oleh ekonom borjuis berkonsekuensi pada kebutuhan mengambil lebih banyak keuntungan. Pengambilan lebih banyak keuntungan oleh si kapitalis memiliki syarat penghematan ongkos produksi, meluaskan dan memperdalam penindasan (eksploitasi alam dan tenaga kerja). Seperti pengalaman perjuangan buruh Paris yang di-capture oleh Engels dalam artikel Pendahuluan untuk Manifesto Komunis tahun 1893 yang mengatakan.


"Jika Revolusi/perjuangan tahun-tahun sebelumnya bukanlah/belum menjadi suatu revolusi sosialis, maka ia melapangkan jalan, menyiapkan dasar untuk revolusi sosialis. Melalui dorongan yang kuat terhadap industri besar di semua negeri, rezim borjuis dimanapun, selama ratusan tahun, telah menciptakan proletariat yang besar jumlahnya, terkonsentrasi dan perkasa."



Sehingga, langkah maju berikutnya dalam melakukan perjuangan adalah untuk mentransformasikan diri menjadi perjuangan politik, merebut kekuasaan.





Ancaman Kemunduran Demokrasi Bisa Menghambat Peluang Kemajuan Pergerakan, Dobrak Lebih Keras Lagi!


Jika demokrasi tidak dimajukan kapasitasnya maka, kaum buruh akan semakin kesulitan melakukan demonstrasi, mogok, blokir jalan, dan geruduk pabrik menuntut penangguhan upah, penghapusan outsourching, dan kebebasan berserikat. Sebagaimana yang tertulis pada paragraph sebelumnya, transformasi perjuangan membutuhkan perluasan organisasi/serikat buruh dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya agar terlibat dalam perjuangan. Tentunya, langkah tersebut sudah memiliki hambatan di depan mata: anti demokrasi. Kapitalisme dan pemerintahan agen imperialis SBY-Boediono tentu tidak menghendaki adanya kemajuan kualitas demokrasi karena, dalam batas-batas tertentu, kapitalisme menyetujui adanya demokrasi selama tuntutannya tidak mengganggu aktifitas capital. Maka, jika demokrasi makin meningkat kualitasnya (menjadi demokrasi kerakyatan—partisipasi penuh di tangan rakyat) akan semakin mengganggu kekuasaan kapitalis, demokrasi kerakyatan semakin berhadapan dengan demokrasi liberal.


Ancaman kemunduran demokrasi ditunjukkan rezim dengan setumpuk antrian draft rancangan undang-undang anti demokrasi maupun undang-undang yang sudah diketok palu oleh DPR. Sebut saja RUU Ormas yang menghambat pembangunan partisipasi rakyat dalam berorganisasi, paksaan menunggalkan ideologi dan menjadi tiket masuk untuk pembahasan RUU Kamnas. Satu paket dengan UU Ormas, RUU Kamnas memiliki definisi abstrak tentang ‘keamanan nasional,’ karena bisa saja pemogokan buruh di sebuah kawasan jalur utama modal didefinisikan membahayakan keamanan nasional. Ada lagi, nanti, bukannya mendorong partisipasi yang produktif namun, Negara mengajak rakyat terlibat dalam wajib militer dengan dirancangnya draft RUU Komponen Cadangan Negara. Dan masih banyak produk hukum anti demokrasi lain seperti UU Pemilu, UU Parpol, RUU Rahasia Negara, UU Intelejen, UU Penanganan Konflik Sosial yang, secara keseluruhan, menjadikan warga Negara sebagai alasan dibuatnya UU. Padahal, seharusnya, UU dibuat untuk membatasi kewenangan dan mengatur penguasa agar otoritasnya tidak dipakai untuk menyakiti rakyat.



Maka, perjuangan menuntut seluas-luasnya demokrasi sesungguhnya bermakna, melapangkan jalan agar kita bisa lebih bebas menuntut dan berpropaganda tentang jalan keluar sosialisme yang masih ‘diharamkan’ Negara. Karena jika tidak dilawan, gerakan akan kesulitan menuntut upah, kebebasan berserikat dan kesejahteraan. Apalagi kaum gerakan masih menganggap bahwa isu penyempitan demokrasi sebagai isu pinggiran, terbukti dengan minimnya respon menghadang pengesahan Undang-undang anti demokrasi.



Semakin luas dan dalamnya penindasan kapitalisme sebetulnya memberikan landasan untuk mengorganisir perlawanan lebih luas lagi dan peluang menyatukan serangan dari seluruh korban penindasan.



Kaum pergerakan, terutama serikat buruh, telah memiliki bekal untuk memajukan kapasitasnya, minimal adalah menjaga atmosfer perlawanan. Selain itu, represi Negara juga tampak dalam perjuangan kaum tani di daerah-daerah dan warga yang sedang mempertahankan lahannya dari pengusaha tambang dan perkebunan. Tingkat represinya juga tak kalah sadis. Tentara dan preman dikerahkan menghadapi demonstrasi para korban industry pertambangan dan perkebunan. Inilah titik yang bisa mempertemukan gerakan buruh dengan gerakan rakyat lain di luar sektornya, agar juga budaya solidaritas—yang sudah dimiliki antar serikat buruh—bisa lebih luas lagi dikembangkan menjadi solidaritas antar rakyat tertindas. Tinggal bagaimana mulai membuat saluran propaganda antara serikat buruh di Bekasi, Jakarta, Tangerang dengan perjuangan petani di NTB, Lampung, Kebumen, juga perlawanan warga desa di Sinjai (Bontokatute), Sulteng (Podi/Tojo una-una), Kupang (Labuhan Bajo) dan lainnya.




Menjadi Pelopor Perlawanan adalah Tanggung Jawab Kaum Pergerakan.


Menyatukan perjuangan agar serangan makin terkonsentrasikan akan berdampak pada besarnya daya gempur itu sendiri sehingga makin efektif untuk menghancurkan dasar-dasar penindasannya yaitu kapitalisme dan pemerintahannya. Kaum pergerakan butuh memastikan terbangunnya konsolidasi lebih besar dan luas lagi dalam bentuk pusat-pusat konsolidasi bersama seperti Rumah Buruh di Bekasi dan Omah Tani di Batang. Menghidupkannya sebagai sebuah ajang untuk membangun perspektif merebut kekuasaan politik sampai terpastikan pula perencanaan menjangkau sector perlawanan rakyat yang lain seperti perjuangan petani, mahasiswa, warga yang dirampas lahannya dan pentingnya perlawanan kaum perempuan dalam perjuangan merebut demokrasi.




Teladan yang Baik dari Serikat Buruh, Persembahan Bagi Revolusi.


Pengalaman perjuangan buruh yang berhasil menasionalisasi Industri di negara-negara amerika latin adalah bukti dari kedigdayaan serikat buruh revolusioner dan mandiri. Sebut saja Front Revolusioner Pendudukan Pabrik (FRETECO) di Venezuela. FRETECO telah sukses menduduki dan mengontrol pabrik kertas Venezuela yang bernama Invepal (Indegenous Venezuela Paper Industry), selain itu juga, mereka sukses mengambil alih CNV (sebuah pabrik yang memproduksi Klep untuk industri minyak). Para buruh menduduki pabrik CNV selama dua tahun perjuangan yang pahit melawan sang majikan, Andres Sosa Pietry, bekas direktur perusahaan minyak milik Negara, PDVSA (Pertamina-nya Venezuela), yang terlibat langsung dalam kudeta bulan April 2002 lalu. CNV sekarang sudah mulai berproduksi di bawah manajemen dan kontrol buruh dengan nama yang baru, INVEVAL (Indegenous Venezuelan Valve Industry). Ada juga SIDOR (pabrik besi terbesar di Venezuela) dan perusahaan produksi susu "Los Andes" yang telah sukses diambil alih oleh pemerintahan Chavez melalui pendudukan buruh.



Untuk bisa mencapai kemakmuran seperti di negara-negara yang sedang menjalankan proyek sosialisme seperti di Venezuela, membutuhkan sebuah pemerintahan yang mendasarkan kedaulatannya pada rakyat, selain membangun kepemimpinan negara yang kuat dan memiliki perspektif pembangunan ekonomi sosialis abad 21. Maka, sangat tidak mungkin jika tokoh-tokoh politik Indonesia sekarang bisa mencapai kemungkinan tersebut. Sehingga, pemerintahan sosialis bisa menjadi nyata ketika secara politik, program-program sosialisme bisa diemban oleh kekuatan alternative di masa yang akan datang, yang sekarang sedang dibangun alas jembatannya menuju masyarakat sosialis.



Sekian.


Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar