Dia
tak henti menghujat, mulutnya komat-kamit menyanyikan sindiran untuk teman
sekelasnya, di luar kelas sambutan hangat puluhan permaisuri
berjalan melenggang di depannya, berdandan layaknya putri keraton.
Ia
lari menuju kantin, tak jauh beda yang ia temukan, laki-laki maskulin berkumpul seperti jagoan dengan rokok yang terus tersulut di bibir, si Cimeng kembali
bernyanyi, jeritan keras
menggema, terhentak di dadanya,
anak muda ini bernyanyi sindiran di dalam hati, sunyi senyap tak terusik
kegaduhan, dia bebas berekspresi hingga menemukan kata yang tepat untuk para
teman yang dia hujat sebagai "GENERASI MANJA."
Anak
muda ini berasal dari desa
yang terletak di pelosok pulau padi.
Cimeng selalu mendengar keindahan tempat penuh pesona, bernama kampus, dimana
segala pikiran yang maju ada di dalamnya, saling beradu satu sama lain,
menegaskan diri yang paling ilmiah, tempat yang menyerap segala aspirasi,
hunian bagi para akademisi muda. Itu yang selalu ia dengar saat para calo
kampus membual di depan dia dan teman-temannya.
Bualan
para calo kampus mampu menyusup ke dalam keinginannya, sampai ia tak bisa lagi
memilah semua kebohongan yang didengar, gumpalan bunyi tak bermakna dari para
calo kampus dikunyah mentah-mentah.
Penipuan
yang dilanggengkan dengan kemasan memesona oleh para pembual kampus membius si Cimeng untuk mempersiapkan diri sebelum masuk ke taman surga
penuh kebebasan itu, ia persiapkan diri dengan mencari segala cerita yang meyinggung presiden pertama RI, tak ada tokoh lain yang memesona, yang ia tau hanya Soekarno, setiap perubahan baju sekolahnya ia dengar, Soekarno sebagai bapak REVOLUSI. Dia mencari
pengetahuan tentang sosok Soekarno
dengan segala cara, berbicara dengan sesupu desa, sampai menembus debu-debu perpustakaan di sekolahnya demi mendapatkan sepenggal cerita tentang tokoh yang selalu ia
banggakan.
Masih
tepat perkataan orang bijak yang mengatakan kebenaran tak akan pernah dapat
dihambat muncul ke permukaan. Perkataan orang bijak ini menggambarkan jelas
perjalanan Cimeng, yang diajarkan oleh kenyataan, membuat Cimeng mengakui
kata-kata yang keluar dari mulut para calo kampus hanya tipu muslihat semata, untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari mahasiswa.
Hunian
para akademisi muda berubah menjadi gerombolan cowok maskulin yang tak henti
membicarakan kemolekan tubuh setiap perempuan yang lewat di depannya, seperti
daging mentah, para singa siap menyantap.
Kata-kata
yang penuh pesona masih mengiang-ngiang di ingatan Cimeng, bualan tentang
kebebasan yang ia dapat dari para calo kampus. Namun layaknya bualan, dijawab dengan kenyataan barisan putri keraton yang melenggang dengan segala kebebasan memamerkan aksesoris kehidupan, yang konon katanya dapat membuat putri keraton tampil cantik dan seksi di
depan umum.
Taman
surga yang disesaki pemuda-pemudi
maju, selalu berdebat secara
ilmiah, seperti iming-iming para calo kampus tak ditemukan oleh Cimeng. Dia
tak mengetahui taman surga itu pernah
ada, namun ditelan oleh keserakahan manusia bodoh, yang menumpas jutaan
orang tak bersalah, demi panggung kekuasaan.
Di
ujung kampus Cimeng berucap, dengan nada yang masih membanggakan tokoh
yang ia kagumi, Andai
kata bapak Revolusi masih ada di negeri ini, tentu kampus tak dipadati generasi
manja. Tandasnya
dalam hati.
Awal
bulan ini memasuki ujian di kampusnya, kampus yang dikatakan taman surga
oleh para pembual. Ternyata
hanya menjadi tempat pewayangan kebobrokkan yang dibiasakan.
Seperti
banyak mahasiswa yang lain, Cimeng juga melakukan hal yang sama, dalam mempersiapkan dirinya menjawab soal-soal yang diberi oleh para malaikat pengantar kebodohan di kampusnya.
Pagi
mengantarkan Cimeng menuju kampus, memasuki parkiran kendaraan, Cimeng disambut
senyum penjaga parkir sambil menegurnya. "Selamat pagi Bung Karno," Cimeng hanya menjawab dengan senyum, terlampir di wajahnya. Sebutan
seperti itu sering ia dengar, siapa saja yang melihat pasti berucap seperti
itu, tak perlu diberi tau, lewat oral, setiap orang yang melihat Cimeng pasti langsung teringat sosok besar Bung Karno. Itu karena Cimeng setiap hari ke kampus
berpenampilan mirip Bung Karno, peci hitam andalan Bung Karno, menutupi kepala
Cimeng.
Di
dalam kelas, Cimeng mendapati teman satu angkatannya duduk di bangku pengawas,
ia kebingungan, hatinya seperti tak menerima, teman satu angkatannya duduk di
bangku itu, rasa penasaran dicampur cemburu membuat Cimeng ingin memastikan
kenapa teman satu angkatan bersandar di situ. Cimeng mengambil lembar soal dan
jawaban di meja
pengawas. "Tanda tangan absen mas," terlintas ia dengar suara perintah seperti itu, dari anak muda yang berbaju batik rapi, bercelana kain hitam dengan wajah yang terlihat layaknya profesional,
gayanya seperti profesor yang sedang memeriksa tesis mahasiswanya. Anak muda itu satu angkatan Cimeng, Cimeng terhentak
kaget mengetahui ternyata teman
satu angkatannya sudah menjadi pengawas ujian.
Duduk
di bangku bernomor 02, menempatkan posisi Cimeng pas di depan meja pengawas,
kepala yang diselimuti peci hitam seperti Bung Karno tak bisa menoleh terlalu lama, kalau tak mau ditegur oleh teman satu angkatannya sendiri.
Rasa
penasaran masih melekat di
pikiran Cimeng, tentu tak lain karena pria berbaju batik yang duduk di bangku pengawas. Pertanyaan menggelitik terus berlantunan di pikiran Cimeng, Apakah pria ini yang masuk
ketegori pemuda revolusioner seperti didengungkan Bung Karno? sepatu vantofel
hitam pria yang duduk di
bangku pengawas itu terus diperhatikan
Cimeng, dilihat detail sepatu hitam yang mengkilat, bak sepatu para tuan,
bersih tak berdebu. Nampaknya tak pernah memijak lumpur, ya mungkin karena dia selalu berada di pemukiman mewah dan ruangan ber-AC, wajar saja mengkilat. Celoteh
Cimeng di dalam hati.
Tak
berhenti berceloteh di dalam hati, Cimeng masih juga melirik pengawas di depannya, kertas jawabannya masih putih bersih. Pertanyaan yang bertentangan melintas saling tabrak-menabrak di kepalanya, antara kenyataan yang ia dapat dengan kepala
matanya sendiri, dan kicauan Bung Karno di dalam pidato maupun buku-bukunya,
yang ia dengar dari sesepu desa, dan buku di perpustakaan sekolah yang berbalut
debu.
Seperti
pemuda yang memuja Revolusi 45, berani dan kritis lagak Cimeng yang tak kenal
menyerah mencari-cari jawaban pertanyaan yang terlintas di kepalannya, tentang
sosok pemuda revolusioner yang diagung-agungkan Bung Karno. Apakah pria ini yang dikatakan Bung
Karno?, ah... tak susah untuk menjadi seperti dia, hanya dibutuhkan sifat dasar
hewan peliharaan seperti
kucing milik tetangga kosku.
Penurut, setia, dan pendiam tentunya. Tak perlu aku baca buku DBR yang ditulis Bung
Karno, bila aku ingin menjadi seperti dia. Tak henti Cimeng bicara di dalam hatinya sendiri.
Ah, tak
mungkin anak muda revolusioner seperti yang dikatakan Soekarno berada di depanku, sepatu vantofelnya tak berdebu, mungkin dia tak pernah ke tempat dimana rakyat kelaparan. Wajah dia pun tak pernah ku lihat di ruang-ruang seminar maupun
diskusi, apalagi tulisannya tak pernah aku baca di kampus ini, apakah dia yang bersifat dasar hewan peliharaan yang diagungkan Bung Karno? Tak mungkin itu yang dimaksud Bung Karno. Tandas
Cimeng di dalam hati.
Di sela-sela Cimeng sibuk memikirkan pertanyaan yang dibuat kepalanya
sendiri, ada teguran dari pengawas
untuk nya, karena dari tadi
cimeng hanya melamun dan membiarkan kertas jawabannya kosong, "Bung Karno silahkan kerjakan soalnya" ucap pria di depannya, Cimeng terhentak kaget mendengar teguran dari
teman seangkatannya sendiri, yang ia cela di dalam pikiran dan hatinya. Tak
banyak membantah Cimeng hanya mengatakan "Iya Pak," sambil tertawa kecil untuk
membuat jengkel pria di depannya.
Pelan
namun pasti, satu persatu pertanyaan
yang ada di lembaran soal dia lumat dengan lahap, seperti buaya yang kelaparan saat diberi
makanan oleh penjaga kandang.
Tiba-tiba
dari arah belakang terdengar dentingan bolpoin beradu dengan besi kursi tempat
Cimeng duduk. Tek tek “Ssttt sstt, Bung, Bung" suara bernada pelan
didengar Cimeng dari belakang bangkunya, dia menoleh ke belakang, ternyata
teman sekelasnya meminta jawaban.
"Nomor
5 Bung Karno" ucap teman sekelasnya dengan wajah memohon.
"Ya
bentar" jawab Cimeng, wajah Cimeng nampak kesal melihat temannya meminta jawaban. Tentu bukan karena Cimeng tak mau berbagi jawaban, tapi karena temannya
terlalu manja menghadapi pertanyaan, tak seperti pemuda yang selalu didambakan
Soekarno.
Ya, Cimeng memang sudah biasa menjadi tempat bersandar bagi teman-temannya
yang buntu dalam menjawab soal ujian, suara yang terdengar samar-samar, bernada
memohon, serta lemparan kertas dari teman di samping maupun di belakangnya,
sudah biasa Cimeng dengar dan rasakan kegalauan yang berasal dari temannya.
Walaupun Cimeng bergaya klasik seperti Bung Karno yang sering membuat siapa saja melihatnya tertawa terbahak, namun kalau untuk urusan menjawab soal, Cimeng jagonya. Teman-temannya tak pernah meragukan kecerdesan Cimeng. Itu semua dari
keteguhannya dalam belajar memahami materi yang ia dapat, hingga ia menjadi
sandaran para teman-temannya.
Tak
butuh waktu lama untuk Cimeng menjawab soal yang ada di mejanya, ia sudah
selesai dengan begitu teliti menjawabnya, lembaran jawaban dikumpulkan ke meja pengawas, sambil memandang pria di meja pengawas, Cimeng
berkata, "Ini Pak, jawaban saya." Lagi-lagi sambil ia tertawa kecil.
Jawaban
yang sudah dia salin di lembar soal,
dia berikan kepada teman yang duduk di belakangnya, dengan hati-hati, sebelum
ia meninggalkan ruang kelas, sambil menggerutu di dalam hati, Jelas bukan kau pria berbaju batik
rapi yang dimaksud Bung Karno.
Di
lobi Fakultas, Cimeng mendapati teman-temannya sedang asyik mengobrol
membicarakan soal ujian tadi.
Saat
Cimeng menghampiri teman-temannya, dia mendapat sambutan hangat yang keluar
secara kompak dari teman-temannya,
"Salam Bung Karno"
kata para temannya sambil bersorak. Seperti biasa, jika mendapat teguran
seperti itu ia menjawab dengan senyum lugu yang ia lampirkan di wajahnya.
"Bung
bagaimana ujiannya?” tanya salah satu teman Cimeng kepadanya.
Mendengar
pertanyaan kawannya yang terkesan basa basi, Cimeng lalu menjawab dengan
seadanya, "Saya jawab semua Bung" katanya sambil membusungkan dada.
"Weitss, keluar semua berarti kisi-kisi yang Bung bawa?”
tanya teman Cimeng, yang kali ini membuat dia geram, merasa disepelekan oleh
temannya dengan pertanyaan seperti itu. Cimeng menggerutu di dalam hati. Pertanyaan bodoh seperti itu tak
layak ditanyakan kepadaku seorang pengikut Soekarno.
Dengan nada yang sedikit keras dan lantang, Cimeng menjawab pertanyaan temannya yang membuat ia kesal,
"Tak ada kisi-kisi, aku
menjawab soal sesuai kemampuanku" tandas Cimeng dengan wajah memerah.
Melihat
reaksi Cimeng menjawab pertanyaan itu, teman Cimeng tak banyak berkata, hanya
mengatakan hal yang dapat menghibur Cimeng, "Iya Bung kami percaya,"
kata teman Cimeng dengan hati-hati.
Tak
berapa lama Cimeng selesai menjawab omongan temannya yang membuat ia kesal,
tiba-tiba pria yang meminta jawaban kepada Cimeng, sudah keluar kelas dan
menghampiri Cimeng dan teman-temanya, lalu menegur Cimeng dengan rasa penuh
semangat, "Makasih Bung jawabannya tadi,” kata teman Cimeng. Mendengar
ucapan terima kasih seperti itu, Cimeng bukan malah senang, terlihat dari
jawabannya yang sederhana. "Iya Bung," kata Cimeng dengan nada datar.
Nampaknya
Cimeng tak begitu senang melihat temannya yang satu ini, pria bergaya boy band
ini pun menjadi perhatiaan Cimeng. Dari sepatu sampai rambut pria ini dijelajahi mata Cimeng yang cagil, sampai hatinya menggerutu. Sepatu anak ini cukup bagus, celananya juga terlihat mahal, walaupun kurang bahan, dan membuat kakinya seperti
pensil, bajunya begitu bagus, dengan pernak-penik gambar yang menempel di
kemejanya, pasti itu baju mahal, bila ia pintar menggunakan uang, maka lebih
bagus dia membeli buku kuliah ataupun buku yang lain, agar dia tak menjadi
burung beo di dalam kelas, hanya mengikuti jawaban orang lain, manusia rendah
yang tak percaya pada diri sendiri, membuat dirinya dianggap remeh oleh orang
lain. Gerutu Cimeng di dalam
hati melihat pria boy band ini.
Cimeng
tak henti menjalajahi pakaian yang dikenakan oleh temannya itu, Cimeng
memperhatikan celana temannya yang membentuk seperti pensil, hingga ia tertawa
kecil melihat celana itu, sambil bertanya di hatinya, Bagaimana bila anak ini kebelet
BAB? Ah, itu urusan dia, aku tak perlu tau kenapa anak ini menyusahkan dirinya
sendiri. Lanjut Cimeng yang
membuat temannya menjadi bahan lelucon.
Perhatian
Cimeng pun dialihkan dari pria boy band ke para temannya yang sedang
asyik membicarakan ujian tadi sambil tertawa.
"Ah
aku tadi begitu gampang menjawab soalnya, kisi-kisi yang aku selundupkan
berhasil menjawab soal dari dosen, tak perlu aku berpikir, sudah lengkap jawabannya di kertas yang aku bawa." Kata salah satu teman Cimeng yang merasa bangga mencotek tak ketahuan.
Melihat
para temannya yang asyik mengobrolkan hal yang menurut Cimeng tak penting, ia
bergegas meninggalkan para temannya tanpa pamit. Pergi dari kerumunan
orang-orang yang membanggakan kebodohannya sendiri.
Sampai
di kosnya, Cimeng tak menemukan siapa-siapa, semua pintu terkunci, dia datangi
satu persatu kamar temannya, ternyata teman-temannya sedang asyik tertidur
pulas di saat orang-orang di kampus merendahkan dirinya demi nilai yang bagus.
Dia
renggangkan badannya di kasur, rasa lelah di kampus dia hilangkan dengan tidur
siang yang panjang.
Bila
dia rasa badannya sudah lelah, mungkin dia bisa tidur sampai pagi. Tentu dia
tak seperti para temannya yang pintar di dalam kampus, setiap malam ujian,
belajar memeras otak, memakai sistem SKS demi menjawab soal-soal ujian, tentu
Cimeng tak begitu, dia sudah belajar sejak beberapa bulan lalu, menghadapi
ujian tak begitu kaget, karena dirinya sudah siap. Seperti kata orang bijak, kau akan menang dalam perang bila kau siap menyerang.
Tidur
panjang nampaknya bermanfaat baik bagi Cimeng, saat pagi menghampiri kelopak
matanya dengan cahaya sahdu yang memancing romantika, Cimeng tak bisa mengelak,
tak sanggup dia berpaling dari keindahan pagi dan sejuta nikmat kesehatan.
Wajah Cimeng terlihat begitu cerah, seperti biasa yang dilakukan Cimeng setelah
bangun pagi dan bersiap berangkat ke kampus untuk menunaikan tugas moral kepada
orang tua, ia pastikan dirinya di depan kaca, sambil ia tanyakan pada dirinya
sendiri, sudahkah mirip Bung
Karno aku hari ini? dilanjut
dengan tertawa sendiri memandangi wajahnya dan ciri khas yang diadopsi dari
Bung Karno, peci hitam yang tak pernah dicuci.
"Pagi
juga Lestin," saut Cimeng, dengan wajah yang menunduk, tak sanggup dia
tekukkan dadanya seperti menjawab lantang pertanyaan temannya yang usil.
“Ujian
apa hari ini Bung? tanya Lestin.
Cimeng
begitu gugup berbicara dengan Lestin, terlihat di wajahnya yang mulai memucat,
berhadapan langsung dengan perempuan yang ia kagumi sejak lama.
“Kebijakan
agraria” jawab Cimeng dengan gugup.
“Kamu
pasti akan membicarakan persoalan penggusuran, problem agraria saat ini,”
lanjut Lestin.
Nampaknya
diskusi akan terjadi diantara jejeran sepeda motor, Cimeng dengan Lestin memang
terbiasa berdiskusi santai bila bertemu, walaupun Cimeng tak menunjukan pengetahuan keseluruhan yang ia punya, dia lebih sering menjadi pendengar setia
omongan Lestin.
“Tak
ada penggusuran yang dibahas, hanya aturan bernama UU yang saling bertabrakan
menjadi soal yang hangat di atas meja ujian” jawab Cimeng.
“Memang
harus membahas penggusuran?” lanjut Cimeng bertanya balik kepada Lestin.
"Seharusnya
membahas penggusuran, agar kita peserta didik lebih cepat memahami materi bila
ia dikaitkan dengan kenyataan di dalam masyarakat kita. Bagaimana kita tau air
bila kita tidak melihatnya. Ini aneh, selama ini kita diajari untuk buta pada
kenyataan yang tak pernah dibuka, kita seperti hewan yang diperintahkan terus
menghafal bait demi bait huruf-huruf yang tak menggambarkan sekeliling
kita," lanjut Lestin, dengan lantang memberi tau kepada Cimeng, "taman
surga itu hanya ada di massa lalu, yang ditumpas serigala pembantai."
Mendengar
Lestin bicara, Cimeng terkagum-kagum, dia perhatikan satu persatu kata yang
keluar dari bibir Lestin yang basah, tak bisa dia elak omongan Lestin, karena
Cimeng juga tau, kondisi pendidikan di negara yang selama ini dia banggakan
tidak dalam kondisi baik, semua terilusi oleh tipu muslihat para malaikat yang selalu menyanyikan kemegahan yang bisa dimiliki individu,
namun tak pernah malaikat itu bicara, kalau bergotong-royong kita akan
mendapat kemegahan secara merata, tanpa adanya kematian tragis disebabkan
peluru tajam katak hijau, tak ada luka yang disebabkan pentungan setan
berseragam, semua orang akan senang kecuali mereka golongan serakah.
Pembicaraan
yang menarik antara Cimeng dan Lestin harus digugat oleh waktu yang memaksa
mereka untuk menghentikan diskusi sejenak, masing-masing dari mereka harus
memasuki ruang kelas untuk menjawab soal ujian yang sama sekali tak pernah
mereka saksikan.
"Seperti
itu Lestin, pendidikan negeri ini, masih carut marut,” jawab Cimeng dengan
prihatin.
"Oiya
Lestin, nanti kita lanjutkan lagi diskusinya setelah ujian, aku lanjut ke kelas
dulu," ucap Cimeng dengan berat hati karena harus meninggalkan perempuan
yang ia kagumi.
“Siap
Bung Karno, semoga panasnya ruang kelas dapat membakar semangatmu untuk tetap menjaga harga dirimu,” jawab Lestin begitu semangat.
Mendengar
dukungan Lestin yang penuh semangat itu, kali ini Cimeng menatap wajah Lestin,
menghilangkan rasa takutnya, dia katakan kepada Lestin, “Semoga panas ruangan
kelas bermanfaat untuk mu,” sambil ia tersenyum mengucapkannya.
Waktulah akhirnya memisahkan mereka dalam diskusi yang meronta sekelilingnya. Diantara banyak orang yang melupakan dan dilupakan tentang arti kemerdekan, dua
pemuda-pemudi ini masih tegas menolak lupa.
Di
kelas yang terlihat sesak, sangat kecil untuk menampung 40 orang, Cimeng dan
teman-temannya harus berdesakan untuk mengambil lembar soal dan jawaban.
Ya, inilah situasi kelasku,
berdesakan seperti orang yang mengantri sembako, karena kemiskinan sedang
melanda. Dumel Cimeng di dalam hati melihat kondisi nyata fasilitas pendidikannya.
Kali
ini Cimeng bisa merasa lega, karena tak mendapati teman seangkatannya di bangku
pengawas, dia bisa menjawab
soal dengan tenang tanpa digandrungi
rasa kesal melihat pria berbaju batik itu. Ya, kesal karena pria itu menyimpan
sifat dasar hewan peliharaan.
Angka 17 kali ini yang menempel di bangku Cimeng, menempatkan posisinya di
pojok kelas yang terkurung rapatnya susunan bangku, sesak. Ujian yang tak menyamankan. Keluh Cimeng dalam hati.
Satu
persatu pertanyaan yang ada di
lembaran soal diperhatikan Cimeng,
dengan hati-hati dia baca kumpulan huruf yang disatukan dalam kertas tak
bermakna.
“Huhh,”
keluh Cimeng melihat pertanyaan di lembar jawabannya.
Wajar
bila mahasiswa membawa
kertas berisi jawaban ke dalam kelas ujian, sebab soal yang diberi oleh dosen, tak
membuat kita berpikir, kita hanya diminta untuk menghafal, menjawab persis yang
tertulis di dalam buku, jadi tak heran bila mahasiswa membawa buku ke dalam
ruangan. Omongan
Cimeng yang tertuang di dalam hati.
Tapi
kenapa mereka diam, dan malah merendahkan dirinya sendiri, dengan menipu atau
membeo di dalam ujian?. Seharusnya mereka lawan metode dosen yang membodohkan mereka, bukan
malah mengikuti, atau menggangap ini hal yang sudah tidak dapat diubah,
serendah-rendah manusia ialah dia yang tidak pernah merasa dirinya mampu untuk
merubah situasi, melainkan terbenam di lumpur yang kotor itu. Cimeng berkeluh kesal
menggumpal di dalam hati.
Ya, Cimeng selalu bicara di dalam hati, tak seperti Lestin yang sudah lama
berbicara di luar dengan lantang berteriak menolak pembodohan. Itu karena Cimeng belum menemukan tempat yang membuat dia bisa melampiaskan pengetahuan dan keinginan merubah keadaan.
Kepala
Cimeng menoleh ke kiri kanan, pemandangan yang sama ia dapatkan, para temannya
yang sedang asyik saling tanya jawab dan mengeluarkan kertas yang berisi
jawaban di atas meja, sambil hati-hati melihatnya agar tak ketahuan pengawas
ujian.
Mereka
lebih memilih merendahkan diri dari pada harus menentang metode yang
membodohkan, kasian mereka, temanku bocah yang malang. Ucap Cimeng di dalam hati,
berkeluh kesah meronta, namun tak bisa ia salahkan semua ini karena para
temannya yang manja. Metode belajar banyak mempengaruhi mereka menjadi orang
yang rendah.
Cimeng
mengerjakan dengan susah
payah, mengingat jawaban dari
soalnya, karena tak dibutuhkan
analisis, cuma harus sama dengan yang tertulis di buku, masa persiapkan
Cimeng membuktikan dia tidak tunduk merendahkan dirinya, pertanyaan yang tak
mendidik dari dosen ia jawab. Hingga selesai, Cimeng hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat temannya masih asyik merendahkan diri
sendiri.
Lembar jawaban Cimeng antar ke meja pengawas. Wajah prihatin tergambar
jelas di wajahnya saat ingin meninggalkan ruangan yang penuh sesak itu.
Di
lobi fakultas Cimeng tak medapati teman-temannya ngerumpi tentang kecurangan di
dalam ruangan. Cimeng melihat lobi fakultas masih sepi dari kerumunan
mahasiswa, Cimeng melanjutkan perjalanannya menuju kantin, ya seperti biasa
mengisi perut, agar tak mati kelaparan. Hanya diri kita yang menentukan kita
hidup, sebab negara tak bertanggung jawab.
Kantin
juga masih terlihat sepi, mahasiswa dari berbagai fakultas belum berdatangan,
Cimeng hanya duduk sendiri di salah satu kantin yang ada, kantin-katin yang lain
juga masih sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk berpencar.
“Bu,
es teh dan mie goreng," Cimeng memesan makanan dengan Bu Pur, ibu kantin
yang sudah puluhan tahun berjualan di kampus ini, dengan berbagai persoalan
yang ia dapati.
“Iya
bung” jawab Bu Pur,
“Kok
kamu sudah keluar, yang lain kemana?” tanya Bu Pur pada Cimeng.
“Masih
pada di dalam Bu, memusingkan otaknya di ruang yang sesak,” jawab Cimeng sambil
tertawa kecil.
Bu pur
juga ikut tertawa mendengar jawaban Cimeng yang nyeleneh tentang teman-temannya.
“Ah
itu sudah biasa di mahasiswa sekarang, mereka terlihat lebih stres kalau sedang
ujian,” lanjut Bu Pur yang memberi tau apa yang ia lihat.
“Begitulah Bu, situasi mahasiswa saat ini, mereka lebih baik stress satu malam, dari
pada belajar sebelum ujian,” keluh Cimeng kepada Bu Pur.
“Yaaa
semoga kamu tidak begitu ya bung,” sambut
Bu Pur yang memberi semangat pada Cimeng.
“Iya
Bu,” jawab Cimeng mendengar motivasi Bu Pur.
Tak
berapa lama menunggu pesanan minum dan makanan Cimeng tersedia di atas meja.
“Bu
mari makan” ucap Cimeng menawarkan makan pada Bu Pur, kebiasaan yang sering di
lakukan oleh masyarakat negeri ini.
“Iya
bung, monggo," jawab Bu Pur.
“Makan
yang lahap bung," suara yang lembut namun tegas dan bernada merdeka,
kembali terdengar oleh telinga Cimeng.
Ini
pasti Lestin. Cimeng menebak suara yang baru ia dengar di dalam hati.
Tak
salah dugaan Cimeng yang dia sebut di dalam hati, perempuan bertubuh
proporsional dan bibir yang basah itu sudah duduk manis di samping Cimeng.
“Baru
keluar ujian Lestin?” tanya Cimeng dengan malu-malu.
“Iya
Bung. Bung sendiri udah lama di kantin?” jawab Lestin sambil bertanya balik
sama Cimeng.
“Belum
terlalu lama, ada setengah jam saya di kantin, sehabis keluar kelas saya
langsung kesini, biasa mahasiswa, mengisi perut yang kosong," jawab Cimeng
yang kali ini dengan begitu semangat.
Nampaknya
Cimeng baru menyadari bahwa sudah lama dia tertarik dengan Lestin. Cimeng mulai
merasakan kenyamanannya bila sedang berbicara dengan Lestin, tentu tidak karena
aroma yang keluar dari tubuh Lestin, wangi yang begitu lembut, seperti bunga
yang sedang mekar. Kemerdekaan pikiran Lestin yang membuat Cimeng tertarik
padanya, Cimeng merasa sedang bersama kawan setia di dalam perubahan.
Cimeng
sembunyi-sembunyi memperhatikan wajah manis Lestin. Dari kelopak mata yang melengkung menghiasi wajah Lestin, hidung yang mancung dihiasi bintik hitam yang
kecil, bibir yang tak pernah kering, dagu yang terbelah, diselimuti kulit yang
eksotik. Lengkaplah anugrah alam kau miliki. Puji Cimeng untuk Lestin
di dalam hati.
"Bung,
Bung" suara lembut itu menegur kembali Cimeng yang sedang melamun sehabis
melihat dengan sembunyi-sembunyi wajah Lestin.
“Iya
Lestin, ada apa ?” Cimeng jawab teguran Lestin, seperti sedang tidak terjadi
apa-apa.
Ya, Cimeng memang lumayan pintar berakting, sama seperti Soekarno saat di atas podium di tengah kerumunan rakyat yang melambungkan harapan pada
Soekarno.
“Kenapa
Bung melamun ?” tanya Lestin dengan wajah yang heran.
“Gak
apa-apa Lestin" jawab Cimeng dengan kaku, karena kepergok sedang melamun oleh orang yang dipikirkannya.
Dia
buang rasa malunya, dengan mengalihkan pembicaraan dan bertanya pada Lestin hal
yang sebetulnya sudah ia ketahui.
“Gimana
tadi ujiannya Lestin ?” tanya Cimeng yang bermaksud mengalihkan pembicaraan.
“Kamu
pasti sudah tau kondisinya, dan kamu juga pasti melihat sendiri, teman-teman
kita, anak muda harapan bangsa, terjerumus ke dalam doktrin yang menganggap
angka yang tinggi terlampir di ijazah adalah segala-galanya yang harus
didapatkan. Walaupun dengan cara yang merendahkan diri sendiri," jawab
Lestin membeberkan kebodohan yang dibiasakan oleh teman-temannya.
“Mereka
seperti serigala yang haus darah, mereka korbankan otak mereka untuk berhenti
bepikir, hati nurani mereka bungkam, tangan dan mata mereka perintah untuk
menipu, demi angka yang fantastis, mereka rela jadi pendusta, ya itulah generasi
manja. Mereka hanya korban !" lanjut Lestin dengan menggebu-gebu.
Seperti
akan terjadi diskusi lanjutan dari jejeran motor parkiran berpindah ke kantin,
yang perlahan-lahan mulai dipadati mahasiswa yang baru keluar dari
ruangan kelas.
Mendengar
jawaban Lestin yang begitu panjang, Cimeng hanya bertanya hal yang dia tak
mengerti dari perkataan Lestin.
“Kenapa
kamu bilang mereka hanya korban ?” tanya Cimeng dengan wajah penasaran.
“Tentu
kamu tau,” jawab Lestin mendengar pertanyaan Cimeng.
“Aku
belum pernah mendengar wacana seperti yang kamu katakan, Lestin." Jawab Cimeng sambil berkeluh atas ketidak tahuannya.
Cimeng
memang sangat sedikit membaca wacana yang berkembang saat ini, dia hanya
membaca sejarah-sejarah yang dibuat oleh tangan-tangan pendusta tentang
heroiknya pemuda Blitar itu, hanya itu yang Cimeng tau, sepenggal cerita dari
masa lalu, yang mungkin direkayasa.
Mendengar
pertanyaan yang tulus dari Cimeng, Lestin tak bisa mengelak selain menjawab
pertanyaan Cimeng yang sederhana itu.
“Kamu
sendiri merasakan tidak pendidikan kita disetir untuk jadi patuh?” tanya Lestin
pada Cimeng.
“Kenyataan
yang terjadi di sekeliling kita tak pernah dibahas di ruang-ruang kelas, metode
belajar kita yang kolot, yang menganggap dosen sebagai malaikat, dan
orang yang paling banyak pengetahuan, sementara kita peserta didik hanya
menjadi pendengar setia, tanpa adanya kebebasan berpikir,” lanjut Lestin.
“Kamu
merasakan tidak pendidikan di negeri ini seperti itu?” tanya Lestin lagi,
sekaligus memberi tau kenyataan yang dirasakan sendiri oleh Cimeng.
Cimeng
berpikir keras memahami perkatan Lestin satu persatu, sampai ia mendumel di
dalam hati. Tak ada yang salah dikatakan
Lestin, dia hanya menjelaskan
kenyataan yang selama ini diabaikan
orang banyak. Dumelan Cimeng di dalam hati.
“Iya
Lestin, semua yang kamu katakan tepat dengan kenyataan, walaupun terkadang aku
juga mengabaikannya," sambut Cimeng menjawab omongan Lestin.
“Tapi
kenapa kita disetir menjadi patuh, bukannya negara kita cinta kebebasan?” tanya
Cimeng kepada Lestin.
Mendengar
pertanyaan Cimeng dengan wajahnya yang polos, membuat Lestin tertawa kecil,
sambil menundukan wajahnya dari ratapan Cimeng.
“Jawab
dong Lestin, aku penasaran" keluh Cimeng meminta jawaban pada Lestin.
“Bagus
kalau kamu penasaran, berarti kamu masih manusia, punya akal dan pikiran,"
saut Lestin.
Mendengar
ucapan Lestin yang tak tau maksudnya, memuji atau sedang menertawakan
ketidaktahuannya, Cimeng hanya menatap wajah Lestin, sambil menjadi pendengar
budiman kata perkata yang keluar dari bibir basah itu.
“Jadi
begini Bung, baru saja kemarin kabar beredar, para petani yang mempertahankan
tanahnya harus mati direnggut timah panas yang keluar dari moncong senjata,
mereka hanya bertahan untuk hidup. Apakah itu kebebasan Bung?” tanya Lestin,
seperti sedang memancing Cimeng untuk berpikir.
“Tak
perlu saya bilang terus-terusan Bung, pembunuhan dan penculikan diperistiwa 98,
apakah itu tak cukup sebagai bukti negara kita membenci kebebasan?”
Lestin terus berbicara, dengan pertanyaan di akhir kalimat, dan membuat Cimeng
terbelongok bingung.
“Kalau
Bung tanya kenapa kita dibuat patuh, jawabannya agar kita tak mengganggu
mereka, mereka lebih suka melihat deretan mayat yang tertanam di tanahnya
sendiri, mereka lebih senang melihat kita kaum muda tak tau apa-apa, buta pada
sejarah bangsa, mereka lebih senang lihat perempuan menggoda di pinggir jalan,
ya, mereka suka itu Bung. Barisan orang di jalanan dengan yel-yel perubahan
itu menyiksa mata mereka bung, tak akan pernah mereka suka itu." Lanjut
Lestin begitu lantang menjawab pertanyaan Cimeng.
Cimeng
terkagum-kagum melihat Lestin menjawab pertanyaannya, dia tak pernah sebelumnya
bertemu orang seperti Lestin, apalagi seorang perempuan. Sangat jarang seperti
Lestin.
“Mereka
itu siapa Lestin?” tanya Cimeng setelah mendengar penjelasan Lestin.
“Ah
kamu pura-pura tidak tau, kamu sudah melihat dan mendengar, tentu kamu tau
siapa mereka," jawab Lestin yang menuduh Cimeng mengetahui siapa mereka.
Mendengar
tuduhan dari Lestin, Cimeng hanya menanggapinya dengan senyum, karena
kebingungan atas hal yang ia dengar, sangat jarang suara dan makna seperti yang
di katakan Lestin bersarang di telinganya, dia juga salah satu bocah malang.
“Dan
kamu juga harus ketahui Bung, Soekarno tak akan ada tanpa kaum muda, dia hanya hiasan yang didorong semangat kaum muda" lanjut Lestin yang kali ini mulai menyinggung Soekarno.
Mendengar
Lestin mengucapkan nama Soekarno, sosok yang selama ini dikagumi oleh Cimeng,
rasa senang terlihat di wajah Cimeng, namun seketika berbalik mendengar
Soekarno hanya hiasan, dari Lestin.
Kenapa
Soekarno dikatakan hiasan oleh Lestin, dia kan bapak revolusi ?. Cimeng ngedumel di dalam
hati.
“Bung
kenapa, kok kamu melamun lagi?” tanya Lestin dengan kebingungan melihat Cimeng
melamun lagi.
“Gak
papa Lestin, saya cuma heran kenapa Soekarno hanya hiasan kamu bilang?” jawab
Cimeng dengan nada keberatan.
Mendengar
pertanyaan Cimeng, Lestin tersenyum simpul, melihat wajah Cimeng yang bingung
dengan perkataannya.
“Kamu
tersinggung Bung saya bilang begitu?” tanya Lestin.
“Tentu
tidak Lestin, saya hanya ingin tau kenapa kamu bilang seperti itu, mungkin saya
belum pernah dengar Soekarno hanya hiasan di dalam revolusi 45" jawab
Cimeng sambil berkeluh.
“Iya
bung, bukan hanya kamu yang baru dengar, mungkin dari sekian banyak orang di
sekitar kita ini buta pada sejarah bangsanya, ini dibuat oleh tangan-tangan setan,
mereka sengaja menutupi sejarah, agar bangsa kita lupa pada persatuan, pada
semangat menentang penyiksaan," lanjut Lestin mengomentari pertanyaan
Cimeng.
“Terus
bagaimana kamu bisa bilang Soekarno hanya hiasan?” tanya Cimeng sekali dengan
nada penasaran.
“Kamu
penasaran Bung?” tanya Lestin menggelitik.
“Iya
Lestin, saya ingin banyak tahu tentang Soekarno di pikiran kamu" jawab
Cimeng mendorong Lestin untuk bicara.
Bibir
basah itu tak pernah kering, walaupun ratusan kata sudah keluar dari bibirnya.
“Bung
pasti ingat, di saat Soekarno berkompromi dengan fasis Jepang, yang memberi janji palsu
kemerdekaan, Soekarno mengikuti mau Jepang Bung, yang sudah jelas adalah
penindas, kesalahan Soekarno itu membuat jutaan rakyat kelaparan di tengah Romusha
dan ribuan perempuan dikirim entah kemana, mungkin menjadi pemuas nafsu di negara orang, apakah itu tidak bisa dijadikan bukti Bung menyangkut
perkataan saya tadi?” jawab Lestin yang di akhir kalimat terus memberi
pertanyaan.
Cimeng
berpikir sejenak mendengar perkataan Lestin, satu persatu dia simak kata yang keluar dari bibir basah itu. Dari deretan
perkataan Lestin tak ada satu pun yang ia pernah dengar, dia hanya mendengar
Soekarno bapak revolusi. Apakah
betul yang dibilang Lestin? Pertanyaan
ini meliputi rasa penasaran di hatinya.
“Bukannya
Soekarno yang mengobarkan proklamasi, begitu yang saya dapatkan di sekolah,
bagaimana menurut kamu Lestin?” tanya Cimeng dengan rasa penasaran.
“Iya
betul bung, saya juga mendengar itu di sekolah,” jawab Lestin menanggapi
pertanyaan Cimeng.
“Di
balik Soekarno ada jutaan pemuda yang memaksanya untuk memproklamasikan
kemerdekaan, kita tak pernah diberi tau bung, siapa para pemuda berani itu,
sejarah mereka hanya selesai dengan kata KAUM MUDA, hanya itu Bung, tak pernah kita diberi tau, darimana pemuda itu berasal, apa pilihan politiknya, dan kemana mereka
sekarang, tak pernah disebut Bung di buku sekolah yang memenuhi perpustakaan." Tandas Lestin menjawab pertanyaan Cimeng.
“Betul
yang kamu bilang Lestin, kaum muda yang berani itu tak pernah disebut apa
pilihan politik mereka, namun tak ada yang bertanya itu Lestin?” jawab Cimeng
sambil bertanya.
“Bukan
tidak ada Bung, yang bertanya selalu berhadapan dengan moncong senjata, bung
melawan kepala di
door." Jawab Lestin dengan keluhan.
Melihat
Lestin yang begitu menggelegar menjelaskan sejarah yang belum pernah didengar
Cimeng, rasa simpati Cimeng dengan perempuan ini bertambah besar. Mata yang
menyorot tajam diperhatikan Cimeng tanpa berkedip, tiba-tiba tanpa sadar Cimeng
bertanya pada Lestin hal yang konyol.
“Kalau
kamu sendiri kagum tidak dengan Soekarno yang lantang saat membaca proklamasi?”
tanya Cimeng yang penasaran mengetahui isi hati Lestin.
“Siapa
pun yang melihat Soekarno berpidato pasti sangat kagum dengan Soekarno yang
menggelegar saat pidato, tapi kita tak hanya membutuhkan pemimpin yang hanya
pandai bicara Bung.” Jawab Lestin dengan nada datar.
Mendengar
perkataan Lestin, Cimeng merasa begitu senang, perempuan yang ia kagumi juga tertarik
dengan pidato Soekarno.
“Apakah
kamu mau mendapat pasangan seperti Soekarno?” tanya Cimeng dengan usil, yang
sudah mengalihkan pembicaraan.
Mendengar
pertanyaan Cimeng yang menggelitik Lestin, wajah Lestin tiba-tiba memerah,
seakan ingin memangsa Cimeng, matanya menyorot tajam ke wajah Cimeng.
“Tentu
aku tidak mau mendapatkan pasangan seperti Soekarno, aku tak mau menjadi Singgih yang dimadu, aku tak mau, Soekarno tak pernah teguh mengikat janji dengan kaumku." Tandas Lestin yang sedikit emosi mendengar pertanyaan Cimeng.
Binar-binar di wajah Cimeng dan kesenangan di
hatinya hilang lenyap begitu mendengar perkataan Lestin. Ternyata lestin tak suka dengan
soekarno. Bisik Cimeng di
dalam hati.
“Bung,
Bung jangan melamun, tak perlu kamu menjadi Soekarno untuk saya suka,"
perkataan Lestin yang membingungkan Cimeng.
Tersentak
Cimeng kaget mendengar perkataan Lestin, dan wajah Lestin yang memerah
berangsur-angsur hilang, digantikan senyum simpul bibir basahnya dengan hiasan lesung
pipit di pipinya.
Cimeng
tak tau mau berkata apa mendengar perkataan Lestin, kelihatan dari wajahnya
yang tertunduk malu bercampur senang saat Lestin mengatakan itu.
“Bung,
saya pulang dulu ya, sudah siang ini, masih banyak kerjaan saya di kantor
organisasi,” kata Lestin yang berpamitan pada Cimeng.
“Tunggu
Lestin, saya ingin tanya boleh?" tanya Cimeng kepada Lestin.
“Iya
silahkan Bung,” jawab Lestin.
“Darimana kamu dapatkan pengetahuan seperti itu Lestin?” tanya Cimeng dengan
penasaran.
“Dari
membaca Bung, dan tentunya dengan berorganisasi," jawab Lestin.
“Apa
yang kita dapat dari organisasi?” Cimeng bertanya dengan rasa penasaran.
“Tentu
bukan harta dan ketenaran Bung. Keadilan, dan keberanian yang kita dapat Bung
dengan berorganisasi." Jawab Lestin.
Mendengar
perkataan Lestin, Cimeng semakin penasaran dengan organisasi yang dikatakan
Lestin.
“Organisasi
apa yang harus kita masuki Lestin?” tanya Cimeng.
“Organisasi
yang dibangun oleh rakyat Bung, tanpa embel-embel tangan-tangan setan,
organisasi yang terus teguh dengan perjuangannya, tanpa meminta belas kasihan
kiri kanan." Jawab Lestin.
“Gimana
Bung sudah mengerti ?” lanjut Lestin dengan bertanya.
“Sudah
Lestin” jawab Cimeng.
“Berarti
saya pulang dulu Bung ya, berorganisasilah Bung, agar peci hitammu tak punah
di makan jaman, ingat di balik peci yang mengkilat di kepala Soekarno ada
jutaan pemuda berani yang menyokongkannya, kau harus menjadi generasi baru
pemuda-pemuda yang berani itu Bung” lanjut Lestin memberi masukan untuk Cimeng.
Mendengar
semangat yang ditularkan Lestin, Cimeng hanya tersenyum, lalu mempersilahkan Lestin meninggalkannya.
“Hati-hati
di jalan Lestin, aku harap esok kita bertemu lagi” tandas Cimeng.
“Iya
Bung , aku juga berharap gitu” jawab Lestin.
Wajah
Cimeng langsung memerah, bukan karena emosi, tapi karena rasa simpati yang
bergentayangan di hatinya mendengar perkataan Lestin.
Lestin
berangkat dari tempat duduknya, tinggallah Cimeng bersama mahasiswa yang berdesakan mengantri duduk di kantin.
“Bu Pur,
ini uangnya" kata Cimeng membayar makanan yang ia pesan.
“Iya
bung, makasih Bung ya" lanjut Bu Pur.
Kali
ini pulanglah Cimeng menuju kos-kosan dengan gagah gembira, masih terngiang
perkataan Lestin di hatinya, yang membuat dirinya berbunga-bunga, seperti
sedang jatuh cinta.
Di kosan, Cimeng tak mendapati siapa-siapa di luar kamar, para temannya masih asyik
bersantai di pulau kapuk, lari dari taman surga yang membosankan.
Seperti
biasa yang dilakukan Cimeng saat pulang dari kampus, dia berbaring di kasurnya
yang kecil, di dalam kamar yang sesak dipadati poster-poster Soekarno.
Wajah dan pikiran Lestin membayangi pikiran Cimeng, mungkinkah seorang perempuan tangguh itu bersedia menjadi pacarku. Bisik
Cimeng di dalam hati, yang sedang berharap durian jatuh.
Di
tengah Cimeng sedang berbaring. Sambil berangan-angan masa indah bersama
Lestin, harus terganggu dengan bunyi tong sampah yang bergeser di depan kosnya.
Sepertinya
ada orang di luar. Ucap Cimeng di dalam hati, sambil ia
bangkit dari kasur melihat kondisi yang ada di luar.
Ternyata
perempuan setengah baya sedang asyik mengorek-ngorek tong sampah di depan kamar Cimeng.
“Ibu
sedang apa?” tanya Cimeng dengan hati-hati menegur perempuan paruh baya itu.
Bajunya
begitu kusut, kelihatannya tak pernah berganti, wajah perempuan itu sudah diselimuti keriput, badannya begitu dekil, terlihat seperti tak pernah
menyiramkan air ke tubuhnya, Cimeng memperhatikannya dengan sorotan mata yang
berkaca-kaca sambil berkeluh Masih
ada orang mengorek tong sampah di negeri yang kaya ini. Keluh Cimeng.
Perempuan
paruh baya itu hanya diam tak menjawab pertanyaan Cimeng, ibu itu hanya
menunduk karena kepergok sedang mengais-ngais sampah di depan kamar Cimeng.
Tanpa
menghiraukan pertanyaan Cimeng, perempuan paruh bayah itu pergi meninggalkan
kos Cimeng, menyisakan pertanyaan di kepalanya.
Kenapa
ibu itu tak menjawab pertanyaanku, apa aku menyinggungnya? bisik Cimeng di hati dengan desas-desus kebingungan.
Cimeng
duduk di depan pintu kamarnya. Berbaring dengan membayangi wajah Lestin
nampaknya sudah tak menarik bagi Cimeng untuk dilakukan, setelah ia melihat
perempuan paruh baya itu.
Dia
teringat perkataan Lestin yang menyinggung banyak nasib orang-orang di
sekitarnya, hantu kelaparan berkeliaran di wujud manusia. Yang baru Cimeng
temukan di depan kamarnya sendiri, ada perempuan paruh baya mengorek tong
sampahnya.
Cimeng
duduk dengan menundukan kepalanya, dia malu dengan kenyataan yang baru ia lihat.
“Kemana
aku selama ini, di saat hantu kelaparan
menyelimuti tubuh manusia?” Cimeng
bertanya pada dirinya sendiri.
“Apakah
aku termasuk dalam generasi manja yang selalu aku nobatkan kepada teman-taman
di taman surga, aku tak beda dengan mereka, hanya saja aku sering mendumel di
dalam hati melihat kenyataan di kampusku, kali ini aku harus terdiam
menyaksikan sendiri kelaparan ada di depan mataku. Apakah aku generasi manja
itu, generasi yang lebih memilih tunduk pada pembodohan, dibanding harus
melawannya, generasi yang menyiksa sendiri orang tuanya untuk terus dipaksa
membayar biaya pendidikan yang begitu mahal, tanpa menuntut pada negara yang
seharusnya memfasilitasi, apakah aku generasi manja itu, yang buta pada
sejarah, dan lebih memilih bungkam, puas dengan dongeng dari malaikat di dalam
kelas, generasi yang tak tau kenyatan di sekitarnya, dan lebih memilih acuh tak
acuh, karena takut bersusah payah. Apakah aku generasi manja itu, yang bungkam
terbodoh melihat banyak penderitaan?!" teriak Cimeng mengeluh di
tengah-tengah kosnya yang sepi.
Tak
ada satupun penghuni kamar di kos Cimeng yang terbangun mendengar teriakannya,
nampaknya mereka masih asyik saling bercengkrama, di pulau kapuk bersama
pasangannya.
Di
tengah kesunyiannya, tak sengaja mata Cimeng menyasikan barisan semut merah
yang saling bahu membahu, untuk sebutir gula, dia menyaksikannya dengan teliti,
melihat satu persatu yang dilakukan semut itu.
Bagaimana
Soekarno memerdekakan negara tanpa bahu membahu, mungkin betul yang dikatakan
Lestin, Soekarno hanya hiasan tanpa pemuda-pemuda yang berani itu, semut yang berbaris itu menggambar tentang kekompakan untuk mendapatkan
energi hidup, tak mungkin Soekarno sendiri bertengger di atas podium
sebagai bapak revolusi tanpa ada pemuda-pemudi yang berani itu. Keluh Cimeng di dalam hati yang kali ini mulai meragukan keampuhan
dongeng yang ia dapatkan dari sesepuh desa dan buku yang bertengger diselimuti
debu di perpustakaan sekolahnya dulu.
Tak
mungkin tujuh orang pemuda yang diminta soekarno, akan berhasil mengguncang
dunia tanpa adanya bahu-membahu. Keluh
Cimeng kembali yang meragukan kehebatan pidato Soekarno.
Cimeng
mulai gelisah dengan kebenaran yang
dipaksakan di sekolahnya. Semut
itu menjadi perhatiannya, matanya tak lepas dari tubuh spesies yang mengajarkan persatuan itu. Disela-sela Cimeng memperhatikan barisan semut itu, terlintas ingatannya
yang pernah melihat barisan anak muda berjalan di kampusnya dengan teriakan
perubahan.
Cimeng
pun mengingat selebaran yang pernah ia dapat saat iringan anak-anak muda itu
lewat di depan nya.
Cimeng
ingat-ingat dimana dia pernah meletakan selebaran itu, dia cari di dalam kamar
ternyata dia dapatkan selebaran itu masih rapi terletak di dalam lemari, ia
baca pelan-pelan isi selabaran itu, wah
mereka menutut negara menaikan gaji buruh. Bisik Cimeng di dalam hati.
Ayahku di desa, saat sedang memanen sawah, pernah berpesan padaku, bekerjalah kau agar tak kelaparan, agar kamu mampu membiayai hidupmu, tapi kenapa para buruh yang diteriakkan oleh anak-anak muda di bawah naungan bendera merah
berbintang kuning dengan corak api yang menghiasinya, masih tidak
sejahtera, sehingga
mereka menuntut. Berarti ayahku
salah mengatakan seperti itu, nyatanya para buruh ini bekerja, tapi belum juga
sejahtera!. Panjang lebar Cimeng di dalam hati sambil melepas peci hitam andalan
Bung Karno.
Pena :
Ziwenk ( PEMBEBASAN Yogyakarta).
wah bagus ni buat naskah teater pendek...
BalasHapus