Perempuan Tolak Pemilu Borjuis 2014, Lawan Militerisme, Bangun Partai Alternatif!


Oleh: Nana*

Tahun 2014 adalah tahun politik di Indonesia, yaitu moment diselenggarakannya pesta demokrasi ala borjuis, dimana musuh-musuh rakyat akan mengukuhkan kembali kekuasaannya melalui pemilihan umum (pemilu) legislatif dan presiden.


Kenapa musuh-musuh rakyat? Karena partai-partai politik (parpol) yang menjadi kontestan adalah partai-partai yang selama ini berperan dalam mengeluarkan kebijakan anti rakyat, atau partai politik baru yang didirikan oleh elit yang sepak terjangnya selama ini tidak berpihak kepada rakyat. Sehingga bisa dipastikan, hasil pemilu 2014 tidak akan memperbaiki kesejahteraan rakyat.


Partai-partai tersebut adalah partai-partai para pengabdi modal, partai-partai yang mengijinkan migas kita dikuasai investor hingga 90%, mineral 89%, dan batu bara 75%, sehingga total penguasaan lahan oleh swasta mencapai 175 juta ha atau setara dengan 91% luas daratan Indonesia. Partai-partai yang mengijinkan penjualan BUMN strategis di bidang telekomunikasi, farmasi, pertambangan, bandar udara, semen dan perumahan. Partai-partai  yang meloloskan UU pertanian/perkebunan, UU Migas, UU kelistrikan, UU tenaga kerja dan lain sebagainya yang membuat ratusan juta rakyat hidup dalam kemiskinan.


Selain berwatak pro modal, setidaknya ada 4 partai yang didominasi tentara, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Para Jenderal pemilik partai tersebut adalah Jenderal Prabowo, Jenderal Susilo B Yudhoyono, Jenderal Wiranto, dan Jenderal Sutiyoso.


Keempat Jenderal ini memiliki track record pelanggar HAM berat namun tidak pernah diseret ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Wiranto bertanggungjawab atas tragedi 1998-1999 menjelang kejatuhan Soeharto, bertanggungjawab atas kekerasan saat penentuan jajak pendapat di Timor Leste. Susilo B Yudhoyono bertanggungjawab atas tragedi 1998-1999 dan kekerasan di Timor Leste. Prabowo juga mempunyai riwayat yang sama kelamnya. Dia bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan di Timor Leste dan bertanggungjawab atas pelatihan dan pembiayaan kelompok milisi tahun 1999. Prabowo juga bertanggungjawab terhadap penculikan dan hilangnya sejumlah aktivis pro-demokrasi, dan pembinaan milisi sipil yang sering mengganggu aksi-aksi rakyat.


Selain catatan tentang pelanggaran HAM, Prabowo juga adalah seorang pengusaha besar, kekayaannya merentang dari Aceh hingga Papua, menguasai konsesi lahan lebih dari 3 juta hektar untuk grup perusahaannya: PT. Tusam Hutani Lestari, PT. Kertas Kraft Aceh (KKA), PT. Tidar Kerinci Agung, PT. Tanjung Redep, PT. Kertas Nusantara, PT. Kartika Utama, PT. Ikani Lestari, PT. Belantara Pusaka dan sebagainya. Dan konsesi Migas di dalam dan luar negeri. Sutiyoso bertanggungjawab atas seluruh kekerasan yang terjadi di Timor Leste, Aceh dan Papua. Nama Sutiyoso juga disebut-sebut terkait dengan pembunuhan lima jurnalis asing di Balibo, Timor Leste, tahun 1975.


Masih bercokolnya kekuatan tentara dalam pertarungan politik nasional adalah ancaman serius bagi demokrasi dan kesejahteraan. Tentara Indonesia adalah tentara yang tidak tunduk pada supremasi sipil/tertib hukum masyarakat borjuasi, dan korup. Yaitu tentara yang tega membantai rakyat mulai dari skala kecil hingga pembantaian Madiun 1948, pembantaian PKI 1965, pembantaian Tanjung Priok, dan seterusnya. Juga tentara yang terbiasa menjadi tukang pukul pengusaha, penjual izin usaha, penjamin kemenangan tender, dan lain sebagainya.


Perjuangan untuk memperbaiki kesejahteraan jelas tidak mungkin di bawah situasi-situasi yang menindas ruang demokrasi, yang menutup ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat, tidak mungkin merebut kesejahteraan tanpa mempersatukan rakyat, dan syarat agar rakyat dapat bersatu hanyalah jika ada kebebasan itu sendiri.




Lalu apa urgensinya terhadap pembebasan perempuan?


Partai-partai yang bertarung dalam pemilu 2014 adalah partai-partai pro kapitalis, dimana sebagaimana kita ketahui bersama, dalam rangka menggapai keuntungan yang tinggi, kaum kapitalis akan menekan upah buruh serendah-rendahnya, dan dalam rangka mendapatkan tingkat upah yang lebih rendah lagi kaum kapitalis memanipulasi kesadaran patriarkis yang dominan di tengah masyarakat sehingga upah buruh perempuan semakin sedikit, makanya tidaklah mengherankan apabila partai-partai tersebut tidak pernah bersuara terhadap diskriminasi upah yang menimpa kaum perempuan. Begitu juga diskriminasi-diskriminasi dalam bentuk lainnya seperti diskriminasi dalam jabatan strategis perusahaan, 18% perempuan lulusan universitas yang sebenarnya bisa menduduki jabatan-jabatan strategis di perusahaan menganggur, sementara laki-lakinya hanya 8,8%. Sementara 10,8% perempuan lulusan Diploma I, II dan III adalah pengangguran, dibanding dengan laki-laki yang hanya sebesar 6,9% (Biro Pusat Statistik, 2000). Di sektor produktif, laki-laki yang bekerja mencapai angka 71,6%, sedangkan perempuan 48%. Kapitalisme telah melemparkan kaum perempuan, menjadi buruh-buruh upahan, yang didiskriminasi sedemikian rupa. Kemiskinan yang diakibatkan kapitalisme juga telah mengorbankan rakyat dan terutama kaum perempuan ke jurang kesengsaraan yang paling dalam.


Di samping partai-partai yang bertarung sebagai kontestan pemilu 2014 adalah partai-partai pro modal, yang paling berbahaya adalah ancaman dari partai-partai militeristik. Kita ketahui bersama bagaimana zaman Orde baru yang kental dengan watak militerisme telah menutup ruang demokrasi yang pada akhirnya menghambat  kemajuan perempuan. Dengan dibatasinya kebebasan, perempuan tidak dapat terlibat secara aktif dalam organisasi-organisasi rakyat, tidak terlibat dalam membuat kebijakan, dan tidak diberi kesempatan untuk turut mengawasi jalannya pemerintahan. Selanjutnya, pada awal kekuasaan Orde baru, organisasi perempuan terbesar saat itu, Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) dihancurkan, padahal Gerwani mengajarkan pada perempuan bahwa kondisi yang buruk dapat diatasi dengan organisasi, membangkitkan massa perempuan untuk sadar terhadap persoalan politik, memobilisasi pemilih, membantu organisasi massa yang lain, dan menyediakan serta mendidik kader dari kalangan perempuan.


Gerwani lalu digantikan dengan organisasi perempuan Orde baru yang tidak politis, kegiatannya adalah mendampingi suami dan atau membantu suami mencari nafkah tambahan melalui kursus-kursus produktif seperti masak-memasak, jahit-menjahit atau seni merangkai bunga. Organisasi perempuan dilarang mempertanyakan hak atas tubuhnya, menuntut kesejahteraan rakyat dan lain sebagainya. Mempertanyakan hak artinya mempertanyakan kebijakan penguasa dan itu berarti pembangkangan atau makar. Organisasi-organisasi tersebut adalah Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan PKK. Organisasi-organisasi ini biasanya dipimpin oleh isteri-isteri kepala sesuai tingkatannya, tidak ada lagi demokrasi internal, bahkan hanya untuk menentukan siapa pimpinannya, jabatan ketua otomatis diisi oleh istri pejabat kepala. Organisasi-organisasi lain, seperti Aisiyah dan Fatayat juga dikurangi kegiatannya, hanya sebatas pengajian.


Dalam hal ini, organisasi perempuan hasil bentukan orde baru justru gagal membantu perempuan untuk memahami bahwa kondisi buruk yang dialami perempuan merupakan ciptaan manusia dan melalui organisasi, situasi yang lebih baik akan tercipta.  Lebih jauh, tindakan militerisme di wilayah konflik seperti Aceh, Poso, dulu Timor Leste, Papua, atau seperti apa yang terjadi terhadap perempuan-perempuan korban tragedi 1965, kerusuhan 1998, jelas menunjukkan bahwa perempuan selalu menjadi kelompok paling rentan, banyak perempuan menjadi korban keganasan militer, dibunuh, dilecehkan, diperkosa dan lain sebagainya. Dengan mengorbankan hak demokrasi perempuan, membuat stereotype pada perempuan, militerisme dapat memperkokoh kedudukannya dalam jangka panjang, mengingat ideologi ibu-isme, agar manusia di muka bumi secara keseluruhan selalu taat, dan tidak berani menentang kebijakan yang salah dari penguasa.


Kondisi-kondisi yang terjadi seperti gambaran di atas, tidak mungkin dapat diubah oleh partai-partai yang menjadi kontestan pemilu saat ini, bahkan ketika sebagian aktivis gerakan masih percaya dapat melakukan perubahan dengan masuk ke dalam partai-partai tersebut dan menjadi calon legislatif.


Yang dibutuhkan kaum perempuan dan rakyat saat ini adalah gerakan politik alternatif, bukan slogan perempuan pilih perempuan seperti slogan beberapa LSM dan tokoh perempuan, hingga menceburkan diri dalam partai yang terlingkupi hegemoni patriarki, tanpa ada kritik terhadap partai tersebut. Seperti biasa, dengan dalih “merubah dari dalam,” yang hanya bermodalkan perubahan-perubahan imajiner gagasan kesetaraaan dalam wadah yang patriarkis. Maka, kaum perempuan dan rakyat harus membangun alat politiknya sendiri, karena hanya dengan alat politiknyalah program-program yang akan menguntungkan kaum perempuan dan rakyat bisa diperjuangkan.




Jalan Keluar.


Cita-cita membangun alat politik alternatif tidak mungkin dapat dicapai dengan seruan perempuan pilih perempuan, atau memilih masuk ke dalam partai-partai borjuis dan menjadi caleg-caleg dari partai-partai borjuis. Cita-cita membangun alat politik haruslah sejalan dengan tindakan politiknya, yaitu mendidik dan bekerja langsung bersama rakyat untuk terus berjuang mati-matian membangun alat politiknya sendiri. Tindakan masuk ke partai-partai borjuis, menjadi caleg-caleg dari partai borjuis, dan mengaharapkan terjadi perubahan kearah yang lebih baik dari wadah-wadah borjuis hanya akan menggagalkan, atau paling tidak menunda upaya pembentukan alat politik sebagai kekuatan tandingan borjuasi, karena akan berindikasi menghilangkan semangat kemandirian rakyat.


Alat politik alternatif ini kedepannya diharapkan dapat berfungsi sebagai pembela perempuan dan rakyat, berjuang bersama perempuan dan rakyat dalam segala momentum termasuk dalam momentum pemilu, karenanya alat politik ini harus berbentuk partai, partai rakyat ini akan bertarung dengan partai-partai borjuasi dalam rangka merebut kekuasaan politik hingga terwujudnya kesetaraan dan kesejahteraan rakyat. Hal inilah kiranya yang harus kita wujudkan bersama, agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.





* Koordinator Kompartemen Perempuan PEMBEBASAN

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar