Oleh: Fullah Jumaynah.
"Kami harus
menasionalisasi sumber daya alam kami. Kami juga harus bebas dan merdeka, punya
pendidikan publik yang berkualitas, dan hak-hak sosial. Ini adalah tujuan saya
dan saya siap berkontribusi untuk ini dimana pun diperlukan." Ucap Camila Vallejo
Camilla, selembar
cerita dari generasi Pepsi dan Mc Donald dengan narasi yang berbeda. Perempuan
bermata hijau dengan paras setara dengan bintang Hollywood itu, sungguh berbeda jauh dengan kebanyakan perempuan di antara kita
saat ini. Dimana perempuan saat ini pada umumnya disibukkan dengan fashion, ke
mall, ke salon, nogkrong dan ngerumpi. Meskipun ada juga Intelektual muda
perempuan di kampus, tapi mayoritas hanya berkutat seputaran kost, kantin dan
perpustakaan, yang berjuang untuk mendapat IP tinggi, lulus cepat dan cumload,
tanpa membaca kondisi sekitarnya. Berbeda dengan Camila, perempuan ini memilih
jalan untuk berjuang di dalam kemerdekaan dan pembebasan nasional.
Komandan Camila, sang orator ulung dari Chile. Yang ketika
berorasi tanpa teks selama berjam-jam di depan puluhan ribu mahasiswa dan
masyarakat, mampu mengerahkan demonstrasi menjadi lebih besar
bagi reformasi pendidikan, meskipun, kerap kali polisi muncul
merepresif massa dengan gas air mata dan meriam air tak membuatnya mundur
berjuang membebaskan manusia. Selama kurang lebih delapan bulan, suara
lantangnya menggelora di tengah-tengah gelombang massa demonstran, menentang
Presiden Sebastian Pinera.
Perempuan tangguh satu ini, terlahir menendang Lady Gaga,
Beyonce dan Shakira, dari pentas yang selama ini menguasai hasrat kaum muda di
Chili. Sebagaimana penggambaran dari Camila sendiri, tentang keadaan kaum muda
di negeri tetangga Argentina itu: “Selama
bertahun-tahun, anak muda Chile telah dicekoki model neoliberal yang
mengagungkan konsumerisme dan pencapaian personal. Semua tentang aku, aku, dan
aku. Tak banyak empati untuk yang lain.”
Camila tidak seperti para tokoh perjuangan lain pada umumnya
di Amerika Latin yang menggunakan topeng, cangklong, ataupun senjata di
bahunya, Vallejo terkenal dengan pemimpin perempuan dengan anting kecil di
hidungnya, selain memang kemampuan orasinya yang mampu menyihir ribuan rakyat
Chille.
Nama
lengkapnya ialah Camila Antonia Amaranta Vallejo Dowling. Terlahir di tanah Santiago,
Chile 28 April 1988. Camila lahir dari pasangan anggota Partai Komunis dan
anggota Chillean Resistance pada masa rezim diktator Augusto Pinochet, yaitu
Reinaldo Vallejo dan Mariela Dowling.
Camila dalam Perlawanan.
Komandan
Camila, begitu panggilannya. Terlahir dari keluarga aktivis kiri membuatnya
cepat bersinggungan dengan kesadaran-kesadaran realita kehidupan di sekitarnya,
yang ternyata tidak memihak pada rakyat miskin. Tercatat sebagai mahasiswa jurusan
Geografi pada saat memimpin aksi demonstran besar di Chile, yang juga saat itu
dia menjadi Presiden Ikatan Mahasiswa Universidad de Chile, dimana universitas
tersebut adalah universitas paling berpengaruh di negeri tetangga Argentina
itu.
Sebelumnya,
comandante yang terlahir dalam keluarga yang kental dengan tradisi gerakan,
langsung terpilih sebagai konselor Federacion de Estudiantes de la Universidad
de Chile (FECh, Student Federation of the University of Chile) pada 2008,
hingga ahirnya terpilih sebagai presiden pada 2010. Ia adalah perempuan kedua
yang menduduki jabatan presiden Federasi Mahasiswa Universitas Chile.
Pendahulunya adalah Marisol Prado, seorang militan komunis, yang menjabat
antara tahun 1997-1998.
Camila
Vallejo, sang Presiden Federasi Mahasiswa Universitas Chile (Fech) ini, menjadi
salah satu aktor penting dalam mendorong gelombang gerakan mahasiswa yang
berlangsung hingga beberapa bulan di Chili pada 2010. Camila Vallejo memimpin
protes besar-besaran mahasiswa yang melakukan tuntutan berkisar seputar
pendidikan gratis dan setara hingga perubahan konstitusional dasar.
Tangguh,
berani, pandai, sang pemimpin gerakan mahasiswa. Berada di
tengah-tengah gelombang aksi massa, memimpin suatu lingkaran massa, menuntut
dihapuskannya privatisasi pendidikan dan menuntut kesejahteraan rakyat pada
saat itu. Ketangguhannya membuatnya dijuluki oleh para wartawan dengan: “La
Pasionaria” (semangat) dari Chili, julukan yang sebelumnya juga diberikan
kepada pejuang perang rakyat Spanyol, Dolores Ibarruri. Sementara Guardian
Inggris menyebutnya: “Komandan Camila,” dan “Pahlawan Rakyat dari Amerika
Latin.”
Demonstrasi di Chile begitu banyak diberitakan pada saat
itu, bukan hanya karena aksi ini dipimpin oleh seorang mahasiswa cantik bernama
Camila Vallejo, sang Presiden Federasi Mahasiswa Universitas Chile (FECh), yang
merupakan salah satu organisasi mahasiswa tertua di Chile. Tetapi juga karena,
ini adalah aksi massa terbesar di Chille setelah era Agusto Pinochet. Menurut
data dari Koran Inggris, The Guardian, aksi itu adalah yang terbesar selama 20
taun terakhir di seantero Amerika Latin. Yang mana "sejak masa
Subcomandante Marcos dari Zapatista, belum pernah lagi Amerika Latin terpesona
dengan seorang pemimpin perlawanan."
Tidak hanya terlihat tangguh di tengah gerombolan massa, di
meja perundingan pun Vallejo semakin tangguh dan dikenal bak singa yang
non-kompromis. Karena itu, namanya pun melonjak menjadi aktivis mahasiswa
paling populer di Amerika Latin saat itu. Camila juga menjadi bagian
dalam delegasi yang bertemu langsung dengan Presiden Brazil, Dilma Roussef. Ia
juga mewakili gerakan mahasiswa Chile saat melakukan kunjungan ke eropa guna
bertemu sejumlah pemimpin politik dan intelektual.
Perjuangan Camila ini membuat Alvaro Garcia Linera, wakil
Presiden Bolivia yang pernah jadi gerilyawan Marxist itu, memuji sepenuh hati
kepimpinan Camila Vallejo. “Anda perlu bicara tentang kejadian di Argentina,
Brazil dan Chile, disana pemimpin muda memimpin kaum muda dalam
pemberontakan besar.”
Camila Vallejo, mahasiswi jurusan Geografi yang pada saat
itu berusia 23 tahun itu, benar-benar telah menjadi wajah publik baru dalam
pergerakan yang telah berulang kali memaksa Presiden Chile, Sebastian Pinera
untuk membuat kesepakatan baru dalam reformasi pendidikan bagi orang-orang
tidak mampu.
Tidak hanya dalam protes menentang privatisasi pendidikan,
dalam kisahnya Camila juga pernah memimpin kawan-kawannya menentang kunjungan
Obama ke Chile. Camila mengecam kebijakan peraih nobel perdamaian 2009 itu
terkait intervensi Amerika di Timur Tengah, Libya, dan Amerika Latin.
Setiap perjuangan selalu ada halang rintang yang
menghadang, ini mengingatkan pada kata-kata, “setiap mawar itu berduri.”
Ya, begitu banyak halang rintang yang menghadang dirinya dalam perjalanan
perjuangannya sebelum ahirnya keindahan dari sebuah revolusi itu tercapai.
Salah satu rintangannya adalah dia sering mendapat ancaman pembunuhan secara
silih berganti. Ancaman itu sering kali datang melaluis sms, telepon, bahkan
sampai media sosial twitter. Namun, ancaman-ancaman tersebut tak membuat gentar
dirinya dan mundur dari perjuangan, perempuan tangguh ini tetap muncul di garda
terdepan dalam pawai-pawai ratusan ribu bahkan sampai jutaan, mahasiswa dan
rakyat Chile di kota Santiago.
Aksi
demo besar tidak muncul begitu adanya, sebelum jalanan Chile dipenuhi oleh aksi
massa, perjuangannya membebaskan pendidikan ini dimulai dari demonstrasi
kecil-kecilan di dekat kampusnya sendiri, hingga ahirnya muncul aksi-aksi
mahasiswa Universidad de Chile bersama sejumlah mahasiswa universitas lain yang
menggelembung menjadi aksi massa nasional. Sejak Mei hingga Oktober 2011,
terdapat sedikitnya 300 demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh gerakan
mahasiswa tersebut. Dari yang tadinya hanya diikuti sekitar 150.000 mahasiswa,
bertambah menjadi ratusan ribu orang yang terdiri dari mahasiswa, dosen, hingga
kelas pekerja. Dari sekadar isu sederhana meminta pendidikan gratis,
demonstrasi kemudian membesar hingga ke tuntutan mundur Presiden Sebastian
Pinera. Tidak tanggung-tanggung, hasilnya adalah pemecatan Kepala Kepolisian
Chille dan salah seorang di Kementrian Kebudayaan, sehingga
membuat Presiden Pinera mengundangnya secara langsung untuk bernegosiasi.
Sejak
era Pinochet, kebijakan privatisasi pendidikan telah diterapkan dan diteruskan
oleh Presiden Pinera, yang mana ini banyak merugikan rakyat miskin. Dimana
banyak rakyat miskin menjadi tidak mampu untuk mengakses pendidikan tinggi.
Akhirnya gelar sarjana hanyalah milik elite, dan angka pelajar putus sekolah
semakin merajalela. Karena kondisi itulah, Vallejo, sebagai perwakilan mahasiswa,
menolak penambahan anggaran untuk pendidikan dan beasiswa, seperti dalam
diskusinya dengan Menteri Pendidikan Chille. Vallejo menginginkan tuntutan yang
lebih mendasar, yaitu “penghentian agenda privatisasi pendidikan dan di sektor
lainnya.”
Usaha
yang dilakukan Camila dalam diskusinya dengan Menteri Pendidikan tak membuahkan
hasil yang baik, pemerintah bahkan memberi tawaran yang itu terkesan seperti
tambal sulam. Menutupi kebobrokan pemerintahan, dengan menambalnya, akan tetapi
tidak merubah dan semakin terlihat rusaknya. Dari tawaran pemerintah Chille
yang cenderung tambal sulam dalam mengatasi masalah pendidikan tersebut, membuat
Vallejo mengambil langkah lain. Di Indonesia layaknya seorang Kartini yang
memperjuangkan akses pendidikan, Vallejo dan teman-temannya tidak kehabisan
akal dan terus berjuang. Merancang sebuah plebisit (pemungutan suara) nasional adalah langkah selanjutnya. Sekalipun presiden menolak, jika rakyat
Chile mayoritas mendukung perlunya sebuah plebisit nasional, maka tentu ini
akan menjadi pukulan telak kepada pemerintah.
Berdasarkan
sebuah jajak pendapat yang diselenggarakan oleh Adimark disebutkan bahwa 79% responden setuju dengan proposal
mahasiswa untuk melakukan plebisit. Karena plebisit ini akan memberikan hak
kepada setiap warga negara Chile yang sudah berusia 14 tahun ke atas untuk
menentukan masa depan pendidikannya.
Pemungutan suara diorganisir oleh mahasiswa via online dan
institusi-institusi publik di seluruh negeri. Lebih jauh lagi, jika plebisit
ini berhasil dan mendapat dukungan rakyat, bukan tidak mungkin gerakan
mahasiswa akan punya ‘legitimasi” untuk mengajukan referendum konstitusi guna
mengubah pasal yang membolehkan pendidikan dikelola melalui mekanisme pasar.
Ahirnya,
jalan-jalan di kota Santiago, ibukota Chile, penuh sesak dengan barisan panjang
mahasiswa, buruh, dan aktivis gerakan sosial. Massa aksi menentang rencana
privatisasi pendidikan. Demi tercapainya pembebasan pendidikan, Camila dan
kawan-kawannya rela menerima represifitas yang dilakukan oleh aparat keamanan
negara (polisi). Para polisi menyemprotkan air dan tembakan gas air mata untuk
menghentikan aksi besar tersebut. Namun, demi tercapainya cita-cita
kesejahteraan rakyat aksi massa justru memberikan perlawanan yang tak kalah
hebat: Lemparan batu, memasang kesatuan barikade, hingga bom molotov menjadi
senjata dalam perjuangannya.
Menjadi Anggota Parlemen untuk Perubahan.
Perjuangan
yang dilakukan Camila tidak berhenti hanya sebatas pada aksi gerakan mahasiswa,
melainkan turut terlibat dalam parlemen. Dikabarkan bahwa, pada bulan November
2013 Chile menyelenggarakan pemilihan umum. Dan diantara calon anggota parlemen
yang muncul ada sosok cerdas dan pemberani pemimpin gerakan mahasiswa Chile,
siapa lagi kalau bukan Camila Vallejo. Camila bertarung di daerah distrik 26
Metropolitan Santiago untuk posisi Majelis Rendah. Ia diusung oleh Partainya,
Partido Comunista/Partai Komunis Chile (PC). Camila berjuang di dalam parlemen
melalui partai tersebut bersama kawannya Karol Cariola, yang juga turut menjadi
pemimpin gerakan mahasiswa tahun 2011.
Kenapa
turut dalam parlemen? Camila berpendapat bahwa, perjuangan itu bukan hanya
perdebatan soal isu pendidikan, tetapi juga soal bagaimana membangun kembali
negeri yang telah porak-poranda akibat neoliberalisme.
“Saya mengatakan di berbagai media nasional bahwa ‘Ya, aku bersedia,’ meskipun ini masih jauh dari tujuan saya dan diri saya sendiri. Tujuan saya adalah negara yang lebih demokratis, yang akan mengakhiri konstitusi warisan kediktatoran Pinochet, dengan memilih anggota konstituante baru dan menulis ulang konstitusi. Kami harus menghapus sistem elektoral “binomial” (Dua legislator dengan perolehan suara tertinggi per-distrik). Kami harus menasionalisasi sumber daya alam kami. Kami juga harus bebas dan merdeka, punya pendidikan publik yang berkualitas, dan hak-hak sosial. Ini adalah tujuan saya dan saya siap berkontribusi untuk ini dimana pun diperlukan.” Camila Vallejo
Sampai
saat ini pun Camila Vallejo di Chile tetap aktif berjuang. Dia tidak akan
pernah bosan untuk melawan penindasan, tidak akan pernah bosan untuk memperjuangkan
pendidikan gratis dan berkualitas untuk negaranya, tidak akan pernah bosan
untuk berjuang demi rakyat miskin di Chile, dan Camila tidak akan pernah bosan
untuk melawan Neo-Liberalisme yang sangat menyengsarakan rakyat.
Camila Vallejo untuk kaum muda saat ini.
Idealisme
mahasiswa yang diusung tinggi-tinggi sebagai pelopor perubahan, saat ini
nampaknya hanya mampu menjadi semboyan yang diterbangkan angin. Tri Dharma
Perguruan tinggi yang mensyaraktkan pengabdian terhadap masyarakat pun hanya
terpatri pada aktivitas KKN dan Kuliah Pemberdayaan Masyarakat dalam jangka
waktu 1-2 bulanan. Mahasiswa yang berorganisasi pun hanya cukup puas pada
agenda-agenda ceremonial seminar, lomba-lomba, dll, yang seolah hanya dijadikan
sebagai pengisi waktu luang dan sebagai jalan untuk memperoleh popularitas atau
memperoleh skill-skill tertentu yang tidak diperoleh di perkuliahan (mahasiswa
proposal).
Mahasiswa
sayang rakyat, nampaknya sudah jarang ditemui. Jika mencari sebab musababnya,
ya karena sistem pendidikan yang dibuat adalah sistem pendidikan yang menganut neo-liberalisme.
Pendidikan juga dijadikan komoditi oleh sekelompok golongan, swastanisasi
pendidikan membuat pendidikan hanya mampu dinikmati oleh segolongan kelas
menengah ke-atas. Dan pendidikan yang sangat merepresif begitulah adanya
sekarang. Kampus layaknya rutan yang menahan mahasiswanya yang ingin aktif didalam
masyarakat, seperti merantai mahasiswa dengan batasan absensi, mahalnya biaya
semester, kualitas tenaga dan fasilitas yang tidak memadai, dan pada akhirnya
membuat mahasiswa mengejar target cepat lulus dan keluar menjadi budak
kapitalis.
Dan untuk
perempuan, sosok Camila dapat dijadikan kaca untuk melihat bahwa sudah saatnya
perempuan turut bergerak melawan segala bentuk penindasan. Perempuan muda tidak
lagi disibukkan dengan salon, fashion, food, dll. Yang semuanya merupakan wujud
dari sistem ekonomi neo-lib memanfaatkan perempuan sebagai manusia yang paling
mudah dimanfaatkan. Adanya Camila Vallejo diharapkan dapat memberi inspirasi,
bahwa Perempuan juga dapat berkontribusi terhadap pembebasan pendidikan,
kesejahteraan rakyat, dan pembebasan nasional. Serta menjadi pelopor dan
berada di garda terdepan dalam melakukan revolusi. Apalagi memperjuangkan nasibnya sendiri
terhadap berbagai bentuk ketertindasan dan ketidakadilan yang dialaminya.
Bukankah Camila telah menjadi bukti bahwa sebenarnya
perempuan juga dapat memiliki kapasitas, kualitas, kecerdasan, keberanian,
kekuatan, dan kepemimpinan yang mampu membawa perubahan seperti yang dikatakan
Lenin “Jika kalau tidak dengan mereka (pr), kemenangan tidak mungkin tercapai.”
Namun perlu digaris bawahi, seperti Camila Vallejo tidak mungkin
dilahirkan hanya oleh rerumputan kering yang berharap akan turunnya hujan untuk
bangkit, tapi didukung oleh rahim komunitas gerakan ideologis yang kuat. Dia
tak mungkin lahir hanya dari buih-buih kemarahan mahasiswa yang
berbondong-bondong turun ke jalan, menggempur istana, kantor-kantor pejabat
tinggi Negara dan sesudah itu, melenyap begitu saja bak kapur barus di lemari
baju sejarah.
Hormat dan salut untuk Camila Vallejo, kau seperti dalam
lagu Green Day, "...She's a rebel, symbols of resistance!"
*Kompartemen Perempuan Pembebasan Kolektif Utara (Sleman, DIY)
Referensi :
- Berdikari Online
- http://radikalisasikopiitem.blogspot.com/2012/11/camila-vallejon-kawan-seperjuangan-dari.html
Kreatif.
BalasHapusInspiratif
BalasHapus