Pemilu Borjuis 2014 Bukan Solusi Bagi Sistem Pendidikan Indonesia Yang Memilukan.





Pendidikannya mahal, metodenya bobrok, kurikulum yang rusak-rusakan dan pro terhadap kelas penguasa, berorientasi pada profit, maka jangan tanya lagi bagaiamana kualitasnya. Yang terdengar hanya cerita tentang anak  miskin yang menangis akibat  tersisih dari lembaga pendidikan yang memerasnya. Hanya dalam 1 menit! Terdapat 4 anak yang harus putus sekolah.


Genderang demokrasi liberal baru saja dibunyikan, pemilu borjuis 2014 baru melewati fase pemilihan anggota legislatif. Para kontestan pemilu baik partai politik maupun legislatornya sibuk berkampanye ria dengan cara yang mengilusi, dengan harapan mendapat simpati rakyat, menghalalkan segala cara yang sama sekali tidak mendidik, jauh dari arti demokrasi sejati, suara dan hak politik lainnya  diukur lalu ditukar dengan uang. Tak ada sedikitpun nilai  pendidikan  dari sistem pemilu borjuis ini, tak ada yang bisa  diharapkan dari pemilu borjuis 2014 ini karena tidak memberikan jalan keluar  tentang kebutuhan pokok rakyat miskin.



Tak ada satu partai yang mewakili rakyat, semua partai kontestan pemilu borjuis 2014 tidak memiliki program politik dan ekonominya yang pro terhadap rakyat miskin, semuanya kontestan dari para maling, pelanggar HAM, Pro Diskriminasi, anti terhadap rakyat miskin dan pastinya tunduk pada kapitalisme. Maka layak ditolak. Hanya pandai menebar janji manis tentang perubahan tanpa menjelaskan bagaimana cara mancapai janji tersebut, termasuk dalam bagaimana menggratiskan pendidikan dengan menerapkan sistem pendidikan memakai metode belajar yang berkualitas, kritis, berspektif feminisme, serta sistem pengajaran yang dialogis dan bervisi kerakyatan. Justru sebaliknya turut melegitimasi privatisasi dan liberalisasi pendidikan yang berimbas pada pendidikan yang semakin mahal, komersil dan membodohkan.




Potret Pendidikan Sejak Dulu.

Semenjak pendidkan dikenal di nusantara , hampir selalu berlaku tidak netral. Di zaman kerajaan Sriwijaya misalnya pendidikan hanya diarahkan untuk melanggengkan  kepentingan  raja dan keturunannya. Begitu pula di zaman kolonialisme, Belanda dengan politik etisnya hanya membangun pendidikan demi akumulasi modal dan produktifitas penjajahan. Buktinya sekolah militer lah yang dibangun pertama kali di Semarang pada tahun 1819, sebagai sekrup-sekrup dari sistem kapitalisme yang menggunakan militer untuk menindas dan juga  sebagai penjaga modal, dan hanya golongan priyayi atau bangsawan sajalah yang bisa mengenyam pendidikan.

            

Pada waktu orde lama berkuasa sistem pendidikan mengalami sedikit perbaikan, dibuktikan dengan gairah berorganisasi dan partisipasi politik yang aktif dari peserta didik, setidaknya sistem pendidikan di fase ini  mampu merangsang daya kritis dan kreatifitas pelajar dan mahasiswa dalam menentukan dan mencari solusi bagi setiap persoalan rakyat. Berbanding terbalik dengan orde lama, sistem pendidkan di orde baru justru sangat memprihatinkan. Peserta didik hanya dijadikan objek yang dipersiapkan untuk menjadi budak kapitalisme. Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan, pelarangan ideologi dan pelajaran sejarah yang tidak jujur, tidak ada kebebasan berpendapat, sampai pada pelarangan berorganisasi yang keluar lewat kebijakan NKK-BKK. Kenyataan ini membuat para pelajar dan mahasiswa terpisah dengan realitas dan melahirkan generasi yang  apolitik dan buta sejarah,  apalagi kalau orde baru ini berlangsung dalam tempo yang cukup lama.



Tak berbeda jauh dari sebelumnya, wajah dan watak dari implementasi pendidikan di Indonesia saat ini sangat bobrok, orang miskin memang dilarang sekolah. Pendidikan hanya sebatas ruang ideologisasi klas berkuasa (kapitalis) saja untuk terus melanggengkan penindasannya pada rakyat miskin, maka jangan heran kalau para peserta didik hanya dicekoki dengan pengetahuan-pengetahuan pro kapitalisme, diasingkan dan dijauhkan dari realitas dan kepedulian terhadap persoalan rakyat miskin. Pendidikan sudah bukan lagi sebagai wadah untuk mengenal lingkungan sosial di sekitarnya.





Pendidikan yang Berorientasi Profit dan Sistem yang Menindas!

Sebagai cerminan rezim yang menganut sistem kapitalisme, tak heran ketika pemerintah sebagai agen kapitalis yang tergabung sebagai negara penyokong berdirinya WTO meratifikasi seluruh kebijakan dalam WTO yang melahirkan undang-undang No.7 Tahun 1994, mengatur pelegalan “Agreement Establishing the World Trade Organization.” Tak sampai disitu, negara turut serta menyepakati keputusan yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu dari 12 sektor jasa yang dapat diperjual-belikan untuk keuntungan modal, yang telah disepakati dalam salah satu pertemuan GATS (General Agreement on Trade and Service) akhir tahun 2005 silam.

Demi melanggengkan akumulasi kapital, lahirlah Undang-Undang atau suprastruktur penindasan di sektor pendidikan, sebagai legitimasi demi memuluskan jalan penindasan. Mulai dari UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan akibat mendapat penolakan keras dari rakyat miskin, namun negara selalu saja punya cara dalam memprivatisasi dan mengkomersilkan pendidikan dengan telah disahkannya UU No 12 Tahun 2012 tentang  Pendidikan Tinggi. Sebagai turunannya telah diberlakukan sistem pembayaran Uang Kuliah tunggal (UKT) di setiap Perguruan Tinggi Negeri sebagai hasil modifikasi penindasan gaya baru dengan logika subsidi silang  yang hanya lebih membebankan kepada mahasiswa yang golongan ekonominya di atas, sebuah upaya dari negara yang mencoba melepaskan tanggung jawab sebagai penyelenggara pendidikan perguruan tinggi yang tidak tebang pilih. Sudah terlihat jelas semenjak pemberlakuan status badan usaha terhadap lembaga pendidikan. 


Berbarengan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah  Nomor 66/Tahun 2010 Universitas Negeri yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara diberikan hak otonomi untuk mengatur rumah tangganya sendiri, serta pemberian kuota 40% kepada klas borjuasi untuk menanamkan modal. Kepentingannya bukan untuk kualitas sumber daya manusia tetapi demi profit dari modal yang diinvestasikan, sehingga jangan heran kalau harga pendidikan lebih tinggi dari langit.


Pendidikan mahal mulai dari Pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi, pelaksanaan  sistem ujian nasional, hanya menghambur-hamburkan anggaran  (Rp 545 milyar untuk tahun 2014) menjadi tidak berarti ketimbang memperbaiki dan membangun infrrastruktur sekolah, selain  hanya  mempertontonkan bobroknya wajah pendidikan kita, juga sama sekali tidak memberi manfaat atau sebagai ukuran  sebuah majunya kualitas  pendidikan, hanya menambah beban psikologis dan menjadi hantu yang sangat ditakuti, demi menjaga reputasi sekolah, pengajar, dan pelajar itu sendiri, kecurangan dan konspirasi pun terlihat dimana-mana. Metode belajar yang bobrok, fasilitas yang tidak memadai, peserta didik dipaksakan menelan kebijakan birokratis kampus mulai dari presensi 75% di perguruan tinggi, kebijakan Drop out, penghapusan waktu kuliah, eksistensialis jurusan, mendapatkan nilai tinggi, dengan berorientasi cepat kerja yang hakikatnya hanya mengumpulkan daya kritis mahasiswa dan kompetisi yang tidak sehat. Pendidikan telah dijadikan mesin pencetak tenaga kerja yang murah dengan skill dan pengetahuan yang rendah untuk memenuhi kepentingan industri kapitalisme.


Badan Pusat statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka sebesar 6,25% atau sebanyak 7,39 juta orang (per agustus 2013) atau meningkat dari yang sebelumnya sebanyak 6,14 % (7,24 juta orang) pada periode tahun 2012, dengan pengangguran terdidik masih menempati persentasi tertinggi. Tingkat pengangguran terdidik untuk diploma sebanyak 7,5 %, sarjana 6,95%, belum lagi dengan 1.3 juta anak usia 7-15 tahun yang terancam putus sekolah dan 1,5 juta anak yang tiap tahunnya tidak dapat melanjutkan sekolah. Data dari Kemendikbud  menyebutkan hingga akhir tahun 2013 masih ada 3,6 juta penduduk Indonesia berusia 15-59 tahun yang buta huruf. Apalagi alasannya kalau bukan soal ketidak-sanggupan pembiayaan pendidikan yang terlalu mahal di Indonesia sehingga pendidikan menjadi barang langka dan mewah bagi rakyat miskin.



Sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Kuba, pendidikan  disetiap jenjangnya  gratis, negeri miskin yang hanya punya pendapatan per-kapita $2.800 (ppp) ini, bisa menyaingi standar pendidikan di negara maju, seperti AS ($37.800), Kanada ($29.700), dan Inggris ($27.700). Makanan dan seragam sekolah pun gratis. Setiap 20 siswa sekolah dasar di asuh 1 pengajar dan 1 pengajar sekolah menengah hanya mengasuh 15 siswa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada di Kuba maka 1 guru hanya melayani 38 warga penduduk. Tenaga pengajar yang terus bergerak dikerahkan ke rumah-rumah jika anak-anak tidak dapat ke sekolah karena sakit atau cacat, ada pendidikan orang dewasa dan digratiskan  di semua tingkatan. Media televisi di Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya atau 63% dari tottal siaran yang ada, 2 dari 5 stasiun TV disesikan untuk pendidikan jutaan rakyat Kuba, sejarah, ekonomi, sastra, musik dan bahasa asing dalam setiap harinya.


Kebutuhan Mendesak.

Pendidikan gratis adalah harga mati dan bukan tidak mungkin diterapkan, Indonesia adalah negara yang kaya akan SDA nya. Solusinya dengan industrialisasi nasional di bawah kontrol rakyat. Namun kapitalisme tidak akan diam begitu saja ketika kenyamanannya dalam menghisap terganggu. Selalu saja menggunakan militer sebagai mesin pembunuh yang selalu tampil sebagai penjaga modal.


Ada bahaya laten meliterisme dalam memenangkan pemilu presiden mendatang. Ketika militerisme menang maka capaian kecil dari gerakan mahasiswa dan rakyat dalam memperjuangkan demokrasi hingga telah sedikit terbuka ruang kebebasan akan di kebiri. Perjuangan yang panjang hingga berdarah-darah yang berujung pada penculikan dan pembunuhan para aktivis  dalam  menghentikan laju kencang rezim  militeristik yang anti demokrasi di tahun 1998 akan tidak berarti apa-apa lagi. Perjuangan menjadi tiarap maka jangan harap ada demokrasi apalagi  pendidikan gratis, sehingga diperlukan penyatuan gerakan dari seluruh elemen rakyat, buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota, dan mahasiswa  untuk terus membangun struktur perlawanan di kampus maupun di pabrik, yang berkepentingan menahan laju kencang militerisme dalam Pilpres mendatang. Demi tercapainya tatanan pendidikan yang  membebaskan manusia.  Selamat menyongsong hari pendidikan mahal nasional.





Pena: Herman Sidete. (Pria tampan ini selain hobi membuat artikel, dia juga aktif di dalam gerakan perlawanan menentang kapitalisme, dan menjadi kader PEMBEBASAN Kolektif Wilayah Jogja-Jateng Sebagai Departemen Perluasan).


Referensi:

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar