(Diperjuangkan oleh: M Ikhsan Firm)
Aku adalah sang bangsawan dari sebuah nagari di dataran tinggi yang
sekarang dikenal dengan Suliki, salah satu wilayah dari Kab. 50 Kota di Provinsi
Sumatra Barat. Sebagaimana layaknya bangsawan pada umumnya, aku juka memiliki gelar kebangsawananku sendiri, Tan Malaka. Hahaha, aku tau, kalian
yang sedang membaca kisahku ini pasti bertanya-tanya, bukankah itu memang namaku.
Hahaha, kalian ternyata telah termakan oleh aibsi Salah. Kalian
lebih asyik melihat keromantisan dari yang katanya "calon pemimpin negeri,"
ini yang sudah bak drama Korea, daripada sekedar meluangkan waktu untuk ber-ta'aruf denganku.
Tapi tak apa, toh aku juga yakin, diantara kalian,
sejatinya masih terdapat penerus-penerus sejatiku. Dan buat mereka, akan aku paparkan fakta-fakta menarik mengenai diriku, seorang Guru, Filsuf, Bangsawan sekaligus Pejuang Komunis,
dan setali tiga uang juga seorang Muslim.
Kehidupan Awal.
Nama asliku adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah
nama semi-bangsawan yang aku dapatkan dari garis ibu. Nama lengkapku adalah
Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tanggal kelahiranku? Aku lupa dan tidak dapat
memastikannya, dan tempat kelahiranku
sekarang dikenal sebagai Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat. Ayahku bernama HM. Rasad, seorang
karyawan pertanian, dan ibuku Rangkayo Sinah, putri
orang yang disegani di desa.
Pada tahun 1908, aku didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru
negara) di Fort de
Kock. Menurut guruku, GH Horensma, aku, meskipun kadang-kadang tidak
patuh, adalah murid yang pintar. Di sekolah ini, aku menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga
Horensma menyarankan agar aku menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Aku
lulus dari sekolah itu pada tahun 1913. Setelah lulus, aku ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi
tunanganku. Namun, aku hanya menerima gelar datuk. Aku menerima gelar
tersebut dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.
Pendidikan di Belanda.
Meskipun diangkat menjadi datuk, pada bulan
Oktober 1913 aku meninggalkan desaku untuk belajar di Rijkskweek school (sekolah
pendidikan guru pemerintah), yang didanai oleh para engku dari desaku. Sesampainya di Belanda, aku mengalami kejutan budaya (mungkin tidak terlalu berbeda dengan istilah
kalian sekarang: homesick. Selama kuliah, pengetahuanku tentang
revolusi mulai meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie, yang
diberikan kepadaku sebelum keberangkatanku ke Belanda oleh Horensma.
Setelah Revolusi Rusia pada Oktober
1917, aku semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme, membaca
buku-buku karya Karl Marx,
Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.Friedrich
Nietzsche juga menjadi salah satu panutanku. Saat itulah aku mulai membenci budaya Belanda dan
terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang aku dapat tentang Jerman, aku terobsesi menjadi salah satu
angkatan perang Jerman.
Aku kemudian mendaftar ke
militer Jerman. Bagaimanapun, aku ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang
asing. Saat itulah aku bertemu Henk Sneevliet, salah satu
pendiri Indische Sociaal dari-Democratische
Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai
Komunis Indonesia). Aku juga tertarik bergabung
dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat
Sosial Guru). Pada bulan November 1919, aku lulus dan menerima ijazah yang
disebut hulpactie. Menurut ayahku, selama aku di Belanda, kami berkomunikasi melalui suatu sarana
mistik disebut tarekat, salah satu
ilmu dan aliran dalam Islam.
Kembali ke Hindia Belanda dan Mengajar.
Setelah lulus, aku kembali ke desaku. Aku kemudian
menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan
teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Aku tiba di sana pada
Desember 1919; dan mulai mengajar anak-anak itu bahasa Melayu pada Januari
1920. Selain mengajar, aku juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para
kuli, dikenal sebagai Deli Spoor. Selama masa ini, aku belajar dari kemerosotan dan
keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera.
Aku juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga
menulis untuk media massa. Salah satu karya awalku
adalah "Tanah Orang Miskin," yang menceritakan tentang perbedaan
mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het
Vrije Woord edisi Maret 1920. Aku juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh
di Sumatera Post. Aku menjadi calon anggota
Volksraad dalam pemilihan
tahun 1920, mewakili kaum kiri. Aku memutuskan untuk
mengundurkan diri pada 23 Februari 1921.
Madilog dan Gerpolek.
Kedua hal ini sering dianggap oleh sebagian dari
kalian sebagai karya monumentalku. Dan melalui dua hal ini,
aku memaparkan wujud-wujud filsufku.
Madilog merupakan istilah baru dalam
cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan
dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian
dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu
bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind),
kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam,
benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan
yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum
dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan
ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional
belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua
karyaku dan permasalahannya
dilatar belakangi oleh kondisi Indonesia pada masaku. Terutama rakyat Indonesia,
situasi dan kondisi Nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang diakhiri
dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi nyata bangsa
Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis
dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah aku cetuskan
sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika
membaca karya-karyaku yang meliputi semua bidang
kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai
kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang
putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian yang
merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam perjuanganku.
Hidupku,
dimulai dari tarikan nafasku, pemikiran di kepalaku, hingga tindakanku yang
merealisasikan pemikiranku, semuanya didasari atas kenyataan duniaku,
sempitnya Indonesiaku, di saat itu.
Gelar Kepahlawananku.
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan
penangkapan dan penahananku bersama pimpinan Persatuan
Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua
setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948
dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, aku dikeluarkan dari penjara akibat
peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah
bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian
Linggajati 1947 dan Renville
1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana
Menteri Amir
Syarifuddin, aku merintis pembentukan Partai Murba, 7 November1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari aku akhirnya mencapai titik tertinggi dalam proses
perjuanganku bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Harry A. Poeze,
seorang Sejarawan Belanda yang mengetahui kisahku akhirnya membuka kisahku bahwa aku ditembak mati pada tanggal 21
Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi
Brawijaya.
Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani
Presiden Soekarno 28 Maret1963 menetapkan bahwa aku adalah seorang pahlawan kemerdekaan
Nasional. Bukan hal
yang penting bagiku, karena tidak ada harganya dalam kuburku, dan gelar ini juga masih belum sanggup meruntuhkan dinasti Lintah Inlander di negeriku yang tragis.
Akhir Batasku.
Ini hanya sekelumit kisahku
yang di kesempatan ini dapatku ceritakan kepada kalian, aku harap, selanjutnya
kalian bisa menemukan cerita-ceritaku yang lainnya,
dan melanjutkan ceritaku dengan cerita kalian sendiri, YANG INDAH.
Aku berjuang atas apa
yang negeriku alami, bukan sekedar fanatisme sesaat kepada sosok yang dianggap perkasa,
padahal mengenalku pun tidak. Aku berjuang atas mataku yang melihat, telingaku yang
mendengar, bukan karena hati yang dibutakan.
Salam Pembebasan!
*Kader PEMBEBASAN Koleketif UGM.
*Referensi gambar:
https:/GurindamSangPejuang!s%253Fq%253Dtbn%253AANd9GcQA6LM0v3z0bo5GCCJmBMZQlQkFMiUyHlX22ZQE4YH67vzTKk0a3Q%253B861%253B1224%253Bl2VAUiWfZTaWnM%253Bhttps%25253A%25252F%25252Fbajaklaut37.wordpress.com%25252Fcategory%25252Ftan-malaka%25252F&source=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar