Istilah Jilbab secara harfiah yaitu kerudung yang
menutupi bagian luar kepala, termasuk dir (pakaian yang
khusus menutupi bagian badan) dan Khimar (pakaian yang khusus
menutupi bagian kepala). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Jilbab
menurut bahasa Arab yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, bukan hanya sebagiannya.” Sedangkan
Ibnu Katsir mengatakan, “Jilbab adalah seperti selendang
yang dikenakan di atas khimar yang sekarang ini sama fungsinya seperti izar
(kain penutup). Istilah jilbab digunakan oleh masyarakat muslim di
beberapa Negara Asia Tenggara, misalnya di Indonesia, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Di Iran jilbab lebih dikenal dengan istilah cadar. Chador berasal
dari bahasa Persi berarti ”Tenda” dan di dalam
tradisi Iran cadar berarti pakaian yang menutup semua anggota badan wanita
mulai dari kepala sampai ke ujung jari kaki. Sementara di dalam kitab
Taurat, Kitab suci Agama Yahudi, Jilbab juga sudah dikenal dengan
istilah Tiferet.
Secara Materialisme Historis perdebatan tentang jilbab
telah hadir jauh sebelum Islam datang dalam masyarakat Arab di abad ke-7 M.
Bahkan menurut Epstein seorang Antroplog, perdebatan tentang pakaian penutup
kepala telah hadir jauh sebelum agama-agama Samawi datang (Kristen dan Islam). Di dalam
masyarakat Asyiria tradisi penggunaan kerudung (jilbab) diatur
dalam hukum kekeluargaan Asyiria (Asyirian Code). Hukum ini
mengatur bahwa isteri, anak perempuan, dan janda dalam
bepergian keluar rumah harus menggunakan kerudung (jilbab).
Menurut Navabakhsh, jilbab (cadar) adalah tradisi pra
Islam yang ditemukan di dalam perempuan bangsawan kelas menengah atas di
Syiria, di kalangan orang-orang Yahudi dan Kristen. Pada tahun 500
SM, jilbab sudah menjadi pakaian kehormatan bagi perempuan bangsawan di
Kerajaan Persi. Jilbab juga dipakai oleh perempuan di jaman Romawi Kuno dan
Greek yang modelnya menutupi sekujur tubuh kecuali sebuah lobang kecil di salah
satu bola mata. Namun berbeda dengan tradisi di dalam suku Taureg yang ada
di Afrika Selatan. Justru yang menggunakan jilbab adalah kaum laki-laki diatas
usia 20 tahun karena jilbab dan berbagai modifikasinya menjadi symbol status
dan kekuasaan laki-laki dalam suku tersebut.
Di dalam Agama Yahudi penggunaan jilbab berawal dari
tafsiran tentang dosa asal (original) yang dibawa oleh Hawa isteri Nabi Adam.
Hawa telah berhasil menggoda suaminya Adam memakan buah terlarang. Akibatnya
Hawa dan seluruh kaumnya harus menanggung kutukan yang lebih berat dari Tuhan.
Di dalam kitab Talmud dijelaskan sepuluh jenis penderitaan yang harus
ditanggung oleh Hawa dan Umatnya. Di antaranya adalah siklus
menstruasi (hal tabu) yang tidak dialami sebelumnya.
Dalam Agama Yahudi tradisi jilbab memiliki hubungan
yang erat dengan Menstruasi. Penggunaan jilbab dan semacamnya merupakan tradisi
yang muncul dari tafsiran terhadap Menstruasi. Menstruasi di dalam kepercayaan
masyarakat Yahudi merupakan suatu hal yang
tabu (menstrual taboo). Sehingga perempuan yang sedang menstruasi dianggap
berada dalam suasana tabu. Karena darah menstruasi (menstruasi
blood) dianggap tabu sehingga seorang perempuan harus diperlakukan khusus dalam
upacara tertentu. Perempuan menstruasi dalam Agama Yahudi harus dikurung di
dalam gubuk (menstrual huts). Di daerah-daerah pegunungan perempuan menstruasi
biasanya diasingkan di dalam goa-goa, seperti di sepanjang pegunungan Kaukasus.
Perempuan menstruasi harus betul-betul diwaspadai,
mereka dilarang bergaul dengan orang lain termasuk keluarga dekatnya sendiri,
dilarang melakukan hubungan seks, dan tatapan mata (menstrual gaze) karena hal
itu dapat mengundang malapetaka di dalam kehidupan. Sebagaimana kepercayaan
masyarakat Yahudi di bawah ini tentang bahaya “Mata Iblis” perempuan
Menstruasi.
“The menstruant’s gaze
possessed a special ability to inflick harm the Evil Eye. The Evil Eye can
cause crops to fail, food to rot, babies to
fall sick.” (Tatapan mata menstruasi mempunyai kekuatan
khusus dari apa yang di sebut “Mata Iblis” untuk menimbulkan bencana.
Mata Iblis dapat membuat panen menjadi Gagal, persediaan makanan menjadi
busuk, anak-anak jatuh sakit.)
Untuk menjaga masyarakat dari gangguan “Mata Iblis”
perempuan-perempuan menstruasi tersebut maka mereka dituntut harus
menggunakan identitas diri berupa kosmetik yang berfungsi sebagai isyarat tanda
bahaya (signals of warning) terhadap orang lain dan juga sebagai upaya untuk mencegah “Mata Iblis” masuk ke
dalam tubuh perempuan yang bersangkutan. Alat-alat kosmetik yang dipakai
biasanya berupa anting-anting, cincin, gelang, kalung, shadow, lipstick,
giwang, gigi emas, atau perak. Selempang di bagian kemaluan. Selain menggunakan
alat-alat tersebut perempuan menstruasi juga dituntut untuk meggunakan jilbab (Tiferet),
pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya.
Pada mulanya jenis-jenis perhiasaan yang digunakan
tersebut dipakai hanya sekedar sebagai signals warning dan mengusir malapetaka
perempuan-perempuan menstruasi. Namun pada perkembangannya fungsi kosmetik
tersebut bergeser menjadi barang perhiasaan yang digunakan sebagai identitas
kelas sosial seseorang, dapat dipakai kapanpun di luar masa
menstruasi dan bahkan menjadi komoditas bernilai tukar tinggi di pasaran. Di
dalam Agama Yahudi pernah ditetapkan bahwa membuka jilbab (uncovered) merupakan
suatu pelanggaran yang berat dan dapat mengakibatkan suatu perceraian karena
dianggap ke-tidak setiaan kepada suami.
Proses penggantian gubuk (menstruasi huts) menjadi
kerudung adalah hasil dari perjuangan perempuan bangsawan. Bagi mereka esensi
menyelamatkan masyarakat dari “Mata Iblis” bukan pada mengurung perempuan
menstruasi di dalam tempat khusus seperti di dalam gubuk haid atau di
goa-goa yang jauh dari jangkauan publik. Namun yang paling penting adalah
menjinakan pandangan mata perempuan menstruasi tersebut (menstrual gaze) dari
orang-orang di sekitarnya. Perempuan bangsawan kemudian menggantikan
tradisi gubuk haid dengan menggunakan jilbab. Belakangan tradisi tersebut
kemudian diikuti oleh perempuan di luar bangsawan sehingga tradisi gubuk
haid tersebut perlahan-lahan lenyap dan tradisi jilbab dan kosmetik menjadi
semakin popular dan bergeser dari fungsinya. Namun hingga sekarang belum
diketemukan data kapan proses peralihan tersebut dan kapan jilbab mulai dikenal
luas. Dan yang jelas bahwa jauh sebelum agama Islam datang sudah ada
Institusi jilbab.
Penulis: Che-Gove (Kolektif
Pembebasan Tengah Yogyakarta).
RUJUKAN:
- Antropologi
Jilbab dalam artikel “Teologi Menstruasi : Antara Mitologi dan
Kitab Suci” oleh Nasarudin Umar. 1995.
- http://aslibumiayu.wordpress.com/2012/07/31/seperti-apakah-jilbab-yang-dibenarkan-dalam-islam.
- http://forum.kompas.com/sains/55290-histori-jilbab-jilbab-hanyalah-sebuah-tradisi-bukan-hukum-agama.html.
- http://www.slideshare.net/awaliahafsyah/timbuktu-23947220.
Oyiiiiii deh sedikit menambahkan berjilbab bukan perintah, namun hanya anjuran dalamm kata " hendaklah" dalam surat al ahzab 56 itu jelas bukan fi'il amr (klimat perintah) jadi tak wajib berjilbab yg wajib mnutup aurat, sedangkan ulama' msh mmpertentangkan msalah aurat. Mari belajar bersama memahamilah alqur'an hadits secara kontekstual. jgn secara teks (harfiyah). semoga bermanfaat
BalasHapus