Fenomena Perempuan Menjadi Caleg (Calon Legislatif)






Perempuan berderajat lebih rendah daripada laki-laki, ini adalah anggapan umum sekarang tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Bahkan sejak kecil peran perempuan dalam keluarga sudah disuratkan oleh takdir di mana laki–laki bekerja mencari nafkah dan perempuan bekerja di rumah mengurus rumah tangga dan membesarkan anak.



Anggapan umum yang lain juga tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus melayani suami,"  "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama suaminya," dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat. Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang sudah begini.



Anggapan seperti itu menurut ahli antropologi sangatlah keliru dan tidak benar. Dan memang pada sejarahnya kedudukan perempuan dan laki – laki memanglah setara terlihat pada zaman komunal primitif, dimana dalam masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung  yang melibatkan semua laki-laki dan perempuan secara setara.



Keadaan ini berlangsung sampai jauh abad ke-19. Selain itu anggapan seperti itu juga suatu kesalahan yang menganggu sisi psikologis bagi perempuan zaman sekarang. Adanya kebiasaan yang membudaya ini, tentunya menjadi momok tersendiri bagi kaum hawa. Jangankan berbuat untuk negara, untuk dirinya sendiri dia tak bisa karena doktrin tadi. Perempuan ini jadi tak berani mengaktualisasikan dirinya karena stigma negatif tadi, semisal adanya larangan bekerja dari suami. Sehingga, pendidikan yang ia peroleh, seakan-akan tak berguna oleh karena tak tahu kemana harus mengaplikasikannya. Padahal setiap orang mempunyai hak yang sama dalam mengaktualisasikan dirinya, termasuk perempuan. Jadi, jangan batasi kaum hawa untuk mewujudkan keinginannya bekerja, termasuk menjadi caleg.



Karena perempuan saat ini sudah terdomestifikasi di dalam rumah dan pendidikan yang  mereka peroleh tidak terrealisasikan. Di masyarakat anggapan politik itu kotor dan kejam sudah sering mereka dengar di masyarakat.  Sehingga banyak dari kaum perempuan yang takut berpolitik. Bahkan bagi para ibu, juga tak setuju bila putrinya terjun kedunia politik. Padahal lenin bilang kita tidak akan menjadi apa – apa kalau tidak berpolitik. Anggapan seperti itu membunuh karakter perempuan untuk terjun dalam dunia politik itu pun juga berdampak pada ranah kampus di mana mahasiswi jadi takut berorganisasi. Sehingga perempuan tak mau tau tentang dunia poltik dan negara pun juga meremehkan kemampuan perempuan sampai pada akhirnya kecantikan dan tubuh perempuan dijadikan objek sebagai alat propaganda memperoleh keuntungan bagi kepentingan mereka yang juga bergerak di bidang grafis dengan mengeksploitasi seksualitas perempuan lewat gambar-gambar yang menimbulkan birahi.



Hal ini tampak dalam sejumlah media massa: televisi, surat kabar, dan majalah. Tetapi tak semua  kesadaran perempuan begitu, dengan adanya anggapan demikian, memberikan satu stimulus bagi si perempuan itu. Mereka penasaran, lalu ingin membuktikan anggapan tersebut, hingga mereka pun tak jarang melakukan observasi. Observasinya dengan menjadi caleg, minimal kepala desa atau Lurah, ataupun ketua dalam organisasi.



Seperti yang dilakukan oleh mahasiswa chili, Karol Cariola, 26 tahun, mewakili tokoh simbolik generasi baru pemimpin gerakan mahasiswa yang berhasil menempatkan isu pendidikan di pusat politik nasional dan menghubungkan protes massa ke Kongres. Bersama kawannya Camilla Vallejo memainkan gerak mahasiswa tahun 2011 lalu, mereka turun ke jalan bersama ribuan mahasiswa untuk menuntut reformasi radikal di sistem pendidikan sampai pada pendidikan gratis untuk semua. Dua aktivis mahasiswa lainnya yang juga berhasil masuk ke Kongres adalah Giorgio Jackson dan Gabriel Borat, yang mana keduanya berhasil menang di distrik mereka dengan gerakan politik yang baru dibentuk. Mereka berempat diharapkan bisa memainkan peranan penting dalam meloloskan proposal Bachelet untuk membuat pendidikan tinggi gratis selama 6 tahun.



Argumen tersebut membuktikan bahwa perempuan juga bisa memimpin dan menjadi aktivis bahkan menjadi caleg.  Adanya caleg dari kaum perempuan di Indonesia, tentunya memberikan warna tersendiri di dunia perpolitikan tanah air. Mereka memiliki hak sebanyak 30% untuk menduduki jabatan ini. Pada bagan yang terdapat pada acara Politika Metro TV (9/12/2013), hingga 2009 yang lalu, kuota perempuan ini telah mencapai angka hampir 18%. Kuota itu pun kebanyakan diduduki mereka para borjuasi seperti artis, pengusaha dll. Itupun mereka hanya mengandalkan kecantikan dan uang yang banyak untuk menduduki posisi tersebut. Sebut saja, Angelina Sondakh (sekarang tersangkut kasus korupsi), Vena Melinda, Inggrid Kansil dari Demokrat. Rachel Maryam dari Gerindra, dan Nurul Arifin dari Partai Golkar telah berhasil duduk di DPR pada Pileg 2009 lalu. Mereka semua tentunya dari kalangan aktris. Setelah melihat “keberhasilan” teman-temannya di DPR, ramai pula para aktris lain yang ingin menyusul menjadi caleg 2014 ini.



Pertanyaannya, pantaskah mereka bila menjadi wakil rakyat? Dan apakah mereka para perempuan menjadi caleg itu karena kemampuan dan kesadarannya? Atau mereka Cuma mengandalkan fisik dan kecantikannya? Simple jawabannya, tentu sebagai warga negara, siapapun berhak menjadi caleg maupun capres dari latar belakang apapun juga, termasuk mereka. Tetapi belum tentu mereka menjadi wakil rakyat karna kesadarannya dan kemampuannya, terlihat mereka hanya mengutamakan kepentingannya.



Seperti yang telah disinggung sebelumnya, perempuan memiliki hak sebanyak 30% di panggung perpolitikan negeri ini. Demi mencapai kuota itu, tak jarang banyak Partai Politik yang asal pilih. Misalnya si aktris tadi. Karena mereka memiliki nama di panggung hiburan, jadinya mereka pun lolos seleksi menjadi caleg. Bahkan tak jarang Parpol memilih aktris menjadi caleg untuk menyedot perhatian massa karena kecantikannya tanpa memikirkan kemampuan dan kesadaran dalam perpolitikan.



Hal ini terlihat jelas ketika Angel Lelga caleg dari Partai PPP dengan ketidak cakapannya dalam menjawab  “gempuran”  Najwa Shihab di acara Mata Najwa 15 Januari 2014 lalu, dan motivasinya sebelum mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari PPP  yang akan menuju DPR-RI dari dapil V Jawa Tengah, padahal pertanyaannya itu sendiri sesuai untuk kegiatannya sendiri di dapilnya. Yang lebih mengejutkan majunya caleg dari PKPI yang diketuai oleh mantan gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Caleg yang dimaksud adalah Destiara Talita (25) yang sudah dua tahun belakangan ini menjadi model majalah pria dewasa. Tata sendiri telah dipersiapkan untuk bertarung di dapil VIII Jawa Barat. Kata yang paling mencengangkan yaitu “Saya menjadi caleg HANYA untuk menutupi kuota 30% caleg perempuan” ungkap Tata ketika ditanya seputar mengapa ia bisa terjun kedunia politik.



Ironis sekali jika para parpol di negeri ini memilih caleg perempuan hanya sekedar memenuhi kouta 30% dan mungkin hanya untuk menyedot perhatian massa tanpa melihat kemampuan ataupun kesadarannya dalam dunia politik. Bisakah si caleg ini menjadi politisi yang bukan hanya berdandan glamour bak peragawati bila menjadi anggota legislatif nanti? Mampukah ia memikirkan kebutuhan seluruh rakyat, atau minimal pembela kaum-nya sendiri? Bila bukan dari kalangan aktris, adakah keinginannya menjadi politisi untuk membangun daerahnya, memajukan kesejahteraan masyarakat luas? Serta yang paling penting, mampukah ia sebagai perempuan meminimalisir penjajahan bagi kaum perempuan?. Ini yang harus kita perempuan pikirkan sebelum benar-benar terjun kedunia politik.



Keterwakilan perempuan di panggung perpolitikan tanah air, tentunya memberi angin segar bagi kaum perempuan negeri ini yang masih banyak mengalami pelecehan seksual, kurang mendapatkan pendidikan, dan tak berani mengaktualisasikan dirinya sendiri. Bukannya malah bermewah-mewahan dengan style dan bergaya karena kecantikannya. Walaupun perempuan hanya di beri ruang 30 % di dunia poitik yang seharusnya perempuan dan laki–laki ini sama–sama mendapat tempat yang sama yaitu 50% semua dan karna memang pada sejarahnya perempuan dan laki–laki itu setara dan mempunyai tempat yang sama.



Menjadi caleg perempuan jangan hanya bermodal pintar dandan dan berpenampilan glamour saja. Ada baiknya kita bisa menyeimbangkan kecantikan fisik yang kita miliki dengan pikiran kita demi kemajuan bangsa, terlebih kaum perempuan yang banyak terjajah. Karena cantik fisik bukan dia yang berhidung mancung, berkulit putih dan mempunyai bibir sexi, tapi cantik bagi perempuan mereka yang membebaskan penindasan perempuan dan mereka yang melawan penindasan perempuan.



30% kursi yang tersedia bagi perempuan,  merupakan potensi yang bisa kita jadikan taktik untuk membebaskan perempuan dan dapat di jadikan media dalam menyadarkan para perempuan yang saat ini masih tertindas. Walaupun perempuan sudah mendapat tempat 30% tapi  para perempuan juga harus memperjuangkan feminis gender dan kesejahteraan yang niscaya direbut oleh persatuan rakyat dalam periswtiwa besar menghancurkan Kapitalisme, dengan Revolusi Proletariat.





Penulis: Dwi Marta. Petugas Politik Pembebasan Komisariat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.



Daftar Refrensi:



Unknown

Mari Berteman:

1 komentar: