Pemilu Elit 2014, Apa Yang Harus Dilakukan?




Saat mata terpejam dalam bayang-bayang hidup yang pilu, hati kecil berbunyi, kemana kaki akan melangkah di esok hari. Ah! Biar mentari di ufuk timur yang menjawabnya.


Esok pagi tukang becak sudah mendayung becak-becaknya yang berlambang beragam partai peserta pemilu 2014. Tukang becak merenung di daratan yang terik, meminum segelas air, memandangi lambang partai yang tidak menceritakan kehidupannya.


Aku hampir lupa! Ini adalah tahun politik, (Tahun pemilu) yang selalu di gembar-gemborkan para elit di negeri ini sebagai bentuk sistem yang agung. Para elit di negeri ini sering mengatakan dengan lantang! “Pemilu adalah wujud Demokrasi.”


Apakah benar saudaraku? Perkataan para elit negeri ini. Bagaimana mungkin pemilu wujud demokrasi, masih melarang ideologi tertentu hadir di kancah pertarungan? Bagaimana mungkin saudaraku pemilu yang dikatakan wujud demokrasi, membutuhkan banyak dana jika kita ingin terlibat? Bagaimana mungkin saudaraku pemilu wujud demokrasi! Sementara pikiran dibenam oleh selembar merah yang keluar dari kantong-kantong calon pemimpin bangsa. Bagaimana mungkin saudaraku pemilu wujud demokrasi mempersilahkan para penjahat HAM tampil menjadi salah satu kandidat calon pengkhianat rakyat.


Saudaraku, kita harus jujur melihat pemilu yang selama ini terjadi di Indonesia. Ada banyak kasus penyimpangan selama berjalannya pemilu yang lalu, (total kecurangan tercatat sekitar 15 ribuan. Sedangkan tahun 2004, masih terbilang 8.846 kecurangan. Selain itu, di tahun 2012 saja, tercatat ada 59 sengketa pilkada yang diajukan ke MK dari 77 pilkada yang dilaksanakan,) bukan tidak mungkin ini akan terjadi kembali! KPU yang bobrok juga akan menjadi hambatan bagi rakyat Indonesia, yang ingin menentukan siapa pemimpin yang pantas untuknya, namun sampai saaat ini belum ada.


Syarat-syarat yang diajukan tak mungkin bisa diikuti partai dari rakyat yang sebagian besar tidak memiliki dana segar untuk mengikuti pemilu. Akhirnya? Pemilu hanya diikuti para partai yang dibiayai elit nasional. Sebut saja GOLKAR dengan pengusaha perusak lingkungan (Lumpur Lapindo) Abu Rizal Bakrie.


Satu pertanyaan untuk saudara-saudaraku yang berada di dalam ruang sesak dan menyedihkan. Apa hasil pemilu borjuis yang lalu saudaraku? Jika kalian belum ingin menjawabnya, maka aku dengan rendah hati akan memulainya. Untuk  kawanku, yang memasang wajah merungut di dalam kelas yang sesak, hasil pemilu membuat pendidikan semakin mahal. Sangat jarang bisa dinikmati anak petani, buruh. Pemerintah  terang-terangan melepas tanggung jawabnya di sektor pendidikan, dengan mengeluarkan UU PT. Undang-undang perguruan tinggi yang mewajibkan rakyat Indonesia membayar segoni beras berisikan uang jika ingin menyantap ilmu pelajaran di dalam ruang kelas. Ini hasilnya saudaraku untuk kalian yang merengut di dalam kelas, karena mama papa di rumah, sakit-sakitan bekerja untuk biaya kalian sekolah.


Tak sampai di situ saja kawanku, hasil pemilu juga tidak merubah metode belajarmu di ruang kelas yang pengap, seperti berada di kandang mayat, kalian diam tak bicara, tak ada kesempatan, tak ada kemandirian, tak ada kebebasan berpikir. Metode belajar yang kolot, membuat kalian seperti hewan yang tak berakal, pendidikan kolot yang membodohkan meletakkan posisi peserta didik hanya menjadi pendengar nyanyian sumbang seorang komoditi yang bernama dosen.


Untuk kawan-kawanku yang setiap paginya berjalan menuju kebun dengan senyuman pagi berhias rontah dan naluri perlawanan mempertahankan hak hidup (Tanah).  Hasil pemilu tidak  berpihak pada kalian. Para petani temanku, tetap selalu waspada menjaga tanahnya, karena ancaman perampasan tanah kerap dilakukan, dengan campur tangan bedil.


Sering aku mendengar tangisan yang mendayu-dayu tak henti, hasil dari kekejaman yang diperlihatkan tentara Indonesia di daratan Nusantara. Sumber daya alam di Timur Nusantara terus dikeruk, menyisakan piluh bagi penduduknya. Sementara hutan di Barat Nusantara berubah menjadi lautan api, rakyatnya dipaksa minggat dari tanah sendiri. Seperti yang baru terdengar, dari pedalaman Pulau Emas.


Suku Anak Dalam dipaksa minggat dari tanah leluhurnya. Mereka menolak dengan tegas! Dijawab tentara dengan serbuan timah panas, seperti hujan yang menetes bersama tangis rakyat di pemukiman Suku Anak Dalam. Korban diculik, dibunuh, tak diperhatikan di rumah sakit, negeri ini sudah kehilangan kemanusiannya.


Dan apa yang kita dapat kawanku, setiap kita berada di dalam pabrik yang membosankan. Bahan kimia kita genggam, asap tak sehat selalu kita hirup, gaji kita tak menjawab kegelisahan hati. Tak ada hasil pemilu yang kita dapatkan, para pejabat, masih membuat kita seperti budak di negeri sendiri, dipaksa bekerja keras, tanpa gaji yang layak, masa kerja kontrak yang biadap, selalu menghantui kita akan esok hari merintih sakit, gerutu perut menyiksa wujud. Jika melawan, para jawara loreng hijau hitam, hitam orange menghadang kita dengan gaya sok jagoan, membawa pentungan, mereka mengejar kita, jangan lari kawanku! Mereka harus di lawan, DEMOKRASI harus direbut! Dan bukan partai peserta pemilu jawabannya.


Apakah saudaraku ingin tau siapa peserta pemilu 2014? Mereka kumpulan manusia munafik yang menyebarkan citra, lewat agama. Kali ini kita akan membahas itu terlebih dahulu. Dimulai dengan membahas partai yang ditinggalkan mantan presiden RI. PKB yang selalu mengumbar SURGA sebagai alat menyedot massa adalah keterpurukannya ideologi islam yang sejati, islam yang peduli terhadap sesama, islam yang menghargai perbedaan, islam yang menghapus penindasan di jaman jahiliyah.


Partai yang paling sok suci berbau agama, tak bisa lepas dari jerat korupsi dan wangi tubuh perempuan, pengakuaan bersih hilang, ketika masyarakat berguyon menyebut mereka kelompok suci menjadi: “Partai Korupsi Sapi.”


Partai Berlambang matahari yang sering menyebut dirinya pengikut tokoh revolusioner bernama Muhammad, tak beda dengan yang lainnya, tidak konsisten menjalankan ajaran Muhammad. Mereka lebih senang membangun gedung untuk para anak borjuis kecil, mereka didik sebagai calon perusak negeri, mereka lebih senang membangun rumah sakit yang harganya selangit, hingga rakyat hanya bisa menjerit di pelataran gedung rumah sakit, mereka lebih senang berbisnis dengan menggunakan harum islam, sebagai topengnya.


Dan yang terakhir partai berbau agama, adalah partai berlambang  ka'bah. Partai ini selalu menebar kebencian dengan orang yang tidak sepaham dengannya. Para sipil reaksioner (GPK) siap diperintah olehnya untuk merampas hak politik kelompok lain, sungguh kejam.


Namun secara garis besar saudaraku, partai-partai ini tak jauh berbeda, mereka bersama terlibat korupsi, mereka bersama menjual sumber daya alam, mereka bersama mengilusi rakyat dengan deretan nyanyian yang mengekang kebebasan, mereka sebut dengan Fatwa.


Selanjutnya kita akan beralih ke partai-partai yang mengakui dirinya nasionalis, sebut saja  partai yang berkuasa saat ini, dengan selogannya Nasionalis Religius. Apakah benar mereka nasionalis? Nasionalis seperti apa yang menjajakan UU untuk para penjajah modal? Dua priode mereka menguasai negara, tak ada perubahan untuk rakyat. Si manis masih berdiri di pinggir jalan, buruh gajinya tak layak, petani direbut tanahnya. Apakah kita masih bisa percaya dengan Partai Demokrat?


Kalau sering saudaraku lihat di sepanduk-sepanduk partai yang mengumbar selogan “Partai Baru Semangat Baru.” Yaa itu partainya Surya Paloh, pengusaha media yang tidak memberi kebebasan bagi pekerjanya mendirikan organisasi, apakah partai itu bisa menjamin demokrasi saudaraku? Menjamin kesejahteraan?


Selain dua partai di atas, ada juga partai yang harus diwaspadai dengan topeng demokrasinya, yaitu PDIP. Partai ini dalam sejarah tak pernah teguh memperjuangkan demokrasi, terbukti ketika mereka berkuasa, kebebasan berpendapat masih sangat minim adanya. Hari ini dengan kandidatnya bernama Jokowi mereka berhasil memanipulasi sebagian besar kesadaran rakyat. Dengan program belusukan Jokowi tampil sebagai calon presiden yang disanjung-sanjung menjadi pemenang pemilu. Satu pesan yang ingin aku sampaikan kepada pembaca, bahwa Jokowi tak setuju dengan gaji layak, yang dituntut para buruh di DKI. Jokowi juga tak beda dengan yang lainnya, bagian dari penindas yang selama ini menjadi boneka kapitalis.


Apakah kita masih ingin berharap saudaraku, partai lama berwarna kuning bisa menjawab kegelisahan rakyat, sementara kebijakan si kuning pro terhadap pengerukan sumber daya alam, mereka juga sepakat penggusuran ada dimana-mana, intinya saudaraku mereka tidak pernah terlibat membantu rakyat yang meronta-ronta meminta solidaritas, mereka semua sama! Sama-sama partai yang menjadi boneka kaum MODAL. (kapitalis)

Setelah kita puas berjalan-jalan, membelejeti partai berbau agama dan partai neolib, kini kita beranjak meninggalkan mereka dengan tetap mencatatnya sebagai keteguhan, bahwa mereka bukan bagian kawan. Dan untuk partai yang akan kita bahas selanjutnya adalah partai yang paling membahayakan bagi keberlansungan kebebasan dan kesejahteraan rakyat. Mereka memiliki senjata, dan juga menjadi kapitalis (Pengusaha).


Gerindra dan Hanura dua partai yang selalu dikenang rakyat sebagai partai yang dibangun para pelanggar HAM di Indonesia. Sebut saja Prabowo pelaku pembunuhan dan penculikan aktivis mahasiswa di era Orde Baru. Saat itu Prabowo menjadi otak penculikan, namun sampai saat ini, kasus itu belum juga tuntas. Harus diingatkan kepada rakyat bahwa Prabowo saat terjadinya peristiwa penculikan menjadi pimpinan pasukan elit KOPASUS yang di dalamnya ada kelompok kecil bernama Pasukan Mawar, yang melakukan penculikan dan pembunuhan para aktivis pro demokrasi saat itu. Apakah wiranto tidak terlibat? Sangat lucu jika saya membaca beberapa waktu lalu di surat kabar, pendukung Hanura mengatakan bahwa Wiranto sama sekali tidak tau menau persoalan penculikan aktivis 1998. Sementara saat itu Wiranto menjadi Panglima TNI periode 1998-1999. Artinya Prabowo dan Wiranto dua setan besar yang harus bertanggung jawab dengan  peristiwa penculikan para aktivis. MELAWAN LUPA!




Apa yang Harus Kita Lakukan?

Jika pertanyaan di atas harus kita jawab, maka tak berlebihan jika jawabannya: Tolak Pemilu Borjuis 2014, Lawan Militerisme dan Bangun Partai Alternative, tiga poin penting yang harus dilakukan rakyat, akan dijelaskan penulis, semoga penjelasan penulis dapat dipahami oleh para pembaca.


Lawan Pemilu Borjuis 2014: Di atas sudah disebut pemilu saat ini bukan wujud dari demokrasi. Demokrasi yang sejati adalah media bagi rakyat untuk berpartisipasi menentukan kebijakan negerinya, sementara yang terjadi di negeri ini, hanya demokrasi prosedural yang hanya melibatkan rakyat di dalam perebutan kekuasaan, namun setelah para partai dan kandidatnya terpilih menjadi pejabat, rakyat tak bisa menuntut jika para pejabat mengkhianati rakyat, sehingga demokrasi yang didengungkan para elit negeri ini, hanyalah omong kosong.


Selain demokrasi prosedural, para peserta pemilunya tak ada yang dapat dipercaya, semua partainya dan orang-orangnya calon penindas baru rakyat. Wajar jika kita menolaknya, dengan aksi-aksi politik yang radikal, dan terus teguh berpropaganda di basis rakyat, sebagai lawan dari hegomoni kaum borjuis.


Lawan Militerisme: Tentu kita masih ingat saudaraku. Tiga puluh tahun lebih berada di bawah kekuasaan militerisme Soeharto, yang menutup ruang kebebasan di jamannya. Apakah kita ingin kembali dalam genggaman para militer? Tak perlu lagi aku sebutkan satu persatu peristiwa yang terjadi di saat Soeharto menjadi pemimpin di negeri ini, nyawa tak berharga, jutaan rakyat tewas di tangannya.


Hari ini di negeri kita yang dibanjiri penindasan, kita kembali lagi melihat dengan nyata kebangkitan militerisme di kancah politik nasional, bagaimana jika militerisme kembali berkuasa? Rakyat tak bisa menunutut hak-haknya yang direbut negara maupun swasta. Semua kepentingan modal yang ada di Bumi Nusantara, dijaga ketat oleh penguasa, ruang kebebasan akan ditutup, mahasiswa tak lagi bebas berpikir, sehingga kesimpulan akhir dari saya: Lawan Militerisme penghambat demokrasi!


Bangun Partai Alternative: Jika angka Golput bertambah dari tahun ke tahun, maka tak perlu lah kita heran, bahwa Golput menjadi cerminan kesadaran rakyat yang sudah antipati melihat  partai yang ada. Dalam perjalanan pemerintah negeri ini pasca 1965, kita bisa lihat kebijakan-kebijakan negara sudah bertentangan dengan rakyat, para partai terus berkhianat dengan rakyat, mereka terus membiarkan pendidikan mahal, upah murah, penggusuran dimana-mana, tak ada jaminan kesehatan, menjadi penyebab utama rakyat tak lagi menganggap nasipnya bisa diperjuangkan oleh para partai peserta pemilu borjuis.


Mewadahi kesadaran rakyat perlu dibangunnya partai alternative yang dapat menjadi wadah rakyat meluaskan jalan, menuntut hak-haknya yang mendesak dan mendasar. Selain menjadi jalan keluar, partai altenative juga sebagai tempat kesatuan perspektif yang terus gigih melawan kapitalisme, penyebab dasar penindasan di Bumi ini.


Pembangunan partai alternative dapat dipelopori oleh Buruh, Petani , Mahasiswa, Kaum miskin kota, Seniman revolusioner, dan kelompok pro demokrasi, sebagai pelopor utama untuk membangun jalan keluar bagi rakyat menuju pembebasan nasional.



Pena: Ziwenk (Kader Pembebasan DIY dan Petani kebun bunga).

  
 Rujukan :

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar