(alam ku lenyap)
Oleh: Herman Sidete.
Berparas Manis, Karakter Penghisap.
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari Provinsi yang berusia 14 tahun ini, jika dengan keindahan pesona dan kekayaan alamnya, disambut dan dijawab dengan telah ditetapkannya daerah ini sebagai bagian dari wilayah pertambangan (WP) yang merupakan amanat dari suprastuktur penindasan (UU minerba). Yang telanjang terlihat hanya keselamatan hidup yang terancam, ruang hidup rakyat dan kelangsungnan fungsi ekologis berada pada titik yang sangat memprihatinkan.
Yang harus dilakukan ?
Maluku Utara Dalam Cengkraman Kapitalis
Tambang.
Ya, satu lagi
kabar seksi dan tentunya datang dengan tema yang tidak berlebihan, ketika 56%
atau seluas 1. 604.974 Ha hutan di Maluku utara dikuasai dan dieksploitasi oleh
korporasi pertambangan. Tak sampai di sini, akibat dari keberhasilan kaum
kapitalis, menguasai para badut birokrat, hingga mengakibatkan kemiskinan
merajalela. Kebobrokan para badut birokrat terlihat dengan memuluskan dan
melanggengkan sistem yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin.
Terus-menerus tanpa bosan memamerkan aksinya yang tak populer itu.
Sungguh sebuah akselerasi penghisapan berdalih pembangunan dan pro modal,
membelakangi rakyat miskin dengan realitasnya. Entah buta atau tak punya
telinga, izin usaha pertambangan (IUP) terus dikeluarkan secara brutal dan
membabi buta tanpa pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis serta
kepentingan rakyat miskin. Terus nyenyak dengan dalih bahwa ini atas
dasar pembangunan dan demi pendapatan negara.
Kemiskinan Di Atas Kilauan Emas dan Nikel.
Di selatan
Halmahera ada PT. Trimega Bangun Persada dan PT. Gane permai Sentosa, yang
selalu mendapat raport merah akibat ulahnya yang pandai merusak dan mencemari
lingkungan. Di timur dan tengah Halmahera ada PT. Weda Bay Nickel (WBN) yang
memiliki konsesi tambang seluas 54.874 hektar, dan merupakan terbesar di
Indonesia, dengan 35.155 hektar berada di kawasan hutan lindung. Apa yang
terjadi semenjak keberadaan perusahan tambang Weda Bay Nikel ini, berbagai
bentuk penindasan, represifitas sudah gencar dilakukan oleh pihak perusahan
kepada rakyat miskin khususnya masyarakat Sawai dan Tobelo. Semenjak awal
masuknya perusahan ini pada tahun 1999, hingga kini terus menerus
mengeksploitasi alam, sementara masyarakat akan terancam tersingkir dari tanah
leluhur mereka dan alam sebagai pemberi kehidupan mereka. Mereka yang melawan
sampai hari ini terus memperjuangkan hak hidup mereka yang dirampas, sedangkan
pihak perusahan terus bertahan demi kelangsungan penghisapannya. Dengan
berbekal izin pemerintah, warga desa Kobe, Sagea, Gemaf, Leilief, dan Tobelo
dalam terus dikekang.
Ujungnya,
sekitar 140an keluarga terancam di relokasi karena teritori hidup mereka masuk
dalam wilayah konsesi perusahan. Tidak ada lagi yang diharapkan dari pemerintah
selain pandai menakut-nakuti rakyat setempat dengan regulasi yang bisa
mempidanakan mereka. Warga dilarang masuk ke hutan bila tak mau ditangkap.
Sungguh ironis peradaban baru yang cacat, di saat hutan dan alamnya sudah
menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat sejak dahulu.
Perlu diketahui
bahwa berdasarkan kontrak karya yang dimiliki, PT. Weda Bay Nikel ini terus dan
sedang menghisap serta menggaruk kekayaan alam (nikel dan kobalt) dan proyek
pengolahan hidrometalurgi kelas dunia di kepulauan Halmahera. Perusahan ini dimiliki
oleh perusahan yang berkantor di Singapura, Strand Mineral (Singapura) Pte.
Ltd. (Strand) dengan kepemilikan saham 90,0% dan perusahan pertambangan milik
negara Indonesia PT. (Persero) Aneka Tambang Tbk. (ANTAM) dengan kepemilikan
saham hanya sebesar 10,0%. Sementara Strand sendiri dimiliki oleh ERAMET S.A
dan Mitsubishi Corporation dan PAMCO, dengan persentase kepemilikin saham
66,6%, 30% dan 3,4%.
Demi
penghisapan nilai lebih, tak tanggung-tanggung untuk ERAMET yang adalah
perusahan pertambangan dari Perancis ini siap investasi sebesar USD 5,5 miliar
untuk investasi pabrik pabrik pemurnian nikel dan pengolahan (smelter) di
kawasan Halmahera ini dengan kapasitas produksi 65.000 ton nikel dan 3.500 ton
co-sulfida per tahun. ERAMET juga pemenang Pinokio Award diperancis tahun 2010,
dengan kategori perusahan terburuk dalam hal lingkungan.
Di
kawasan timur Halmahera sudah semenjak tahun 1997 perusahan tambang nikel
bercokol. Karena sangat menguntungkan bagi sang penghisap maka tak lama kemudian
disusul oleh korporasi tambang lainnya, Yudis Bhumi Bhakti, Haltim Meaning,
Heng Fung. Alhasil apa yang terlihat sekarang, pulau-pulau kecil yang tidak
layak dialih fungsikan serta kawasan hutan mulai dari pegunungan sampai
pesisir Buli kini menjadi area pertambangan, dengan luasan lahan eksploitasi
sekitar 51.320 Ha.
Setelah
selatan, timur, tengah kini kita beralih ke penghisapan sumber daya alam
yang ada di utara Halmahera. Adalah tambang emas Gosowong milik PT. Nusa
Halmahera Minerals (NHM) milik Australia yang belum berhenti menggaruk kekayaan
sumber daya alam di Halmahera utara ini semenjak tahun 1997 dengan luasan lahan
tambang sebesar 29.622 Ha. Perusahan mendapatkan emas sementara rakyat
mendapatkan limbah, itulah yang terjadi bagi rakyat miskin. Limbah menyebabkan
kerusakan ekosistem baik di laut maupun di darat. Akibat mengkonsumsi ikan dan
air sungai belasan warga yang ada di sekitar lingkar tambang ini terkena
penyakit aneh secara serentak dan tentunya sangat mengancam ribuan masyarakat
miskin lainnya yang ada di sekitaran tambang ini.
Anehnya di
tengah realitas yang sangat kental akan penindasan ini. Negara lewat menteri
kehutannya Zulkifli malah memberikan apresiasi tinggi kepada korporasi ini
dalam hal kemajuan reklamasi. Sungguh, penderitaan dan kemiskinan yang dialami
rakyat di atas kilauan emas.
Berparas Manis, Karakter Penghisap.
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari Provinsi yang berusia 14 tahun ini, jika dengan keindahan pesona dan kekayaan alamnya, disambut dan dijawab dengan telah ditetapkannya daerah ini sebagai bagian dari wilayah pertambangan (WP) yang merupakan amanat dari suprastuktur penindasan (UU minerba). Yang telanjang terlihat hanya keselamatan hidup yang terancam, ruang hidup rakyat dan kelangsungnan fungsi ekologis berada pada titik yang sangat memprihatinkan.
Hm, jelas sudah
peran negara, apalagi kalau bukan tunduk pada penguasa modal. Rakyat miskin
dipaksa untuk hidup terpisah dengan alam, sementara para anjing penjaga modal
(polisi, tentara, dan kejaksaan) secara sepihak sibuk mengkapling lahan
perkebunan rakyat dan merampasnya. Di saat rakyat yang melawan melakukan
perlawanan karena haknya dirampas maka represifitas dan kekerasan menjadi
senjata mereka yang paling ampuh.
Menghalalkan
segala cara demi stabilitas investasi modal, karena daerah ini juga masuk salah
satu koridor MP3EI (Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia) yang tidak lain dari wajah baru proyek penghisapan jangka
panjang (bukan rencana pembangunan jangka panjang) yang sudah dimulai
semenjak Mei 2011. Sebagai Sebuah proyek yang keberadaannya
tidak terlepas dari peran lembaga atau agen penghisap seperti Internasional
Moneter Fund (IMF), World Bank (WB), Asian Development Bank
(ADB) yang menyiapkan dana besar untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur
serta melanggengkan aktivitas keserakahan kejahatan korporasi pertambangan
(MNC). Karena untuk mewujudkan MP3EI pemerintah harus membutuhkan dana sebesar
Rp 4.500 Triliun, yang 35% diperoleh dari swasta, dengan kekuatan APBN yang
jauh dari angka ini maka investor dan hutang luar negeri jadi solusinya.
Kemudian tugas pemerintah selanjutnya membuat suprastruktur penindasan
(regulasi) yang biasanya memberi kenyamanan bagi kaum pemodal.
Hilangnya tanah
sebagai sumber ekonomi rakyat miskin, harus di bayar dengan kerusakan alam,
konflik sosial dan tapal batas, krisis air bersih serta kerawanan pangan.
Tentunya ini tidak terlepas dari posisi dan peran negara sebagai alat penindas
dari sistem kapitalisme itu sendiri. Sebuah paham yang mengharuskan penghisapan
manusia dan eksploitasi terhadap manusia dan alam. Ya, penghisapan bagi
mereka-mereka yang tak punya kuasa. Sehingga jangan heran kalau kebijakan
pembangunan yang disusun negara melalui program percepatan pembangunan
investasi dengan koridor eksploitasi alam lewat pembangunan industri ektraktif
(pertambangan) ini sungguh sangat cepat dan menguntungkan bagi
kapitalisme.
Maluku
utara baru saja menyelenggarakan pesta demokrasi borjuis, memilih siapa
yang layak dan pantas untuk duduk megah di kursi nomor satu sang penindas di
daerah kepulauan ini. Seperti biasanya, praktek busuk dalam prosesi pemilihan
dengan kampanye uang tersaji di mana-mana. Aksi antar sesama penindas pun tak
terelakan. Ya, apalagi kalau bukan karena kepentingan modal di balik kekayaan
sumber daya alam daerah ini. Bahkan dalam setiap kampanyenya, setiap calon
penindas dengan lantang dan bangganya mengatakan bahwa siap membuka pintu
dengan mengundang para investor (pemodal) untuk masuk mengeksploitasi segala
bentuk sumber daya alam yang ada di daerah ini.
Karena memang
dalam prospek pertambangan ke depan ada beberapa jenis bahan galian baru lagi
yang sudah dieksplorasi dan siap dieksploitasi. Proyek MP3EI ini mendorong
pertambangan untuk ada di sektor terdepan di daerah ini dengan nilai
investasi 81 triliun, dan pastianya siap merubah RT/RW provinsi untuk
sesuai MP3EI.
Yang harus dilakukan ?
Sejatinya
pertambangan itu bukan hal yang perlu ditolak, apabila pertambangan yang ada
itu, dibawah kontrol rakyat, digunakan untuk kebutuhan manusia banyak, rakyat
miskin dan tentunya menjaga kelangsungan ekologi. Tidak di privatisasi. Bukan
seperti korporasi pertambangan yang ada sekarang, hanya untuk kepentingan dan
keuntungan segelintir (pemodal) melakukan eksploitasi alam beserta manusianya,
akumulasi dan ekspansi kemana-mana. Maka tak heran bila Mark Twain
mendefenisikan pertambangan sebagai lubang besar yang menganga dan di gali oleh
para pembohong.
Dengan
demikian, jika rakyat miskin tidak mau berlama-lama dan mengucapakan selamat
datang lagi kepada penindasan dengan segala bentuk eksploitasi sumber daya alam
yang baru maka sudah seharusnya ada persatuan di antara gerakan rakyat itu
sendiri. Sebagai tanggung jawab untuk menunaikan tugas sejarah, rakyat tidak
bisa berjuang sendiri-sendiri melawan rezim dan sistem yang menghendaki
penghisapan ini, buruh, tani, nelayan, mahasiswa, dan perempuan yang melawan
harus bersatu dan memiliki alat perjuangan atau organisasi yang berkarakter
kerakyatan, mandiri, dan ekologis serta bersandar pada kekuatan rakyat dengan
politik mobilisasi massa sebagai solusi untuk terus melawan kepada segala rupa
penindasan dan penghisapan pada manusia dan alam.
Cepat dan lawan
kawan, sebelum sumber daya alam kita yang kaya ini, berubah menjadi mala
petaka bagi kita sendiri akibat sistem kapitalisme yang merusak lingkungan dan
memiskinkan.
Salam
Pembebasan.
Penulis:
Herman Sidete. (Ketua komisariat pembebasan UGM).
Keterangan
Gambar : Tambang antam yang berada di tanjung Buli, Halmahera Timur, Maluku
Utara.
Referensi:
- http://walhimalut.blogspot.com/
- http://www.mongabay.co.id/
- http://amanmalut.blogspot.com/
- http://koranpembebasan.wordpress.com/2013/06/13/
- http://www.jatam.org/component/content/
- http://maluku-tercinta.blogspot.com/2012/02/produksi-dan-ekspor-bijih-nikel.html
terimakasih atas tulisannya bang IMEN
BalasHapus