Eksploitasi kelas dan penindasan
seksual terhadap perempuan muncul bersamaan dengan tujuan melayani kepentingan system
kepemilikan pribadi dan itu berlaku hingga saat ini (sistem Kapitalisme),
Engels.
Dalam hitungan beberapa hari ke depan ada dua
momentum besar politik nasional partai-partai dan elit borjuis yang sangat
penting untuk dianalisa agar diketahui ke arah manakah kecenderungan pengaruh
kemenangan kekuatan politik partai dan elit borjuisnya terhadap kehidupan
rakyat Indonesia, sehingga elemen pelopor gerakan politik memiliki suatu
pegangan sebagai landasan kepentingan berjuang melawan secara kritis dan
analitik terhadap politik Pemilu borjuis. Melawan dengan semangat militansi
yang tahan lama dan kokoh di periode sejarah perjuangan yang panjang di masa
mendatang dalam kerangka kerja pembangunan suatu program
kekuatan politik alternatif rakyat. Momentum politik tersebut
adalah pesta politik suara segelintir elit borjuis dalam bingkai demokrasi
prosedural yaitu Pemilihan Umum Legislatif di 9 April dan Pemilihan Umum Presiden
di 9 juli 2014 nanti.
Di bawah demokrasi prosedural segala aturan
hukum diproduksi menurut mekanisme keterwakilan di dalam parlemen. Sementara
produk hukum dari parlemen merupakan
suatu bentuk ekspresi dari watak partai-partai dan elit partai borjuis yang ada
di dalam system parlemen tersebut yang sangat pro terhadap system ekonomi
kapitalisme yang sudah barang tentu berkonsekuensi pada penghancuran seluruh
sumber penghidupan rakyat terutama kaum perempuan yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Karenanya demokrasi prosedural tidak memberikan manfaat yang
signifikan bagi perkembangan sumber daya manusia dan lingkungan hidupnya.
Dalam sejarah pemilu pertama kali di Indonesia
1955, perempuan bukan hanya punya hak pilih dan memilih, tetapi bahkan ada
partai perempuan yang turut bertarung, yakni Partai Wanita Indonesia/Partai Wanita
Rakjat. Dalam pemilu itu, ada 19 perempuan yang terpilih sebagai anggota
parlemen (DPR): 4 dari PNI, 4 dari Masyumi, 5 dari NU, 5 dari PKI, dan 1 dari
PSI. Dalam pemilihan umum
pada tahun 1955 tersebut, 6,5 persen dari anggota parlemen adalah perempuan.
Kemudian, representasi perempuan Indonesia di parlemen mengalami pasang surut,
dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0 persen pada tahun 1987 di bawah
kekuasaan rezim Soeharto.
Sejak pasca reformasi hingga sekarang ini,
keterwakilan perempuan di parlemen terus mengalami kenaikan pada pemilu 1999,
ada 45 perempuan yang berhasil sebagai anggota DPR. Lalu, pada tahun 2004,
jumlahnya menjadi 65 orang. Dan pada pemilu 2009 lalu, ada 103 perwakilan
perempuan yang berhasil duduk sebagai anggota DPR. Di tahun 2014 sekarang dari
6.607 caleg yang akan bertarung untuk merebut kursi DPR RI, sebanyak 2.467 di
antaranya adalah caleg perempuan, akan tetapi representasi kelas mereka lebih
tinggi persentasenya dari kelas pengusaha dan swasta, sebagaimana hasil
survey data oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi),
sebanyak 41,9% caleg perempuan berasal dari latar-belakang pengusaha dan
swasta. Sementara yang berasal dari latar-belakang aktivis hanya berjumlah 3,3%
semisal Nuraini Hilir, aktivis perempuan yang maju sebagai Caleg melalui PDI
Perjuangan yang juga mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) era
1997-1998. Saat ini, jumlah perempuan yang duduk di kursi parlemen hanya
mencapai 8,8 persen dari seluruh anggota perwakilan terpilih.
Di bawah pengaruh kooptasi sistem kapitalisme,
perempuan-perempuan yang menang dalam Pemilihan legislative sekalipun justru
tidak akan mampu memberikan
energi pembebasan terhadap rakyat terutama terhadap kaum perempuan itu sendiri. Dalam kenyataannya
demokrasi prosedural hanya dijadikan instrument klas oleh
segelintir elit partai yang berkuasa di dalam parlemen untuk meloloskan segala macam
kepentingan partai dan kelasnya, dan lebih membahayakan lagi adalah
menerima proyek kapitalisme masuk ke dalam negeri Indonesia.
Pengaruh Kapitalisme terhadap system demokrasi
Indonesia saat ini yang sudah berumur 16 tahun sama sekali belum memberikan
kontribusi konkrit terhadap kesejahteraan kaum perempuan. Demokrasi hanya
dikembangkan sebatas bentuknya yang paling formal, semacam mengisi
politik kuota kursi 30
persen di dalam parlemen
atau memperjuangkan produk
undang-undang atau aturan perlindungan terhadap kaum perempuan sebagai tameng
legal, misalnya dari maraknya perda-perda Syariah atau Perda yang
mendiskriminasi perempuan, seperti di Aceh yang masih mengabdikan praktek
akumulasi modal.
Tidak ada tempat bagi partisipasi rakyat dan
kaum perempuan yang melawan kehendak modal. Kapitalisme, dalam bentuk
tertingginya yakni penjajahan modal asing (imperialisme), lewat proyek
globalisasi (neoliberalisme) saat ini, adalah penghambat utama kesetaraan
sejati kaum perempuan di seluruh dunia, khususnya kaum perempuan di
negeri-negeri miskin (dunia ketiga) yang terjajah secara ekonomi. Di
negeri-negeri miskin, hanya segelintir perempuan kelas atas yang berpengetahuan
dan bisa bersekolah hingga Perguruan Tinggi, mayoritas lainnya merupakan
penderita buta huruf paling tinggi; berpendidikan rendah; hingga rentan
terhadap pekerjaan-pekerjaan tidak produktif dan tidak bermartabat.
Proyek kapitalisme tersebut lahir
dalam bentuk program-program semacam Penyesuaian Struktural
(SAP’s), Konsensus Washington, atau yang dilahirkan oleh desakan pemerintah
negeri-negeri maju (utamanya Amerika Serikat/AS), dan Bank Dunia (WB), Dana
Moneter Internasional (IMF), yang pada inti logikanya adalah menghendaki
liberalisasi/dibukanya pasar negeri-negeri dunia ketiga terhadap komoditi
barang dan jasa perusahaan-perusahaan kapitalis internasional
negeri-negeri maju; dibebaskannya perusahaan-perusahaan tersebut
menguasai berbagai sumber daya alam (bahan mentah) negeri-negeri dunia ketiga.
Sehingga milyaran
dolar keuntungan per hari yang dibawa pulang oleh PT. Freeport dan PT. Exxon
Mobile dari tanah Indonesia, bersih dari tanggung jawab untuk membebaskan kaum
perempuan Indonesia dari buta huruf; menyediakan lapangan kerja produktif lewat
industrialisasi; perumahan yang layak; akses kesehatan yang modern untuk menanggulangi segala penyakit.
Demikian pula milyaran dolar per hari yang dibawa pulang secara bebas oleh
Nestle, Unilever, Toyota, Suzuki, Nokia, Danone, Sony Erricsson, ke
kantung-kantung para pemiliknya di kampong halamannya di Amerika Serikat, Jepang, Belanda,
Perancis, Jerman, Inggris, yang merupakan negeri-negeri tempat perputaran modal
terbesar di dunia.
Karena itulah negeri-negeri itu dinamakan
negeri-negeri maju, atau negeri dunia pertama, dengan pendapatan per-kapital
rakyatnya jauh di atas 2 dolar/hari, sementara negeri-negeri seperti Indonesia
disebut negeri miskin atau dunia ketiga, dengan pendapatan riil per-kapita
rakyatnya jauh di bawah 2 dolar perhari.
Oleh sebab itu juga, tidak seperti kaum
perempuan di negeri-negeri miskin, kaum perempuan di negeri maju secara politik
memiliki syarat untuk dapat lebih maju lagi. Terbukti dengan
meningkatnya peran mereka di bidang politik, profesional, maupun akademik
dewasa ini (itupun masih timpang jika dibandingkan dengan jumlah seluruh
perempuan).
Secara historis, syarat tersebut bisa terpenuhi
akibat anarkisme ekonomi kapitalisme pasca perang Dunia ke-2 yang membutuhkan
penambahan jumlah tenaga kerja perempuan (walaupun dengan upah yang tidak sama
dengan laki-laki, peningkatan karir yang lebih sulit, dan PHK yang lebih
mudah), sehingga banyak kaum perempuan diharuskan keluar dari wilayah domestik. Sejak itu pula akses
terhadap pendidikan, pengetahuan, serta lapangan pekerjaan terbuka, membuat
mereka memiliki kapasitas untuk menjadi lebih setara secara formal.
System kapitalisme semakin mengkiamatkan rakyat
terutama kaum perempuan Indonesia. Sebanyak 600 juta kaum perempuan dalam
keadaan buta huruf. Setiap tahun tak kurang dari 800.000 orang diperdagangkan
dan dieksploitasi secara seksual ke luar negeri, dan 80 persennya adalah kaum
muda perempuan. Di tengah kemajuan teknologi reproduksi dan pengobatan
di dunia saat ini, tak kurang 500.000 kaum perempuan justru mati melahirkan
setiap tahunnya, dan 8 juta lebih menderita sakit jangka panjang akibat
komplikasi kehamilan. Sementara sekitar 100 juta kaum muda perempuan di negeri
dunia ketiga, yang dalam 10 tahun ke depan, akan menikah sebelum usia 18 tahun.
Sehingga, setiap tahun, 14 juta remaja perempuan yang berpotensi melahirkan,
berkonsekuensi meninggal, terkait komplikasi kehamilan yang resikonya 2 hingga
5 kali lebih tinggi dibanding perempuan berusia dua puluhan.
Sementara untuk menuju kesetaraan formal di seluruh
sektor publik pun, kaum perempuan di negeri-negeri miskin harus berjuang keras untuk mendapatkannya. Karena syarat-syarat utama
kemajuan tenaga produktif seperti akses atas pendidikan,
kesehatan, dan lapangan pekerjaan, menjadi semakin sulit terpenuhi jika
sebagian besar anggaran negara digunakan untuk membayar hutang luar negeri.
Belum lagi akses terhadap kesehatan, pendidikan, air bersih, telekomunikasi
(sebagai sumber informasi), bahkan sumber makanan sehat, menjadi semakin mahal
akibat liberalisasi dan privatisasi yang lebih banyak apalagi di bawah
kekuasaan seorang Presiden
Megawati sebagai wakil dari kaum
Perempuan pada waktu itu; usaha-usaha menengah-kecil hancur akibat masuknya barang-barang asing;
dan akibat liberalisasi keuangan, lalu lalang arus modal spekulatif lintas
negara, terbebas dari tanggung jawab untuk membangun sektor-sektor produktif,
sumber lapangan pekerjaan di suatu negeri. Di tengah situasi ini
kesetaraan hanya menjadi ilusi di segala pidato para elit partai borjuis saja.
Di negeri miskin seperti Indonesia, kesetaraan
yang diperoleh lewat jalur formal untuk perempuan di berbagai bidang hanya
mampu dijangkau oleh segelintir elit perempuan (umumnya berasal dari keluarga
kapitalis dalam negeri dan sebagian klas menengah). Sementara mayoritas
lainnya harus berjuang mati-matian untuk sekadar bertahan hidup dari kemiskinan
akibat penjajahan modal asing. Kaum perempuan lah yang menjadi korban terbesar
dari kemiskinan.
Kemiskinan perempuan harus menjadi isu politik
utama dalam perjuangan pembebasan perempuan, karena tidak mungkin ada
kesetaraan politik mayoritas perempuan di tengah kemiskinan masyarakat. Namun
sekali lagi hingga saat ini para elit perempuan yang duduk di DPR RI yang
berjumlah 103 yang terwakil
tersebut belum memberi solusi
konkrit untuk mengatasi problem pokok (system kapitalisme dan demokrasi
borjuis) perempuan tersebut secara mendasar. Sehingga agenda emansipasi
perempuan dalam aspek apapun tidak akan tercapai dengan maksimal kalau seluruh
elemen gerakan perempuan masih meletakkan kepercayaan agenda emansipasinya di
dalam kerangka logika demokrasi prosedural (borjuistik) yang telah terkooptasi
oleh system kapitalisme.
Penulis: Che Gove (Staff Nasional Kolektif
PEMBEBASAN Pusat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar