“Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata 'Emansipasi' belum
ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan
kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan
saja, tetapi di kala itu telah hidup di dalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.” (Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
Kartini,
lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879, umumnya disebut-sebut
sebagai salah seorang pelopor perjuangan kesetaraan perempuan di
zamannya dan bagi bangsanya, perempuan yang luar biasa di tengah kaumnya
yang terbelakang, di antara jutaan rakyat yang masih diselimuti alam
feodalisme, terbelakang dalam berfikir, dalam ilmu dan pengertahuan.
Kartini lahir dari lingkungan priyayi, anak dari Bupati Jepara yang
penuh dengan doktrin feodal. Sebagai anak bangsawan, Kartini hanya boleh
bersekolah sampai usianya 12 tahun, ia bersekolah di ELS (Europese
Lagere School). Perjalanan hidupnya semakin masuk dalam ruang feodalisme
hingga ia dipingit oleh ayahnya dan terpaksa mau dijodohkan dengan
Bupati Rembang, yang pernah berisitri tiga. Dalam situasi yang sulit
bagi Kartini, gagasan kemajuan yang ada dalam fikirannya, yang bercermin
pada gagasan kemajuan perempuan Eropa, terpaksa hancur oleh paksaan
keluarga. Hidup dalam "kurungan emas," demikian ia menyebut istana
ayahnya di dalam salah satu suratnya. Pada masanya, perempuan pribumi
diletakkan pada status terrendah dalam masyarakat.
Kartini: Bermimpi Tentang Kemajuan Perempuan dan Seluruh Manusia Pribumi.
Hari-hari
menjelang dan sesudah pernikahnya, semakin mempersulit Kartini untuk
bisa menembus batas penjara adat, norma sosial dan agama. Ruang geraknya
menjadikan korespondensi sebagai alat belajar tentang gagasan
kesetaraan perempuan. Memang Kartini tidak sehebat Martha Christina
Tiahahu, perempuan pejuang yang mengangkat senjata mengusir
kolonialisme, metode perjuangan Kartini mengambil bentuk protes gagasan
kesetaraan di tengah-tengah intervensi hegemoni feodalisme akut di Jawa.
Bermimpi untuk memajukan perempuan pribumi, merumuskan gagasan bahwa
kaum perempuan harus maju dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan
lain-lain. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita,
tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan perempuan
sebagai upaya memperoleh kebebasan mengakses pendidikan, otonomi dan
persamaan hukum menjadi tuntutan dari gerakan yang lebih luas. Ia
mendirikan sekolah perempuan untuk mengajari baca tulis kaum pribumi,
Kartini juga menulis surat-suratnya yang kemudian dikodifikasi dalam
buku berjudul “habis gelap terbitlah terang”. Oleh karena obsesi
pembebasan perempuannya inilah, Kartini menjadi simbol gerakan kaum
perempuan di Indonesia, hari lahirnya 21 April dijadikan hari nasional
setelah Soekarno menetapkan bahwa Kartini sebagai pahlawan nasional.
Namun,
kehendak maju gagasan Kartini (pembebasan perempuan) dijungkir-balikkan
oleh Soeharto menjadi Budaya Ibuisme, budaya bentukan rezim orde baru
yang mengurung gagasan maju Kartini dalam ruang-ruang patriarki,
perempuan dijadikan sebagai manusia kedua, aktifitasnya dibatasi hanya
berbicara tentang tugas-tugas keibuan, warisan abad feodal. Jikapun
berorganisasi, Orba memaksa agar perempuan masuk dalam
organisasi-organisasi (organisasinya pun sudah disediakan), yang hanya
berbicara tentang peran perempuan sebagai pendamping urusan domestik
suami: Dharma Wanita, PKK, Bhayangkari, Wara Kawuri, dll. Tidak hanya
itu, Orba mengekalkan pemutar-balikkan fakta gagasan Kartini lewat
peringatan-peringatan yang berwatak domestic pula seperti perlombaan
peragaan busana Kebaya, lomba memasak, parade baju daerah, lomba merias.
Hari Kartini hampir identik dengan aktifitas yang penuh prasangka
patriarki. Di sekolah-sekolah dan perkantoran, peringatan Hari Kartini
sekedar seremoni, tanpa menyentuh aspek substansi tentang makna
perjuangan pembebasan perempuan. Akibat dari dibajaknya warisan semangat
Kartini, dan ide-ide pembebasan perempuan ditinggalkan dan ditanggalkan
oleh Soeharto, perjuangan perempuan di Indonesia semakin tidak memiliki
celah untuk bisa maju.
Akibat patriarki dan warisan
feodalisme itulah, perempuan menjadi sangat tertinggal jauh dalam
persoalan produktifitas sehingga menyebabkan jumlah akses perempuan
terhadap dunia pendidikan, pekerjaan, bahkan agama sedikit. Perempuan
mengalami diskriminasi dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik
dan lain sebagainya.
Sementara dalam wilayah ekonomi,
kaum perempuan tak dapat menikmati hasil pembangunan sebagaimana kaum
laki-laki. Ibu-ibu atau perempuan lebih banyak berkutat dengan rutinitas
mengasuh, mendidik dan membesarkan anak serta melayani suami di rumah.
Inilah yang membuat perempuan tidak punya waktu berkreatifitas. Adapun
ketika perempuan itu bekerja di pabrik-pabrik mereka masih mendapat
diskriminasi, contohnya upah buruh laki-laki lebih besar nominalnya dari
pada upah buruh perempuan padahal jam kerjanya sama, dengan alasan
karena perempuan bukan kepala rumah tangga.
Menolak Pemilu 2014, Melawan Militerisme dan Membangun Partai Laternatif Adalah Cara Mewarisi Gagasan Kartini Dengan Benar.
Tahun
2014 adalah tahun dimana pesta para partai politik yang di dalamnya di
huni oleh para pemilik modal (kapitalis), yang dengan serakahnya
mengeruk kekayaan alam Indonesia. Di tahun ini juga militer ikut andil
mencalonkan diri menjadi bagian dari pesta elit busuk yang bisa
dipastikan akan mengamankan modal investor asing dan lokal, para militer
ini dipastikan akan menutup semua kran demokrasi negeri ini. Munir,
Wiji thukul, Marsinah, 13 aktivis yang hilang, Pembantaian etnis Cina,
pemerkosaan perempuan anggota Gerwani, peristiwa Malari, Peristiwa
tanjung Priok, serta kerusuhan 1998 adalah fakta bahwa keterlibatan
militer dalam pelangggaran HAM sangat berbahaya bagi masa depan bangsa
ini. Bagaimana dengan nasib saudara-saudara kita di tanah Papua? Hanya
untuk mempertahankan tanah mereka, mereka harus berhadapan dengan
Militer, mereka dipukul, ditembak, bahkan dibunuh. Perempuan-perempuan
di Papua banyak yang diculik dan diperkosa. Militer juga berperan banyak
dalam kasus penghancuran gerakan perempuan dengan menyebarkan issu-issu
sesat tentang organisasi perempuan.
Dalam peringatan Hari Kartini kali ini, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) menyatakan sikap:
- Hentikan pemutar-balikkan sejarah tentang perjuangan Kartini
- Maknai Kembali Perjuangan Kartini dengan menuliskan sejarah yang jujur tentang gagasan pembebasan perempuan, termasuk merubah kurikulum sejarahnya
- Dirikan organisasi gerakan pembebasan perempuan sebagai alat perjuangan bagi demokrasi.
- Selamatkan demokrasi dengan menghadang calon presiden militer dan calon presiden yang tidak anti militerisme.
- Adili dan penjarakan Prabowo, Wiranto dan para pelaku pelanggaran HAM
- Menolak pemilu borjuis 2014 dan Bangun partai rakyat sebagai alat perjuangan rakyat.
Jakarta, 21 April 2014
Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
[PEMBEBASAN]
Ketua Umum
Arie nasrullah Lamondjong, SIP
Sekretaris Jenderal
Sutrisno Bandu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar