Oleh: Kawan Erwin (Pembebasan Kolektif Tengah
Yogyakarta).
Sebelum era modern, kaum perempuan tidak memiliki
gaya hidup seperti: beraktivitas
di luar rumah penuh dandan, memamerkan pesona dan kecantikan, melepaskan diri
dari nilai-nilai luhur akhlak terpuji, dari tata krama, dari ikatan keluarga
serta agama. Sebelum adanya revolusi industri terjadi. Dewasa ini kaum
laki-laki banyak memandang rendah kaum perempuan, perempuan dianggap penuh
kekurangan. Padahal kehormatan itu adalah penghargaan yang seharusnya dijaga
oleh setiap manusia. Telah dimaklumi bahwa sex bebas diharamkan oleh agama
manapun itu. Kita tidak akan menemukan masyarakat manapun yang tidak
mengutamakan akhlak terpuji, sekalipun tidak beragama islam yang tidak
mengharamkan sex bebas.
Pada sejarahnya di Eropa berada dalam
cengkraman gereja dan hukum pendeta yang telah menyimpang dari ajaran nasrani dan
menggonta-gantinya. Akan tetapi kesewenang-wenangan dan sikap tirani para pendeta
melahirkan kebencian terhadap gereja dan tokoh-tokoh agama dalam diri orang
Eropa pada masa itu. Ketika terjadi revolusi Prancis, Barat
memberanguskan agama, mengeksekusi para pendeta yang menyimpang. Naasnya di antara perkara yang
mereka tumpas adalah aturan penjagaan standar kesucian dan perlindungan kepada
perempuan.
Maka para perempuan pun keluar meninggalkan
benteng yang sebelumnya melindungi mereka dari setan-setan dan segala tipu
dayanya, selanjutnya melepaskan dirinya dari segala ikatan akhlak dan tatanan
keluarga. Ini merupakan salah satu penyebab terjadinya revolusi industri.
Seiring dengan revolusi industri, kebanyakan
para laki-laki dari desa hijrah ke kota mengais rezeki, mengadu untuk membangun
kehidupan yang lebih baik. Banyak kaum perempuan yang ditinggalkan oleh suami,
ada pula dari kaum perempuan yang akhirnya mereka ikut hijrah ke kota dengan
alasan yang sama. Di sinilah kesempatan para pemilik modal
mengeksploitasi kaum perempuan-perempuan dan laki-laki untuk dipekerjakan
menjadi buruh di pabrik-pabrik, sampai akhirnya mereka menyerah kepada tuntutan
kebutuhan ekonomi, kaum perempuanlah yang rela bekerja dengan sepenuh gaji
laki-laki dengan beban pekerjaan yang sama. Pada saat-saat seperti itulah
perempuan mendapati dirinya tertindas, merasa jauh dari keluarga di desa dalam
mempertahankan hidupya seorang diri, karena masing-masing disibukan dengan
dinamika kehidupan kota.
Perempuan hidup berusaha dengan bekerja seorang
diri menjalani hari-hari sebatang kara, berusaha mandiri menopang hidupnya
sendiri, berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan usaha sendiri, termasuk
kebutuhan terhadap laki-laki yang akan melindungi dan akan menjaganya, serta
memuaskan keinginan-keinginanya terhadap kekasihnya atau suaminya. Namun dengan
kondisi persaingan dan mobilitas kehidupan perkotaan yang semakin panas dan
persaingan semakin ketat serta kebutuhan hidup sehari-hari semakin tinggi, hal
ini membuat perempuan jarang mendapatkan kasih sayang dari seorang lelaki yang
tulus dan utuh, laki-laki yang akan menjadi miliknya dan ingin memilikinya
seutuhnya.
Sehingga untuk
mendapatkan kekasih atau suami seperti yang diharapkan setiap perempuan semakin sulit,
ditambah lagi dengan biaya pernikahan yang semakin membuat para laki-laki
merasa terbebani. Sementara itu pergaulan laki-laki dan perempuan yang nyaris
tanpa batas mereka jalani di tempat-tempat kerja, sehingga mereka pun
terperangkap pada pola pergaulan dan pergaulan yang merendahkan martabat dan
derajat serta kehormatan perempuan, perempuan sudah tidak sungkan mencari dan
bergonta-ganti kekasih atau pasangan sesukanya. Situasi ini diperparah lagi dengan
ketiadaan undang-undang yang tegas melarang atau menghukum hal tersebut.
Selain para kaum perempuan yang bekerja dengan
cara tersebut, banyaknya terdapat kelompok perempuan lain yang tidak
mendapatkan pekerjaan yang jelas. Dalam situasi itulah membuka pintu kesempatan
para pemilik modal mengeksploitasi para perempuan yang menganggur itu ke tempat
prostitusi, pembantu rumah tangga, serta dijadikan buruh lainnya dengan gaji
yang sangat rendah. Maka hal ini menjadi faktor lain yang merusak perempuan di
perkotaan yang semakin modern.
Waktu terus berlalu, perempuan betul-betul
melepaskan diri dari ikatan agama, tuntutan akhlak dari tatanan keluarga. Sudah
menjadi suatu kelumrahan seorang perempuan meninggalkan rumah dari desa ke kota
(urbanisasi). Dia berhak bergaul dengan siapa saja yang dikehendakinya,
keluarga bahkan siapa pun tidak berhak melarang. Bahkan dia dapat mengadukan
dan menuntut orang tuanya ke pengadilan jika menghambat atau membatasi
kebebasan pribadinya (HAM). Dalam hal ini kebebasan untuk mencari dan memiliki
kekasih.
Sesungguhnya dia telah tertipu dengan apa yang
dia dapatkan, keleluasan dan kebebasan yang hanya menyenangkan egonya semata
tanpa ada landasan ideologis yang baik dan benar. Dia telah menganggap memiliki
dirinya sendiri, dia menyangka telah mendapatkan haknya yang terampas, sekarang
dia dapat pergi sesuka hati, terlepas dari segala ikatan, dapat melakukan apa
saja yang dia kehendakinya. Lalu apa hasilnya ?
Perempuan dapat berbuat sesuka hati,
berinteraksi sama siapapun yang disukainya, berkomunikasi dengan siapapun
karena didukung kemajuan teknologi yang amat pesat warna-warni kemajuan
perkembanganya. Kemudian tanpa dia sadari para lelaki pun mengeksploitasinya
untuk kepuasan syahwat mereka, menjadikannya sebagai umpan dan daya tarik dalam
film-film, iklan-iklan, majalah-majalah, model, tempat-tempat prostitusi dan
semacamnya. Dewasa ini kaum
perempuan sangat rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan, kasus
pemerkosaan merajalela bahkan dari keluarga mereka sendiri.
Sering pemilik
modal menjadikan hubungan intim sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan,
perempuan sering menjadi korban penculikan, perampokan, bahkan sampai pada
pembunuhan. Sementara itu dia tidak mendapatkan perlindungan dan penjagaan
kecuali dari undang-undang yang memiliki banyak celahnya itu. Dengan cara apa pun kita
memandang realitas, perempuan akan menyebabkan hati kita bersedih dan sakit
karena ketamakan dan kezaliman manusia pemilik modal dan sistem negara yang
tidak tegas melindungi hak-hak perempuan. Secara lahir mereka bebas, akan
tetapi pada hakekatnya mereka terbelenggu. Mereka hanya keluar dari ikatan
kebebasannya lalu masuk ke dalam perangkap dan belenggu kehinaan dan kenistaan.
Kemiskinan dan buta huruf pun merajalela.
Ikatan aturan dalam sistem pemilik modal sangat
identik dengan perbuatan tercela, setiap manusia harusnya memiliki
batasan-batasan yang mengatur perilaku dan tindak-tanduknya, melindungi
dirinya dari sifat-sifat dan kecenderungan negatif dirinya, dari hawa nafsunya
manusia-manusia di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar