“Kabar Terkini Dari Maluku Utara”



(alam ku lenyap)

Oleh: Herman Sidete.



Maluku Utara Dalam Cengkraman Kapitalis Tambang.

Ya, satu lagi kabar seksi dan tentunya datang dengan tema yang tidak berlebihan, ketika 56% atau seluas 1. 604.974 Ha hutan di Maluku utara dikuasai dan dieksploitasi oleh korporasi pertambangan. Tak sampai di sini, akibat dari keberhasilan kaum kapitalis, menguasai para badut birokrat, hingga  mengakibatkan kemiskinan merajalela. Kebobrokan para badut birokrat terlihat dengan memuluskan dan melanggengkan sistem yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin. Terus-menerus tanpa bosan  memamerkan aksinya yang tak populer itu. Sungguh sebuah akselerasi penghisapan berdalih pembangunan dan pro modal, membelakangi rakyat miskin dengan realitasnya. Entah buta atau tak punya telinga, izin usaha pertambangan (IUP) terus dikeluarkan secara brutal dan membabi buta tanpa pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis serta kepentingan rakyat miskin. Terus  nyenyak dengan dalih bahwa ini atas dasar pembangunan dan demi pendapatan negara.



Kemiskinan Di Atas Kilauan Emas dan Nikel.

Di selatan Halmahera ada PT. Trimega Bangun Persada dan PT. Gane permai Sentosa, yang selalu mendapat raport merah akibat ulahnya yang pandai merusak dan mencemari lingkungan. Di timur dan tengah Halmahera ada PT. Weda Bay Nickel (WBN) yang memiliki konsesi tambang seluas 54.874 hektar, dan merupakan terbesar di Indonesia, dengan 35.155 hektar berada di kawasan hutan lindung. Apa yang terjadi semenjak keberadaan perusahan tambang Weda Bay Nikel ini, berbagai bentuk penindasan, represifitas sudah gencar dilakukan oleh pihak perusahan kepada rakyat miskin khususnya masyarakat Sawai dan Tobelo. Semenjak awal masuknya perusahan ini pada tahun 1999, hingga kini terus menerus mengeksploitasi alam, sementara masyarakat akan terancam tersingkir dari tanah leluhur mereka dan alam sebagai pemberi kehidupan mereka. Mereka yang melawan sampai hari ini terus memperjuangkan hak hidup mereka yang dirampas, sedangkan pihak perusahan terus bertahan demi kelangsungan penghisapannya. Dengan berbekal izin pemerintah, warga desa Kobe, Sagea, Gemaf, Leilief, dan Tobelo dalam terus dikekang. 

Ujungnya, sekitar 140an keluarga terancam di relokasi karena teritori hidup mereka masuk dalam wilayah konsesi perusahan. Tidak ada lagi yang diharapkan dari pemerintah selain pandai menakut-nakuti rakyat setempat dengan regulasi yang bisa mempidanakan mereka. Warga dilarang masuk ke hutan bila tak mau ditangkap. Sungguh ironis peradaban baru yang cacat, di saat hutan dan alamnya sudah menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat sejak dahulu. 


Perlu diketahui bahwa berdasarkan kontrak karya yang dimiliki, PT. Weda Bay Nikel ini terus dan sedang menghisap serta menggaruk kekayaan alam (nikel dan kobalt) dan proyek pengolahan hidrometalurgi kelas dunia di kepulauan Halmahera. Perusahan ini dimiliki oleh perusahan yang berkantor di Singapura, Strand Mineral (Singapura) Pte. Ltd. (Strand) dengan kepemilikan saham 90,0% dan perusahan pertambangan milik negara Indonesia PT. (Persero) Aneka Tambang Tbk. (ANTAM) dengan kepemilikan saham hanya sebesar 10,0%. Sementara Strand sendiri dimiliki oleh ERAMET S.A dan Mitsubishi Corporation dan PAMCO, dengan persentase kepemilikin saham 66,6%, 30% dan 3,4%.  

Demi penghisapan nilai lebih, tak tanggung-tanggung untuk ERAMET yang adalah perusahan pertambangan dari Perancis ini siap investasi sebesar USD 5,5 miliar untuk investasi pabrik pabrik pemurnian nikel dan pengolahan (smelter) di kawasan Halmahera ini dengan kapasitas produksi 65.000 ton nikel dan 3.500 ton co-sulfida per tahun. ERAMET juga pemenang Pinokio Award diperancis tahun 2010,  dengan kategori perusahan terburuk dalam hal lingkungan.


Di  kawasan timur Halmahera sudah semenjak tahun 1997 perusahan tambang nikel bercokol. Karena sangat menguntungkan bagi sang penghisap maka tak lama kemudian disusul oleh korporasi tambang lainnya, Yudis Bhumi Bhakti, Haltim Meaning, Heng Fung. Alhasil apa yang terlihat sekarang, pulau-pulau kecil yang tidak layak dialih fungsikan serta  kawasan hutan mulai dari pegunungan sampai pesisir Buli kini menjadi area pertambangan, dengan luasan lahan eksploitasi sekitar  51.320 Ha.


Setelah selatan, timur, tengah  kini kita beralih ke penghisapan sumber daya alam yang ada di utara Halmahera. Adalah tambang emas Gosowong milik PT. Nusa Halmahera Minerals (NHM) milik Australia yang belum berhenti menggaruk kekayaan sumber daya alam di Halmahera utara ini semenjak tahun 1997 dengan luasan lahan tambang sebesar  29.622 Ha. Perusahan mendapatkan emas sementara rakyat mendapatkan limbah, itulah yang terjadi bagi rakyat miskin. Limbah menyebabkan kerusakan ekosistem baik di laut maupun di darat. Akibat mengkonsumsi ikan dan air sungai belasan warga yang ada di sekitar lingkar tambang ini terkena penyakit aneh secara serentak dan tentunya sangat mengancam ribuan masyarakat miskin lainnya yang ada di sekitaran tambang ini.


Anehnya di tengah realitas yang sangat kental akan penindasan ini. Negara lewat menteri kehutannya Zulkifli malah memberikan apresiasi tinggi kepada korporasi ini dalam hal kemajuan reklamasi. Sungguh, penderitaan dan kemiskinan yang dialami rakyat di atas kilauan emas.



Berparas Manis, Karakter Penghisap
.

Tidak ada yang bisa dibanggakan dari Provinsi yang berusia 14 tahun ini, jika dengan keindahan pesona dan kekayaan alamnya, disambut dan dijawab dengan telah ditetapkannya daerah ini sebagai bagian dari wilayah pertambangan (WP) yang merupakan amanat dari suprastuktur penindasan (UU minerba). Yang telanjang terlihat hanya keselamatan hidup yang terancam, ruang hidup rakyat dan kelangsungnan fungsi ekologis berada pada titik yang sangat memprihatinkan. 


Hm, jelas sudah peran negara, apalagi kalau bukan tunduk pada penguasa modal. Rakyat miskin dipaksa untuk hidup terpisah dengan alam, sementara para anjing penjaga modal (polisi, tentara, dan kejaksaan) secara sepihak sibuk mengkapling lahan perkebunan rakyat dan merampasnya. Di saat rakyat yang melawan melakukan perlawanan karena haknya dirampas maka represifitas dan kekerasan menjadi senjata mereka yang paling ampuh. 


Menghalalkan segala cara demi stabilitas investasi modal, karena daerah ini juga masuk salah satu koridor MP3EI (Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang tidak lain dari wajah baru proyek penghisapan jangka panjang (bukan rencana pembangunan jangka panjang) yang sudah dimulai semenjak  Mei  2011. Sebagai Sebuah  proyek yang keberadaannya tidak terlepas dari peran lembaga atau agen penghisap seperti Internasional Moneter Fund (IMF), World Bank  (WB),  Asian  Development Bank (ADB) yang menyiapkan dana besar untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur serta melanggengkan aktivitas keserakahan kejahatan korporasi pertambangan (MNC). Karena untuk mewujudkan MP3EI pemerintah harus membutuhkan dana sebesar Rp 4.500 Triliun, yang 35% diperoleh dari swasta, dengan kekuatan APBN yang jauh dari angka ini maka investor dan hutang luar negeri jadi solusinya. Kemudian tugas pemerintah selanjutnya membuat suprastruktur penindasan (regulasi) yang biasanya memberi kenyamanan bagi kaum pemodal.


Hilangnya tanah sebagai sumber ekonomi rakyat miskin, harus di bayar dengan kerusakan alam, konflik sosial dan tapal batas, krisis air bersih serta kerawanan pangan. Tentunya ini tidak terlepas dari posisi dan peran negara sebagai alat penindas dari sistem kapitalisme itu sendiri. Sebuah paham yang mengharuskan penghisapan manusia dan eksploitasi terhadap manusia dan alam. Ya, penghisapan bagi mereka-mereka yang tak punya kuasa. Sehingga jangan heran kalau kebijakan pembangunan yang disusun negara melalui program percepatan pembangunan investasi dengan koridor eksploitasi alam lewat pembangunan industri ektraktif (pertambangan) ini sungguh sangat cepat dan menguntungkan bagi kapitalisme. 


Maluku utara  baru saja menyelenggarakan pesta demokrasi borjuis, memilih siapa yang layak dan pantas untuk duduk megah di kursi nomor satu sang penindas di daerah kepulauan ini. Seperti biasanya, praktek busuk dalam prosesi pemilihan dengan kampanye uang tersaji di mana-mana. Aksi antar sesama penindas pun tak terelakan. Ya, apalagi kalau bukan karena kepentingan modal di balik kekayaan sumber daya alam daerah ini. Bahkan dalam setiap kampanyenya, setiap calon penindas dengan lantang dan bangganya mengatakan bahwa siap membuka pintu dengan mengundang para investor (pemodal) untuk masuk mengeksploitasi segala bentuk sumber daya alam yang ada di daerah ini. 

Karena memang dalam prospek pertambangan ke depan ada beberapa jenis bahan galian baru lagi yang sudah dieksplorasi dan siap dieksploitasi. Proyek MP3EI ini mendorong pertambangan untuk ada di sektor terdepan  di daerah ini dengan nilai investasi 81 triliun, dan pastianya siap merubah RT/RW provinsi  untuk sesuai MP3EI.



Yang harus dilakukan ?

Sejatinya pertambangan itu bukan hal yang perlu ditolak, apabila pertambangan yang ada itu, dibawah kontrol rakyat, digunakan untuk kebutuhan manusia banyak, rakyat miskin dan tentunya menjaga kelangsungan ekologi. Tidak di privatisasi. Bukan seperti korporasi pertambangan yang ada sekarang, hanya untuk kepentingan dan keuntungan segelintir (pemodal) melakukan eksploitasi alam beserta manusianya, akumulasi dan ekspansi kemana-mana. Maka  tak heran bila Mark Twain mendefenisikan pertambangan sebagai lubang besar yang menganga dan di gali oleh para pembohong.


Dengan demikian, jika rakyat miskin tidak mau berlama-lama dan mengucapakan selamat datang lagi kepada penindasan dengan segala bentuk eksploitasi sumber daya alam yang baru maka sudah seharusnya ada persatuan di antara gerakan rakyat itu sendiri. Sebagai tanggung jawab untuk menunaikan tugas sejarah, rakyat tidak bisa berjuang sendiri-sendiri melawan rezim dan sistem yang menghendaki penghisapan ini, buruh, tani, nelayan, mahasiswa, dan perempuan yang melawan harus bersatu dan memiliki alat perjuangan atau organisasi yang berkarakter kerakyatan, mandiri, dan ekologis serta bersandar pada kekuatan rakyat dengan politik mobilisasi massa sebagai solusi untuk terus melawan kepada segala rupa penindasan dan penghisapan pada manusia dan alam. 

Cepat dan lawan kawan, sebelum sumber daya alam kita yang kaya ini, berubah  menjadi mala petaka bagi kita sendiri akibat sistem kapitalisme yang merusak lingkungan dan memiskinkan.


Salam Pembebasan.





Penulis: Herman Sidete. (Ketua komisariat pembebasan UGM).

Keterangan Gambar : Tambang antam yang berada di tanjung Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara.



 Referensi:
  • http://walhimalut.blogspot.com/
  • http://www.mongabay.co.id/
  • http://amanmalut.blogspot.com/
  • http://koranpembebasan.wordpress.com/2013/06/13/
  • http://www.jatam.org/component/content/
  • http://maluku-tercinta.blogspot.com/2012/02/produksi-dan-ekspor-bijih-nikel.html

Unknown

Mari Berteman:

1 komentar: