Kain Merah dari Pantai Selatan.






Oleh: Mirza Asahan.



“Cepat Dang!” Teriak seorang ibu, terdengar suara kaki berlari dari atas loteng rumah, muncul sosok remaja berpakaian rapi, dengan tas sandang yang ditenteng di lengan kanannya. “Kamu sudah terlambat Dang,” “iya Bu.” Jawab Adang, lelaki remaja yang ingin berangkat study tour ke sebuah kota yang berada di Selatan Pulau Padi. “Adang berangkat dulu Bu, jaga kesehatan Ibu selama Adang tak di rumah,” “siap Anakku, cepat kamu berangkat, guru-guru di sekolahmu pasti menunggumu dari tadi,” lelaki remaja itu menjawab dengan senyum nasehat dari seorang ibu yang begitu luhur mengkhawatirkannya. 


Lelaki remaja itu beranjak meninggalkan rumah dan pelan-pelan menghilang dari pandangan seorang ibu yang memperhatikan anak semata wayangnya berjalan meninggalkan rumah. Adang pertama kali meninggalkan rumah dalam waktu behari-hari, pasti akan terasa sepi, keluh ibunya Adang di dasar hati. Perempuan berusia kepala tiga ini pasti akan merasa kesepian bila anak semata wayangnya meninggalkan rumah, tak ada orang lain selain anaknya tempat ia berbagi cerita, bapak Adang telah lama meninggalkanya, peristiwa kecelakaan yang begitu tragis telah merebut suaminya!


Di sekolah Adang mendapati para temannya sudah berada di dalam bus, wali kelas Adang melambaikan tangan, dan memberi perintah kepada Adang  berjalan lebih cepat karena bus sudah mau berangkat. “Kemana saja kamu Adang, jam segini kok baru datang dari tadi kami menunggumu,” keluh wali kelas Adang padanya. “Maaf Bu, tadi saya terlambat bangunnya,” “yasudah cepat naik ke bus, kita sudah mau berangkat,” “iya Bu,” jawab Adang sambil menundukan kepala.


Bus yang dinaiki Adang perlahan-lahan meninggalkan tempat parkiran menuju kota yang sudah lama menjadi dambaan Adang untuk dikunjungi, berkat julukan kota tersebut sebagai kota pelajar, wisata, dan pusat kebudayaan negerinya. “Aku sudah tak sabar melihat indahnya Pantai Selatan, tempat bersemayam Nyi Roro Kidul,” kata Adang kepada temannya, yang terlihat masih merasa ngatuk, kelopak mata temannya kendor, seperti orang yang kurang tidur, “iya Dang, aku juga tidak sabar melihat kampus yang ingin aku masuki di sana, semoga aku bisa lulus di kampus itu,” jawab teman Adang, sambil sesekali menutup mulutnya yang selalu menguap.


Suasana di dalam bus begitu ramai dengan yel-yel dan nyanyian yang dilantukan teman-temannya dan para guru di sekolahnya, semangat mereka memukul pundak Adang, rasa ngantuknya hilang, binar-binar harapan tentang sebuah kota tergambar di raut wajah dan sorotan matanya. 


Satu harian di dalam bus, membuat suasana di bus, tak lagi ramai dengan sorak-sorak, atau sekedar nyanyian kecil, dari bibir para remaja perempuan dan lelaki yang sudah tiba beberapa menit di kota tujuan mereka, namun tak ada satu pun yang tau, karena lelah, bernyanyi beberapa jam, mereka tertidur pulas, saling bahu membahu menembus angan di alam mimpi. 


"Kita sudah sampai Dang," sapa temannya, Adang masih tak medengar ucapan temannya, sirine toa bernyala dari bangku paling depan, wali kelas Adang membawa toa itu dengan bunyi sirine yang nyaring, membuat pelajar remaja laki-laki dan perempuan, terhentak bangun dari tidurnya, menyadari ternyata sudah sampai di kota yang menjadi tujuan perjalanan mereka, wajah sumringah tergambar di senyum mereka, satu-persatu mereka turun dari bus, termasuk Adang yang juga bangun mendengar suara berisik toa itu, memasuki hotel di daerah Wiroberajan. "Ah sampai juga aku di kota ini," ucap Adang dengan semangat. 


Keesokan harinya Adang dan teman-temannya, menuju tempat-tempat yang menjadi tujuan mereka, museum-museum sejarah mereka kunjungi di pagi hari, selepas matahari mulai beranjak dari atas kepala, mereka menuju kampus UGM, tempat yang selama ini menjadi dambaan para pelajar di seluruh negeri ini, "Kampus ini begitu megah, semoga kalian dapat menjadi salah satu mahasiswa di kampus ini," ucap wali kelas Adang, sepatah dua patah memanjatkan harapan kepada anak didiknya.


"Kalian boleh berpencar kemana saja, Jam 17.00 WIB. semua kumpul di pintu gerbang, malam ini kita akan menginap di wisma yang berada di tepi Pantai Selatan." Wali kelas Adang memberi informasi kegiatan Adang dan teman-temannya. Mendengar informasi tersebut Adang dan para temannya, girang tak tentu arah, mencar satu-persatu, menjelajahi kampus yang begitu luas.


Adang tak sendiri, dia dengan dua teman akrabnya menjelajahi kampus yang begitu luas, teman-teman Adang tercengang melihat kemewahan gedung dan parkiran yang disesaki mobil-mobil mewah para mahasiswa yang belajar di kampus itu. Dua teman Adang ini, mempunyai harapan yang sangat besar dapat belajar di kampus itu, pria berkacamata yang senang menenteng buku kemana saja pun dia berjalan, memanjatkan harapan di dalam hati: "Semoga aku dapat belajar di sini," ucapnya di hati sambil menyapu wajah, dan melepas sejenak kaca matanya. Sedangkan teman yang satunya, tersenyum-senyum nyinyir melihat keadaan di sekitarnya, ramai mahasiswa yang sibuk dengan dirinya sendiri, menggenggam HP mewah dan Tablet mahal, menjadi teman mereka saat sedang menunggu dosen datang. 


"Dang! kami mau ke kantin, kamu mau ikut?" ajakan dua teman akrab Adang secara serentak dengan iringan nada yang sama, melambai nan gelisah, karena perut mulai keroncongan. "Ayok kawan!" Sambut Adang dengan girang.


Kaki mereka berjalan serentak, seperti dikomando mereka merapatkan diri lalu berjalan dengan gagah, bukan untuk membungkam teriakan yang berani, mereka hanya mengisi lambung yang sudah penuh keluh-kesah cacing-cacing perut  merintih lapar. 


Suasana kantin tak jauh beda dengan lobi fakultas yang baru mereka kunjungi, halamannya terbentang parkiran luas, yang diisi rentetan mobil dari berbagai merek, dengan warna yang menggoda, dan disesaki sepeda motor, dan sederet sepeda para mahasiswa, di dalam kantin tak juga beda dengan yang berada di lobi fakultas, dipenuhi mahasiswa-mahasiswa manja, yang mengguit salah satu teman, menanyakan sudah cantikkah dia hari ini? Dengan Baju baru, dan Tablet yang ditinting tangan kanannya serta kunci mobil menghiasi ujung kantongnya, membuat ia merasa percaya diri untuk memamerkan kekayaan yang belum tentu datang tanpa merampas hak orang lain. Selebihnya, kantin diisi oleh orang-orang yang gemar memegang buku, dan membacanya sambil menikmati kopi hitam, ditemani pisang goreng, yang diiringin lagu dari Boy Band, dengan tekun mengamati huruf-huruf yang berjejer rapi di dalam kertas, namun ternyata dia lupa realitas, para mahasiswa manja dan deretan kutu buku yang gemar membaca namun bungkam melihat realitas tak membuat surut semangat Adang dan teman-temannya untuk makan di kantin ini, salah satu teman yang memakai kaca mata, pergi ke meja kasir, untuk memesan makanan mereka.


Masing-masing dari mereka, masih memperhatikan seisi kantin, yang juga dipenuhi dengan para pedagang, makanan ringan hingga berat, dari Bakso sampai Pecel Lele ada dijual di kantin kampus megah ini, "sangat bersih kantinnya!" Letupan suara dari salah satu teman Adang. "Pasti harganya mahal," sambut teman Adang yang mengenakan kaca mata, Adang coba menengahi perbincangan mereka, "iya bersih, dan semoga tak mahal, uang kita tak banyak soalnya." keluhnya bernada menasehati.


Tak menunggu lama, pesanan mereka tersaji dihadapannya, tiga mangkok bakso, satu mangkoknya berisi lima bakso bulat mirip bola biliar, dengan hiasan dedaunan yang diris bertaburan di dalam kuah bakso itu. Minumannya mereka pesan yang harganya paling murah di deretan harga minuman, ya air es, tiga gelas dengan isi es batu dan air secukupnya dan diberi setangkai sedotan untuk menemani mereka menikmati hidangan lezat.


Suara tak terdengar dari bibir para remaja itu, mereka satu-persatu menikmati sajian yang terhidang, dengan tenang, pelan namun pasti, makanan terlahap tanpa sisa, "gimana rasanya?" tanya Adang kepada dua temannya, yang membalas dengan tatapan tenang, dan menundukan kepala, Adang menganggap mereka suka dengan makanan yang tersaji di depan mereka.


Makanan sudah habis disantap, para remaja itu bangkit dari tempatnya, menuju kasir, wajah mereka terlihat kaget sehabis melihat tagihan dari makanan yang mereka santap, masing-masing dari mereka merogo kantong, dan mengeluarkan seluruh isinya, lalu menyatukannya di tangan Adang, dengan wajah murung Adang membayar tagihan makanan mereka.


"Ayo kita ke pintu gerbang, teman-teman sudah menunggu di sana," ajakan Adang untuk para temannya. Sambil berjalan keluar kampus teman Adang berkeluh-kesah tentang kampus yang mereka jelajahi ini: "Kampus ini tak cocok untukku, aku tak layak di sini, kampus ini terlalu megah untukku, pasti tak banyak orang seperti kita di dalamnya, hidup sederhana, tanpa embel-embel kemerihan harta dari orang tua." Keluh salah satu teman Adang, yang tadinya punya kemauan besar untuk berlajar di kampus itu, sambil berjalan ke halaman depan kampus, Adang bicara sok bijak dihadapan temannya: "Tak perlu kamu minder, kita juga punya hak untuk belajar." 


*


Malam hari para rombongan remaja itu tiba di sebuah wisma di pinggir pantai, tempat selanjutnya mereka bermalam, setelah kenyang berjalan-jalan di kota, melihat jejeran baju dan pernak-pernik di pinggiran jalan Maliaboro, lalu berfoto-foto di museum-museum sejarah, menapaki kampus yang luas, dan melihat keindahan bangunan tua yang menjulang tinggi ke langit, dengan hiasan batu yang diukir menyerupai Tugu Monas, bertambah indah dengan balutan cahaya lampu yang terang, warga setempat biasa menyebut bangunan itu Tugu Jogja.


Saat itu malam di pantai menyambut kedatangan mereka, para remaja yang duduk di sekolah menegah atas berasal dari tanah Pasundan akhirnya sampai di pantai yang mereka dambakan. Mereka melihat pantai begitu semangat dari teras wisma, mereka berdiri menunggu angin menyeliur menghembus telinga mereka dan membasuh sekujur tubuh mereka, dengan nada meminta harapan mereka bersiul serentak: "Semoga esok pagi, langit pantai cerah."


"Kalian boleh bermain, berjalan-jalan di pantai, tapi ingat, jika malam sudah larut, kembalilah ke wisma ini." Ucap wali kelas Adang, dengan senyum yang berlantunan seperti sedang mendapatkan kebahagian yang dirindukan sejak lama.


Para remaja bersiap menaruh barang bawaannya masing-masing ke dalam kamar wisma, lalu bergegas meniti jalan di pinggiran pantai, mencar, seperti anak ayam, yang berhamburan saat pagi pemilik kandang membuka pintu dan menyerahkan makanan dengan siul yang merdu sambil menepuk-nepukkan tangan, dengan tawa yang bahagia.


"Adang kamu tidak ingin ke pantai?" tanya temannya yang tak sabar melihat pantai, sekedar ingin melihat langsung deburan ombak begitu kencang suaranya seperti sedang mengaung ibarat harimau yang terkurung perkebunan sawit di tengah belantara hutan yang sesak dibakar di ujung sana, ya di ujung sana, setiap pepohonan yang besar harus tumbang karena kerakusan segelintir orang yang membumi-hanguskan harapan anak-anak yang tak memakai sepatu dan baju layak di dalam hutan yang selama ini pepohonan menjadi rumah bagi mereka dan atap bagi para binatang buas itu.


Adang tak menyaut ajakan temannya, dia hanya melamun menikmati suara ombak, dan kencangnya angin menyapu kulit wajahnya. "Adang!.." Hentak temannya, yang bernada meraung, namun tak juga Adang berpaling melihat temannya yang sudah berteriak keras, kedua temannya itu tak juga menyerah mengajak Adang untuk meniti jalan di pinggiran Pantai Selatan itu, salah satu  dari temannya memukul pundak Adang dengan lembut, dan memegangnya lalu meremasnya hingga Adang terbangun dari lamunnya dan merintih sakit akibat remasan dari salah satu temannya itu. Tiba-tiba menetes air dari kedua bola mata Adang yang hitam, dengan malu Adang sapu air matanya, yang sudah tak terasa membanjiri kedua pipinya yang tembem, "kamu kenapa?" tanya bingung dari temannya yang mengenakan kaca mata, Adang hanya merenung, tak memperhatikan tanya dari temannya, ia hanya berkata seperti tak ada sesuatu yang harus diperbincangkan dari air matanya yang menetes, "ayo kita ke pantai! Bukannya dari tadi kalian ingin ke pantai?" kedua teman Adang hanya mengangguk serentak dan menerima permintaan Adang tanpa bertanya kembali kenapa air mata itu mengalir dari bola matanya yang hitam.


Malam begitu mendung, tak membuat surut para remaja itu untuk tetap meniti jalan di tepi pantai, saat itu malam selasa kliwon, tak sedikit orang dari luar kota maupun penduduk setempat menyaksikan deburan ombak yang bersuara kencang, tak hanya di pinggir pantai orang berduyun-duyun, di tengah pemukiman rumah penduduk juga dipadati pedagang-pedagang kecil, yang menjajakan segala macam dagangannya, walau yang paling diburu, oleh pengunjung adalah bunga melati yang biasa digunakan untuk sesajen dan beberapa butir dupa yang dibakar untuk memanggil roh penyelamat, bagi mereka yang mempercayainya.


Kaki-kaki remaja itu masih menjelajahi pinggiran pantai hingga mereka jauh meninggalkan wisma dan para guru sekolahnya yang bersantai di depan teras dengan kopi dan makanan ringan, melepas dahaga mereka, yang sudah tertahan sejak lama di dalam ruang kelas yang mereka hadapi, ya gaji kecil dan kekeliruan para orang tua mendidik anaknya, pasti membuat mereka penuh rasa sukar di hatinya, namun dapat terlepas untuk sementara dijemput deruhnya angin malam.


Di pantai masih banyak orang yang termenung diam, dan merapatkan kedua tangannya di lutut yang sudah bersila berjam-jam. Dupa yang dibakar, serta sesajen yang penuh bunga warna-warni di hadapannya, mereka pejamkan mata, seperti orang yang sedang meditasi, mereka terhanyut dalam renungannya, namun badan tetap tegak bertapa, sementara di dekat lautan sesajen berhamburan, mungkin ia akan terhanyut dibawa ombak, dan ketika ia hilang dari daratan, orang-orang yang meletakkannya di pasir hitam itu, akan senang, karena itu pertanda, sesajen mereka diterima oleh penguasa lautan, dan doa yang dipanjatkan mereka akan dikabulkan, tanpa ia membanting tulang, mau percaya atau tidak dengan adegan yang mereka lakukan, sampai hari ini tak berkurang orang yang percaya dengan adegan itu, mungkin akan bertambah, jika negara yang dikuasai oleh para bangsawan berjas mentereng tak mampu memberi harapan mereka yang selama ini dipanjatkan kepada penguasa lautan Pantai Selatan, ya cukup sederhana doa yang mereka panjatkan: Mereka hanya meminta hidup tenang, tentram, dan satu yang pasti, tak ada lapar menghantui mereka, seperti kutukan yang menakutkan! Hingga orang harus rela menggadaikan dirinya kepada siapa pun.


Tiga remaja itu duduk berbaris menghadap pantai, tak ada keindahan yang mereka lihat, air pantai begitu kotor, bewarna coklat yang kehitam-hitaman, sementara langit tak melihatkan warna lain selain hitam, bintang pun tak mau muncul dideruh mendung, sementara bulan bersembunyi, sambil tertawa dengan terbata-bata, berteriak dengan malu melihat penghuni bumi: Apa yang sedang mereka lakukan, bukankah sejarah seharusnya menyadarkan mereka, tak ada makhluk yang dapat bertahan dari zaman ke zaman, selain mereka, yaa mereka manusia yang menghilangkan kekuatannya sendiri dengan menyembah makhluk tak berwujud.


Teman Adang yang mengenakan kaca mata tiba-tiba mulutnya menguap, rasa ngantuk mulai menyelimuti matanya, badannya terasa capek, setelah berhari-hari kurang tidur dalam perjalanan melancong ke negeri keraton itu, sementara teman yang satunya masih asyik mendengar deburan ombak, sesekali dia dapat menikmati suara ombak, sebab ia tinggal di daratan tinggi yang memisahkan manusia dengan pantai. "Adang aku sudah ngantuk, ada baiknya kita kembali ke wisma," ucap teman Adang dengan nada memohon, Adang melihat kedua temannya, dan berkata lembut kepada mereka: "Kalian kembali duluan, aku akan menyusul, deburan ombak itu seperti teman bagiku malam ini," teman Adang menyaut ucapannya dengan perkataan yang coba menceramahi Adang, "yasudah, jika kamu masih ingin di sini, kamu jangan lupa kembali," ucap temannya dengan lesuh. "Ya!" Dengan semangat ia saut ucapan temannya. "Aku juga kembali ke wisma Dang, mataku juga mulai ngantuk," sambung temannya satu lagi, yang mengenakan topi kupluk di kepalanya. Adang menyambut ucapan perpisahan mereka dengan senyum, sambil melambaikan tangannya saat mereka meninggalkannya, lalu Adang berteriak dengan lembut: "Jangan bilang dengan ibu guru aku masih di sini." Kedua temannya hanya mengangguk dari kejauhan.


Malam sudah larut bintang tetap tak hadir di langit pantai, bulan juga tetap bersembunyi di balik mendung, sambil sesekali tertawa terbata-bata menyaksikan dengan diam-diam manusia yang bertapa di pinggir pantai. Adang belum juga punya niat untuk kembali ke wisma itu, sementara para temannya menunggu ia dengan cemas. Adang bangkit dari pasir hitam itu, lalu ia berjalan-jalan di pinggiran pantai hingga jauh meninggalkan wisma, sampai ia bingung sediri melihat di sekitarnya sudah tak ada lampu-lampu jalan yang menerang di dekat pantai, namun Adang tetap berjalan, tanpa tujuan jelas, karena wisma yang sederhana itu sudah luput ditelan angin, ia lupa jalan kembali kesana.


Ia berjalan menapaki tepi pantai sendiri, di tengah lantunan suara ombak yang kencang memupuk semangat Adang untuk terus menelusuri pinggiran pantai, "Mas mau kemana?" tiba-tiba suara merdu itu dengan nada tanya terdengar di telinga Adang, ia perhatikan sekelilingnya tak ada satu pun orang yang dapat dijangkau matanya, "he Mas, aku disini," terdengar lagi suara merdu itu, semakin kencang, Adang panik, namun ia tak lari dari kejaran suara itu, kepalanya ia putar, badannya ikut berputar memperhatikan sekelilingnya kembali, "Mas aku di sini," suara itu kembali terdengar, Adang tetap tak mendapatkan dari mana sumber suara itu, tiba-tiba muncul perempuan seusia ibu Adang, mendekatinya dan menepuk bahu Adang sambil bertanya dengan lembut: "Mas mau kemana? Aku di sebelah sana dari tadi," Adang kaget melihat perempuan itu. Datang dari mana perempuan ini? Tanyanya bingung di dalam hati. "Pojokan yang gelap itu," ucap perempuan itu seakan mengetahui pertanyaan di hati Adang, "aku tadi di situ Mas, ayo kesana kalau kamu lelah berjalan di pantai," sambung perempuan itu sambil mengarahkan tangannya ke sebelah selatan, dengan nada memohon meminta Adang untuk ke tempatnya, di pinggir pantai, di samping tumpukan pasir yang menjulang seperti gunung. Adang mengangguk dan mengikuti permintaan perempuan itu, lalu mereka duduk bersila di atas kain merah.


Angin tetap saja kencang, deburan ombak masih mengaung seperti harimau yang terkurung perkebunan sawit, bintang-bintang tak ada menoleh satu pun, pasir hitam berhamburan ditiup angin, Adang dan perempuan itu terlindungi tumpukan pasir dari balutan angin malam. "Kamu dari mana mas?" tanya perempuan itu, Adang diam sejenak menatap perempuan itu yang mengenakan baju seksi, terlihat belahan dadanya, dan paha putih yang mulus, Adang perhatikan ia dari ujung kakinya hingga rambutnya yang lurus dan hitam, namun tak ada rasa kagum yang memburu jiwa Adang, justru sebaliknya dia malah teringat ibunya yang sedang menunggu kedatangannya di rumah, "Saya dari tanah Pasundan Bu," saut Adang menjawab pertanyaan perempuan itu yang terlihat kaget ketika Adang memanggilnya dengan panggilan ibu. 


"Mas kamu tidak merasa dingin?" tanya perempuan itu menyambung percakapan mereka setelah sejenak mereka saling diam, "jika kamu kedinginan, maka di pojok inilah tempatnya untuk kamu menghangatkan diri," sambungnya. Adang terlihat bingung mendengar ucapan perempuan itu, ia perhatikan sekelilingnya tak ada kayu yang terbakar, tak ada juga tungku yang dapat menghangatkan badan, di pikiran Adang terlintas pertanyaan: Bagaimana di sini dapat menghangatkan badan. Adang memang anak lugu, dari kecil ia dirawat oleh ibunya dan dibanjiri perhatiaan sehingga ia tak pernah merasa kekosongan kasih sayang. Kekosongan kasih sayang membuat banyak para remaja seusianya menghamburkan uang untuk mengisi kekosongan itu dengan seks. Adang tak menanggapi omongan perempuan itu dia tetap asyik melihat gelap di sekelilingnya, "Mas!" Tegur kembali perempuan itu, mendengar teguran itu Adang menoleh menatapnya, lalu perempuan itu melanjutkan percakapannya: "Kamu mau saya pijat, pijatan saya hangat Mas, banyak mahasiswa dari kota, yang datang rutin kesini hanya untuk saya pijat seluruh badannya, capek dan dahaga lepas jika tangan ini memegang tubuhmu Mas!" sambungnya. Mendengar rayuan itu Adang hanya menggelengkan kepala, jawaban Adang membuat perempuan itu bingung. 


Suasana pantai terasa sunyi senyap, seperti tak ada orang di sekeliling Adang, hanya angin yang menyelimutinya membuat ia menggigil, perempuan itu malah tertawa kecil menyaksikan Adang yang menggigil, "sudah saya bilang jika dingin, minta saya untuk menghangatkan," ucap perempuan itu dengan genit. Adang hanya diam mendengar ucapan perempuan itu, lalu perempuan yang seksi di hadapannya melanjutkan pembicaraan dengan nada yang tak henti merayu: "Kamu maunya apa Mas? Jika ingin hangat, di sinilah tempatnya, kita bisa saling merebahkan diri, dan tak menyisakan sehelai benang pun di badan, kamu akan puas Mas, ayo jangan diam kamu maunya apa? Saya pasti bisa beri jika permintaan kamu hanya mengusir dingin," Adang tetap tak bergeming memperhatikan perempuan itu bicara dengan nada rayuan, lalu dengan santun Adang menjawab pertanyaan perempuan itu yang penuh gairah: "Ibu jika diijinkan, boleh saya meletakkan kepala di paha Ibu, saya ingin melihat malam, sambil mengenang ibu saya di rumah." Perempuan seksi di depan Adang, tersenyum mendengar permintaannya, dan mempersilahkan Adang untuk meletakkan kepala di pahanya.


Mereka berdua tak diburu nafsu yang menggebu, walau perempuan itu menyerang Adang bertubi-tubi dengan rayuan yang menggemaskan, tapi tak membuat Adang hanyut dengan rayuannya, mereka malah asyik bercerita tentang keluarganya masing-masing, dan Adang mulai tak canggung berbicara pada perempuan itu, dia bertanya dengan lembut, "apakah Ibu di sini juga sedang membakar dupa? Aku tak melihat ada dupa di sini, dan bunga yang biasa digunakan untuk sesajen." Mendengar pertanyaan Adang yang lugu membuat perempuan itu tertawa kecil, lalu menyampaikan dengan lembut, maksud ia duduk di pojok pantai, "kamu begitu lugu Nak, di sini tak ada dupa, tak ada bunga, saya bukan orang yang percaya dengan kehebatan makhluk lain di luar manusia, di sini saya bekerja, tanpa bantuan makhluk apapun!" Adang langsung menyaut perkataan perempuan itu dengan sedikit terburu-buru, "apa yang Ibu kerjakan di sini?" tanyanya tanpa ragu. Perempuan itu menghela napas yang dalam, lalu berkata pelan, "kerja saya cukup berat Nak, badan ini saya jadikan perkakas kerja." Adang kaget mendengar perkataan perempuan itu dan bangkit dari pangkuan perempuan itu, lalu berkata dengan nada bersalah: "Maaf Bu saya mengganggu Ibu kerja, sebaiknya saya pergi dari sini." Perempuan itu tersenyum menatap Adang, ia tatap mata Adang yang penuh kasih, tak ada api nafsu di matanya, yang sering dilihat perempuan itu dari para pemuda kota yang menggunakan jasanya. Melihat Adang duduk di hadapannya setelah bangkit dari pahanya yang mulus, ia malah berkata dengan nada memohon untuk Adang kembali merebahkan kepala di pahanya yang mulus itu, "kamu di sini saja, rebahkan saja kepalamu di paha saya, kita berbagi kasih, saya tak akan meminta bayaran atas jasa paha saya, karena wajahmu yang lugu ini, membuat saya ingat dengan anak saya, yang mati karena sakit keras, saya tak sanggup menyelamatkannya, karena pada saat itu, hanya uang recehan yang ada di kantong saya, jika anak pintar itu masih hidup mungkin dia sudah sebesar kamu dan pasti menjadi juru adzan di kampung saya." 


Mereka berdua tetap asyik saling berbalas cerita kisahnya masing-masing, tanpa bertemankan bintang dan bulan. Adang kembali merebahkan kepalanya di paha yang mulus itu, perempuan itu membelai rambut Adang dengan hangat seperti anaknya sendiri, walau mereka baru bertemu tak membuat mereka canggung untuk saling berbagi kasih sayang tanpa embel-embel kenikmatan seks!


"Ibu asli orang sini?" tanya Adang yang penasaran dengan perempuan itu. "Tidak Nak, saya dari kota yang jauh dari sini, di sini saya hanya mencari makan, saya tak berani menetap di sini, tiap hari ada saja ancaman yang datang, kalau tidak penggusuran rumah warga, yang sebagian besar sudah tua di makan zaman, atau penggarukan yang dilakukan lelaki hidung belang dengan topeng seragam dinasnya," Adang memotong perkataan perempuan itu dengan bertanya penasaran, "siapa pria hidung belang yang mengenakan seragam itu Ibu?" tanyanya bercampur penasaran. Perempuan itu tertawa kecil menjawab pertanyaannya dan mengatakan dengan singkat: "Penduduk di sini, biasa menyebut mereka satpol keple!" Adang juga ikut tertawa mendengar ucapan perempuan itu yang berani menghina kelompok pria hidung belang berseragam.


"Ibu, sampai kapan Ibu bekerja di sini?" tanya Adang kembali. Perempuan itu terdiam sejenak mendengar pertanyaan Adang dan kembali menghela napas, lalu dengan sedih menjawab pertanyaan Adang, "sampai badan ini tak disukai lagi oleh pria hidung belang Nak," ucapnya sambil menbelai rambut Adang. Suara ombak tak kedengaran lagi, Adang sungkan untuk bertanya kembali, matanya juga sudah redup, ia pejamkan matanya, di atas paha perempuan itu, deburan ombak yang deras tak lagi ia dengar, lembut belaian perempuan itu, membuat Adang lelap tertidur di pangkuannya.


Subuh sudah menghampiri langit pantai, perempuan itu harus kembali ke penginapannya, sementara Adang masih tidur dengan lelap, perempuan itu tak ingin mengganggu Adang tidur, pelan-pelan ia angkat kepala Adang, dan ditaruhnya bantal yang biasa menjadi alat bantu ia mencari uang, dibawa kepala Adang sebagai pengganjal yang menggantikan paha mulusnya. Sedih di hatinya melihat Adang, ia teringat anaknya, namun ia harus tetap meninggalkan Adang sebelum pagi tiba, dengan diam-diam, dia angkat kakinya, dari alas kain merah itu, lalu tertatih-tatih meninggalkan Adang di tepi pantai yang dingin.



*


"Itu Adang!.." Teriak temannya yang semalaman mencemaskan keberadaan Adang, dan pagi tiba baru mereka berduyun-duyun mencari Adang. Mereka hampiri Adang yang masih tertidur lelap, dengan air putih mereka siram wajah Adang yang tertidur pulas, Adang kaget melihat teman-temannya dan para guru sudah di depannya ketika ia membuka pelan-pelan matanya yang sayup akibat kurang tidur. "Kamu tadi malam tidur di sini Dang?" tanya wali kelasnya dengan wajah yang merungut  melihat tingkah Adang, "sudah cepat ke wisma, kamu mandi, pagi ini cerah, kita mau berolahraga!" Tangkas wali kelasnya dengan setengah nada marah. "Iya Bu," jawab Adang dengan lembut, tatapan Adang kosong, melihat teman dan gurunya, ia masih bingung, dan hati kecilnya bertanya kemana perempuan yang tadi malam bersamanya? Kain merah yang tertinggal itu dibawa Adang, di dalam hati Adang berucap syukur dan berterima kasih kepada perempuan itu yang meninggalkan barang kenangan untuknya, selembar kain merah yang ditulis dengan cat minyak warna putih, berbunyi kata-kata menentang dengan berani: Jangan gusur kami! Kami sudah di sini sebelum kalian mengerti apa arti kata kemerdekaan, jika kalian memaksa! Kami wani mati (berani mati). Dengan kantuk huruf berani itu Adang baca di dalam hati, dan ia berjalan membawa kain merah itu dan ia ambil kayu yang ditancapkan di pasir hitam bertempelkan potongan spanduk bekas yang bertuliskan: Yen iseh ono gusuran Yogyakarta durung istimewa tenan! Renungkan dan pikirkan! (Kalau masih ada penggusuran Yogyakarta belum benar istimewa! Renungkan dan pikirkan) Lalu Adang tanpa basa-basi meninggalkan temannya dan gurunya yang masih bingung terhadap Adang, sambil bertanya menggerutu di hati masing-masing: "Kenapa Adang tidur di tepi pantai? Dan kenapa kain merah serta kertas yang bertuliskan seruan aneh itu ia bawa?"







*Seorang pemuda yang santun, dan gemar menanam bunga, saat ini ia aktif di PEMBEBASAN.



Catatan: Cerita ini didedikasikan kepada ARMP (Aliansi Rakyat Menolak Penggurusan) dan untuk seluruh rakyat yang tak henti mengatakan: Tidak kepada penindasan!

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar