Oleh: Ziwenk.
Kotak persegi empat dengan dua corak warna yang
dominan, bertengger di hadapan Istana yang gemilang indahnya, menjulang tinggi penyangga bendera, berkobar
di bawah derasnya alur angin sore, membuat warna merah putih yang menempel di
kotak persegi empat itu, menggelegar dengan tanya. “Sudah merdekakah kita ini?"
Sepertinya pertanyaan itu sudah usang di dalam diri
kita, lebih indah bila kita berbondong-bondong mengantri, berpakaian rapi
lengkap dengan dasi dan sepatu yang harganya selangit, mendaftarkan diri
menjadi salah satu orang super pintar, mengotori tangannya untuk merusak
alamnya sendiri, apakah benar? Nampaknya begitu, kita lebih bangga menjadi
bagian dari perusahaan yang menguasai jagat bumi, di banding mengusirnya dari Bumi Nusantara, belajar dan bekerja sama-sama, membangun kemandirian.
Petani di desa bercerita, walaupun ia terisolasi di ujung
pulau anta berantah, mereka punya keyakinan, setiap maling yang menyelinap ke
tanahnya, maka layak diusir dengan teriakkan, dan pentungan ranting pohon
serta tajamnya arit, sebagai hadiah untuk para maling berdasi yang merampas
tanah petani di ujung timur hingga barat sana.
“Kotak semir sepatu siapa ini Kek?” Teriak bocah
laki-laki yang memakai separuh seragam sekolah, dengan tangan di bebani dagangan
asongan.
Pria yang duduk bersila di bawah pohon, mengenakan
topi veteran perang, menanggapi pertanyaan bocah itu. “Biar kan saja di situ Cah, itu milikku."
Topi veteran perang itu menutup rambut putihnya,
menutup kalut mata yang sudah rindu dengan kegembiraan kerumunan pemuda-pemudi
teriakan yel-yel perubahan, seperti ia di masa dulu, saat mengokang senjata,
memaksa tentara Jepang, lari terbirit-birit dikejar pribumi, yang hampir mati
di tanahnya sendiri.
Mungkin tak satu pun orang yang melintasi jalan ini
mengenal pria yang duduk bersila itu, sebab namanya tak masuk di rentetan pahlawan
nasional. Perperangan mengusir penjajah yang dilakoninya menjadi
Komandan tempur (Letkol) di Batavia pada era kepemimpinan Soekarno, dengan
semangat kemerdekan dan ketulusan juang, pupus di satu malam panas, peristiwa
berdarah yang menelan korban tanpa tanya, hilang senyap di perkebunan, di
sudut-sudut pabrik, dan hanyut dibawa arus sungai.
Peristiwa itu membuat ia lari tanpa tujuan, untuk menyelamatkan
diri dari pembataian tanpa ampun. Yang dilakukan bangsanya sendiri.
Di dalam pelarian yang penuh keterbatasan, ia hidup
menumpang di rumah sanak keluarga. Berjalan penuh gundah, menghindari garangnya
bangsa sendiri berteriak semboyan kematian.
Malam-malam kelabu itu berlalu ia juga tak hidup
bebas seperti di masa harumnya bunga Revolusi 45. Ia selalu sembunyi-sembunyi
di tengah ketakutan saat orang asing menghampiri rumah keluarganya, tempat
yang ia tumpangi, menunggu kematian menjemput, tanpa cita-cita, hidupnya penuh
duka.
Manusia yang bertindak melebihi kuasa Tuhan runtuh
dari negeri kayangan yang ia bangun di atas mayat jutaan rakyat. (Menolak lupa
peristiwa 1965) Direbut panggungnya oleh desakan rakyat yang tertipu muslihat
para pendekar pemberi harapan palsu (Reformis gadungan). Namun keruntuhan
manusia yang bertindak melebihi kuasa Tuhan itu, memberi ia harapan hidup kembali. Ia mulai menampakan dirinya di pusat Negara, dengan berjalan dari satu kampung
ke kampung lain, membawa kotak sol dan semir sepatu yang sudah lama menjadi
tumpuhan hidupnya.
Negeri ini tak ubah sepatu yang datang dari para
langganannya, yang memakai jasanya untuk dibuat seperti baru lagi, dengan warna coklat dan hitam mengkilat, bau busuknya masih mengeram di dalamnya. Polesan
mengkilat darinya ia ibaratkan seperti reformasi yang membuka ruang kebebasan
bicara, dan menghapus namanya di daftar kematian. Tapi tulang pipi yang
menonjol di wajahnya masih menggambarkan kesedihan, atas kebenaran yang sampai
hari ini tak terungkap, bertahun-tahun ia melihat orang-orang mengenakan pakaian
hitam serta pernak pernik atribut gugatan mencari orang-orang yang hilang, bergantian orasi di depan Istana, orang-orang itu setia dengan panasnya siang
di hari kamis untuk terus menuntut,
walaupun tak pernah dipedulikan penghuni Istana yang megah itu.
“Yasudah jaga baik-baik itu kotak Kek, aku pulang
dulu Kek, sudah sore, besok aku masuk sekolah." Ucap bocah yang bertanya
dengan dia tadi.
Senja menghampiri langit-langit kota, namun dia tak
beranjak dari bawah pohon itu, ia tetap memandangi gedung mewah di depannya,
berangan-angan mengulang masa lampau, mengenang di mana bangsanya menjulang
tinggi di hadapan bangsa-bangsa di atas Bumi. Siapapun boleh memasuki gedung
mewah itu, tanpa adanya penjagaan anjing berseragam lengkap dengan besi tua
semperotan air dan kawat berduri yang berbaris rapi.
Itu
hanya masa lalu. Istana itu sudah berubah menjadi gedung tak bertuhan. Rakyat
kecil tak akan dibukakan pintu gerbang oleh para penjaganya, sebab tuan rumah
tak pernah ramah terhadap tetangganya, setiap rakyat berkerumun, berteriak
menentang kebijakannya, tak pernah ia hiraukan. Ia lebih senang memerintahkan
para perajuritnya untuk mengusir dengan tangan besi, di banding dia harus
bertemu dengan tetangganya yang kurus dan dekil, penghuni bangsat! lagi-lagi ia
seperti Raja yang tak pernah mau mendengar bantahan orang lain, dia lebih
senang menerima para pria berjas
mentereng yang membawa pesan, dari setan di seberang lautan sana. Rangkaian kata yang keluar di dalam hati pria tua itu, sambil meneteskan air
matanya memandangi gedung mewah di hadapannya.
“Kek bangun, Kek bangun, ini sudah pagi." Suara dari bocah pedagang asongan. Ingin membangunkan pria yang dari sore hingga pagi duduk bersila di bawah pohon depan gedung mewah itu, bocah ini biasa menyebut pria itu dengan sebutan kakek.
Komadan tempur belum juga bangun, hangatnya mentari
pagi dengan debu yang siar-siur dari angkutan kota tak mampu juga membangunkan
komadan tempur itu dari mimpinya.
Dengan lembut si bocah menyapu wajah pria itu, tangan
yang sudah dibasahi air minum yang ia bawa dari tempat tinggalnya, mampu
mebuat Kelopak mata yang mulai keriput dihantam kehidupan pahit, merangkak
pelan-pelan terbuka, melihat jalanan yang terhampar debu hempasan ban mobil para
pengendara jalan di kota penuh duka.
“Kenapa kamu di sini.?" Tanya pria itu melihat bocah
yang membangunkannya, mengenakan pakaian sekolah lengkap.
“Ini dagangan saya Kek, yang jelasnya mau jualan
dong Kakek komandan tempur." Sambut bocah itu, sesekali mencibir senyum melihat
pria tua itu bengong di hadapannya.
“Seharusnya kamu sekolah." Tandas pria itu, sambil
mengambil botol minuman dari tangan si bocah.
Wajah bocah itu terlihat sendu, ia jawab pertanyaan
pria itu dengan menundukan kepalanya sambil ia katakan. “Ibu di rumah lagi
sakit Kek, aku butuh uang untuk beli obatnya, lagi pula bila aku sekolah pasti
uang yang aku sisikan ini buat membeli obat ibu, habis untuk makan di kantin,
dan membayar uang kegiatan sekolah yang diwajibkan murid untuk membayarnya."
“Coba kamu lihat di depan sana." Ucap komandan
tempur.
“Tak ada apa-apa Kek, hanya ada Istana Negara”
“Penghuninya bertangung jawab pada hidupmu Cah.”
“Ah mana mungkin Kek, wajah penghuninya aja aku tak
pernah lihat, komandan perang ini ada-ada aja. Yasudah aku mau kesana dulu,
dagangan aku masih banyak, Kakek jangan lupa makan." Katanya sambil meninggalkan
komandan tempur di bawah pohon.
Si kakek tua hanya tersenyum, mendengar setiap kata
yang keluar dari bibir lugu bocah itu.
“Kopi Mbah." Tawaran dari pedangan Kopi, yang mengenakan topi putih, dan kaos hitam bertuliskan GOLPUT.
“Boleh, jangan terlalu banyak Gulanya."
“Lihat itu Mbah, di seberang jalan sana ribuan buruh
yang baru kemaren aksi dengan jutaan buruh, datang kembali kedepan Istana." Ucap
pedagang kopi keliling itu sambil mengaduk kopi untuk komadan tempur yang
selalu ia panggil mbah.
“Itu biasa di negara yang kacau ini, wajar mereka
menuntut, hasil kerja mereka tak pernah ia dapati sepenuhnya, biarkan saja Mas,
toh juga kamu untung kalau mereka aksi setiap hari." Tandas komandan tempur sambil
tertawa kecil.
“Betul Mbah, tapi saya heran aja kenapa buruh-buruh
itu aksi setiap hari.”
“Tak perlu kamu bingung, wajar mereka menuntut, sudah berapa banyak yang dirampok dari mereka, hanya kemiskinan dan jerit tangis yang disisahkan di hidup mereka."
“Ahh masih saja aku bingung Mbah, ini Mbah kopinya.”
“Tak apa kalau kamu bingung, kamu bingung juga
ulahnya Harto." Ucapnya yang mengingatkan kita pada kekejaman penguasa masa
lampau.
“Dari mana kamu dapat baju itu." lanjut komadan
tempur.
“Dari mahasiswa yang tinggal satu gang sama aku Mbah,
oya Mbah aku tawarin dagangan dulu kepada buruh-buruh itu Mbah, sembari aku
menanyakan ke mereka, kenapa tiap hari di depan Istana." Pamit pedagang kopi
keliling itu setelah komadan tempur membayar kopi adukannya.
Kopi yang ia beli dari pedangang keliling itu menjadi
temannya menikmati suasana riah-riuh teriakan
serentak tuntutan di depan Istana, ia hembus kopi hitam itu, sedikit
demi sedikit, secara perlahan-lahan ia dekati kopinya ke bibirnya yang kering,
rasa legitnya kopi sanggup membuat matanya terbuka terang menyaksikan kehidupan
yang ada di hadapannya.
Tentu kopinya tak selegit tumpukan kopi di dapur Istana itu, yang biasa diminum oleh penghuni dan penjaga pintu gerbangnya. Bila
para pejabat menikmati kopi dengan cerutu yang harganya termahal seantero Bumi,
ia hanya menikmati kopi dari pedagang keliling dengan teman debu dari bus kota
yang sesak. Namun tak pernah ia mimpi menikmati kopi legit istana itu, tak juga
cerutu termahal seantero bumi milik pejabat, keinginan pria tua itu sangat
sederhana, garis keriput di wajahnya, hanya meminta bocah yang lugu itu,
bersekolah, dan tak perlu memikirkan biaya hidup, masa kecilnya seharusnya di
sekolah, bukan di sini. Begitu juga buruh-buruh yang setiap harinya ia saksikan
berdiri dihantam panas, tak seharusnya mereka di luar gerbang, mereka yang
seharusnya di dalam, karena mereka kelompok masyarakat yang membagun kehidupan.
Begitu sederhana cita-cita pria itu, namun sayang, cita-citanya tak bisa datang
bila hanya duduk diam dengan menyeduh kopi, cita-cita sederhana itu harus diraih dengan keberanian yang jujur.
Sembari ia menikmati kopi, matanya tak lepas
memandangi bocah laki-laki yang memakai seragam sekolah itu, menawarkan
dagangannya di kerumunan buruh-buruh yang mengenakan kemeja dan kaos merah.
Bocah laki-laki itu berlari-lari membawa dagangannya dengan riang, melayani satu persatu pembelinya, tanpa ngeluh ia terus berlari.
Terik Matahari menampakan dirinya di atas kepala
komadan tempur, yang dari tadi pagi hanya meminum kopi tanpa nasi, karena satu
pelanggan pun yang biasa memakai jasanya belum juga datang.
Rasa lapar di perutnya sudah biasa ia rasakan, bahkan dalam berhari-hari tak menguyah nasi pun ia pernah, kelihatannya kakek tua itu udah terlatih hidup di Negara yang fana ini, rasa lapar yang mengerogoti perutnya, seperti bulan yang hampir tiap malam merenung di langit kota.
Bocah laki-laki yang mengenakan seragam sekolah
lengkap, membawa tumpukan plastik pembungkus dagangannya, yang sudah habis
terjual, mendatangi komandan tempur itu.
“Kek dagangan aku habis, aku bisa beli obat ibu." Ucap
bocah itu sambil melampirkan senyumnya. Gigi ompong yang ada di tengah giginya
kelihatan, sanking senangnya bocah itu mebuat ia berkali-kali tersenyum lebar.
Komadan tempur ikut dalam kebahagian bocah itu, ia
tersenyum melihat bocah lugu di hadapannya, ia katakan nasehat untuk
bocah itu. “Sudah simpan uangnya, kalau pulang jangan lupa lansung belikan obat
untuk ibumu, besok jangan kesini, sekolah dulu.”
“Hehhe iya Kek." Jawab si bocah
“Kakek sudah makan?” Lanjut bocah itu bertanya.
“Belum Cah, bentar lagi aku makan, setelah pelangganku datang." Jawabnya
“Aku belikan sekarang makan Kakek ya.”
“Tak usah, tak perlu kau merepoti dirimu, hanya
karena aku." Ia tolak tawaran baik bocah itu
“Gak papa Kek, anggap saja ini tanda jasa dariku
untuk kakek yang seorang tentara. Guru ku sering cerita Kek, tentara itu baik,
dan tentaralah yang menjaga negeri ini."
“Itu dulu Cah, sekarang tak begitu, tentara tak lagi
menjaga negeri ini.”
“Lantas kenapa guruku bicara gitu Kek?"
“Bila tentara menjaga negerimu, tentu kau tak
berlari dengan seragam sekolah menawarkan daganganmu." Tandas komadan tempur.
“Kalau ibu sih Kek, bilangnya ini cobaan bagi kami,
ntar Tuhan akan menggatinya dengan kebahagian."
“Dimana kamu dengar dongeng itu Cah?"
“Dari ibuku Kek.” Jawabnya
“Ibu mu keliru Cah, kemiskinan bukan cobaan, dia
adalah rekayasa, bila kau percaya Tuhan itu baik, maka kau juga harus percaya Bumi ini diciptakan Tuhan untuk membahagiakan penghuninya, tapi sayang Cah ada
yang serakah." Keluh komandan tempur
itu, yang coba memberi tau pada bocah di hadapannya, Bumi ini dikendalikan
segelintir orang-orang serakah.
“Kau saja belum pernah melihat penghuni Istana itu
toh." Lanjutnya
“Iya Kek."
“Tapi kemaren Kek, di sekolahku banyak berdatangan
bapak-bapak dengan pakaian rapi lengkap dengan para pengawalnya Kek, guruku
katakan itu pejabat, yang mau nyumbang dana, untuk memperbaiki atap sekolah
yang sudah hampir roboh. Baik kan Kek para pejabat itu." Lanjut bocah lugu
memeberi tau apa ia lihat dan dengar.
“Biasa itu Cah, bapak-bapak itu pasti akan datang ke
sekolah, ke pemukiman kumuh, ke desa-desa, dengan alasan mau menyumbang dana,
padahal sebetulnya ia hanya mengenalkan diri untuk dipilih saat pemilu datang." Saut komadan tempur dengan pelan-pelan ia bicara, karena rasa nyeri
di perutnya semankin ganas.
“Apa pemilu itu Kek? Aku tak pernah mendengarnya di
sekolah."
“Pemilihan Umum Cah, pemilu itu dikatakan
orang-orang sebagai gerbang awal untuk bangsa kita menjadi lebih baik, di
pemilu itulah kelak kalau kamu sudah besar menetukan siapa yang menjadi
penghuni Istana itu, tapi itu bukan jalan sesungguhnya."
“Aku masih belum mengerti Kek, mendengar omongan Kakek.”
“Bila kamu sudah besar nanti kamu pasti mengerti,
asal kamu rajin sekolah, bukan hanya di dalam kelas yang atapnya hampir roboh,
di mana saja kamu berada, anggaplah itu sekolah."
“Iya Kek, sekarang aku belum mengerti, ntar besar
juga pasti mengerti." Tandas bocah itu sambil berjalan meninggalkan komadan
tempur tanpa bilang.
“Hee kamu mau kemana?" Tanya komandan tempur dengan berteriak
“Mau beli makan untuk komadan tempur." Ia jawab lalu
berlari.
Dasar
bocah keras kepala. Katanya di hati sambil tersenyum melihat
kaki kecil itu berlari hanya untuk membantunya.
Suasana siang semakin menunjukan keganasan kota,
tanpa ampun, menyiksa para pejalan kaki dengan panasnya,
Ia tetap teguh bertengger dengan kotak persegi empat
di hadapan Istana, tentu bukan penggatian penghuni yang berasal dari pemilu ia
inginkan, sebab kesengsaraan yang selama ini ia rasa, dan kemiskinan yang di
jalani orang-orang di sekitarnya, tak dapat diubah oleh mereka yang lahir dari
rahim setan.
Bukan Pemilu yang ia tunggu di depan Istana ini, ribuan bahkan sampai jutaan rakyat berkecimpung merebut gedung mewah di hadapannya, yang ingin ia lihat sebelum menutup mata terakhir kalinya dan menyapa dunia baru yang belum jelas keberadaannya.
Ia seduh kopi yang sudah dingin sambil merangkai
kata di dalam hati, pesan yang baik bagi generasi muda saat ini: Usiaku sudah senja, puluhan tahun aku
hidup di negeri ini, gonta-ganti pemimpin, tapi sampai hari ini tak juga aku dipandang sebagai manusia oleh penghuni gedung di hadapanku. Yang bermuka palsu,
pasti akan menghampiri dimana orang kelaparan, bukan untuk mengusir laparnya. Hanya saja mereka ingin memastikan, si miskin masih setia dengan bunyi sumbang yang
membuatnya terus menjadi hamba di negerinya sendiri. Bukan pemilu! Siapapun
calonnya tetap mereka lahir dari rahim setan, belum ada yang bisa diharapkan,
lebih baik para pemuda itu bersiap memperkuat gerbongnya, untuk menyerang
dengan ganas pada waktunya.
* Kader PEMBEBASAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar